Masuk"Tuan, nona pertama... Ingin menemui Anda."
Bawahan perdana menteri berbisik ragu menyampaikan kehadiran Dalia.
Mendengar putri sulungnya datang, kening perdana menteri yang keriput pun terlipat.
Jarang sekali putrinya keluar dari kediaman pribadinya atau bahkan mengunjunginya.
Ada masalah baru apa yang sebenarnya terjadi?
Terakhir kali putri sulungnya keluar kediaman untuk membuat masalah, dia mendapat laporan bahwa Dalia telah mendorong Salsa hingga jatuh dari tangga.
Mendengus tipis, pandangan mata perdana menteri mendingin dari biasanya. Jika Dalia kembali membuat masalah pada Salsa, sebagai Ayah, perdana menteri akan 'mendidik' Dalia lebih keras dari sebelumnya.
"Suruh dia masuk," jawab perdana menteri dingin.
Tak lama pintu terbuka, angin dari luar pun berhembus masuk.
Sosok Dalia melangkah anggun dengan kepala terangkat, tatapannya teduh dan dingin.
Perdana menteri yang merasakan aura yang berbeda dari putri sulungnya pun mengerutkan kening lebih dalam.
Biasanya Dalia akan menunduk saat bertemu dengannya, membuat perdana menteri enggan terus menerus berinteraksi dengannya.
"Dalia memberi salam pada ayah," ucap Dalia, dengan berat hati menyebut pria di depannya ayah.
"Tuan." Suara Odine terdengar, mengalihkan perhatian perdana menteri.
Dalia tersenyum samar, dia baru menyadari bahwa Odine sangat berani agresif.
"Ada apa ini?" tanya perdana menteri datar, wajahnya seolah siap memarahi Dalia karena yakin putri sulungnya berulah lagi.
Belum sempat Dalia bicara, Odine sudah lebih dulu membuka mulutnya.
"Ini kelalaian saya, saya tidak melayani nona dengan baik sehingga mengganggu ketenangan perdana menteri. Mohon tuan jangan menghukum nona."
Odine tiba-tiba berlutut, membuat Hana yang berdiri di sebelahnya terkejut dan mau tidak mau ikut berlutut.
Dalia tersenyum samar dengan dingin. Dia ingat, Odine selalu memohon untuk dirinya. Meskipun permohonannya terkesan peduli, tetapi permohonan itu lah yang justru membuat situasi Dalia bertambah buruk.
Dalia menoleh ke arah Odine sekilas, lalu sedikit menundukkan kepalanya menghadap perdana menteri lagi.
"Ini tidak ada kaitannya dengan apa yang dikatakan pelayan pribadi saya, Ayah," ucap Dalia. Kali ini diam-diam perdana menteri merasakan sesuatu yang berbeda dari putrinya.
"Langsung ke intinya, jangan membuang-buang waktuku, Dalia. Berhentilah membuat masalah," ujar perdana menteri tajam, mengancam lebih dulu tanpa mendengarkan penjelasan Dalia.
Dalia tetap tenang, dia sudah terbiasa dengan penekanan seperti ini dari ayahnya. Hatinya sudah mati sekarang. Dia tidak lagi berharap ayah dan dua kakaknya menolongnya.
Dalia kembali mengangkat kepalanya untuk menatap lurus perdana menteri. "Saya pikir adik perempuan sangat sibuk sehingga lupa mengirim persediaan makanan, pakaian baru, dan jatah uang bulanan saya. Sudah satu minggu juga tidak ada pelayan yang datang untuk membersihkan kediaman saya." Dalia memberi jeda sebentar.
Perdana menteri tertegun mendengarnya, sudah dia duga, ayahnya tak tahu menahu tentang tingkah Salsa.
Tetapi tindakan acuh mereka yang lebih mempercayai orang asing daripada keluarga satu darahnya sendiri sampai mati tetap tidak bisa dimaafkan.
"Menurut ayah, apa saya perlu mencabut rumput dan menyikat lantai sendiri?" sambung Dalia, lalu melirik Odine yang sudah memasang raut wajah gelisah.
Perdana menteri menatap Dalia tidak percaya, lalu lebih memilih melirik Hana dan Odine. "Apa itu benar?"
