Share

Bab 4. "Putri Yang Dibuang"

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-07-26 14:19:36

"Kak Dalia?"

Suara jernih yang manis langsung menyapanya saat ia baru saja keluar dari ruangan perdana menteri. 

Jantung Dalia seolah berhenti berdetak, gejolak emosi diam-diam merambat ke puncak. Kedua tangan Dalia mengepal tanpa sadar, sorot matanya lebih dingin berkali-kali lipat. 

Salsa. 

"Sedang apa kakak di sini?" tanya Salsa dengan senyum manisnya. 

Dalia berusaha tetap tenang, bayangan rasa sakit antara hidup dan kematian kembali ia rasakan hanya dengan melihat wanita itu. 

"Menemui Ayah," jawab Dalia pendek. 

Kening Salsa terlipat, sorot matanya jelas sedang mencurigai sesuatu dan sekilas melirik Odine tajam. Hingga tak lama ia terlihat menghela napas gusar. 

"Astaga... Apa kakak diomeli Ayah lagi?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. 

Dalia ikut mengerutkan keningnya. "Apa?"

Salsa tiba-tiba melangkah maju hendak melewatinya. "Aku akan bantu bicara dengan Ayah, Ayah pasti salah paham lagi." 

Dalia dengan cepat merentangkan tangan kirinya, memblokir langkah Dalia. Apa wanita itu ingin bertingkah sebagai 'malaikat' yang membela 'kesalahannya'?

Omong kosong, justru situasi Dalia malah bertambah buruk jika wanita itu terus berbicara membawa namanya. 

"Tidak perlu," ucap Dalia, membuat gerakan Salsa terhenti. 

Bola mata bulat Salsa yang polos melirik dingin Dalia sekilas sebelum akhirnya kembali normal. "Kakak? Tidak perlu khawatir, aku akan melindungi kakak seperti biasa. Ayah pasti salah paham lagi sehingga kakak dipang--"

"Aku tidak dipanggil." Sela Dalia, membuat Salsa kembali terdiam bingung. 

Raut wajahnya penuh tanda tanya, seolah tidak mengerti dengan tingkah laku Dalia yang mendadak berbeda. 

Tetapi Salsa masih tetap tidak peduli, dia bersikap seolah Dalia telah membuat kesalahan besar dan dirinya akan melindungi Dalia sebagai adik yang baik hati. Adik--kakak yang selalu melindungi.

"Tidak perlu khawatir, kak." Salsa terus bergerak maju, sedangkan Dalia berusaha memblokir. 

Dia tidak mengerti kenapa Salsa masih memilik wajah untuk maju setelah dirinya beri penjelasan dan penegasan sekaligus.

Sampai tiba-tiba wanita itu mencengkeran erat tangannya, lalu menarik kain lengan hanfu Dalia dan membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah seolah didorong keras. 

BUGH!

"Ah!" Pekik Salsa. 

"Dalia!" 

Suara bentakan yang tegas terdengar, saat melihat sumbernya, pandangan mata Dalia mendingin. Itu kakak laki-laki keduanya, Gibran Ishraq.

"Salam, tuan muda Ishraq." 

Dalia sengaja membungkuk, membuat Gibran tertegun. 

Pria itu merasa aneh melihat tingkah adiknya berbeda. Biasanya Dalia akan menatapnya dengan tatapan memohon atau berusaha keras mencari perhatiannya. 

Tetapi kali ini berbeda, Dalia justru membungkuk dan bersifat formal. Secara tidak langsung rasanya seolah ada tembok besar dingin yang membatasi mereka. 

"Berani sekali kamu mendorong adikmu sendiri di kediaman Ayah?!" Gibran membentak keras. 

Dalia tetap tenang meskipun hatinya kembali bergejolak. Mau mati berapa kalipun, jika melihat keluarganya sendiri membela orang luar tetap terasa sangat sakit. 

"Kakak... Ini salah paham, jangan bentak kak Dalia," ucap Salsa dengan kedua mata berkaca-kaca. 

"Aku akan adukan kamu ke Ayah! Kenapa kamu mendorong saudarimu sendiri?!" Lanjut Gibran, matanya melotot garang. 

Dalia tidak menjawab, dia hanya diam menatap kakak laki-lakinya berdiri garang untuk melindungi Salsa. 

"Jawab, Dalia!" Gibran kembali bicara, mulai memberi penekanan lebih jelas. 

"Jika aku jawab tidak mendorongnya apa kakak akan percaya?" balas Dalia, membuat Gibran melipat keningnya dalam.

"Ada apa ini?" Suara pria yang tak asing terdengar, membuat mereka semua menoleh. Itu Nathan Linggar, mantan tunangan Dalia yang 'dialihkan' ke Salsa.

