LOGINAwas! Hati-hati membawa yang itu!" Seru Hana pada pelayan yang sibuk membawa bahan dapur, baju, dan perlengkapan baru pribadi Dalia lainnya.
Dalia duduk tenang di halaman depan kediamannya, sementara Odine izin pergi mengurus sesuatu. Dalia yakin wanita itu sekarang tengah mengadu pada Salsa. Sempurna. Dia berhasil. Meskipun beberapa bahan dapur yang dikirim ada yang mendakati masa busuk, tetapi setidaknya jatah uang bulanannya turun dengan utuh. Dalia bisa meminta Hana membelinya secara pribadi nanti. "Nona, bagaimana Anda tahu cara membujuk perdana menteri?" tanya Hana semangat, tergambar jelas di wajahnya bahwa wanita itu senang. Dalia menggeleng pelan. "Aku hanya menyampaikan kebutuhanku." Lalu menyeruput tenang teh hangatnya. Setelah sebelumnya sempat bersitegang dengan keluarganya, kini Dalia dapat menikmati waktunya sendiri untuk menjadi tenang. Tetapi tidak tenang seutuhnya, masih terlalu dini untuknya merasa puas. Badai utama yang merenggut nyawanya belum muncul, Dalia masih harus bersiap untuk minggu depan, ulang tahun perdana menteri. Di tengah ketenangannya, tiba-tiba pelayan wanita asing muncul membawa nampan berisi dua kotak tertutup. Dalia hanya melirik singkat, sementara Hana segera menghapus raut wajah ramahnya dan menggantinya dengan penuh kewaspadaan. Dia maju selangkah untuk menahan pelayan tak dikenal itu mendekati Dalia. "Minggir," ucap pelayan itu dengan arogan. Hana tak bergeming dari posisinya, wajah manisnya berubah galak. "Apa matamu buta? Nona pertama sedang beristirahat." Pelayan yang membawa itu tampaknya terkejut karena Hana berani membalasnya, lalu bibirnya dengan cepat tersenyum dingin. "Kondisi seperti ini masih menyebutnya 'nona pertama'? Jangan kurangajar! Aku kiriman nona kedua!" "Maksudmu putri selir itu? Dia bahkan tidak menyandang marga keluarga perdana menteri, dengan kondisi seperti itu masih mau menyebutnya 'nona kedua'?" Dalia diam-diam tersenyum tipis mendengar Hana membalas dengan lincah, kenapa dia tidak pernah mengetahui bakat Hana yang satu ini? Seandainya sejak awal Dalia tegas dan berani, Hana pasti tidak akan berakhir tragis bersama dirinya di kehidupan sebelumnya. Tersulut emosi karena kalimat tajam Hana, pelayan itu pun mulai melotot galak. "Kau--!" "Alih-alih memberi salam padaku, kamu justru mendebati pelayan pribadiku?" Sela Dalia tenang, membuat kalimat pelayan asing itu tertahan. Hana menoleh dan kembali ke sebelah Dalia, matanya menatap sinis pelayan asing itu. Pelayan asing itu tampak terkejut karena Dalia tiba-tiba menegurnya, raut wajahnya terlihat takut namun dia masih tetap keras dengan statusnya sebagai utusan Salsa. "Pelayan Anda lah yang menghalangi saya, nona. Saya--" "Siapa yang mengizinkanmu bicara dengan kepala tegak padaku?" Potong Dalia lagi. Pelayan asing itu mencengkeram nampan di tangannya, kenapa nona pertama Ishraq yang selalu penurut terasa sangat mendominasi sekarang? Melihat pelayan itu terdiam karena bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah, Dalia beralih melirik Hana. "Buka kotaknya." Hana mengangguk patuh, lalu mendekati pelayan asing itu lagi dan mengambil alih nampannya sambil mendengus. Setelah dibuka, kotak pertama berisi tusuk rambut emas bunga pulm, sedangkan kotak kedua adalah kue kacang. Dalia meraih kotak yang berisi kue kacang, lalu membuangnya ke tanah di depan pelayan asing itu langsung. Pelayan itu terkejut dan mulai membentak. "Lancang! Itu pemberian nona kedua! Berani sekali kamu!" BUGH! Dalia kini melempar kotak kue kacang itu ke kaki sang pelayan, membuatnya terjatuh dan berlutut di tanah menghadap dirinya. "Pertama, seluruh keluarga di sini tahu bahwa aku alergi kacang, lalu nona mu memberiku barang ini? Kedua, kamu berteriak saat bicara padaku. Katakan, kini siapa yang lancang?" Pelayan itu terdiam, raut wajahnya kini memerah karena malu dan marah. Dia tidak menyangka Dalia Ishraq tiba-tiba menjadi gila dan menekan semua orang. Apa yang membuatnya mendadak berubah drastis seperti ini?! "Sampaikan terima kasihku pada nona mu atas tusuk rambut ini, lupakan kue kacang ini, mungkin adik perempuanku lupa," ujar Dalia. Pelayan asing itu hanya diam dan menunduk, membuat Hana yang melihatnya segera bicara. "Kau tidak dengar? Nona pertama menyuruhmu pergi! Cepat berdiri!" Pelayan asing itu segera berdiri, kakinya