Kali ini belum sempat Odine bicara, Dalia sudah lebih dulu membalas.
"Jika ayah tidak percaya, ayah bisa mengutus pelayan kepercayaan ayah untuk memeriksa kediaman pribadi ku."
Kalimat mantap dari Dalia cukup membuat perdana menteri menatap putrinya bingung. Pria itu percaya tidak percaya dengan Dalia.
Tak lama suara Odine yang menahan tangis terdengar, wanita itu kini bahkan menempelkan dahinya di lantai.
Hatinya luar biasa cemas, jika dia tidak bisa mencegah Dalia 'memberontak', maka Salsa akan menghukumnya habis-habisan.
"Tuan, mohon maafkan nona kami. Nona tidak bermaksud menyinggung tuan dan nona kedua, ini adalah kelalaian saya dalam mengurus nona, sehingga nona selalu merasa kekurangan."
Dalia menaikkan alis kirinya sekilas, selalu merasa kekurangan?
Odine ini... Nyalinya sangat besar.
Mendengar kalimat Odine yang memohon sambil menangis untuk putri sulungnya, hati perdana menteri tersentuh.
Segera matanya melirik Dalia tajam. "Dasar anak manja! Harus diberikan berapa agar kamu puas? Tidak bisakah kamu dewasa dan berhenti membuat pelayanmu repot?!"
Dalia mengepalkan kedua tangannya, matanya berangsur mendingin.
"Apa sebelumnya saya pernah mengeluh seperti ini pada, Ayah?" balas Dalia dengan nada yang sedikit tercampur emosional, lalu ia melirik Odine.
"Aku sedang bicara dengan perdana menteri, siapa yang mengizinkanmu menyela terus menerus?"
Odine terdiam, dia tidak bisa membalas lagi. Kedua sudut alisnya menyatu hebat selagi kepalanya masih terus menunduk ke lantai.
Sejak kapan kendalinya pada Dalia menjadi kacau?!
Mendengar Dalia bertanya demikian padanya, perdana menteri pun ikut terdiam.
Benar, putri sulungnya sudah lama sekali, bahkan bertahun-tahun tak pernah mengajukan keluhan atau permintaan apa pun.
"Kenapa tidak membicarakan masalah ini pada Salsa adikmu? Dia yang mengurus kediaman ini," tanya perdana menteri.
Dalia menggeleng pelan. "Jika bisa apakah saya masih berani mengganggu Ayah?"
Perdana menteri terdiam lagi, namun kini keningnya sedikit terlipat. "Salsa tidak mungkin mengabaikan saudarinya, kamu--"
Dalia memotong. "Saya juga berpikir demikian, Ayah." Bibirnya mulai tersenyum tipis, menampilkan sosok tenang yang anggun.
"Adik Salsa akhir-akhir ini sangat sibuk menyiapkan acara spesial untuk Ayah, oleh karena itu saya memilih untuk menemui Ayah secara langsung. Lupa akan satu dua hal bukanlah masalah, saya juga tidak mengatakan adik Salsa tidak peduli pada saya. Justru sebaliknya, Salsa sangat peduli dan mengurus kediaman sangat baik bertahun-tahun. Saya pun demikian, karena sangat peduli dengannya jadi enggan untuk menambah bebannya dengan keluhan kekanakan ini."
Raut wajah perdana menteri perlahan berubah lebih baik, namun masih menyimpan sedikit keraguan di hatinya.
"Ya, Ayah akan mengaturnya untukmu setelah ini," jawab perdana menteri, membuat senyum Dalia semakin jelas.
Meskipun hatinya penuh kebencian dan bahkan tak sudi tersenyum di depan keluarganya sendiri, tetapi sekarang bukan waktunya ia mengedepankan dendam.
Dalia menunduk lagi. "Terima kasih, Ayah." Lalu ia menatap perdana menteri lagi. "Apakah... Ayah masih bersedia mengabulkan satu permintaanku lagi?"
Perdana menteri menghela napas tipis, dia sudah menduga Dalia bersikap lebih patuh dan tenang karena ada maunya. Entah permintaan kekanakan apa lagi yang akan dia lontarkan.
