Se connecterHalo, pembaca setia yang terkasih. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan rasa syukur untuk para pembaca setia Dalia. Akhirnya, kisah Dalia resmi tamat di bab 250 dan sempat memenangkan small writing contest sebagai Top Winner♡´・ᴗ・`♡. Tanpa dukungan kalian, Dalia mungkin hanya seonggok kisah balas dendam tanpa warna, karena warna dari Dalia adalah diri kalian sendiri, para pembaca yang selama ini membakar semangat penulis(๑'ᴗ')ゞ. Ada yang mau bocoran rahasia? Tapi diam-diam, ya. Jangan disebar(^・x・^). Tokoh Dalia, Gara, Cahya, Rangga, Aileen, adalah tokoh yang memiliki kehidupan nyata sehingga menginspirasi penulis. 50% cerita Dalia adalah pengalaman pribadi penulis, sementara 50% lainnya adalah fiksi sebagai kebutuhan kepenulisan. Dukung terus karya-karya penulis dengan mengunjungi profil GN penulis/sosial media pribadi penulis I*: @nadhirazahrak. Bahagia dan doa terbaik selalu untuk kalian(✿❛◡❛). •Rahasia #2: penulis minggu ini akan publish cerita kolosal-regresi rumah ta
Langkah Dalia terasa begitu pelan, seolah dunia menahan napas saat ia turun dari kereta emas itu. Salju yang menempel di anak tangga mencair begitu menyentuh hanfu phoenix merahnya, menyisakan jejak uap tipis yang menghilang ke udara dingin. Tangannya menggenggam tangan Gara—erat, mantap, dan tanpa goyah sedikit pun. Telapak tangan Gara hangat, kontras dengan dinginnya musim yang membekukan seluruh daratan Kekaisaran Timur.Di depan mereka terbentang aula megah tempat ritual pernikahan leluhur dilaksanakan, ruang terbesar dan paling sakral yang dimiliki Kekaisaran. Pintu-pintu setinggi tujuh meter terbuat dari kayu cendana merah tua terbuka perlahan. Cahaya kuning keemasan dari ratusan lentera jatuh menerangi karpet merah panjang yang membentang dari pintu masuk hingga altar leluhur.Semua pejabat tingkat tinggi berdiri di kedua sisi aula. Para tamu terhormat dari luar negeri mengenakan pakaian adat mereka, membentuk lautan warna-warna asing yang bercampur dengan kemegahan Kekai
Salju turun dengan pelan, membubuhkan lapisan putih tipis di sepanjang genting merah kediaman Ishraq. Musim dingin tahun ini tiba lebih cepat dari perkiraan, seolah langit ingin ikut merayakan hari besar keluarga bangsawan itu dengan memberikan keheningan yang suci. Di dalam kamar rias utama, cahaya lilin keemasan memantul pada permukaan perhiasan yang dikenakan Dalia, membuat seluruh ruangan tampak seperti dibungkus cahaya lembut—hangat, namun menggetarkan.Dalia duduk tenang di hadapan meja riasnya. Hanfu phoenix merah yang ia kenakan menjuntai seperti sayap api, mewah dan megah, sepenuhnya pantas untuk seorang wanita yang akan naik menjadi Permaisuri Agung. Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi tusuk rambut emas bertatahkan batu garnet merah menyala, setiap gerakan kecil kepala membuat perhiasan itu berayun dan mengeluarkan suara halus yang terdengar seperti denting keemasan.Di tangannya, ia memegang kipas phoenix berlapis emas. Sementara itu, Hana berdiri di belakangnya, memak
Kediaman Sudiro tampak begitu hangat siang itu. Aroma rempah Timur yang lembut menyatu dengan wangi kayu manis dari dapur utama, memenuhi aula depan dengan rasa nyaman yang tidak berlebihan, namun cukup untuk membuat siapa pun merasa diterima. Hiasan dinding dengan ukiran awan dan burung bangau menambah kesan damai yang jarang dimiliki kediaman keluarga bangsawan yang terkenal sibuk dengan perdagangan dua daratan ini.Cahya mempersilakan Adipati Felix masuk lebih dulu, sementara Aileen mengikuti di belakangnya. Gadis itu tampak sedikit gugup, meski senyum kecil tetap menghiasi wajahnya ketika melihat rumah yang begitu berbeda dengan tempat tinggalnya selama ini.Ibunda Cahya, seorang wanita lembut berwajah tenang dengan rambut hitam yang disanggul rapi, segera menyapa mereka. Ayah Cahya yang berwajah tegas namun berperawakan hangat juga memberi salam hormat kepada Adipati Felix. Kehadiran keduanya membuat suasana yang semula formal berubah lebih ringan.“Suatu kehormatan menyambu
Dari kejauhan, gerbang utama Ibu Kota tampak megah berlapis cahaya keemasan matahari pagi. Debu halus di sepanjang jalan berterbangan pelan tertiup angin, namun tak satu pun dari semua itu mampu mengusik ketegangan yang menggantung di antara dua sosok yang berdiri di hadapan gerbang.Cahya berdiri tegap, jubah biru gelapnya berkibar lembut, sementara di sampingnya Aileen menggenggam kedua tangannya gugup. Mata gadis itu sejak tadi tak lepas dari arah jalan raya panjang, berharap—dan cemas—akan siapa yang sebentar lagi tiba.“Dia pasti datang sebentar lagi,” Cahya berkata lirih.Aileen mengangguk, meski ia tidak berhasil menyembunyikan kecemasan di mata beningnya. “Ayah pasti akan banyak bertanya….”“Kau takut?” tanya Cahya hati-hati, mengalihkan pandangannya.Aileen menggigit bibirnya. “Ayah… selalu keras soal masa depanku. Terutama—”“Terutama soal pria yang akan mendampingimu.” Cahya menyelesaikan kalimatnya dengan senyum tipis.Aileen menunduk. “Ya.”Hening sebentar. Langit tampa
Dua hari telah berlalu sejak insiden besar yang mengguncang seluruh Kekaisaran. Dua hari sejak mutiara langka itu menelanjangi kebusukan para pejabat dan membuka wajah asli Wina Boyen di hadapan ratusan orang. Dua hari sejak kaisar menyeret Wina dan Perdana Menteri Onam ke penjara tanpa ampun—sebuah tindakan yang membuat para bangsawan saling berbisik takut, menahan napas, dan memikirkan ulang setiap siasat politik yang pernah mereka rancang.Dua hari yang juga membuat nama Dalia menggema lebih keras dari sebelumnya.Namun hari ini, tidak ada sorakan, tidak ada pujian, tidak ada kerumunan.Hanya sepi.Koridor batu menuju penjara adalah tempat yang jarang dilalui. Lampu minyak yang digantungkan di dinding terasa redup dan bergetar oleh angin yang merayap masuk dari celah kecil di ujung lorong. Bau besi, debu lama, dan aroma lembap menyatu, menciptakan atmosfer yang menyesakkan.Dalia melangkah perlahan.Mantel putih panjang membalut tubuhnya. Tudungnya menutup sebagian wajah—mengh







