Share

5. Tragedi

Malam kini telah datang. Mengusir mentari dari singgasananya, dan menggantinya dengan rembulan.

Di tengah gelapnya malam, Nadisa Tirta Sanjaya duduk seorang diri di lobi kantor perusahaannya. Pekerjaannya, yang ia kira bisa selesai sore hari tadi, nyatanya membuat dirinya harus lembur malam ini.

Kini, tepat saat arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas malam, Nadisa baru bisa merampungkan seluruh pekerjaannya. Dengan keadaan kantor yang sepi karena seluruh karyawannya sudah pulang. Pun jalanan sudah tampak lengang, tidak ada sedikit pun kendaraan umum yang lalu lalang.

Nadisa menempelkan telepon genggamnya ke telinga. Menunggu seseorang yang ia hubungi mengangkat teleponnya. Tapi alih-alih menerima jawaban dari orang tersebut, Nadisa justru mendengar suara operator di seberang sana.

"Nomor yang anda tuju tidak menjawab--"

Tut! Nadisa mematikan panggilannya untuk Jevano.

Gadis Sanjaya itu menghela napas panjang, lantaran teleponnya tak kunjung diangkat oleh lelaki yang kini telah resmi menjadi suaminya. Padahal, Nadisa sudah mencoba meneleponnya untuk kali ketiga.

Merasa lelah untuk kembali menelepon Jevano, Nadisa pun beralih menuju aplikasi pesan. Ia menuliskan beberapa kata di sana, lalu langsung mengirimkannya.

Jevan, bisa jemput aku sekarang?

"Nadisa." Suara bernada rendah itu membuat Nadisa mendongak, lalu terlonjak tatkala mendapati eksistensi Narendra Bagaskara di hadapannya. Sedang menunduk melihat Nadisa.

"Narendra? Mau apa kamu ke sini?" tanya Nadisa seraya bangkit dari duduknya.

Jujur saja, Nadisa kaget melihat Narendra masih nekad menemuinya. Padahal Narendra tahu, kalau Nadisa sudah menikah. Tidak bisa sembarangan diganggu olehnya karena Jevano pasti akan murka.

Narendra menundukkan pandangannya dengan tangan yang meremas di sisi tubuhnya. Mengumpulkan keberaniannya.

"Kenapa diam saja, Narendra? Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kamu pergi."

"Nadisa," lirih Narendra. "Tolong … bercerailah dengan Jevano."

Ucapan Narendra membuat Nadisa nyaris tersedak liurnya sendiri. "Uhk! Apa maksudmu? Kamu sudah gila ya?!" tanya Nadisa dengan mata yang melotot.

"I-ini demi kebaikan kamu, Nadisa. Jevano … dia bukan lelaki yang baik. Dia–" Bug! Penjelasan Narendra terpotong karena Nadisa mendorong bahunya cukup keras.

Narendra bahkan sampai mundur dua langkah karena tindakan Nadisa.

"Hentikan omong kosongmu, Narendra." Nadisa menatap jengah pada Narendra.

Gadis itu merogoh tasnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah muda. Nadisa pun menyodorkannya pada Narendra.

"Ini, ambil. Kamu nggak usah buat drama depan aku, apalagi menjelek-jelekkan suamiku. Sekarang cepat kamu pergi dan tinggalkan aku sendiri." Nadisa berkata dengan nada kesalnya.

Narendra menggelengkan kepalanya kuat-kuat, enggan menerima uang yang disodorkan oleh Nadisa. Lelaki manis itu malah menggenggam tangan Nadisa. Belum menyerah untuk meyakinkan sang gadis Sanjaya

"Aku nggak butuh uang kamu, Nadisa. Aku mau kamu percaya sama aku! Dengarkan aku! Jevano … dia berselingkuh dengan Karenia. Dia–"

Brugh! Nadisa menghempaskan tubuh Narendra dengan sekuat tenaga, hingga lelaki manis itu jatuh terduduk di tanah. Nadisa menatap dingin Narendra.

Gluduk! Gluduk! Ctar! Suara petir tiba-tiba saja terdengar bersahutan. Disusul oleh turunnya hujan. Narendra, yang terduduk di hadapan Nadisa, menatap Nadisa dengan putus asa.

"Kumohon, percayalah padaku…" Lirih Narendra.

"Aku sudah mencoba bersabar, tapi kebohonganmu sudah keterlaluan. Perselingkuhan bukanlah candaan, Narendra," desis Nadisa.