"Apa?" jawab perdana menteri singkat.
"Apa aku boleh menanam bunga mawar putih di sekitar kediamanku?" ujar Dalia, membuat perdana menteri menaikkan alis kirinya.
Bunga mawar putih adalah kesukaan mendiang istrinya, sudah lama sekali perdana menteri tidak mendengar bunga itu disebutkan.
Odine yang tidak mengetahui hal tersebut hanya diam-diam mengerutkan keningnya bingung, posisi berlututnya masih belum berubah.
Melihat raut wajah perdana menteri yang sedikit bingung pun, Dalia kembali bicara.
"Belakangan ini saya sangat merindukan ibu, jadi... Saya ingin mengekspresikan perasaan rindu saya dengan menanam bunga kesukaan mendiang ibu. Apakah... Ayah akan mengizinkanku?" ujar Dalia, matanya sedikit berkaca-kaca saat mengatakan ini.
Perdana menteri yang memang sangat setia pada istrinya pun ikut tersentuh, kepalanya mengangguk tanpa berpikir dua kali.
"Tentu, Ayah akan mengatur pelayan untuk membantumu menanam mawar putih."
Dalia tersenyum tipis, bagus. Dia berhasil menyentuh hati perdana menteri, kedepannya akan lebih mudah 'mengendalikan' perdana menteri melalui perasaan emosionalnya.
"Kalau begitu Dalia pamit undur diri, maaf telah mengganggu waktu sibuk Ayah. Dan..." Mata Dalia melirik Odine yang masih berlutut. "Maaf juga atas sikap tak sopan pelayan saya, saya akan mendidiknya lebih baik."
Perdana menteri diam-diam kembali tertegun, melihat Dalia yang tersenyum dan tenang seperti ini membuatnya tidak bisa tidak memikirkan mendiang istrinya.
Sementara Odine menggigit bibir dalamnya, lalu ia perlahan berdiri dan menatap sulit ke arah Dalia.
Dalia tidak peduli, wanita itu segera membungkuk ke arah perdana menteri dan pamit undur diri sebelum Odine kembali bicara.
Kereta Dalia bergerak perlahan di sepanjang jalan berbatu yang membelah taman istana. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, awan tipis berarak lembut seperti kapas terbakar mentari. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara gemerincing lonceng kecil di leher kuda terdengar ritmis, menenangkan.Dalia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Setelah seharian penuh berbicara dengan Dara mengenai urusan keluarga kekaisaran dan rencana perayaan besar yang akan digelar dua hari lagi, hatinya terasa lebih ringan. Dara, dengan segala ketegasannya sebagai Ibu Suri, tetaplah Dara yang dikenalnya—hangat, penuh canda, namun diam-diam membawa beban besar sebagai penjaga kestabilan kekuasaan Timur.Dalia tersenyum kecil. “Dara... siapa sangka kau akan sejauh ini,” gumamnya pelan.Namun pikirannya tak lama diam. Saat kereta berbelok ke arah jalan utama menuju kediamannya, Hana, pelayan muda yang duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh.“Nona, se
Suara pintu besar berlapis emas itu berderak berat, mengeluarkan gema panjang di seluruh aula megah yang berhiaskan ukiran naga dan phoenix di pilar-pilarnya. Dua penjaga yang mengenakan zirah hitam berukir merah membungkuk dalam saat sosok pria berwajah teduh dan berpenampilan elegan melangkah masuk. Cahya Sudiro. Tuan muda keluarga bangsawan pedagang paling berpengaruh.Langkah kakinya mantap, berirama lembut, namun setiap langkah mengandung rasa percaya diri yang tajam seperti pedang terasah. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah singgasana naga emas di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria dengan aura yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya seakan menegang.Gara Abimayu. Kaisar Timur.Pria yang dulu hanya dikenal Cahya sebagai saingan dalam urusan hati, kini duduk di takhta tertinggi kekuasaan.Cahya berhenti di jarak tiga meter dari singgasana, menunduk sopan dengan sedikit senyum basa-basi di bibirnya.“Bawahan kecil ini menyapa Yang Mulia Kaisar,” ujarnya dengan su
