"Kak Dalia?"
Suara jernih yang manis langsung menyapanya saat ia baru saja keluar dari ruangan perdana menteri.
Jantung Dalia seolah berhenti berdetak, gejolak emosi diam-diam merambat ke puncak. Kedua tangan Dalia mengepal tanpa sadar, sorot matanya lebih dingin berkali-kali lipat.
Salsa.
"Sedang apa kakak di sini?" tanya Salsa dengan senyum manisnya.
Dalia berusaha tetap tenang, bayangan rasa sakit antara hidup dan kematian kembali ia rasakan hanya dengan melihat wanita itu.
"Menemui Ayah," jawab Dalia pendek.
Kening Salsa terlipat, sorot matanya jelas sedang mencurigai sesuatu dan sekilas melirik Odine tajam. Hingga tak lama ia terlihat menghela napas gusar.
"Astaga... Apa kakak diomeli Ayah lagi?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Dalia ikut mengerutkan keningnya. "Apa?"
Salsa tiba-tiba melangkah maju hendak melewatinya. "Aku akan bantu bicara dengan Ayah, Ayah pasti salah paham lagi."
Dalia dengan cepat merentangkan tangan kirinya, memblokir langkah Dalia. Apa wanita itu ingin bertingkah sebagai 'malaikat' yang membela 'kesalahannya'?
Omong kosong, justru situasi Dalia malah bertambah buruk jika wanita itu terus berbicara membawa namanya.
"Tidak perlu," ucap Dalia, membuat gerakan Salsa terhenti.
Bola mata bulat Salsa yang polos melirik dingin Dalia sekilas sebelum akhirnya kembali normal. "Kakak? Tidak perlu khawatir, aku akan melindungi kakak seperti biasa. Ayah pasti salah paham lagi sehingga kakak dipang--"
"Aku tidak dipanggil." Sela Dalia, membuat Salsa kembali terdiam bingung.
Raut wajahnya penuh tanda tanya, seolah tidak mengerti dengan tingkah laku Dalia yang mendadak berbeda.
Tetapi Salsa masih tetap tidak peduli, dia bersikap seolah Dalia telah membuat kesalahan besar dan dirinya akan melindungi Dalia sebagai adik yang baik hati. Adik--kakak yang selalu melindungi.
"Tidak perlu khawatir, kak." Salsa terus bergerak maju, sedangkan Dalia berusaha memblokir.
Dia tidak mengerti kenapa Salsa masih memilik wajah untuk maju setelah dirinya beri penjelasan dan penegasan sekaligus.
Sampai tiba-tiba wanita itu mencengkeran erat tangannya, lalu menarik kain lengan hanfu Dalia dan membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah seolah didorong keras.
BUGH!
"Ah!" Pekik Salsa.
"Dalia!"
Suara bentakan yang tegas terdengar, saat melihat sumbernya, pandangan mata Dalia mendingin. Itu kakak laki-laki keduanya, Gibran Ishraq.
"Salam, tuan muda Ishraq."
Dalia sengaja membungkuk, membuat Gibran tertegun.
Pria itu merasa aneh melihat tingkah adiknya berbeda. Biasanya Dalia akan menatapnya dengan tatapan memohon atau berusaha keras mencari perhatiannya.
Tetapi kali ini berbeda, Dalia justru membungkuk dan bersifat formal. Secara tidak langsung rasanya seolah ada tembok besar dingin yang membatasi mereka.
"Berani sekali kamu mendorong adikmu sendiri di kediaman Ayah?!" Gibran membentak keras.
Dalia tetap tenang meskipun hatinya kembali bergejolak. Mau mati berapa kalipun, jika melihat keluarganya sendiri membela orang luar tetap terasa sangat sakit.
"Kakak... Ini salah paham, jangan bentak kak Dalia," ucap Salsa dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Aku akan adukan kamu ke Ayah! Kenapa kamu mendorong saudarimu sendiri?!" Lanjut Gibran, matanya melotot garang.
