Home / Romansa / Kehidupan Kedua / 4. Pengkhianatan

Share

4. Pengkhianatan

last update Last Updated: 2022-04-06 22:47:53

Resepsi pernikahan Nadisa telah resmi berakhir beberapa saat lalu. Kini, mentari telah benar-benar kehilangan sinarnya dan digantikan oleh rembulan di langit yang kelam. Pun jam dinding di kamar hotel Nadisa sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Nadisa kini sedang berbaring di ranjang hotelnya. Dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut.

Nadisa kini mengenakan piyama lengan panjang dan celana pendek selututnya. Sama sekali bukan pakaian yang cocok untuk malam pertama, karena memang itu bukan tujuannya.

Sreeeeg! Suara pintu yang digeser dari arah kamar mandi di sudut kamar hotel itu membuat Nadisa memiringkan tubuhnya. Membelakangi Jevano yang baru saja keluar dari sana setelah membersihkan dirinya.

Nadisa sama sekali tidak tertarik untuk melihat sosok suaminya.

Nadisa berusaha memejamkan mata, ingin memasuki alam mimpinya. Akan tetapi, sebuah sentuhan di lengan atasnya membuat Nadisa secara refleks menghempas tangan yang menyentuhnya.

Nadisa menoleh, lalu mendapati Jevano yang sedang memandangnya dengan kaget.

"Apa aku terlalu mengagetkanmu?" tanya Jevano pelan. Lelaki tampan itu terlihat hanya mengenakan baju handuk putihnya. Membuat Nadisa sadar, apa yang Jevano ingin lakukan.

Nadisa bangkit untuk duduk. "Maaf, Jevan. Aku yang salah, aku nggak sengaja menepis tangan kamu. Maaf juga, aku … sepertinya belum bisa melakukannya." Nadisa berkata dengan suara lemahnya.

Gadis Sanjaya itu bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju balkon kamarnya. Lalu menyandarkan lengannya pada pembatas balkon yang ada. Membiarkan Jevano seorang diri di ranjang besar mereka.

Mata kelam milik Nadisa memandangi rembulan yang terlihat sendirian di tengah pekatnya malam. Tanpa sedikit pun bintang. Ah, bulan itu ... nggak ada bedanya dengan Nadisa sekarang. Sendirian.

Kling! Tiba-tiba saja, telepon genggam yang memang ada di saku celana piyama Nadisa berbunyi. Membuat gadis itu memeriksanya, lalu berakhir memandang gamang pada layar benda elektronik tersebut.

Itu pesan dari mamanya.

Disa, mama harap Disa dapat segera memberikan cucu untuk mama. Semangat ya, sayang. Disa pasti bisa.

Rentetan kata itu membuat Nadisa menghela napas panjang. Pun kedua kaki jenjangnya kembali melangkah memasuki kamar hotelnya. Di mana Jevano sedang berbaring di ranjang mereka. Memandang Nadisa dengan penuh tanya, tapi masih mengulas senyum lembutnya.

Nadisa meremas telepon genggam di tangan kanannya. Ia berusaha keras melawan ketakutannya.

Hingga akhirnya Nadisa melangkah maju dan meletakkan telepon genggamnya di atas nakas, di samping ranjangnya. Lalu Nadisa memasuki selimutnya bersama Jevano.

Sang gadis Sanjaya memeluk lengan kekar Jevano dengan tubuh mungilnya. Membuat Jevano tersenyum senang dan balas mendekap tubuh Nadisa.

"Aku akan hati-hati, Nadisa."

***

Arloji milik Jevano yang tergeletak di atas nakas kini telah menunjukkan pukul dua belas malam. Ya, kini sudah tepat tengah malam.

Lelaki tampan berkulit seputih porselen itu baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi, untuk kali kedua malam ini. Kini, Jevano sudah mengenakan hoodie hitamnya. Dengan celana denim panjang berwarna senada.

Jevano mendekati Nadisa, lalu mengusap lembut rambut hitam milik istrinya. Membuat Nadisa yang awalnya terlelap jadi kembali terjaga.