Suara tawa Dara tiba-tiba pecah memenuhi ruangan. Suara itu bergema ringan, tetapi cukup membuat Cahya tersadar dari keterkejutannya yang belum reda sejak tadi. Ia masih menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tidak percaya, seolah otaknya belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dulu sering meminjam uang darinya untuk membeli permen kini duduk di atas kursi emas berukir phoenix sebagai seorang Ibu Suri Kekaisaran Timur.“Dara Maneer…” gumam Cahya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang. “Jangan bilang… ini semua sungguhan?”Dara mengangkat dagunya anggun, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?”“Ya, sebenarnya iya,” sahut Cahya cepat, nada suaranya masih dipenuhi nada tidak percaya. “Karena tidak mungkin aku baru pulang sebentar dan dunia tiba-tiba jungkir balik seperti ini.”Dara menautkan kedua
Dalia menyingkap sepenuhnya tirai jendela keretanya. Udara ibu kota sore itu lembut dan sejuk, langit biru memantulkan warna keemasan yang lembut dari matahari yang mulai turun ke barat. Di antara lalu lintas kuda dan pedagang yang bersliweran, mata Dalia tertuju pada sosok yang berdiri tegak di samping kereta yang menabraknya. Senyumnya merekah—senyum yang jarang muncul belakangan ini.“Cahya,” ucapnya pelan, seperti mengulang sebuah nama dari masa silam.Pria itu menundukkan kepala sedikit, membalas senyum lembut Dalia dengan keteduhan yang selalu ia miliki sejak dulu. “Lama tidak bertemu, Dalia. Kau masih sama seperti dulu. Anggun, tapi tetap menatap orang dengan tatapan yang membuat jantung berhenti sepersekian detik.”Dalia terkekeh kecil, “Kau tidak berubah. Masih suka berbicara dengan kata-kata yang terlalu manis untuk seorang pedagang.”Cahya menaikkan bahunya sambil menahan senyum, “Aku belajar berbicara sepe
Langit Ibu Kota pagi itu berwarna keperakan, burung-burung beterbangan rendah di atas atap-atap istana, dan udara yang lembap membawa aroma dupa bercampur dedaunan yang baru tersiram embun. Satu minggu telah berlalu sejak Dalia kembali dari medan perang bersama pasukan Timur. Namun suasana Ibu Kota belum sepenuhnya tenang—bukan karena peperangan lagi, melainkan karena kesibukan yang luar biasa.Di sepanjang jalan utama, para pejabat tinggi berlalu-lalang dengan tergesa, menghadap ke istana Kaisar untuk membahas penyatuan Timur dan Barat yang kini resmi menjadi satu kekaisaran besar. Bendera berwarna biru tua dan putih, lambang perdamaian baru, berkibar megah di setiap tiang gerbang.Dan yang paling menarik perhatian rakyat adalah pemandangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—orang-orang berambut hitam khas Timur kini berjalan berdampingan dengan mereka yang berambut putih pucat, para Albino dari Barat. Dua warna yang dulu menjadi alasan perpecahan, kini berdiri bersama dal
Keramaian di depan gerbang ibu kota mendadak terdiam, seolah angin pun berhenti berembus saat suara lantang kasim terdengar menggema.“Yang Mulia Ibu Suri Agung datang!”Semua kepala serentak menunduk, lutut-lutut membentur tanah, hanya dua orang yang tetap berdiri tegak — Gara dan Dara. Sorot mata mereka sama-sama terarah pada sosok yang perlahan muncul di bawah bayang bendera kekaisaran. Dari balik tandu megah berhias ukiran naga emas, seorang wanita berusia lanjut turun dengan langkah perlahan tapi tegas. Di sekitarnya, para pelayan berbaris rapat, wajah mereka menunduk khidmat.Ibu Suri Endah — sekarang bergelar Ibu Suri Agung, ibu kandung Gara — muncul dengan kebesaran yang membuat seluruh ibu kota terdiam. Hanfunya berwarna merah marun tua berlapis benang emas, disulam dengan motif burung hong yang melambangkan keagungan dan perlindungan kerajaan. Namun di balik sorot mata yang tegas dan langkah berwibawa itu, terselip sesuatu yang lebih lembut — kelegaan dan cinta seorang