"Astaga, ada apa dengan tunanganku?" ucap Nathan begitu melihat Salsa dibantu berdiri oleh Gibran. 

"Kakak tidak senga--"

"Dalia mendorong Salsa secara sengaja lagi." Sela Gibran saat Salsa hendak mengatakan sesuatu. 

"Tidak, kak!" Salsa berseru seolah membela Dalia.

Nathan tampak terkejut, pria itu mendengus marah dan menatap tajam Dalia sebelum akhirnya menghampiri Salsa dan memeluknya erat. 

"Kamu baik-baik saja?" 

Salsa memasang raut wajah sedih dan mengangguk tipis.  

Melihat hal itu, Dalia hanya tersenyum tipis. 

"Tuan muda Linggar tidak perlu khawatir, saya akan mengurus ini." ucap Gibran, pria itu berbicara seolah terbiasa adiknya selalu membuat masalah.

Nathan terlihat sangat cemas menatap Salsa, lalu ia melirik tajam lagi ke arah Dalia. 

"Aku tahu kamu iri dan menyimpan dendam pada Salsa karena pertunangan kita batal. Tetapi tolong jangan sakiti dia, sakiti saja aku jika kamu marah," ujar Nathan, kalimatnya membuat Dalia mengerutkan keningnya. 

Kenapa pria itu sangat percaya diri sekali?

Saat Nathan hendak membawa Salsa pergi, wanita itu tiba-tiba menahan gerakannya.

Salsa kembali menatap Dalia dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf... Kalau aku mengganggu kakak tadi. Aku... Hanya ingin kakak tidak disalah pahami oleh Ayah...."

"Sudah cukup, Salsa. Cepat kembali ke kediamanmu, kakak akan memanggil tabib setelah ini," ujar Gibran, seolah tidak tahan Salsa terus menekan dirinya sendiri di hadapan Dalia. 

Dalia tidak merespon apa pun, dia hanya menatap Nathan dan Salsa dengan datar sampai akhirnya mereka benar-benar pergi. 

"Kenapa kamu bisa muncul di sini? Apa kamu membuat masalah lagi?!" tanya Gibran setelah hanya tersisa mereka.

"Dasar anak nakal! Kamu bahkan satu tahun lebih tua dari Salsa, tetapi kenapa kamu tidak bisa menjadi sepertinya? Tidak akan ada yang sudi menikahimu jika dirimu seperti ini!" Tambah Gibran, bahkan sebelum Dalia dapat menjawab.

Dalia menatap kakaknya dengan sorot mata dingin. 

Gibran yang mulai menyadari ada sesuatu yang benar-benar telah berbeda dari Dalia pun hanya bisa menyimpan kegelisahan di dalam hatinya. 

"Saya tidak membuat masalah," ucap Dalia, lalu menundukkan pandangannya lagi. 

"Saya kemari untuk menagih sesuatu yang memang seharusnya menjadi milik saya," sambung Dalia, membuat Gibran berdecak mencemooh. 

"Menagih sesuatu? Konyol sekali, kamu bahkan tidak pernah menghasilkan apa pun untuk kediaman ini. Kamu tidak membuat prestasi atau melakukan kegiatan bermanfaat, yang hanya kamu tahu hanya membuat masalah," ujar Gibran. 

"Tidak seperti Salsa, dia berprestasi dan kini sering mengunjungi Istana untuk bertemu Huanghou. Setidaknya malu lah untuk dirimu sendiri yang belum memiliki apa pun, Dalia," sambung Gibran, matanya menatap rendah adiknya. 

Dalia hanya tersenyum tipis. "Benarkah? Kalau begitu itu kabar baik, bukan? Adik kalian Salsa berhasil mengharumkan nama keluarga, kalau begitu fokuslah menyanjungnya, jangan pedulikan saya. Terima kasih banyak atas sarannya, tuan muda kedua." 

Gibran semakin kesal mendengar jawaban Dalia, kedua sudut alisnya menyatu. Tetapi dia berusaha menahan emosinya dengan terbatuk pelan.

"Jadi masalah apa yang membawamu kemari, Dalia?" tanya Gibran, kembali ke pertanyaan awalnya. 

Dalia mengangkat wajahnya lagi untuk melihat secara langsung wajah kakak keduanya.

Wajah yang pernah sangat ia sayang dan banggakan, tetapi kini menjadi orang yang amat ia benci. 

"Mengurus urusan saya," jawab Dalia dingin. 

Gibran semakin dibuat kesal karena sikap Dalia yang mendadak dingin. "Kakakmu bertanya serius, Dalia," balas pria itu penuh penekanan. 

Dalia balas mengerutkan keningnya, kenapa Gibran peduli sekali dengan urusannya kali ini? 

Dulu bahkan saat dirinya kelaparan dan kedinginan, tak ada satupun yang menanyakannya. 

