Share

4. Pengkhianatan

Resepsi pernikahan Nadisa telah resmi berakhir beberapa saat lalu. Kini, mentari telah benar-benar kehilangan sinarnya dan digantikan oleh rembulan di langit yang kelam. Pun jam dinding di kamar hotel Nadisa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Nadisa kini sedang berbaring di ranjang hotelnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut.

Nadisa kini mengenakan piyama lengan panjang dan celana pendek selututnya. Sama sekali bukan pakaian yang cocok untuk malam pertama, karena memang itu bukan tujuannya.

Sreeeeg! Suara pintu yang digeser dari arah kamar mandi di sudut kamar hotel itu membuat Nadisa memiringkan tubuhnya. Membelakangi Jevano yang baru saja keluar dari sana setelah membersihkan dirinya.

Nadisa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sosok suaminya.

Nadisa berusaha memejamkan mata, ingin memasuki alam mimpinya. Akan tetapi, sebuah sentuhan di lengan atasnya membuat Nadisa secara refleks menghempas tangan yang menyentuhnya.

Nadisa menoleh, lalu mendapati Jevano yang sedang memandangnya dengan kaget.

"Apa aku terlalu mengagetkanmu?" tanya Jevano pelan. Lelaki tampan itu terlihat hanya mengenakan baju handuk putihnya. Membuat Nadisa sadar, apa yang Jevano ingin lakukan.

Nadisa bangkit untuk duduk. "Maaf, Jevan. Aku yang salah, aku nggak sengaja menepis tangan kamu. Maaf juga, aku … sepertinya belum bisa melakukannya." Nadisa berkata dengan suara lemahnya.

Gadis Sanjaya itu bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju balkon kamarnya. Lalu menyandarkan lengannya pada pembatas balkon yang ada. Membiarkan Jevano seorang diri di ranjang besar mereka.

Mata kelam milik Nadisa memandangi rembulan yang terlihat sendirian di tengah pekatnya malam. Tanpa sedikit pun bintang. Ah, bulan itu ... nggak ada bedanya dengan Nadisa sekarang. Sendirian.

Kling! Tiba-tiba saja, telepon genggam yang memang ada di saku celana piyama Nadisa berbunyi. Membuat gadis itu memeriksanya, lalu berakhir memandang gamang pada layar benda elektronik tersebut.

Itu pesan dari mamanya.

Disa, mama harap Disa dapat segera memberikan cucu untuk mama. Semangat ya, sayang. Disa pasti bisa.

Rentetan kata itu membuat Nadisa menghela napas panjang. Pun kedua kaki jenjangnya kembali melangkah memasuki kamar hotelnya. Di mana Jevano sedang berbaring di ranjang mereka. Memandang Nadisa dengan penuh tanya, tapi masih mengulas senyum lembutnya.

Nadisa meremas telepon genggam di tangan kanannya. Ia berusaha keras melawan ketakutannya.

Hingga akhirnya Nadisa melangkah maju dan meletakkan telepon genggamnya di atas nakas, di samping ranjangnya. Lalu Nadisa memasuki selimutnya bersama Jevano.

Sang gadis Sanjaya memeluk lengan kekar Jevano dengan tubuh mungilnya. Membuat Jevano tersenyum senang dan balas mendekap tubuh Nadisa.

"Aku akan hati-hati, Nadisa."

***

Arloji milik Jevano yang tergeletak di atas nakas kini telah menunjukkan pukul dua belas malam. Ya, kini sudah tepat tengah malam.

Lelaki tampan berkulit seputih porselen itu baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi, untuk kali kedua malam ini. Kini, Jevano sudah mengenakan hoodie hitamnya. Dengan celana denim panjang berwarna senada.

Jevano mendekati Nadisa, lalu mengusap lembut rambut hitam milik istrinya. Membuat Nadisa yang awalnya terlelap jadi kembali terjaga.

"Mau ke mana, Jevan?" tanya Nadisa dengan suara seraknya. Ia mengeratkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Merasa udara di kamar hotel tersebut sangat dingin di kulitnya.

