Share

Bab 2

Author: Robert Martin
Entah sejak kapan, Cheryl pun terlelap.

Dalam tidur yang setengah sadar, dia bermimpi.

Dia bermimpi kembali ke masa SMP, saat tulisannya dimuat di sebuah majalah kedokteran.

Dengan penuh semangat, dia membawa pulang majalah itu. Tapi, keluarga di rumah tak ada yang mengerti, hanya melirik sekilas lalu membuangnya ke samping.

Hanya ibunya yang membaca lama, lalu mengusap kepala Cheryl sambil memuji dengan tatapan penuh kasih.

Dengan penasaran, dia bertanya apakah ibunya bisa memahami majalah kedokteran itu.

Ibunya menggeleng, kemudian menjawab dengan suara yang lembut dan tenang,

“Ibu nggak mengerti apa yang kamu tulis, tapi ada namamu di bagian awal, jadi aku mengenalinya.”

Bertahun-tahun kemudian, Cheryl bahkan masih mengingat kenangan sore itu.

Sekarang, tulisannya sudah berkali-kali dimuat di berbagai majalah ternama.

Namun, orang yang dulu mengusap kepalanya dan memujinya, kini sudah tiada.

“Ibu….”

Saat terbangun, masih ada sisa air mata di sudut mata Cheryl.

Yang pertama kali dilihatnya adalah seorang pemuda dengan wajah cemas.

Dia adalah James, junior di kampus yang sedang magang di rumah sakit.

“Kak Cheryl, keluargamu keterlaluan sekali?!”

“Aku dengar dari petugas ambulans, nyawamu bahkan sudah hampir melayang, tapi mereka malah asik makan bersama dan tak peduli padamu.”

“Selama dua hari kamu tak sadarkan diri, tak satu pun dari mereka yang datang menjengukmu.”

Mendengar keluhan penuh amarah itu, wajah Cheryl tetap datar tanpa ekspresi.

Reaksi yang begitu tenang membuat James merasa kasihan.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada hati yang sudah mati.

Mungkin, inilah yang dimaksud dengan kalimat itu.

“Kak Cheryl, aku sudah membelikan bubur untukmu, makanlah sedikit.”

Tanpa menunggu jawaban, James langsung menyendok bubur daging dan menyodorkannya ke mulut Cheryl.

Cheryl pun terpaksa membuka mulut dan menelannya.

Perlahan, sosok James di hadapannya mulai tumpang tindih dengan bayangan seseorang di masa lalu.

Saat ibunya baru meninggal, Cheryl seperti orang kehilangan akal, memeluk erat foto mendiang, tak mau makan, tak mau minum, bahkan menolak untuk sekolah. Ayahnya yang marah besar memukulinya dengan tali pinggang hingga tubuhnya penuh luka.

Bahkan adiknya sendiri hanya bisa meringkuk ketakutan di sudut ruangan, tak berani mengeluarkan suara.

Saat itu, Rikardo menerobos masuk ke rumah, menggunakan tubuh kecilnya untuk melindungi Cheryl.

Lalu membawa Cheryl pulang dan menyuapinya makan.

Waktu itu, Rikardo adalah cahaya dalam hidupnya.

Cheryl tak pernah membayangkan, orang yang dulu berjanji akan selalu menemaninya seumur hidup, akan jatuh cinta pada orang lain suatu hari.

“Cheryl, dia siapa?”

Suara dingin membuat Cheryl kembali sadar dari lamunannya.

Rikardo berdiri di ambang pintu kamar rawat dan wajahnya terlihat muram.

Sejak jatuh cinta pada Sofiana, sebenarnya dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Cheryl.

Namun, saat melihat James dengan lembut menyuapinya bubur, entah kenapa hatinya terasa perih.

Seakan sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya direnggut oleh orang lain.

James hendak menjelaskan.

Namun, tanpa bicara sepatah kata pun, Rikardo langsung melangkah maju dan menepis bubur itu hingga tumpah.

Pecahan mangkuk berhamburan, menyebar ke segala arah.

Cheryl tak sempat menghindar, lengannya tergores luka yang panjang.

Dalam sekejap saja, darah mengalir deras.

Rasa perih membuatnya bergidik.

Namun, Rikardo sama sekali tidak menoleh melihatnya.