terlihat jelas gemetar. Dalia tersenyum tipis, lalu melirik kue kacang yang dia buang ke tanah. Salsa, wanita itu ingin menguji dirinya? Sepertinya dia sudah mendengar kabar dari para pelayan bahwa Dalia Ishraq mulai 'memberontak'. Sebelumnya Salsa memang sering mengiriminya kue kacang, tetapi Dalia tak pernah menolak atau berkomentar apa pun karena tidak mau ambil pusing dan menganggap mungkin wanita itu tidak tahu. Tetapi melihat kejadian hari ini, Dalia tersadar. Kue kacang itu sepertinya sebagai bentuk 'pemeriksaan' Salsa, apakah dirinya masih menurut atau tidak. Mustahil Salsa tidak tahu dirinya alergi kacang, sejak awal dia masuk ke kediaman perdana menteri, pelayan senior yang mengajarkan seluk beluk kediaman ini padanya pasti sudah turut menjelaskan. Sementara itu di tengah taman penuh bunga, wanita dengan raut wajah manis yang polos tengah memotong duri-duri bunga mawar merah yang baru saja dia ambil. Tak lama pelayan pribadinya mendekat dan berbisik. "Nona kedua, nona pertama membuang kue kacangnya ke tanah. Dia bahkan menekan pelayan utusan Anda." Mendengar informasi dari pelayan pribadi, gerakan menggunting duri Salsa terhenti. Sorot mata polosnya berubah tajam, lalu dia tersenyum dingin. "Apa yang membuatnya berubah hari ini?" Odine yang sudah berlutut ketakutan di tanah menggeleng. "Tidak ada yang tahu, nona. Saya bahkan tak diberikan celah sedikitpun untuk mengendalikan situasi di ruangan perdana menteri." "Konyol, angsa cacat sepertinya tidak berhak mengangkat kepala di hadapanku," balas Salsa, lalu melirik Odine lagi. "Lalu?" "Baju baru yang seharusnya tak ia dapatkan di ulang tahun perdana menteri kini... Sedang dikirim ke kediamannya. Nona, kita tidak boleh membiarkannya mengambil perhatian orang-orang!" jawab Odine lagi. Salsa tersenyum tipis, lalu menatap batang bunga mawar merahnya lagi yang masih memiliki banyak duri. "Tidak akan ada yang bisa tampil lebih mencolok dariku, bahkan Nadine Guifei. Kaisar hanya akan memperhatikan ku nanti," ucap Salsa dengan nada yang manis. Tak lama setelahnya sorot matanya mendadak dingin. "Beri pelajaran wanita itu, kasih peringatan padanya agar dia ingat siapa yang akan dia lawan jika berani membangkang." "Baik, nona." Odine tersenyum samar dan mengangguk patuh, dia bersyukur Salsa menyadari Dalia memang mulai sulit diatur, sehingga dirinya tidak dihukum. Salsa tersenyum puas, tangan kanannya meraih gunting lagi dan memotong langsung batang mawar. Memisahkan batang dan kelopak bunganya. "Dalia Ishraq," gumamnya, lalu memberi jeda sejenak. "Memangnya kenapa kalau dia memiliki marga Ishraq? Aku akan menginjaknya seperti kotoran!" lanjutnya, lalu melempar batang penuh duri itu ke tanah.Kereta Dalia bergerak perlahan di sepanjang jalan berbatu yang membelah taman istana. Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, awan tipis berarak lembut seperti kapas terbakar mentari. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan suara gemerincing lonceng kecil di leher kuda terdengar ritmis, menenangkan.Dalia menyingkap sedikit tirai jendela kereta, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Setelah seharian penuh berbicara dengan Dara mengenai urusan keluarga kekaisaran dan rencana perayaan besar yang akan digelar dua hari lagi, hatinya terasa lebih ringan. Dara, dengan segala ketegasannya sebagai Ibu Suri, tetaplah Dara yang dikenalnya—hangat, penuh canda, namun diam-diam membawa beban besar sebagai penjaga kestabilan kekuasaan Timur.Dalia tersenyum kecil. “Dara... siapa sangka kau akan sejauh ini,” gumamnya pelan.Namun pikirannya tak lama diam. Saat kereta berbelok ke arah jalan utama menuju kediamannya, Hana, pelayan muda yang duduk di hadapannya, mencondongkan tubuh.“Nona, se
Suara pintu besar berlapis emas itu berderak berat, mengeluarkan gema panjang di seluruh aula megah yang berhiaskan ukiran naga dan phoenix di pilar-pilarnya. Dua penjaga yang mengenakan zirah hitam berukir merah membungkuk dalam saat sosok pria berwajah teduh dan berpenampilan elegan melangkah masuk. Cahya Sudiro. Tuan muda keluarga bangsawan pedagang paling berpengaruh.Langkah kakinya mantap, berirama lembut, namun setiap langkah mengandung rasa percaya diri yang tajam seperti pedang terasah. Mata cokelatnya menatap lurus ke arah singgasana naga emas di ujung ruangan. Di sana, duduk seorang pria dengan aura yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya seakan menegang.Gara Abimayu. Kaisar Timur.Pria yang dulu hanya dikenal Cahya sebagai saingan dalam urusan hati, kini duduk di takhta tertinggi kekuasaan.Cahya berhenti di jarak tiga meter dari singgasana, menunduk sopan dengan sedikit senyum basa-basi di bibirnya.“Bawahan kecil ini menyapa Yang Mulia Kaisar,” ujarnya dengan su
