Share

Kehidupan Kedua
Kehidupan Kedua
Penulis: Blessing Night

1. Kekalahan

Mentari di langit Kota Jakarta mulai kembali ke peraduan, tatkala seorang gadis cantik bernama lengkap Nadisa Tirta Sanjaya berjalan menuju lobi kantor perusahaan milik keluarganya.

Nadisa tersenyum sembari membungkuk dengan sopan, bermaksud menyapa beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Hanya formalitas tentunya, karena sebenarnya Nadisa tidak mengenal mereka. Nadisa hanya tidak ingin dicap sebagai atasan yang buruk oleh karyawan yang bekerja pada keluarganya.

"Selamat sore, Nona Nadisa." Beberapa dari karyawan itu menyapa Nadisa dengan ceria.

"Iya, sore." Nadisa menjawab sapaan mereka seadanya.

Setelah beberapa karyawan itu berlalu, Nadisa kembali memasang wajah dinginnya. Gadis Sanjaya itu kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Akan tetapi, pandangannya yang terkunci pada pintu utama kantor Sanjaya membuat Nadisa melihat sesuatu di sana. Mengundang decakan kesal dari sang gadis Sanjaya.

'Dia lagi,' keluh Nadisa dalam hati.

Dari posisinya kini, Nadisa dapat melihat seorang lelaki yang sedang berdiri di luar sana. Lelaki berwajah manis, yang langsung mengembangkan senyumannya tatkala melihat eksistensi Nadisa.

Lelaki itu mengenakan pakaian seadanya, hanya kemeja putih yang sedikit menguning dengan celana denim yang mulai pudar. Dia Narendra Bagaskara. Lelaki yang selama empat tahun ke belakang selalu berusaha mendekati Nadisa, meski tidak pernah diindahkan oleh sang dara.

Narendra mengangkat tangan kirinya yang memegang satu kantung plastik, ingin memperlihatkannya pada Nadisa. Sementara tangan kanannya ia lambaikan untuk menyapa Nadisa yang masih berada di dalam gedung kantor Sanjaya.

"Nadisa!" panggil Narendra dengan senyuman di bibirnya.

Nadisa menghela napas.

Kalau sudah begini, mau tidak mau, ia harus menemui Narendra. Maka gadis dengan setelan blus putih dan rok selutut berwarna hitam itu melangkah maju. Mengikis jarak antara dirinya dengan Narendra.

Tepat saat Nadisa mencapai setengah perjalanan, seseorang menarik lengannya. Lalu mencuri sebuah ciuman di bibir Nadisa. Nadisa yang kaget pun mendorong dada lelaki itu dengan keras. Bugh!

Tapi bukannya melepaskan Nadisa, dia malah menahan kedua tangan Nadisa. Memaksa Nadisa menerima ciumannya. Setelah gadis itu tidak kuat melawan, barulah ia melepaskan tautan bibir mereka.

Lelaki itu, Jevano Putra Hartono, menatap lurus pada netra jelaga milik Nadisa yang menatapnya marah. Jevano berkata dengan suara rendahnya, "Cepat singkirkan dia, Nadisa. Aku tidak mau calon istriku diganggu oleh sampah seperti dia."

Nadisa menghempas tangan Jevano dari pergelangan tangannya. Merasakan tangannya sangatlah sakit, bahkan ada memar di sana. "Aku memang akan melakukannya. Kamu nggak perlu memerintahku. Apalagi sampai menyentuhku."

Nadisa menjauhi Jevano, tetapi lelaki dengan setelan jas itu kembali menahan lengan Nadisa. Memaksa gadis itu untuk berhadapan lagi dengannya.

"Jangan seenaknya denganku. Nasib keluargamu ada di tanganku."

Ucapan bernada ancaman itu sukses membuat Nadisa terdiam.

Ya, Jevano benar. Nadisa tidak boleh bertindak semena-mena padanya. Bagaimana pun juga, Jevano sudah membantu perusahaan Sanjaya selama setahun ke belakang. Jevano bahkan berhasil memajukan perusahaan Sanjaya, jauh lebih baik dibanding almarhum papanya. Tak hanya itu, Jevano juga akan segera menjadi suaminya, atas dasar perjanjian keluarga mereka.