Dalia tidak menjawab, dia hanya diam menatap kakak laki-lakinya berdiri garang untuk melindungi Salsa.
"Jawab, Dalia!" Gibran kembali bicara, mulai memberi penekanan lebih jelas.
"Jika aku jawab tidak mendorongnya apa kakak akan percaya?" balas Dalia, membuat Gibran melipat keningnya dalam.
"Ada apa ini?" Suara pria yang tak asing terdengar, membuat mereka semua menoleh. Itu Nathan Linggar, mantan tunangan Dalia yang 'dialihkan' ke Salsa.
"Astaga, ada apa dengan tunanganku?" ucap Nathan begitu melihat Salsa dibantu berdiri oleh Gibran.
"Kakak tidak senga--"
"Dalia mendorong Salsa secara sengaja lagi." Sela Gibran saat Salsa hendak mengatakan sesuatu.
"Tidak, kak!" Salsa berseru seolah membela Dalia.
Nathan tampak terkejut, pria itu mendengus marah dan menatap tajam Dalia sebelum akhirnya menghampiri Salsa dan memeluknya erat.
"Kamu baik-baik saja?"
Salsa memasang raut wajah sedih dan mengangguk tipis.
Melihat hal itu, Dalia hanya tersenyum tipis.
"Tuan muda Linggar tidak perlu khawatir, saya akan mengurus ini." ucap Gibran, pria itu berbicara seolah terbiasa adiknya selalu membuat masalah.
Nathan terlihat sangat cemas menatap Salsa, lalu ia melirik tajam lagi ke arah Dalia.
"Aku tahu kamu iri dan menyimpan dendam pada Salsa karena pertunangan kita batal. Tetapi tolong jangan sakiti dia, sakiti saja aku jika kamu marah," ujar Nathan, kalimatnya membuat Dalia mengerutkan keningnya.
Kenapa pria itu sangat percaya diri sekali?
Saat Nathan hendak membawa Salsa pergi, wanita itu tiba-tiba menahan gerakannya.
Salsa kembali menatap Dalia dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf... Kalau aku mengganggu kakak tadi. Aku... Hanya ingin kakak tidak disalah pahami oleh Ayah...."
"Sudah cukup, Salsa. Cepat kembali ke kediamanmu, kakak akan memanggil tabib setelah ini," ujar Gibran, seolah tidak tahan Salsa terus menekan dirinya sendiri di hadapan Dalia.
Dalia tidak merespon apa pun, dia hanya menatap Nathan dan Salsa dengan datar sampai akhirnya mereka benar-benar pergi.
"Kenapa kamu bisa muncul di sini? Apa kamu membuat masalah lagi?!" tanya Gibran setelah hanya tersisa mereka.
"Dasar anak nakal! Kamu bahkan satu tahun lebih tua dari Salsa, tetapi kenapa kamu tidak bisa menjadi sepertinya? Tidak akan ada yang sudi menikahimu jika dirimu seperti ini!" Tambah Gibran, bahkan sebelum Dalia dapat menjawab.
Dalia menatap kakaknya dengan sorot mata dingin.
Gibran yang mulai menyadari ada sesuatu yang benar-benar telah berbeda dari Dalia pun hanya bisa menyimpan kegelisahan di dalam hatinya.
"Saya tidak membuat masalah," ucap Dalia, lalu menundukkan pandangannya lagi.
"Saya kemari untuk menagih sesuatu yang memang seharusnya menjadi milik saya," sambung Dalia, membuat Gibran berdecak mencemooh.
"Menagih sesuatu? Konyol sekali, kamu bahkan tidak pernah menghasilkan apa pun untuk kediaman ini. Kamu tidak membuat prestasi atau melakukan kegiatan bermanfaat, yang hanya kamu tahu hanya membuat masalah," ujar Gibran.