Dalia mengalihkan pandangannya dari Gibran, lalu menatapnya lagi dan membungkuk singkat. 

"Saya harus segera pergi, masih ada pekerjaan yang perlu saya lakukan." 

Melihat sikap dingin Dalia, Gibran mulai merasa muak. Entah kenapa hatinya tidak nyaman melihat Dalia bersikap acuh. 

Gibran meraih lengan Dalia dan mencengkeramnya erat, membuat wanita itu mengernyit sakit. 

"Lepas--!"

"Kakak sedang bertanya padamu baik-baik, jawablah dengan benar! Sejak kapan sikapmu menjadi angkuh seperti ini?! Memangnya apa yang kau kerjakan selain membuat masalah?! Kamu--!"

"Mencabut rumput!" Potong Dalia, kedua matanya sedikit berkaca-kaca karena perasaan emosional yang tiba-tiba memuncak. 

Meskipun dia membenci kakak keduanya, melihat dan bertengkar langsung dengannya membuat hatinya sangat sakit. 

"Aku harus mencabut rumput! Menyuci pakaian sendiri! Mencari tanaman liar yang bisa dimakan! Kayu bakar untuk musim dingin! Puas?!" lanjut Dalia, membuat Gibran tertegun. 

Gibran perlahan melepaskan cengkeramannya, menatap Dalia sulit. 

Dalia mengambil langkah mundur ke belakang, napasnya terengah, air matanya membendung jelas di kedua matanya. 

"Kenapa tidak memanggil pelayan untuk--"

"Kakak pikir ada pelayan yang sudi bekerja pada putri yang dibuang sepertiku? Masih memiliki atap untuk berteduh saja saya sangat berterima kasih pada keluarga perdana menteri!" Sela Dalia, menekan kalimat akhirnya. 

Gibran mengepalkan kedua tangannya diam-diam, saat dia hendak mengatakan sesuatu, Dalia sudah lebih dulu melangkah melewatinya. 

"Dalia! Jangan kurangajar!" Bentak Gibran sambil berbalik mengikuti sosok wanita itu. 

Melihat Dalia terus melangkah meninggalkannya, Gibran mendengus. "Anak itu semakin keras kepala! Kedepannya dia hanya akan menjadi beban ayah dan dirimu di masa depan!" Lalu dia melangkah masuk ke ruang kerja perdana menteri, memilih acuh meskipun hatinya diam-diam terasa tidak nyaman.

Sementara Dalia tetap konsisten berjalan cepat meninggalkan kediaman perdana menteri tanpa menoleh. 

Dia harus bersabar, setelah semuanya pas dan dia sudah memiliki cukup banyak uang, Dalia akan meninggalkan kediaman perdana menteri. 

Meninggalkan rasa sakitnya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lily Dutch
Gibran nih kakak gak guna ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 204. Janji Di Bawah Langit Senja

    Kereta Dalia bergerak perlahan di sepanjang jalan berbatu yang membelah taman istana. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, awan tipis berarak lembut seperti kapas terbakar mentari. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara gemerincing lonceng kecil di leher kuda terdengar ritmis, menenangkan.Dalia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Setelah seharian penuh berbicara dengan Dara mengenai urusan keluarga kekaisaran dan rencana perayaan besar yang akan digelar dua hari lagi, hatinya terasa lebih ringan. Dara, dengan segala ketegasannya sebagai Ibu Suri, tetaplah Dara yang dikenalnya—hangat, penuh canda, namun diam-diam membawa beban besar sebagai penjaga kestabilan kekuasaan Timur.Dalia tersenyum kecil. “Dara... siapa sangka kau akan sejauh ini,” gumamnya pelan.Namun pikirannya tak lama diam. Saat kereta berbelok ke arah jalan utama menuju kediamannya, Hana, pelayan muda yang duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh.“Nona, se

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 203. Nada Kecapi dan Tatapan Kaisar

    Suara pintu besar berlapis emas itu berderak berat, mengeluarkan gema panjang di seluruh aula megah yang berhiaskan ukiran naga dan phoenix di pilar-pilarnya. Dua penjaga yang mengenakan zirah hitam berukir merah membungkuk dalam saat sosok pria berwajah teduh dan berpenampilan elegan melangkah masuk. Cahya Sudiro. Tuan muda keluarga bangsawan pedagang paling berpengaruh.Langkah kakinya mantap, berirama lembut, namun setiap langkah mengandung rasa percaya diri yang tajam seperti pedang terasah. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah singgasana naga emas di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria dengan aura yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya seakan menegang.Gara Abimayu. Kaisar Timur.Pria yang dulu hanya dikenal Cahya sebagai saingan dalam urusan hati, kini duduk di takhta tertinggi kekuasaan.Cahya berhenti di jarak tiga meter dari singgasana, menunduk sopan dengan sedikit senyum basa-basi di bibirnya.“Bawahan kecil ini menyapa Yang Mulia Kaisar,” ujarnya dengan su