Maka sudah sewajarnya Nadisa menghargainya.

"Maafkan aku, Jevan. Aku salah." Nadisa berkata pelan.

Jevano mengembangkan senyumnya. Lelaki itu kemudian mengelus surai hitam milik Nadisa, lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Bagus. Sekarang kamu urus si miskin itu. Aku akan menunggu di mobilku."

Jevano Putra Hartono menyempatkan diri mengecup singkat pelipis Nadisa yang memang lebih pendek darinya. Lalu berjalan meninggalkan Nadisa.

Jevano menuju pintu utama, di mana Narendra Bagaskara berdiri di sana. Narendra memandangi Jevano dengan tidak percaya, membuat Jevano memamerkan seringai padanya.

Pun tepat saat Jevano berada di samping Narendra, Jevano bergumam pelan. "Menyedihkan."

Narendra meremas kedua tangan di sisi tubuhnya. Melihat bagaimana Jevano mencium Nadisa tepat di hadapannya, membuat Narendra merasa kecewa. Tentu saja Narendra marah, tapi ia masih sadar diri bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa bagi Nadisa Tirta Sanjaya.

"Narendra?" Suara Nadisa membuat Narendra tersentak dan menoleh. "Bisa kita bicara?"

"Ya, Nadisa. Bisa," jawab Narendra dengan antusias.

Ini bagaikan salah satu mimpinya. Setelah sekian lama, ia bisa berbincang dengan gadis yang ia suka. Tanpa ditolak atau parahnya diusir seperti hari-hari sebelumnya. Kejadian Jevano dan Nadisa tadi bahkan seakan sirna dari ingatan Narendra, terganti oleh luapan rasa bahagia di hatinya.

***

Nadisa Tirta Sanjaya duduk berhadapan dengan Narendra Bagaskara di salah satu restoran bintang lima di dekat kantornya. Nadisa memandang Narendra, yang kini sibuk memperhatikan sekitar. Sepertinya sedang mengagumi interior restoran yang kelewat mewahnya. Mengundang helaan napas dari Nadisa.

"Pesanlah sesuatu, Narendra," kata Nadisa seraya membuka buku menu di hadapannya.

"Aku tidak lapar, Nadisa."

Gruuuuttttt! Bagaikan tidak mendukung suasana, perut Narendra berbunyi dengan kerasnya. Membuat rona merah menjalari pipi tirus milik Narendra.

"Pesan saja," kata Nadisa dengan malas.

"A-aku sungguhan tidak ingin makan, Nadisa." Narendra berkeras pada pendiriannya.

Pasalnya, ia tidak memiliki banyak uang. Ia takut tidak akan bisa membayarkan makanan Nadisa jika dirinya ikut memesan. Ah, tidak, Narendra bahkan sangsi jika dirinya bisa membayar pesanan Nadisa.

Nadisa yang gerah dengan penolakan pun segera menyodorkan buku menunya di hadapan Narendra. "Cepat pilih saja yang kamu mau. Aku yang bay–"

"Belum sembuh juga, ya?" lirih Narendra.

Suara Narendra membuat Nadisa menaikkan satu alisnya. "Apanya?"

Narendra memusatkan atensinya pada pergelangan tangan kiri Nadisa. "Luka di tangan kamu. Sejak kita kuliah, ternyata masih belum sembuh juga."

Nadisa terdiam beberapa saat. Narendra mengetahui luka di pergelangan tangannya? Bahkan sahabat Nadisa saja tidak pernah menyadarinya. Tapi Narendra, dia begitu memperhatikannya.

Nadisa berdehem kecil sembari menarik tangannya yang sejak tadi memegang buku menu. Tepat saat itu, seorang pelayan datang ke meja mereka. "Bisa saya catat pesanan Anda, Tuan dan Nona?"

"Aglio olio dua, air mineral dua." Nadisa langsung mengucapkannya tanpa meminta pendapat Narendra.

"Baik, aglio olio dua dan air mineral dua. Mohon ditunggu, Tuan dan Nona." Pelayan wanita itu membungkukkan tubuhnya penuh hormat, lalu menarik dirinya menjauhi meja Nadisa dan Narendra.