"Mau ke mana, Jevan?" tanya Nadisa dengan suara seraknya. Ia mengeratkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Merasa udara di kamar hotel tersebut sangat dingin di kulitnya.

Jevano tersenyum lembut hingga kedua matanya menyipit. "Ada pekerjaan sedikit. Aku akan kembali sebelum pagi nanti. Kamu istirahat saja ya, Nadisa?"

Nadisa Tirta Sanjaya hanya bisa mengangguk kecil. Toh tubuhnya sangat sakit saat ini. Jadi dia tidak akan bisa jika harus menemani Jevano pergi.

"Terima kasih banyak, Nadisa. Aku pergi."

Maka dengan ucapan salam tersebut, Jevano mengambil langkahnya meninggalkan Nadisa.

Ia sempat memperhatikan sosok Nadisa yang masih bergelung di dalam selimut tatkala dirinya mencapai pintu kamarnya. Terdiam sejenak di sana.

Hingga perlahan, Jevano menutup objek berbahan dasar kayu tersebut. Benar-benar meninggalkan istrinya seorang diri di dalam sana. Menuju destinasi Jevano berikutnya.

***

Jevano Putra Hartono melangkahkan kaki, keluar dari mobil mewah berwarna hitamnya. Lalu memasuki minimarket yang merupakan tempat pertemuannya dengan seseorang. Pun seorang gadis cantik berpakaian tanktop hitam dan celana pendek putih langsung melambaikan tangan, menyambut kedatangan Jevano di sana.

Ya, itu Karenia Winata.

Jevano bergegas mendekati gadis cantik itu, lalu mengecup singkat bibirnya.

Karenia juga balas merangkul leher Jevano dan dengan senang hati membalas ciumannya. Barulah keduanya saling bertukar senyuman bahagia.

"Kak Jevan lama datangnya," keluh Karenia.

"Maaf," sahut Jevano seadanya.

"Kak Jevan sudah melakukannya dengan Disa juga?" Karenia menekankan kata juga, karena dirinya pun telah melakukannya dengan Jevano. Bahkan sebelum Nadisa.

"Haruskah aku menjawabnya?" Jevano bertanya balik, merasa risih dengan pertanyaan gadisnya.

Karenia sempat terdiam, baru kemudian mengangguk dengan wajahnya yang menggemaskan. "Kak Jevan benar, tidak perlu dijawab. Nanti Karen sakit hati sendiri. Ya sudah, ayo kita pergi? Eh, beli itu dulu tapi!"

Jevano yang mengerti pun langsung menggenggam tangan Karenia dan melangkah menuju kasir, tetapi Karenia menahan pergelangan tangan Jevano.

"Karen mau ke toilet dulu sebentar, Kak. Kakak beli aja dulu itunya. Karen nggak akan lama," kata Karenia, kemudian langsung merajut langkahnya menjauhi Jevano. Menuju toilet yang ada di sudut dalam minimarket.

Tidak ada pilihan lain, Jevano pun langsung menuju kasir. Mengambil pengaman yang ada di sana, lalu meletakkannya di meja.

Penjaga kasir di sana langsung melakukan scan pada benda yang dibeli Jevano, lalu menerima uang yang disodorkan sebagai bayaran.

"Ini kembaliannya," kata penjaga kasir tersebut dengan suara rendahnya.

Jevano menyentuh beberapa lembar uang kembalian tersebut, tetapi sang penjaga kasir tak kunjung melepas uang di tangannya. Membuat Jevano tidak dapat mengambilnya.

Tepat saat Jevano mendongak, barulah ia sadar mengapa orang di hadapannya tidak mau melepaskan kembaliannya.

"Pecundang, ternyata." Jevano berkata santai. Pun ia melepas kembalian yang masih ditahan oleh Narendra Bagaskara. "Kamu boleh ambil kembaliannya kalau kamu memang membutuhkannya, Narendra."