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 202. Bayangan Yang Kembali Menantang

    Suara tawa Dara tiba-tiba pecah memenuhi ruangan. Suara itu bergema ringan, tetapi cukup membuat Cahya tersadar dari keterkejutannya yang belum reda sejak tadi. Ia masih menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tidak percaya, seolah otaknya belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dulu sering meminjam uang darinya untuk membeli permen kini duduk di atas kursi emas berukir phoenix sebagai seorang Ibu Suri Kekaisaran Timur.“Dara Maneer…” gumam Cahya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang. “Jangan bilang… ini semua sungguhan?”Dara mengangkat dagunya anggun, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?”“Ya, sebenarnya iya,” sahut Cahya cepat, nada suaranya masih dipenuhi nada tidak percaya. “Karena tidak mungkin aku baru pulang sebentar dan dunia tiba-tiba jungkir balik seperti ini.”Dara menautkan kedua

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 201. Bayangan Masa Lalu Di Istana

    Dalia menyingkap sepenuhnya tirai jendela keretanya. Udara ibu kota sore itu lembut dan sejuk, langit biru memantulkan warna keemasan yang lembut dari matahari yang mulai turun ke barat. Di antara lalu lintas kuda dan pedagang yang bersliweran, mata Dalia tertuju pada sosok yang berdiri tegak di samping kereta yang menabraknya. Senyumnya merekah—senyum yang jarang muncul belakangan ini.“Cahya,” ucapnya pelan, seperti mengulang sebuah nama dari masa silam.Pria itu menundukkan kepala sedikit, membalas senyum lembut Dalia dengan keteduhan yang selalu ia miliki sejak dulu. “Lama tidak bertemu, Dalia. Kau masih sama seperti dulu. Anggun, tapi tetap menatap orang dengan tatapan yang membuat jantung berhenti sepersekian detik.”Dalia terkekeh kecil, “Kau tidak berubah. Masih suka berbicara dengan kata-kata yang terlalu manis untuk seorang pedagang.”Cahya menaikkan bahunya sambil menahan senyum, “Aku belajar berbicara sepe

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 200. Cahya Kembali

    Langit Ibu Kota pagi itu berwarna keperakan, burung-burung beterbangan rendah di atas atap-atap istana, dan udara yang lembap membawa aroma dupa bercampur dedaunan yang baru tersiram embun. Satu minggu telah berlalu sejak Dalia kembali dari medan perang bersama pasukan Timur. Namun suasana Ibu Kota belum sepenuhnya tenang—bukan karena peperangan lagi, melainkan karena kesibukan yang luar biasa.Di sepanjang jalan utama, para pejabat tinggi berlalu-lalang dengan tergesa, menghadap ke istana Kaisar untuk membahas penyatuan Timur dan Barat yang kini resmi menjadi satu kekaisaran besar. Bendera berwarna biru tua dan putih, lambang perdamaian baru, berkibar megah di setiap tiang gerbang.Dan yang paling menarik perhatian rakyat adalah pemandangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—orang-orang berambut hitam khas Timur kini berjalan berdampingan dengan mereka yang berambut putih pucat, para Albino dari Barat. Dua warna yang dulu menjadi alasan perpecahan, kini berdiri bersama dal

  • Kehidupan Kedua: Nona Ingin Menuntut Balas!   Bab 199. Restu Sempurna Di Gerbang Kota

    Keramaian di depan gerbang ibu kota mendadak terdiam, seolah angin pun berhenti berembus saat suara lantang kasim terdengar menggema.“Yang Mulia Ibu Suri Agung datang!”Semua kepala serentak menunduk, lutut-lutut membentur tanah, hanya dua orang yang tetap berdiri tegak — Gara dan Dara. Sorot mata mereka sama-sama terarah pada sosok yang perlahan muncul di bawah bayang bendera kekaisaran. Dari balik tandu megah berhias ukiran naga emas, seorang wanita berusia lanjut turun dengan langkah perlahan tapi tegas. Di sekitarnya, para pelayan berbaris rapat, wajah mereka menunduk khidmat.Ibu Suri Endah — sekarang bergelar Ibu Suri Agung, ibu kandung Gara — muncul dengan kebesaran yang membuat seluruh ibu kota terdiam. Hanfunya berwarna merah marun tua berlapis benang emas, disulam dengan motif burung hong yang melambangkan keagungan dan perlindungan kerajaan. Namun di balik sorot mata yang tegas dan langkah berwibawa itu, terselip sesuatu yang lebih lembut — kelegaan dan cinta seorang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status