"Nadisa, aku tidak memesannya. Aku–"

"Aku memesannya untukku sendiri, dan aku yang akan membayarnya. Kamu nggak usah banyak protes." Nadisa memotong ucapan Narendra.

Pribadinya yang ceplas-ceplos dan terkesan tidak sopan memang sangat menyebalkan. Akan tetapi, Narendra justru tersenyum mendengar perkataan Nadisa. Entahlah, Narendra mungkin sudah dibutakan oleh rasa cintanya.

Lelaki manis itu kemudian meletakkan satu plastik yang tadi ia bawa. Mendorongnya pelan ke hadapan Nadisa. "Ini, Nadisa. Aku beli ini untuk kamu. Kue kesukaan kamu."

Nadisa memandangi plastik bening berisi sekotak pencuci mulut bertuliskan Sean's Sweet di atasnya. Kue cokelat yang akhir-akhir sedang naik daun di Indonesia, juga merupakan salah satu makanan kesukaan Nadisa. Bagi Nadisa, satu kotak kue itu mungkin terbilang murah untuk didapatkan. Tapi bagi Narendra, ia harus menghemat selama beberapa hari untuk bisa membelinya. Dan setelah semua usahanya, Narendra malah memberikan kue itu pada Nadisa?

Nadisa mendorong kue itu untuk kembali pada Narendra. "Untuk kamu saja."

"Ah, ini halal kok, Nadisa. Aku membelinya dari hasil aku bekerja." Narendra berusaha menjelaskan. Merasa kalau Nadisa menolaknya karena mengira makanan yang ia berikan tidak halal.

"Aku tetap nggak bisa menerimanya. Bukan hanya sekarang, tapi juga untuk seterusnya. Kamu ... jangan pernah membelikan apa pun untukku lagi, Narendra," ucap Nadisa, membuat Narendra menatapnya penuh tanya. "Dan lagi, aku mengajakmu bicara bukan untuk menerima makanan ini."

Nadisa membuka tas putih mahalnya, kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana. Membuat Narendra memandangnya dengan bingung, tapi tidak berani bertanya. Hingga Nadisa akhirnya meletakkan satu lembar undangan tepat di atas kotak kue milik Narendra.

Narendra memandangi undangan itu dan wajah Nadisa secara bergantian. Sebelum bibir tipisnya berkata pelan, "Surat undangan?"

"Iya, undangan pernikahanku dengan Jevan akhir pekan ini. Datanglah kalau kamu sempat, Narendra." Perkataan Nadisa sukses membuat Narendra membatu di posisinya. Kedua matanya menatap nanar pada undangan mewah di hadapannya. Dengan tinta emas yang menuliskan nama Jevano di samping nama Nadisa.

"Ini … sungguhan?" lirih Narendra.

"Pesanan datang, Tuan dan Nona. Silakan menikmati." Pelayan wanita tadi kembali datang dengan meja yang didorong menuju meja Nadisa dan Narendra. Pun pelayan tersebut meletakkan dua piring pasta beserta air mineral dalam gelas tinggi di hadapan kedua insan di sana. Pergerakan pelayan itu seakan memberi jeda pada Narendra untuk mencerna segalanya. Ia terdiam dan terjebak dalam riuh pikirannya.

Tepat saat sang pelayan melangkah pergi, Nadisa pun beranjak berdiri. "Hanya itu yang ingin aku katakan. Kamu bisa makan dulu, Narendra. Aku tahu kamu lapar. Aku akan meninggalkan uangku di sini, jadi kamu nggak perlu khawatir."

Nadisa meletakkan lima lembar uang berwarna merah muda di atas mejanya. Kemudian hendak pergi dari sana. Akan tetapi, suara lirih Narendra berhasil menghentikannya.

"Selamat, Nadisa. Aku turut bahagia."

Kalimat bernada lemah yang meluncur dari mulut Narendra itu membuat Nadisa menoleh. Memandangi Narendra yang kini terlihat menundukkan kepala. Tidak mampu lagi menatap Nadisa. Pun Nadisa tidak terlalu mengindahkannya, lebih memilih untuk merajut langkah menjauhi Narendra.

Hari ini, Narendra Bagaskara akhirnya kalah dari kejamnya semesta.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wildaningsih TWFood
bahasanya terlalu kaku , alur ceritanya terkesan dipaksakan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status