Share

2. Sayang?

Jevano Putra Hartono duduk di balik kemudinya. Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di depan restoran bintang lima, yang sejak beberapa saat lalu dikunjungi oleh Nadisa Tirta Sanjaya dan Narendra Bagaskara.

Mata setajam elang milik Jevano langsung terfokus pada sosok Nadisa yang berjalan keluar dari restoran di depannya. Senyuman di bibir Jevano juga melebar tatkala sang gadis Sanjaya merajut langkah untuk mendekati mobilnya. Ya, Nadisa akhirnya patuh padanya.

Jevano berinisiatif keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Nadisa yang merupakan calon istrinya.

Nadisa sempat memandang risih pada Jevano, tetapi akhirnya tetap memasuki mobil milik lelaki itu. Pun Nadisa bergumam pelan, "Terima kasih."

"Sama-sama, Nadisa." Jevano kemudian memutari mobilnya, untuk tiba di kursi kemudi. Lalu duduk dan memusatkan perhatiannya pada Nadisa. Seakan menunggu gadis cantik itu bicara.

Sadar akan hal tersebut, Nadisa membuang napasnya pelan. "Aku sudah bicara pada Narendra. Undangan pernikahan kita juga sudah aku berikan padanya. Dia tidak akan berani mendekatiku lagi kalau dia tidak gila."

Jevano tersenyum senang mendengar penuturan Nadisa.

"Gadis pintar," puji Jevano. Jemari panjang milik putra tunggal keluarga Hartono itu menyentuh rambut Nadisa, lalu menyelipkannya ke belakang telinga.

Tindakan Jevano itu membuat Nadisa membuang muka, tentu saja merasa risih karena perlakuan Jevano padanya.

"Tolong antarkan aku pulang. Aku lelah dan ingin segera beristirahat," kata Nadisa seraya memandang ke jendela sampingnya. Enggan menatap Jevano yang duduk di sampingnya.

"Baiklah." Jevano menjawab dengan santai dan segera menyalakan mesin mobilnya. Nadisa pun merasa lega karena Jevano menuruti permintaannya.

Akan tetapi, alih-alih langsung menjalankan mobilnya, Jevano justru kembali mendekatkan dirinya pada Nadisa. Membuat gadis itu menahan napasnya tatkala tangan Jevano seolah ingin menjangkaunya. "A-apa yang kamu–"

"Sabuk pengaman, Nadisa." Jevano berkata dengan lembut. Seraya menyentuh sabuk pengaman di sisi tubuh Nadisa, hendak memasangkannya. Akan tetapi, Nadisa dengan cepat merebut sabuk pengaman itu dan memasangnya dengan benar.

"Sudah. Aku sudah pakai sabuk pengamannya," kata Nadisa dengan cepat.

Melihat Nadisa yang seolah ketakutan, Jevano justru tersenyum tipis. Lelaki itu tak kunjung menjauhkan diri dari sang gadis Sanjaya. Membuat Nadisa menatapnya dengan was-was.

"A-apa lagi? Sabuk pengamannya sudah kupakai. Jalankan mobilnya."

Alih-alih menjauhi Nadisa dan menuruti permintaannya, Jevano jutru mendekatkan wajahnya pada sang dara. Berniat mencium bibir tipis Nadisa. "Kamu cantik sekali, Nadisa."

Nadisa meremas rok hitamnya di bawah sana. Ia ingin sekali mendorong Jevano agar menjauhinya, tetapi ia takut kalau Jevano akan mengancamnya lagi seperti sore tadi. Nadisa ... takut Jevano tidak mau membantu keluarganya lagi.

Maka Nadisa hanya bisa menutup kedua matanya dengan erat. Berharap keajaiban terjadi dan Jevano dapat berhenti.

Drrrtttt! Drrrt!

Suara getaran itu membuat Nadisa membuka mata, lalu mendapati Jevano yang perlahan menjauh darinya. Maka Nadisa menghela napas lega. Di sisi lain, Jevano memeriksa telepon genggamnya yang masih saja bergetar. Menandakan ada telepon masuk di sana.

"Angkat saja. Mungkin teleponnya penting," kata Nadisa. Tentu saja Nadisa mengatakannya agar Jevano teralih dari dirinya.

Tut. Bukannya menerima panggilan tersebut, Jevano justru mematikannya. Lelaki tampan berkulit seputih porselen itu kemudian meletakkan telepon genggamnya di sisi pintu mobil.

"Tidak penting. Hanya kerjaan kecil." Jevano Putra Hartono berkata dengan senyuman manis di bibirnya.

Lelaki itu kemudian mencuri kecupan kecil di bibir Nadisa. Sukses membuat Nadisa mematung karena tindakannya yang kelewat tiba-tiba. Barulah setelahnya Jevano menjalankan kuda besinya. Melintasi jalanan ibu kota untuk tiba di kediaman Sanjaya.

Sementara Nadisa terdiam di kursi samping Jevano. Lebih memilih memandangi jendela sampingnya, menghindari sosok Jevano yang sibuk berkendara. Dari kedua mata kelamnya, Nadisa dapat melihat suasana malam Kota Jakarta. Ramai sekali, kontras dengan hatinya yang sepi.

Dalam hati, Nadisa merutuki betapa lemah dirinya beberapa saat tadi. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk melindungi diri sendiri.

Memalukan, sindir Nadisa dalam hati.

***

Mobil yang dikendarai Jevano berhenti tepat di depan kediaman Sanjaya. Nadisa pun bersiap untuk turun. Akan tetapi, pintu rumah Nadisa tiba-tiba saja terbuka dan menampakkan sosok Ayu Tirta Sanjaya; Mama Nadisa. Beliau melambaikan tangannya pada Jevano dan Nadisa yang masih berada di dalam mobil.