"Tidak seperti Salsa, dia berprestasi dan kini sering mengunjungi Istana untuk bertemu Huanghou. Setidaknya malu lah untuk dirimu sendiri yang belum memiliki apa pun, Dalia," sambung Gibran, matanya menatap rendah adiknya.
Dalia hanya tersenyum tipis. "Benarkah? Kalau begitu itu kabar baik, bukan? Adik kalian Salsa berhasil mengharumkan nama keluarga, kalau begitu fokuslah menyanjungnya, jangan pedulikan saya. Terima kasih banyak atas sarannya, tuan muda kedua."
Gibran semakin kesal mendengar jawaban Dalia, kedua sudut alisnya menyatu. Tetapi dia berusaha menahan emosinya dengan terbatuk pelan.
"Jadi masalah apa yang membawamu kemari, Dalia?" tanya Gibran, kembali ke pertanyaan awalnya.
Dalia mengangkat wajahnya lagi untuk melihat secara langsung wajah kakak keduanya.
Wajah yang pernah sangat ia sayang dan banggakan, tetapi kini menjadi orang yang amat ia benci.
"Mengurus urusan saya," jawab Dalia dingin.
Gibran semakin dibuat kesal karena sikap Dalia yang mendadak dingin. "Kakakmu bertanya serius, Dalia," balas pria itu penuh penekanan.
Dalia balas mengerutkan keningnya, kenapa Gibran peduli sekali dengan urusannya kali ini?
Dulu bahkan saat dirinya kelaparan dan kedinginan, tak ada satupun yang menanyakannya.
Dalia mengalihkan pandangannya dari Gibran, lalu menatapnya lagi dan membungkuk singkat.
"Saya harus segera pergi, masih ada pekerjaan yang perlu saya lakukan."
Melihat sikap dingin Dalia, Gibran mulai merasa muak. Entah kenapa hatinya tidak nyaman melihat Dalia bersikap acuh.
Gibran meraih lengan Dalia dan mencengkeramnya erat, membuat wanita itu mengernyit sakit.
"Lepas--!"
"Kakak sedang bertanya padamu baik-baik, jawablah dengan benar! Sejak kapan sikapmu menjadi angkuh seperti ini?! Memangnya apa yang kau kerjakan selain membuat masalah?! Kamu--!"
"Mencabut rumput!" Potong Dalia, kedua matanya sedikit berkaca-kaca karena perasaan emosional yang tiba-tiba memuncak.
Meskipun dia membenci kakak keduanya, melihat dan bertengkar langsung dengannya membuat hatinya sangat sakit.
"Aku harus mencabut rumput! Menyuci pakaian sendiri! Mencari tanaman liar yang bisa dimakan! Kayu bakar untuk musim dingin! Puas?!" lanjut Dalia, membuat Gibran tertegun.
Gibran perlahan melepaskan cengkeramannya, menatap Dalia sulit.
Dalia mengambil langkah mundur ke belakang, napasnya terengah, air matanya membendung jelas di kedua matanya.
"Kenapa tidak memanggil pelayan untuk--"
"Kakak pikir ada pelayan yang sudi bekerja pada putri yang dibuang sepertiku? Masih memiliki atap untuk berteduh saja saya sangat berterima kasih pada keluarga perdana menteri!" Sela Dalia, menekan kalimat akhirnya.
Gibran mengepalkan kedua tangannya diam-diam, saat dia hendak mengatakan sesuatu, Dalia sudah lebih dulu melangkah melewatinya.
"Dalia! Jangan kurangajar!" Bentak Gibran sambil berbalik mengikuti sosok wanita itu.
Melihat Dalia terus melangkah meninggalkannya, Gibran mendengus. "Anak itu semakin keras kepala! Kedepannya dia hanya akan menjadi beban ayah dan dirimu di masa depan!" Lalu dia melangkah masuk ke ruang kerja perdana menteri, memilih acuh meskipun hatinya diam-diam terasa tidak nyaman.
