Share

2. Sayang?

Penulis: Blessing Night
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-06 22:46:12

Jevano Putra Hartono duduk di balik kemudinya. Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan restoran bintang lima, yang sejak beberapa saat lalu dikunjungi oleh Nadisa Tirta Sanjaya dan Narendra Bagaskara.

Mata setajam elang milik Jevano langsung terfokus pada sosok Nadisa yang berjalan keluar dari restoran di depannya. Senyuman di bibir Jevano juga melebar tatkala sang gadis Sanjaya merajut langkah untuk mendekati mobilnya. Ya, Nadisa akhirnya patuh padanya.

Jevano berinisiatif keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Nadisa yang merupakan calon istrinya.

Nadisa sempat memandang risih pada Jevano, tetapi akhirnya tetap memasuki mobil milik lelaki itu. Pun Nadisa bergumam pelan, "Terima kasih."

"Sama-sama, Nadisa." Jevano kemudian memutari mobilnya, untuk tiba di kursi kemudi. Lalu duduk dan memusatkan perhatiannya pada Nadisa. Seakan menunggu gadis cantik itu bicara.

Sadar akan hal tersebut, Nadisa membuang napasnya pelan. "Aku sudah bicara pada Narendra. Undangan pernikahan kita juga sudah aku berikan padanya. Dia tidak akan berani mendekatiku lagi kalau dia tidak gila."

Jevano tersenyum senang mendengar penuturan Nadisa.

"Gadis pintar," puji Jevano. Jemari panjang milik putra tunggal keluarga Hartono itu menyentuh rambut Nadisa, lalu menyelipkannya ke belakang telinga.

Tindakan Jevano itu membuat Nadisa membuang muka, tentu saja merasa risih karena perlakuan Jevano padanya.

"Tolong antarkan aku pulang. Aku lelah dan ingin segera beristirahat," kata Nadisa seraya memandang ke jendela sampingnya. Enggan menatap Jevano yang duduk di sampingnya.

"Baiklah." Jevano menjawab dengan santai dan segera menyalakan mesin mobilnya. Nadisa pun merasa lega karena Jevano menuruti permintaannya.

Akan tetapi, alih-alih langsung menjalankan mobilnya, Jevano justru kembali mendekatkan dirinya pada Nadisa. Membuat gadis itu menahan napasnya tatkala tangan Jevano seolah ingin menjangkaunya. "A-apa yang kamu–"

"Sabuk pengaman, Nadisa." Jevano berkata dengan lembut. Seraya menyentuh sabuk pengaman di sisi tubuh Nadisa, hendak memasangkannya. Akan tetapi, Nadisa dengan cepat merebut sabuk pengaman itu dan memasangnya dengan benar.

"Sudah. Aku sudah pakai sabuk pengamannya," kata Nadisa dengan cepat.

Melihat Nadisa yang seolah ketakutan, Jevano justru tersenyum tipis. Lelaki itu tak kunjung menjauhkan diri dari sang gadis Sanjaya. Membuat Nadisa menatapnya dengan was-was.

"A-apa lagi? Sabuk pengamannya sudah kupakai. Jalankan mobilnya."

Alih-alih menjauhi Nadisa dan menuruti permintaannya, Jevano jutru mendekatkan wajahnya pada sang dara. Berniat mencium bibir tipis Nadisa. "Kamu cantik sekali, Nadisa."

Nadisa meremas rok hitamnya di bawah sana. Ia ingin sekali mendorong Jevano agar menjauhinya, tetapi ia takut kalau Jevano akan mengancamnya lagi seperti sore tadi. Nadisa ... takut Jevano tidak mau membantu keluarganya lagi.

Maka Nadisa hanya bisa menutup kedua matanya dengan erat. Berharap keajaiban terjadi dan Jevano dapat berhenti.

Drrrtttt! Drrrt!

Suara getaran itu membuat Nadisa membuka mata, lalu mendapati Jevano yang perlahan menjauh darinya. Maka Nadisa menghela napas lega. Di sisi lain, Jevano memeriksa telepon genggamnya yang masih saja bergetar. Menandakan ada telepon masuk di sana.

"Angkat saja. Mungkin teleponnya penting," kata Nadisa. Tentu saja Nadisa mengatakannya agar Jevano teralih dari dirinya.

Tut. Bukannya menerima panggilan tersebut, Jevano justru mematikannya. Lelaki tampan berkulit seputih porselen itu kemudian meletakkan telepon genggamnya di sisi pintu mobil.

"Tidak penting. Hanya kerjaan kecil." Jevano Putra Hartono berkata dengan senyuman manis di bibirnya.

Lelaki itu kemudian mencuri kecupan kecil di bibir Nadisa. Sukses membuat Nadisa mematung karena tindakannya yang kelewat tiba-tiba. Barulah setelahnya Jevano menjalankan kuda besinya. Melintasi jalanan ibu kota untuk tiba di kediaman Sanjaya.

Sementara Nadisa terdiam di kursi samping Jevano. Lebih memilih memandangi jendela sampingnya, menghindari sosok Jevano yang sibuk berkendara. Dari kedua mata kelamnya, Nadisa dapat melihat suasana malam Kota Jakarta. Ramai sekali, kontras dengan hatinya yang sepi.

Dalam hati, Nadisa merutuki betapa lemah dirinya beberapa saat tadi. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk melindungi diri sendiri.

Memalukan, sindir Nadisa dalam hati.