Jevano tersenyum lembut hingga kedua matanya menyipit. "Ada pekerjaan sedikit. Aku akan kembali sebelum pagi nanti. Kamu istirahat saja ya, Nadisa?"

Nadisa Tirta Sanjaya hanya bisa mengangguk kecil. Toh tubuhnya sangat sakit saat ini. Jadi dia tidak akan bisa jika harus menemani Jevano pergi.

"Terima kasih banyak, Nadisa. Aku pergi."

Maka dengan ucapan salam tersebut, Jevano mengambil langkahnya meninggalkan Nadisa.

Ia sempat memperhatikan sosok Nadisa yang masih bergelung di dalam selimut tatkala dirinya mencapai pintu kamarnya. Terdiam sejenak di sana.

Hingga perlahan, Jevano menutup objek berbahan dasar kayu tersebut. Benar-benar meninggalkan istrinya seorang diri di dalam sana. Menuju destinasi Jevano berikutnya.

***

Jevano Putra Hartono melangkahkan kaki, keluar dari mobil mewah berwarna hitamnya. Lalu memasuki minimarket yang merupakan tempat pertemuannya dengan seseorang. Pun seorang gadis cantik berpakaian tanktop hitam dan celana pendek putih langsung melambaikan tangan, menyambut kedatangan Jevano di sana.

Ya, itu Karenia Winata.

Jevano bergegas mendekati gadis cantik itu, lalu mengecup singkat bibirnya.

Karenia juga balas merangkul leher Jevano dan dengan senang hati membalas ciumannya. Barulah keduanya saling bertukar senyuman bahagia.

"Kak Jevan lama datangnya," keluh Karenia.

"Maaf," sahut Jevano seadanya.

"Kak Jevan sudah melakukannya dengan Disa juga?" Karenia menekankan kata juga, karena dirinya pun telah melakukannya dengan Jevano. Bahkan sebelum Nadisa.

"Haruskah aku menjawabnya?" Jevano bertanya balik, merasa risih dengan pertanyaan gadisnya.

Karenia sempat terdiam, baru kemudian mengangguk dengan wajahnya yang menggemaskan. "Kak Jevan benar, tidak perlu dijawab. Nanti Karen sakit hati sendiri. Ya sudah, ayo kita pergi? Eh, beli itu dulu tapi!"

Jevano yang mengerti pun langsung menggenggam tangan Karenia dan melangkah menuju kasir, tetapi Karenia menahan pergelangan tangan Jevano.

"Karen mau ke toilet dulu sebentar, Kak. Kakak beli aja dulu itunya. Karen nggak akan lama," kata Karenia, kemudian langsung merajut langkahnya menjauhi Jevano. Menuju toilet yang ada di sudut dalam minimarket.

Tidak ada pilihan lain, Jevano pun langsung menuju kasir. Mengambil pengaman yang ada di sana, lalu meletakkannya di meja.

Penjaga kasir di sana langsung melakukan scan pada benda yang dibeli Jevano, lalu menerima uang yang disodorkan sebagai bayaran.

"Ini kembaliannya," kata penjaga kasir tersebut dengan suara rendahnya.

Jevano menyentuh beberapa lembar uang kembalian tersebut, tetapi sang penjaga kasir tak kunjung melepas uang di tangannya. Membuat Jevano tidak dapat mengambilnya.

Tepat saat Jevano mendongak, barulah ia sadar mengapa orang di hadapannya tidak mau melepaskan kembaliannya.

"Pecundang, ternyata." Jevano berkata santai. Pun ia melepas kembalian yang masih ditahan oleh Narendra Bagaskara. "Kamu boleh ambil kembaliannya kalau kamu memang membutuhkannya, Narendra."

Narendra menatap sengit pada Jevano. Kalau tatapan seseorang bisa membunuh, Jevano pasti sudah mati karena Narendra benar-benar menatapnya dengan tajam. Seakan Narendra siap untuk merobek tubuh Jevano hingga terbagi dua, lalu berakhir mati di tangannya.