Gadis itu melemparkan uang di tangannya, hingga uang tersebut mengenai wajah Narendra. "Orang miskin memang memuakkan."

Ucapan bernada tajam dari Nadisa membuat Narendra mematung di tempatnya. Suara Nadisa bergema di dalam otaknya. Menyakitkan.

Padahal, dirinya sangat mencintai sang dara. Padahal, dirinya hanya ingin Nadisa tidak terluka. Padahal, Narendra hanya ingin agar Nadisa bisa bahagia, sekali pun tanpa dirinya.

Melihat Narendra terdiam, Nadisa pun memanfaatkan kesempatan itu untuk merajut langkahnya menjauhi sang adam. Menerobos hujan yang kini sedang mengguyur Kota Jakarta, tanpa memedulikan air yang membasahi tubuhnya.

Ia hanya ingin menjauhi Narendra karena sudah muak dengannya.

"Nadisa, a-aku mengerti! Aku tidak akan mengganggumu lagi! Tapi setidaknya izinkan aku mengantarmu pulang malam ini!" ujar Narendra, tatkala Nadisa sudah beberapa meter di hadapannya. "Terlalu berbahaya jika kamu pulang seorang diri!"

Nadisa yang mendengar teriakan Narendra pun membalikkan tubuhnya. Memperlihatkan dirinya dengan blus dan rok selutut serba putih yang mulai menjadi basah. Tapi alih-alih mengiyakan tawaran Narendra, Nadisa justru menunjukkan jari tengahnya.

Ia benar-benar sudah membenci Narendra.

"Urusi saja urusanmu sendiri, Sialan!" balas Nadisa.

Nadisa kemudian melangkahkan kakinya lebih cepat. Meninggalkan Narendra yang hanya bisa terduduk di tanah. Seraya memandang nanar pada punggung sempit Nadisa yang perlahan mulai menjauh darinya.

***

Jevano Putra Hartono melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi, hanya dengan baju handuk berwarna putih yang membalut tubuh tegapnya. Tepat saat Jevano melihat ke arah ranjang, Jevano tersenyum senang.

Dapat dilihat olehnya Karenia Winata, yang sedang berbaring dan bersandar pada kepala ranjang. Hanya dengan selimut tebal berwarna putih miliknya.

Gadis cantik itu balas tersenyum pada Jevano, lalu memberikan isyarat agar suami dari sahabatnya itu ikut berbaring bersamanya.

Jevano berbaring di sisi Karenia dan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Karenia dan menghirup harum tubuhnya. Pun Karenia tidak menolak, membiarkan Jevano melakukannya karena ia juga suka.

"Tadi dia menelepon," kata Karenia tiba-tiba. Membuat Jevano menarik wajahnya dari leher Karenia. Menatapi wajah cantik Karenia yang terlihat memandanginya.

"Dia … Disa?" tanya Jevano.

Dibalas anggukan kecil dari Karenia. Jevano segera mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas nakas. Kemudian Jevano bergegas memeriksa aktivitas panggilan di sana.

"Tapi nggak Karen angkat. Tenang saja," kata Karenia. Membuat Jevano sontak menghela napas lega, lalu meletakkan telepon genggamnya kembali di atas nakas. Tanpa tahu bahwa Nadisa sebenarnya mengirimkan pesan padanya.

Karenia mengubah posisinya menjadi berbaring menghadap Jevano, dengan memegangi selimut agar menutupi tubuh polosnya. Ia menatap Jevano dengan pandangan yang lembut.

"Kak Jevan takut, ya?"

Jevano tertawa kecil, mengusap lembut rambut hitam panjang bergelombang milik Karenia. "Aku tidak takut, Karen."

"Kak Jevan takut," kata Karenia. "Kakak takut Disa akan tahu tentang kita. Kakak takut karena Kakak sebenarnya cinta sama dia, 'kan?"

Jevano menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman tipis di sana. Lalu memeluk Karenia dengan cukup erat. "Sudah malam, tidur saja, ya?"

"Kak Jevan menghindar. Berarti Kakak beneran cinta sama Disa," simpul Karenia.

Gadis cantik itu berusaha meloloskan diri dari dekapan Jevano, tetapi Jevano menahannya dengan mempererat pelukannya.

"Aku cintanya sama kamu, Karen." Jevano berkata dengan suara yang lembut. Kemudian ia mengecup pipi Karenia. Berusaha menenangkan gadisnya.

"Beneran?" tanya Karenia.