Sementara Dalia tetap konsisten berjalan cepat meninggalkan kediaman perdana menteri tanpa menoleh.
Dia harus bersabar, setelah semuanya pas dan dia sudah memiliki cukup banyak uang, Dalia akan meninggalkan kediaman perdana menteri.
Meninggalkan rasa sakitnya.
Dalia tetap tenang, sementara Hana sudah menangis ketakutan. "Nona pertama keluarga Ishraq, Dalia Ishraq."Begitu jawabannya terlontar, Faqih dan Bima melirik cepat ke arah adipati Gara."Nona yang ini, yang mulia," bisiknya. Meskipun begitu, adipati Gara tetap menarik keluar pedangnya dan menyodorkannya ke wajah Dalia. "Apa saja yang kamu dengar?"Dalia menunduk, raut wajahnya tak menunjukkan kepanikan sama sekali. Hal ini cukup menarik perhatian mereka. "Huanghou memberikan racun pada orang dalam kediaman perdana menteri untuk Nadine Guifei." Adipati Gara menaikkan alis kirinya sekilas, diam-diam terkejut dengan keberanian Dalia.Wanita lain biasanya akan menangis dan gemetar, lalu memohon agar diampuni. Tetapi tidak dengan Dalia, wanita itu tetap tenang dengan sorot mata dinginnya. "Katakan, kamu ingin dibungkam dengan cara seperti apa?" tanya adipati Gara lagi sambil menempelkan badan tumpul pedangnya yang dingin. "Wangye, tetapi dia--" Saat Bima hendak mengingatkannya, pr
"Nona, gawat! Pakaian yang sempat saya cuci tadi malam kini penuh dengan kotoran! Bahkan beberapa bagiannya terpotong!" Hana melapor dengan napas terengah-engah. Pagi ini saat hendak membantu Dalia menyiapkan diri untuk acara ulang tahun perdana menteri, Hana ingin mengambil pakaian baru yang akan dikenakan Dalia. Tetapi sayang, dia malah mendapati pakaian itu sudah menggenang di genangan air bercampur tanah. Wajah Hana menahan tangis, sepertinya wanita itu kebingungan, marah, dan sedih atas apa yang menimpanya. Acara ulang tahun perdana menteri dilaksanakan pagi menjelang siang, waktu Dalia untuk bersiap pun tidak banyak. Dalia tersenyum tipis dan mengelus kepala Hana. "Lupakan baju itu, aku juga tidak berniat mengenakannya."Hana terlihat keberatan. "Tetapi, nona... Jika Anda datang di acara itu hanya dengan baju sederhana, Anda akan menjadi bahan tertawaan. Perhatian juga pasti hanya jatuh di nona Salsa!"Dalia terkekeh tipis melihat Hana sangat bersemangat membantunya untuk
"Nona, dari mana Anda tahu bahwa racun itu disembunyikan di rumah para pejabat bangsawan?" tanya Hana penasaran, dia jarang melihat nona-nya banyak bicara terlebih di urusan orang asing. Dalia hanya tersenyum tipis. "Karena aku tahu, itu saja."Hana menghela napas tipis, menyadari Dalia enggan memberitahu dia tidak berani bertanya lagi. Kemudian bibir Hana tersenyum lebih dalam. "Tetapi kenapa Anda tidak menjawab saat tuan tadi bertanya? Bukankah jika adipati Gara tahu Anda membantunya maka--""Maka kita tidak akan tahu bencana atau keberuntungan yang akan menunggu." Potong Dalia. Hana menatap Dalia tidak mengerti. "Kenapa bisa tidak beruntung? Adipati Gara memiliki kekuatan besar yang bisa menguntungkan Anda, bukan? Bahkan lebih baik jika dia menikahi Anda."Dalia melirik tajam. "Jika kamu ingin menikah dengannya maka silahkan saja, jangan bawa namaku." Hana mengerucutkan mulutnya. "Aku kan hanya mendoakan hal baik untuk nona. Lagi pula adipati Gara juga belum menikah, tidak ada