"Jangan pernah mempermainkan Nadisa," kata Narendra.

Jevano menarik satu sudut bibirnya. "Kamu tidak berhak mengaturku, Narendra." Telunjuk kanannya ia gunakan untuk mendorong bahu Narendra. "Kalau kamu punya waktu, jangan lagi mengurusiku. Lebih baik cari uang yang banyak untuk memperbaiki hidupmu yang menyedihkan itu."

Grep! Narendra menahan lengan Jevano. Mencengkramnya erat. "Kubilang jangan pernah mempermainkan Nadisa!" ujarnya.

"Kamu tidak mengerti apa-apa. Jadi tutup saja mulut sampahmu, Narendra. Atau aku bisa buat kamu dipecat dari sini sekarang juga." Jevano berkata dengan dingin. Balik menatap tajam pada Narendra Bagaskara, lalu menghempas tangan Narendra.

"Ada apa ini, Kak Jevan?" Karenia yang kembali dari toilet dibuat bingung dengan atmosfer dingin antara Jevano dan penjaga kasir minimarket.

Sedetik kemudian, Karenia baru sadar siapa penjaga kasir tersebut. Membuat Karenia tersenyum miring. "Ah, ada Narendra si miskin rupanya."

Narendra menatap tajam Karenia. Gadis ini ... padahal dia adalah sahabat Nadisa, tapi dia malah mengkhianati Nadisa dengan teganya.

"Kamu dari dulu memang menyedihkan, ya, Narendra? Mengejar-ngejar Nadisa tanpa pernah sadar diri. Bahkan cewek sombong itu sama sekali nggak pernah memandangmu sampai saat ini. Benar-benar pecundang sejati."

Narendra bergeming di tempatnya. Meremas kepalan tangannya di bawah sana. Kalau saja Karenia bukan perempuan, Narendra pasti sudah menghadiahkan bogeman mentah di wajahnya.

Karenia menarik kerah seragam Narendra untuk menunduk, lalu mendekatkan wajahnya pada Narendra. Mengabaikan meja kasir yang ada sebagai pemisah mereka.

Gadis seksi itu membisikkan sesuatu di telinga sang adam yang masih menatap sengit padanya. "Kamu sangat cocok dengan Disa, Narendra. Menyedihkan. Menyebalkan. Memuakkan. Kamu harusnya sedikit lebih berusaha, agar Kak Jevan berakhir denganku, bukannya dengan cewek sombong pujaanmu."

Karenia mendorong bahu Narendra hingga lelaki itu mundur. Pun Karenia segera merangkul lengan Jevano. "Ayo kita pergi, Kak Jevan. Orang kayak dia nggak perlu didengarkan. Nggak berguna."

Jevano pun pergi bersama Karenia. Lelaki tampan itu menyempatkan diri untuk tersenyum mengejek pada Narendra. Yang kini tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal gadis yang ia cintai tengah disakiti oleh lelaki brengsek di depannya.

***

Nadisa membuka matanya di pagi hari, lalu mendapati bahwa dirinya masih saja sendiri. Sepertinya, Jevano belum kembali sejak malam tadi. Padahal, dia sudah berjanji pada Nadisa bahwa akan pulang sebelum pagi.

"Pekerjaannya pasti sangat banyak," lirih Nadisa.

Setelahnya, gadis cantik itu bangkit dari ranjangnya. Berniat untuk bersiap, karena Nadisa akan pergi ke kantornya. Ia tidak ingin membuang waktunya dengan bermalas-malasan meski sudah menjadi istri orang. Nadisa harus fokus memajukan perusahaannya. Agar tidak harus bersandar pada Jevano terlalu lama.

Setelah membersihkan diri, Nadisa pun keluar dari kamar hotelnya. Memesan sebuah taksi di luar sana, lalu menaikinya dan tiba di kantor perusahaan milik keluarga Sanjaya.