Narendra menatap sengit pada Jevano. Kalau tatapan seseorang bisa membunuh, Jevano pasti sudah mati karena Narendra benar-benar menatapnya dengan tajam. Seakan Narendra siap untuk merobek tubuh Jevano hingga terbagi dua, lalu berakhir mati di tangannya.

"Jangan pernah mempermainkan Nadisa," kata Narendra.

Jevano menarik satu sudut bibirnya. "Kamu tidak berhak mengaturku, Narendra." Telunjuk kanannya ia gunakan untuk mendorong bahu Narendra. "Kalau kamu punya waktu, jangan lagi mengurusiku. Lebih baik cari uang yang banyak untuk memperbaiki hidupmu yang menyedihkan itu."

Grep! Narendra menahan lengan Jevano. Mencengkramnya erat. "Kubilang jangan pernah mempermainkan Nadisa!" ujarnya.

"Kamu tidak mengerti apa-apa. Jadi tutup saja mulut sampahmu, Narendra. Atau aku bisa buat kamu dipecat dari sini sekarang juga." Jevano berkata dengan dingin. Balik menatap tajam pada Narendra Bagaskara, lalu menghempas tangan Narendra.

"Ada apa ini, Kak Jevan?" Karenia yang kembali dari toilet dibuat bingung dengan atmosfer dingin antara Jevano dan penjaga kasir minimarket.

Sedetik kemudian, Karenia baru sadar siapa penjaga kasir tersebut. Membuat Karenia tersenyum miring. "Ah, ada Narendra si miskin rupanya."

Narendra menatap tajam Karenia. Gadis ini ... padahal dia adalah sahabat Nadisa, tapi dia malah mengkhianati Nadisa dengan teganya.

"Kamu dari dulu memang menyedihkan, ya, Narendra? Mengejar-ngejar Nadisa tanpa pernah sadar diri. Bahkan cewek sombong itu sama sekali nggak pernah memandangmu sampai saat ini. Benar-benar pecundang sejati."

Narendra bergeming di tempatnya. Meremas kepalan tangannya di bawah sana. Kalau saja Karenia bukan perempuan, Narendra pasti sudah menghadiahkan bogeman mentah di wajahnya.

Karenia menarik kerah seragam Narendra untuk menunduk, lalu mendekatkan wajahnya pada Narendra. Mengabaikan meja kasir yang ada sebagai pemisah mereka.

Gadis seksi itu membisikkan sesuatu di telinga sang adam yang masih menatap sengit padanya. "Kamu sangat cocok dengan Disa, Narendra. Menyedihkan. Menyebalkan. Memuakkan. Kamu harusnya sedikit lebih berusaha, agar Kak Jevan berakhir denganku, bukannya dengan cewek sombong pujaanmu."

Karenia mendorong bahu Narendra hingga lelaki itu mundur. Pun Karenia segera merangkul lengan Jevano. "Ayo kita pergi, Kak Jevan. Orang kayak dia nggak perlu didengarkan. Nggak berguna."

Jevano pun pergi bersama Karenia. Lelaki tampan itu menyempatkan diri untuk tersenyum mengejek pada Narendra. Yang kini tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal gadis yang ia cintai tengah disakiti oleh lelaki brengsek di depannya.

***

Nadisa membuka matanya di pagi hari, lalu mendapati bahwa dirinya masih saja sendiri. Sepertinya, Jevano belum kembali sejak malam tadi. Padahal, dia sudah berjanji pada Nadisa bahwa akan pulang sebelum pagi.

"Pekerjaannya pasti sangat banyak," lirih Nadisa.

Setelahnya, gadis cantik itu bangkit dari ranjangnya. Berniat untuk bersiap, karena Nadisa akan pergi ke kantornya. Ia tidak ingin membuang waktunya dengan bermalas-malasan meski sudah menjadi istri orang. Nadisa harus fokus memajukan perusahaannya. Agar tidak harus bersandar pada Jevano terlalu lama.

Setelah membersihkan diri, Nadisa pun keluar dari kamar hotelnya. Memesan sebuah taksi di luar sana, lalu menaikinya dan tiba di kantor perusahaan milik keluarga Sanjaya.