"Iya, Sayang. Kalau aku tidak cinta sama kamu, aku tidak akan ada di sini. Aku akan ada di rumahku bersama dia, bukannya sama kamu di apartemen kita."

"Terus kenapa Kak Jevan malah menikahi Disa?" tanya Karenia, seolah menantang.

Jevano sempat terdiam, baru kemudian kembali memasang senyuman di wajahnya yang tampan. "Untuk mendapatkan perusahaan orang tuaku, tentu saja. Ibuku berjanji akan memberikan seluruh aset keluarga padaku, jika aku bisa menikahi Nadisa. Jadi tentu saja aku melakukannya. Aku mau kamu hidup bahagia dan kaya raya bersamaku, Karen."

Karenia tersenyum senang mendengar penuturan lelaki yang tengah berbaring di sampingnya. Gadis itu menyamankan posisinya di dalam pelukan Jevano. Menenggelamkan wajah cantiknya pada dada bidang sang lelaki tercinta.

"Kalau gitu, berarti … Kakak nggak akan sedih 'kan kalau Disa hilang?" tanya Karenia dengan suara yang manja.

"Hilang?" ulang Jevano dengan bingung. Agaknya, putra tunggal dari keluarga Hartono tersebut tidak mengerti arah pembicaraan gadisnya.

"Iya. Disa nggak ada, terus Kakak sama Karen selamanya. Kita bahagia berdua, tanpa Disa. Boleh kalau begitu?" jelas Karenia.

Gadis itu mendongak, memperhatikan wajah tampan Jevano. Jari tangannya bahkan menyentuh garis rahang Jevano yang tegas. Mengagumi mahakarya Tuhan yang tercetak dengan sangat indah di sana.

"Boleh 'kan, Kak?" tegas sang gadis Winata.

Jevano, yang sebenarnya masih belum mengerti, akhirnya memilih untuk mengangguk dan mengamini. "Iya, Karen."

Karenia tersenyum bahagia, lalu mencuri kecupan kecil di rahang Jevano. Ia benar-benar mencintai lelaki kaya di depannya. Ia ingin memilikinya, tanpa ada gangguan seperti seorang Nadisa Tirta Sanjaya.

Karenia bangkit dari ranjang, dengan tangan yang menahan selimut di tubuhnya.

"Karen mau mandi dulu. Kak Jevan tidur saja duluan, pasti Kakak lelah habis bekerja. Oh iya, ponsel Kakak, Karen pegang, ya. Biar Kakak bisa tidur tanpa gangguan."

Jevano tersenyum dan mengangguk. Membiarkan Karenia masuk ke kamar mandi bersama dengan dua telepon genggam, satu milik Jevano dan satu milik Karenia.

Sementara itu, Jevano sendiri mulai menutup mata dan berusaha mencapai alam mimpinya. Tapi sebelum Jevano benar-benar terlelap, bibirnya bergerak pelan.

"Disa, andai saja kamu benar-benar mencintai aku… Semuanya pasti tidak akan serumit ini..."

Karenia belum benar-benar menutup pintu kamar mandi, tatkala lirihan Jevano mengudara di kamar yang mereka tinggali. Gadis itu kemudian meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Hatinya panas. Karenia tidak bisa menerima fakta bahwa Jevano nyatanya masih mencintai Nadisa, sahabatnya.

Hidup Nadisa Tirta Sanjaya selama ini sudah terlalu sempurna. Setidaknya, setelah ini, biarkan Karenia memiliki Jevano dan seluruh kekayaannya.

Karenia kemudian menelepon seseorang melalui telepon genggam miliknya.

Tut. Tepat saat telepon tersebut diangkat, Karenia hanya mengatakan satu kata yang teramat singkat. "Lakukan."

***

Nadisa Tirta Sanjaya melangkahkan kakinya dengan cepat. Tidak peduli dengan kakinya yang kini mulai terasa perih, lantaran berjalan jauh menggunakan sepatu haknya.

Ah, ini semua karena ulah Narendra.

Nadisa jadi gegabah meninggalkan kantornya dan berakhir luntang-lantung di jalan karena tidak menemukan kendaraan untuk pulang. Sialan.

Gadis Sanjaya itu menolehkan kepalanya ke sekitar, kembali berharap dapat menemukan kendaraan umum yang bisa mengantarnya pulang. Akan tetapi, Nadisa hanya mendapati kegelapan yang sepi dan hujan yang masih saja setia membasahi bumi.

Tin! Suara klakson itu membuat Nadisa kembali menghadap depan.