Tepat saat Nadisa tiba di persimpangan dekat kantor Sanjaya, sebuah pesan ia terima di telepon genggamnya. Ting! Pesan dari Jevano, ternyata.

Nadisa, maaf aku tidak bisa pulang pagi ini. Pekerjaanku sangat banyak dan belum selesai sampai saat ini. Nanti siang akan aku jemput di hotel, kita pindah rumah baru kita.

Nadisa mematri sebuah senyum di bibir tipisnya. Benar, 'kan. Jevano ternyata lembur karena pekerjaannya. Maka Nadisa dengan tenang mengetikkan balasan.

Tidak apa-apa, Jevan. Aku mengerti. Tapi aku harus bekerja hari ini, sore nanti akan aku hubungi jika aku sudah selesai. Kamu bisa menjemputku di kantor nanti.

Tak menunggu lama, balasan dari Jevano kembali Nadisa terima. Kali ini, Jevano menjawabnya dengan emotikon jempol dan hati. Membuat Nadisa tersenyum lembut melihatnya.

Mungkin, mamanya benar. Jevan memang orang yang tepat untuknya.

"Kita sudah sampai di kantor Sanjaya's Group, Nona." Sopir taksi yang ditumpangi Nadisa berkata dengan sopan. Nadisa pun memberikan satu lembar uang berwarna merah muda. "Nona, saya tidak punya uang kembaliannya. Apa tidak ada uang pas?"

"Untuk Bapak saja. Terima kasih." Setelah mengatakannya, Nadisa pun keluar dari taksi yang ditumpanginya.

Tibanya Nadisa di kantor Sanjaya terjadi bersamaan dengan kedatangan Jeffrey Tirta Sanjaya; kakaknya. Lelaki tinggi itu tersenyum melihat adiknya, hingga lesung di kedua pipinya nampak. Membuat karyawan wanita di sana terpesona dan menahan pekikan histeris mereka.

"Disa?" panggil Jeffrey seraya mendekati Nadisa. "Kenapa datang hari ini? Kamu seharusnya beristirahat saja."

"Disa nggak punya waktu untuk istirahat," jawab Nadisa singkat.

Jeffrey sedikit menunduk karena ucapan tajam Nadisa. Adiknya itu … terlihat sangat membencinya.

"Kalau nggak ada yang mau dibicarain lagi, Disa pergi."

"Tunggu," kata Jeffrey. Sulung Sanjaya itu mengulurkan tangannya yang memegang roti dan kopi. Sarapan yang sebenarnya ia beli untuk dirinya sendiri. "Kamu sering lupa sarapan. Mulai sekarang, jangan begitu lagi."

Nadisa yang malas untuk memulai pertengkaran jika menolak, terpaksa menerima pemberian Jeffrey. "Terima kasih."

"Kakak minta maaf, Disa. Kakak akan berusaha membuat perusahaan kita stabil lagi. Dengan begitu, kamu bisa memutus ikatanmu dengan Jevan. Kakak akan bantu kamu untuk bisa bebas lagi. Kakak janji."

Helaan napas dari Nadisa menjadi sahutan dari ucapan Jeffrey. Nadisa mendongak, menatap kakaknya tepat di mata. Mendapati tatapan bersalah di wajah Jeffrey. Mata Jeffrey bahkan sudah berair, seolah siap untuk menangis di hadapan adik kesayangannya.

Hal itu membuat Nadisa sadar.

Mungkin ... selama ini Nadisa sudah keterlaluan pada kakaknya?

"Kakak nggak perlu melakukannya. Disa bahagia dengan Jevan. Kakak lakukan saja seperti sebelumnya. Buat Mama bangga. Disa juga akan bantu Kakak." Nadisa berkata dengan senyuman manisnya.

Benar, Nadisa pikir, inilah yang terbaik. Lagi pula, memang tidak ada yang bisa Nadisa lakukan, kecuali berdamai dengan keadaan. Dia pasti bisa melakukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status