Tepat saat Nadisa tiba di persimpangan dekat kantor Sanjaya, sebuah pesan ia terima di telepon genggamnya. Ting! Pesan dari Jevano, ternyata.

Nadisa, maaf aku tidak bisa pulang pagi ini. Pekerjaanku sangat banyak dan belum selesai sampai saat ini. Nanti siang akan aku jemput di hotel, kita pindah rumah baru kita.

Nadisa mematri sebuah senyum di bibir tipisnya. Benar, 'kan. Jevano ternyata lembur karena pekerjaannya. Maka Nadisa dengan tenang mengetikkan balasan.

Tidak apa-apa, Jevan. Aku mengerti. Tapi aku harus bekerja hari ini, sore nanti akan aku hubungi jika aku sudah selesai. Kamu bisa menjemputku di kantor nanti.

Tak menunggu lama, balasan dari Jevano kembali Nadisa terima. Kali ini, Jevano menjawabnya dengan emotikon jempol dan hati. Membuat Nadisa tersenyum lembut melihatnya.

Mungkin, mamanya benar. Jevan memang orang yang tepat untuknya.

"Kita sudah sampai di kantor Sanjaya's Group, Nona." Sopir taksi yang ditumpangi Nadisa berkata dengan sopan. Nadisa pun memberikan satu lembar uang berwarna merah muda. "Nona, saya tidak punya uang kembaliannya. Apa tidak ada uang pas?"

"Untuk Bapak saja. Terima kasih." Setelah mengatakannya, Nadisa pun keluar dari taksi yang ditumpanginya.

Tibanya Nadisa di kantor Sanjaya terjadi bersamaan dengan kedatangan Jeffrey Tirta Sanjaya; kakaknya. Lelaki tinggi itu tersenyum melihat adiknya, hingga lesung di kedua pipinya nampak. Membuat karyawan wanita di sana terpesona dan menahan pekikan histeris mereka.

"Disa?" panggil Jeffrey seraya mendekati Nadisa. "Kenapa datang hari ini? Kamu seharusnya beristirahat saja."

"Disa nggak punya waktu untuk istirahat," jawab Nadisa singkat.

Jeffrey sedikit menunduk karena ucapan tajam Nadisa. Adiknya itu … terlihat sangat membencinya.

"Kalau nggak ada yang mau dibicarain lagi, Disa pergi."

"Tunggu," kata Jeffrey. Sulung Sanjaya itu mengulurkan tangannya yang memegang roti dan kopi. Sarapan yang sebenarnya ia beli untuk dirinya sendiri. "Kamu sering lupa sarapan. Mulai sekarang, jangan begitu lagi."

Nadisa yang malas untuk memulai pertengkaran jika menolak, terpaksa menerima pemberian Jeffrey. "Terima kasih."

"Kakak minta maaf, Disa. Kakak akan berusaha membuat perusahaan kita stabil lagi. Dengan begitu, kamu bisa memutus ikatanmu dengan Jevan. Kakak akan bantu kamu untuk bisa bebas lagi. Kakak janji."

Helaan napas dari Nadisa menjadi sahutan dari ucapan Jeffrey. Nadisa mendongak, menatap kakaknya tepat di mata. Mendapati tatapan bersalah di wajah Jeffrey. Mata Jeffrey bahkan sudah berair, seolah siap untuk menangis di hadapan adik kesayangannya.

Hal itu membuat Nadisa sadar.

Mungkin ... selama ini Nadisa sudah keterlaluan pada kakaknya?

"Kakak nggak perlu melakukannya. Disa bahagia dengan Jevan. Kakak lakukan saja seperti sebelumnya. Buat Mama bangga. Disa juga akan bantu Kakak." Nadisa berkata dengan senyuman manisnya.

Benar, Nadisa pikir, inilah yang terbaik. Lagi pula, memang tidak ada yang bisa Nadisa lakukan, kecuali berdamai dengan keadaan. Dia pasti bisa melakukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status