Suara tawa Dara tiba-tiba pecah memenuhi ruangan. Suara itu bergema ringan, tetapi cukup membuat Cahya tersadar dari keterkejutannya yang belum reda sejak tadi. Ia masih menatap Dara dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi tidak percaya, seolah otaknya belum benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang dulu sering meminjam uang darinya untuk membeli permen kini duduk di atas kursi emas berukir phoenix sebagai seorang Ibu Suri Kekaisaran Timur.“Dara Maneer…” gumam Cahya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru saja disadarkan dari mimpi panjang. “Jangan bilang… ini semua sungguhan?”Dara mengangkat dagunya anggun, senyum kecil masih bermain di bibirnya. “Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang?”“Ya, sebenarnya iya,” sahut Cahya cepat, nada suaranya masih dipenuhi nada tidak percaya. “Karena tidak mungkin aku baru pulang sebentar dan dunia tiba-tiba jungkir balik seperti ini.”Dara menautkan kedua
Dalia menyingkap sepenuhnya tirai jendela keretanya. Udara ibu kota sore itu lembut dan sejuk, langit biru memantulkan warna keemasan yang lembut dari matahari yang mulai turun ke barat. Di antara lalu lintas kuda dan pedagang yang bersliweran, mata Dalia tertuju pada sosok yang berdiri tegak di samping kereta yang menabraknya. Senyumnya merekah—senyum yang jarang muncul belakangan ini.“Cahya,” ucapnya pelan, seperti mengulang sebuah nama dari masa silam.Pria itu menundukkan kepala sedikit, membalas senyum lembut Dalia dengan keteduhan yang selalu ia miliki sejak dulu. “Lama tidak bertemu, Dalia. Kau masih sama seperti dulu. Anggun, tapi tetap menatap orang dengan tatapan yang membuat jantung berhenti sepersekian detik.”Dalia terkekeh kecil, “Kau tidak berubah. Masih suka berbicara dengan kata-kata yang terlalu manis untuk seorang pedagang.”Cahya menaikkan bahunya sambil menahan senyum, “Aku belajar berbicara sepe
Langit Ibu Kota pagi itu berwarna keperakan, burung-burung beterbangan rendah di atas atap-atap istana, dan udara yang lembap membawa aroma dupa bercampur dedaunan yang baru tersiram embun. Satu minggu telah berlalu sejak Dalia kembali dari medan perang bersama pasukan Timur. Namun suasana Ibu Kota belum sepenuhnya tenang—bukan karena peperangan lagi, melainkan karena kesibukan yang luar biasa.Di sepanjang jalan utama, para pejabat tinggi berlalu-lalang dengan tergesa, menghadap ke istana Kaisar untuk membahas penyatuan Timur dan Barat yang kini resmi menjadi satu kekaisaran besar. Bendera berwarna biru tua dan putih, lambang perdamaian baru, berkibar megah di setiap tiang gerbang.Dan yang paling menarik perhatian rakyat adalah pemandangan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—orang-orang berambut hitam khas Timur kini berjalan berdampingan dengan mereka yang berambut putih pucat, para Albino dari Barat. Dua warna yang dulu menjadi alasan perpecahan, kini berdiri bersama dal
Keramaian di depan gerbang ibu kota mendadak terdiam, seolah angin pun berhenti berembus saat suara lantang kasim terdengar menggema.“Yang Mulia Ibu Suri Agung datang!”Semua kepala serentak menunduk, lutut-lutut membentur tanah, hanya dua orang yang tetap berdiri tegak — Gara dan Dara. Sorot mata mereka sama-sama terarah pada sosok yang perlahan muncul di bawah bayang bendera kekaisaran. Dari balik tandu megah berhias ukiran naga emas, seorang wanita berusia lanjut turun dengan langkah perlahan tapi tegas. Di sekitarnya, para pelayan berbaris rapat, wajah mereka menunduk khidmat.Ibu Suri Endah — sekarang bergelar Ibu Suri Agung, ibu kandung Gara — muncul dengan kebesaran yang membuat seluruh ibu kota terdiam. Hanfunya berwarna merah marun tua berlapis benang emas, disulam dengan motif burung hong yang melambangkan keagungan dan perlindungan kerajaan. Namun di balik sorot mata yang tegas dan langkah berwibawa itu, terselip sesuatu yang lebih lembut — kelegaan dan cinta seorang