Tatapan tajamnya hanya terkunci pada James, lalu dia langsung memerintahkan, “Keluar.”

Nada suaranya seperti menegaskan bahwa Cheryl hanya miliknya seorang, tak boleh disentuh orang lain.

Namun saat itu juga, dia mengangkat telepon dan ekspresi wajahnya berubah drastis.

“Sofiana merasa bersalah dan depresinya kambuh lagi, dia menelan obat untuk bunuh diri. Aku harus menemaninya cuci lambung. Nanti aku bakal datang lagi untuk menjengukmu, ya.”

Dia bukan sedang bertanya, tapi hanya sekadar memberitahu bahwa dirinya akan pergi.

Cheryl menekan lengannya yang masih berdarah, memandangi wajahnya yang dingin tanpa belas kasihan, lalu tersenyum getir.

“Iya.”

Apalagi yang perlu disedihkan?

Rikardo, delapan hari lagi, kamu sudah tak perlu lagi berpura-pura seperti ini.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 18

    “Kita benar-benar sudah nggak mungkin?”Rikardo masih belum ingin menyerah begitu saja.Cheryl tidak menjawab, tetapi diamnya sudah merupakan jawaban.Bukan berarti dia tak bisa menolak Rikardo.Melainkan dia tidak tahu bagaimana cara mengucapkan perpisahan tanpa melukainya.Kesunyian itu adalah kelembutan terakhir Cheryl untuknya.“Baiklah, aku mengerti.”Rikardo menundukkan kepala dan akhirnya menyerah.Cheryl membantunya berdiri, lalu mengambil sebuah kaset dari saku jas laboratorium.Sekilas, Rikardo langsung mengenalinya. Ini adalah hadiah pertama yang pernah diberikan Cheryl padanya, berisi lagu kesukaannya.Namun dulu, karena jatuh cinta pada Sofiana dan ingin benar-benar memutuskan hubungan dengan Cheryl, dia pernah mengembalikan kaset itu beserta tape recordernya.Itu adalah salah satu hal yang paling dia sesali.Setelah itu, dia tak pernah menemukan kaset itu lagi di tape recorder. Awalnya dia mengira kaset itu sudah dibakar bersama barang-barang Cheryl, tapi ternyata Cheryl

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 17

    Suhu udara hampir membeku, membentuk embun es.Hingga rasa pahit terasa di bibirnya, barulah Rikardo tersadar bahwa bibir bagian bawahnya berdarah karena tergigit.Demi pertemuan yang sudah lama ditunggu-tunggu ini, dia menembus waktu selama dua belas bulan, melewati pagi dan malam, hampir menelusuri setiap sudut kota, sampai pendidikannya terbengkalai. Kepala sekolah yang tak tega melihat Rikardo yang dulunya murid teladan begitu terpuruk, akhirnya memberitahu keberadaan Cheryl padanya.Begitu mendapat informasi itu, Rikardo langsung memesan tiket pesawat ke tempat ini.Perjalanan yang melelahkan membuatnya tak sempat minum seteguk air pun. Satu-satunya yang terbayang hanyalah bertemu dengan orang yang selalu menghantui pikirannya.Namun, ketika akhirnya bertemu lagi dengan Cheryl, dia menyadari kenyataan yang menyakitkan.Cheryl sudah bukan lagi sahabat kecilnya yang lembut dan sabar seperti yang dia ingat.Meski berusaha sekuat tenaga, Rikardo tak mampu menemukan sedikit pun rasa ci

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 16

    Rangkaian bintang berkelip di langit, James duduk meringkuk dengan tenang di bangku batu yang diselimuti cahaya bulan.Dia meletakkan lengan bawahnya di atas lutut Cheryl, tapi pandangannya tak lepas dari wajah gadis itu.Sinar bulan membentuk lapisan tipis seperti embun di kulit Cheryl yang sehalus giok putih, membuatnya tetap memukau bahkan di tengah gelapnya malam.Baru ketika salep menyentuh luka bakarnya, James menarik napas dingin dan tersadar kembali.“Lukanya lumayan parah. Kalau nggak diobati, nanti bisa meninggalkan bekas. Kamu juga mahasiswa kedokteran, kenapa sampai nggak diperhatikan begini?”“Nggak apa-apa. Aku laki-laki, sedikit bekas luka di lengan itu nggak masalah. Nggak ada yang bakal peduli….”“Aku peduli.”Cheryl menghela napas, membuat pria itu terbengong.Setelah mengoleskan obat, Cheryl menatapnya dengan serius dan berkata, “James, besok kamu pulang ke kampus saja. Aku mengerti perasaanmu, tapi aku nggak punya waktu untuk memikirkan soal cinta sekarang dan aku j