"Mau mampir? Mamaku sepertinya akan senang kalau kamu mampir sebentar." Nadisa berkata dengan hati-hati. Tidak ingin sang mama di depan sana menyadari kalau dirinya sebenarnya tidak akrab dengan Jevano.

"Lain kali saja, ya? Aku harus mengurus pekerjaan kecil tadi, Nadisa."

Nadisa mengangguk mengerti. Justru dalam hati ia senang mendengarnya. Maka Nadisa hendak melangkah turun dari mobil yang ditumpanginya. Tetapi Jevano menahan tangan Nadisa. Membuat gadis itu menoleh. Pun Jevano dengan cepat mencuri kecupan di dahi Nadisa. "Selamat beristirahat, Nadisa."

Nadisa hanya mengangguk kecil, tidak berani melawan.

Gadis Sanjaya itu kemudian benar-benar keluar dari mobil Jevano. Mendekati Mama Ayu yang sedang tersenyum senang melihat kedekatan putrinya dengan putra dari sahabatnya. Sepasang sejoli yang Beliau yakini tengah berbahagia karena perjodohan yang diatur oleh dirinya.

Tin! Jevano membunyikan klaksonnya sebelum pergi. Pun Jevano membuka kaca mobil. Menampakkan dirinya yang sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat. Barulah mobilnya melaju meninggalkan kediaman Sanjaya.

Nadisa mencium tangan mamanya. "Disa pulang, Ma."

"Jevan kenapa nggak mampir dulu, Disa? Padahal Mama sudah masak banyak makanan untuk dia makan malam bersama kita."

Nadisa menggigit bibir bawahnya sekilas. Nadisa benci ini. Tatkala sang Mama lebih suka membicarakan Jevano dibandingkan putrinya sendiri. Mama Ayu bahkan tidak membalas sapaannya tadi.

"Disa? Jevan kenapa nggak mampir, Sayang?" ulang Mama Ayu. Wajah cantiknya sarat akan rasa khawatir. Entah untuk Nadisa atau untuk calon menantunya. Opsi kedua sepertinya lebih tepat, menurut Nadisa.

"Jevan lagi banyak kerjaan, Ma. Jadi nggak bisa mampir." Nadisa menjawab seadanya.

"Kasihan sekali Jevan. Dia pasti bekerja keras untuk memajukan finansial keluarganya. Kita beruntung, bisa menjadikan Jevan bagian dari keluarga kita. Terlebih kamu Disa, yang akan menjadi istrinya. Kamu harus memperlakukan Jevan dengan baik, karena dia juga sudah berjuang demi keluarga kita."

Ceramah panjang dari sang Mama membuat Nadisa hanya bisa menganggukkan kepala beberapa kali. Sumpah, ia sudah bosan mendengar mamanya menasihati.

Nadisa harus ini, harus itu, semuanya demi Jevan. Jevan sangat baik, sangat dapat diandalkan, dan sangat sempurna hingga Nadisa harus bersyukur bisa dipersunting olehnya.

Andai saja Mama Ayu tahu, kalau Nadisa tidak mencintai siapa pun di hidupnya. Nadisa bahkan terlanjur takut untuk mencinta, setelah pengkhiatanatan almarhum sang Papa pada keluarganya. Nadisa takut terluka apabila membuka hatinya.

"Disa? Kamu dengar Mama?" tanya Mama Ayu.

"Maaf, Disa lelah, Ma. Tadi di kantor banyak sekali kerjaan yang harus Disa selesaikan. Disa ke kamar ya, Ma. Mau istirahat." Disa berkata dengan suara lemasnya. Lalu melangkahkan kedua kaki jenjangnya untuk menuju kamarnya yang terletak di lantai dua kediaman Sanjaya. Tanpa mengindahkan sang Mama yang memintanya untuk makan malam bersama.

Saat Nadisa menaiki tangga untuk tiba di kamarnya, dirinya berpapasan dengan sang Kakak; Jeffrey Tirta Sanjaya.

Jeffrey membuka mulut, hendak menyapa adik semata wayangnya. Tapi Nadisa tidak mengindahkan eksistensi kakaknya, ia lebih memilih untuk melanjutkan langkah.

Tepat ketika Nadisa berada di samping Jeffrey, Nadisa berkata pelan, "Harusnya Kakak yang berkorban untuk keluarga kita. Bukannya Disa."

Sang sulung Sanjaya dibuat mematung oleh Nadisa. Jeffrey menoleh ke belakang. Memandangi punggung sempit milik adiknya yang berjalan gontai menjauhi dirinya. Lalu menghilang di balik pintu kamar berwarna hitamnya.

***

Di lain tempat, Jevano memberhentikan mobilnya tepat di persimpangan, lantaran lampu lalu lintas yang kini sedang memamerkan warna merah.

Tak lama setelahnya, telepon genggam milik putra tunggal keluarga Hartono tersebut kembali bergetar. Menampilkan nama yang sama dengan panggilan sebelumnya.

Nama yang sangat familiar baginya.

Berbeda dari yang sebelumnya, Jevano kali ini menerima panggilannya. Pun Jevano segera menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Seraya tersenyum manis mendengar suara yang mengalun manja dari seberang sana.

"Iya, Sayang?" tanya Jevano dengan suara lembutnya. "Maaf, tadi aku habis mengantar Nadisa pulang ke rumahnya. Sekarang aku akan ke tempat kamu ya, Sayang. Aku kangen banget sama kamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status