***

Mobil yang dikendarai Jevano berhenti tepat di depan kediaman Sanjaya. Nadisa pun bersiap untuk turun. Akan tetapi, pintu rumah Nadisa tiba-tiba saja terbuka dan menampakkan sosok Ayu Tirta Sanjaya; Mama Nadisa. Beliau melambaikan tangannya pada Jevano dan Nadisa yang masih berada di dalam mobil.

"Mau mampir? Mamaku sepertinya akan senang kalau kamu mampir sebentar." Nadisa berkata dengan hati-hati. Tidak ingin sang mama di depan sana menyadari kalau dirinya sebenarnya tidak akrab dengan Jevano.

"Lain kali saja, ya? Aku harus mengurus pekerjaan kecil tadi, Nadisa."

Nadisa mengangguk mengerti. Justru dalam hati ia senang mendengarnya. Maka Nadisa hendak melangkah turun dari mobil yang ditumpanginya. Tetapi Jevano menahan tangan Nadisa. Membuat gadis itu menoleh. Pun Jevano dengan cepat mencuri kecupan di dahi Nadisa. "Selamat beristirahat, Nadisa."

Nadisa hanya mengangguk kecil, tidak berani melawan.

Gadis Sanjaya itu kemudian benar-benar keluar dari mobil Jevano. Mendekati Mama Ayu yang sedang tersenyum senang melihat kedekatan putrinya dengan putra dari sahabatnya. Sepasang sejoli yang Beliau yakini tengah berbahagia karena perjodohan yang diatur oleh dirinya.

Tin! Jevano membunyikan klaksonnya sebelum pergi. Pun Jevano membuka kaca mobil. Menampakkan dirinya yang sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat. Barulah mobilnya melaju meninggalkan kediaman Sanjaya.

Nadisa mencium tangan mamanya. "Disa pulang, Ma."

"Jevan kenapa nggak mampir dulu, Disa? Padahal Mama sudah masak banyak makanan untuk dia makan malam bersama kita."

Nadisa menggigit bibir bawahnya sekilas. Nadisa benci ini. Tatkala sang Mama lebih suka membicarakan Jevano dibandingkan putrinya sendiri. Mama Ayu bahkan tidak membalas sapaannya tadi.

"Disa? Jevan kenapa nggak mampir, Sayang?" ulang Mama Ayu. Wajah cantiknya sarat akan rasa khawatir. Entah untuk Nadisa atau untuk calon menantunya. Opsi kedua sepertinya lebih tepat, menurut Nadisa.

"Jevan lagi banyak kerjaan, Ma. Jadi nggak bisa mampir." Nadisa menjawab seadanya.

"Kasihan sekali Jevan. Dia pasti bekerja keras untuk memajukan finansial keluarganya. Kita beruntung, bisa menjadikan Jevan bagian dari keluarga kita. Terlebih kamu Disa, yang akan menjadi istrinya. Kamu harus memperlakukan Jevan dengan baik, karena dia juga sudah berjuang demi keluarga kita."

Ceramah panjang dari sang Mama membuat Nadisa hanya bisa menganggukkan kepala beberapa kali. Sumpah, ia sudah bosan mendengar mamanya menasihati.

Nadisa harus ini, harus itu, semuanya demi Jevan. Jevan sangat baik, sangat dapat diandalkan, dan sangat sempurna hingga Nadisa harus bersyukur bisa dipersunting olehnya.

Andai saja Mama Ayu tahu, kalau Nadisa tidak mencintai siapa pun di hidupnya. Nadisa bahkan terlanjur takut untuk mencinta, setelah pengkhiatanatan almarhum sang Papa pada keluarganya. Nadisa takut terluka apabila membuka hatinya.

"Disa? Kamu dengar Mama?" tanya Mama Ayu.

"Maaf, Disa lelah, Ma. Tadi di kantor banyak sekali kerjaan yang harus Disa selesaikan. Disa ke kamar ya, Ma. Mau istirahat." Disa berkata dengan suara lemasnya. Lalu melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk menuju kamarnya yang terletak di lantai dua kediaman Sanjaya. Tanpa mengindahkan sang Mama yang memintanya untuk makan malam bersama.

Saat Nadisa menaiki tangga untuk tiba di kamarnya, dirinya berpapasan dengan sang Kakak; Jeffrey Tirta Sanjaya.

Jeffrey membuka mulut, hendak menyapa adik semata wayangnya. Tapi Nadisa tidak mengindahkan eksistensi kakaknya, ia lebih memilih untuk melanjutkan langkah.

Tepat ketika Nadisa berada di samping Jeffrey, Nadisa berkata pelan, "Harusnya Kakak yang berkorban untuk keluarga kita. Bukannya Disa."

Sang sulung Sanjaya dibuat mematung oleh Nadisa. Jeffrey menoleh ke belakang. Memandangi punggung sempit milik adiknya yang berjalan gontai menjauhi dirinya. Lalu menghilang di balik pintu kamar berwarna hitamnya.

***

Di lain tempat, Jevano memberhentikan mobilnya tepat di persimpangan, lantaran lampu lalu lintas yang kini sedang memamerkan warna merah.

Tak lama setelahnya, telepon genggam milik putra tunggal keluarga Hartono tersebut kembali bergetar. Menampilkan nama yang sama dengan panggilan sebelumnya.

Nama yang sangat familiar baginya.

Berbeda dari yang sebelumnya, Jevano kali ini menerima panggilannya. Pun Jevano segera menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Seraya tersenyum manis mendengar suara yang mengalun manja dari seberang sana.

"Iya, Sayang?" tanya Jevano dengan suara lembutnya. "Maaf, tadi aku habis mengantar Nadisa pulang ke rumahnya. Sekarang aku akan ke tempat kamu ya, Sayang. Aku kangen banget sama kamu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status