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 15

    Di bagian barat lapangan akademi kedokteran, di dekat sebuah sebuah pohon ginkgo, Cheryl memilih tempat yang hangat untuk duduk.Aroma disinfektan dari laboratorium masih tercium samar di hidungnya. Dia membuka kancing kerahnya, menghirup udara segar luar ruangan, lalu menaburkan remah-remah roti gandum ke kumpulan merpati abu-abu dan putih.Sudah tiga bulan dia berada di akademi kedokteran.Begitu masuk ke laboratorium, dia sering bekerja seharian penuh.Kartu akses di sakunya seakan sudah membekas di jas lab putihnya.Kesibukan seperti ini bagi orang biasa mungkin sulit ditanggung, tapi bagi Cheryl yang sudah melewati banyak rintangan, ini belum seberapa.Di tim penelitian obat baru laboratoriumnya, rekan-rekan yang bekerja bersamanya adalah para maestro terkemuka di dunia medis saat ini atau bahkan senior yang menjadi panutan di bidang kedokteran.Meski saat ini dia hanya berperan sebagai asisten laboratorium, dalam waktu tiga bulan saja, ilmu yang dia dapat sudah jauh lebih banyak

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 14

    Suara bantingan tinju di tubuh terdengar begitu berat dan bergema di ruang tamu.Rintihan Sofiana semakin lama semakin terputus-putus. Tubuhnya bergetar seperti ikan yang terkapar kehabisan air, wajahnya berlumuran air mata dan ingus, “Ma… maaf Om Hendra. Aku hanya anak yatim piatu dan terlalu menginginkan sebuah rumah, makanya aku bilang semua kebohongan itu.”Tiba-tiba, dia meraih ujung celana Hendra, lalu membenturkan dahinya ke lantai hingga muncul memar biru keunguan, “Tolong ampuni aku, aku nggak akan bohong lagi. Kumohon, maafkan aku.”Hendra menatapnya dengan mata memerah.Jawaban yang diberikan hanyalah hantaman tinju yang lebih keras.Saat akhirnya Hendra berhenti memukul, Sofiana sudah tergeletak di lantai seperti anjing mati dengan napas yang tersengal.“Ayah,” terdengar suara Yuseli yang seperti keluar dari dasar jurang beku, “Siapa sebenarnya… yang mendonorkan darah untukku di kecelakaan itu?”Tubuh Hendra bergetar hebat. Tiba-tiba, dia menampar dirinya berkali-kali.“Che

  • Kehangatan Yang Datang Terlambat   Bab 13

    Melihat Hendra hendak membuang tape recorder itu ke tempat sampah, Rikardo segera melangkah maju.“Tunggu, aku mau dengar dulu apa yang direkam di dalamnya.”Ucapan mereka malah membuatnya teringat sesuatu.Cheryl sengaja menaruh tape recorder itu di dalam kotak kado dan menempatkannya di posisi yang begitu mencolok, pasti ada alasannya.“Untuk apa didengar? Bisa jadinya isinya hanya kata-kata yang mengutuk kita. Nggak bagus, mending dibuang saja.”Anehnya, Sofiana berdiri dan bergegas membuka kaset di dalam tape recorder itu.Sikapnya terlihat sangat tegang, benar-benar tak seperti dirinya yang biasanya tenang dan anggun.“Berhenti.”Rikardo jelas tak akan membiarkannya berhasil, dia langsung maju untuk menghentikannya.Saat keduanya berebut, Rikardo lebih dulu menekan tombol putar.Disertai suara statis, terdengar suara sombong yang begitu jelas.“Cheryl, berlututlah memohon padaku.”“Aku bisa menyuruh ayah memaafkanmu.”….Di dalam rekaman, nada suara Sofiana sama sekali tidak terde

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status