Hari ini Dalia diam-diam menyelinap keluar dari kediaman Perdana Menteri untuk menjual tusuk rambut emas pemberian Salsa sebelumnya. Tidak ada alasan untuk menyimpan tusuk rambut tersebut, dia butuh dana untuk memperbaiki kediamannya dan membeli beberapa kebutuhan lain yang tak dilengkapi kediaman. Kepalanya mengenakan topi tudung menjuntai untuk menutup wajahnya, seorang wanita bangsawan tidak diperkenankan untuk memunculkan wajahnya di khalayak rakyat. Sebelum keluar dia sempat meminta Odine untuk menjemur beberapa karung bunga telang agar dapat diolah menjadi teh untuk mengelabui perhatiannya. Dalia juga membeli beberapa bahan makanan, selimut baru, dan beberapa pasang baju. Terakhir kali ia menerima pakaian baru--entahlah, dia sendiri pun lupa. "Nona sepertinya belakangan ini Anda mulai menjauhi Odine, apa aku salah?" tanya Hana tiba-tiba. Dalia melirik sekilas. "Bagaimana denganmu?"Mendengus kasar, Hana meremas belanjaannya. "Bahkan sejak awal melihatnya aku sudah mengatak
Awas! Hati-hati membawa yang itu!" Seru Hana pada pelayan yang sibuk membawa bahan dapur, baju, dan perlengkapan baru pribadi Dalia lainnya. Dalia duduk tenang di halaman depan kediamannya, sementara Odine izin pergi mengurus sesuatu. Dalia yakin wanita itu sekarang tengah mengadu pada Salsa.Sempurna. Dia berhasil. Meskipun beberapa bahan dapur yang dikirim ada yang mendakati masa busuk, tetapi setidaknya jatah uang bulanannya turun dengan utuh. Dalia bisa meminta Hana membelinya secara pribadi nanti. "Nona, bagaimana Anda tahu cara membujuk perdana menteri?" tanya Hana semangat, tergambar jelas di wajahnya bahwa wanita itu senang. Dalia menggeleng pelan. "Aku hanya menyampaikan kebutuhanku." Lalu menyeruput tenang teh hangatnya. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan keluarganya, kini Dalia dapat menikmati waktunya sendiri untuk menjadi tenang. Tetapi tidak tenang seutuhnya, masih terlalu dini untuknya merasa puas. Badai utama yang merenggut nyawanya belum muncul, Dalia
"Kak Dalia?"Suara jernih yang manis langsung menyapanya saat ia baru saja keluar dari ruangan perdana menteri. Jantung Dalia seolah berhenti berdetak, gejolak emosi diam-diam merambat ke puncak. Kedua tangan Dalia mengepal tanpa sadar, sorot matanya lebih dingin berkali-kali lipat. Salsa. "Sedang apa kakak di sini?" tanya Salsa dengan senyum manisnya. Dalia berusaha tetap tenang, bayangan rasa sakit antara hidup dan kematian kembali ia rasakan hanya dengan melihat wanita itu. "Menemui Ayah," jawab Dalia pendek. Kening Salsa terlipat, sorot matanya jelas sedang mencurigai sesuatu dan sekilas melirik Odine tajam. Hingga tak lama ia terlihat menghela napas gusar. "Astaga... Apa kakak diomeli Ayah lagi?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Dalia ikut mengerutkan keningnya. "Apa?"Salsa tiba-tiba melangkah maju hendak melewatinya. "Aku akan bantu bicara dengan Ayah, Ayah pasti salah paham lagi." Dalia dengan cepat merentangkan tangan kirinya, memblokir langkah Dalia. Apa wanita