Pupil mata Nadisa melebar tatkala melihat sebuah mobil bergerak menuju dirinya. Nadisa tersenyum senang, mengira bahwa mungkin mobil itu adalah taksi online yang ingin menawarkan jasa.

"Di sini, Pak!" ujar Nadisa.

Tapi kesenangan Nadiaa segera terganti oleh rasa terkejut, lantaran mobil itu justru mempercepat lajunya. Bahkan terlihat seperti hendak menabrak Nadisa.

Tidak ingin mati konyol, Nadisa pun berlari menghindar, memasuki jalan sempit yang ada di dekatnya. Merasa lebih aman, Nadisa menoleh ke belakang. Mendapati mobil tadi berhenti tepat di depan gangnya.

Tak lama setelahnya, seseorang keluar dari kursi kemudi. Membuat Nadisa menajamkan penglihatannya, lalu melihat pantulan cahaya dari sesuatu yang dibawa oleh sang pengemudi. Pisau. Nadisa yakin itu pisau!

"Shit!" Putri bungsu keluarga Sanjaya itu pun segera mengambil langkah pergi. Semakin memasuki jalan sempit, yang entah akan membawanya ke mana.

Nadisa memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, lalu mendapati sosok itu sedang berlari mengejarnya!

Nadisa kini dapat melihat bahwa orang itu adalah laki-laki muda, dengan postur tubuh kurus tapi masih lebih tinggi dibandingkan Nadisa. Postur tubuh tersebut membuatnya dapat dengan mudah mengejar Nadisa, bahkan sudah nyaris menjangkau sang gadis Sanjaya.

Brugh! Nadisa yang panik justru tanpa sengaja menginjak batu, membuat dirinya jatuh terduduk ke tanah dengan kaki yang memar. Kini, Nadisa terduduk dengan bahu gemetar, memandangi sosok lelaki berpakaian serba hitam yang kian mendekat di tengah guyuran hujan.

"Ka-kamu mau apa?!" Nadisa berteriak dengan panik karena sosok itu sudah berada tepat di hadapannya. Nadisa tidak bisa lari lagi karena kakinya teramat nyeri. "Kamu mau uang?! A-aku akan kasih, tapi tolong jangan sakiti aku!"

"Aku nggak minat sama uang kamu," jawab lelaki itu dengan tenang. Ia menjatuhkan satu lututnya di hadapan Nadisa. Membuat wajahnya sejajar dengan sang gadis Sanjaya.

"La-lalu kamu mau apa?! Aku bisa kasih apa aja! Mobil? Rumah? Apa pun akan aku belikan, tapi jangan sakiti aku!"

Orang itu mendekatkan wajahnya pada Nadisa. Membuat Nadisa dapat melihat wajah manisnya. Nadisa bahkan mengernyit karena sosok di depannya memiliki wajah yang sangat manis dan cantik, seperti lelaki yang masih kecil.

"J-jawab! Kamu mau apa dariku?!" desak Nadisa.

"Nyawamu." Orang itu mengangkat pisaunya tinggi-tinggi, membuat Nadisa secara refleks memejamkan matanya karena merasa takut setengah mati.

Bugh!

Beberapa detik Nadisa habiskan dengan memejamkan mata, tetapi rasa sakit belum juga mendera dirinya. Nadisa pun memberanikan diri membuka mata, lalu mendapati seseorang sedang beradu kekuatan dengan sang lelaki menyeramkan.

Itu Narendra! Narendra menyelamatkannya!

"Narendra!" panggil Nadisa.

Bugh! Narendra memberikan pukulan telak di rahang sang penjahat, hingga lelaki itu terhempas ke tanah. Narendra pun menghujaninya dengan pukulan. Meski begitu, lelaki jahat tadi masih berusaha memberikan perlawanan.

"Lepaskan aku, Sialan!" ujar lelaki bertubuh kurus itu.

"Pergilah, Nadisa! Biar aku yang mengurusnya!" kata Narendra.

"I-iya." Nadisa menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Pun gadis itu memaksakan kakinya untuk kembali berlari, kali ini keluar dari gang kecil tadi. Nadisa mendesis perih lantaran kakinya sungguh sakit, tapi ia tidak boleh berhenti.

Nadisa merogoh tasnya, kemudian berusaha mengeluarkan telepon genggamnya dengan tangan yang sudah gemetaran. Sudah mendapatkan telepon genggamnya, Nadisa pun memberanikan diri menoleh ke belakang.

Akan tetapi, pemandangan mengerikanlah yang justru terpampang.

Nadisa dapat melihatnya. JLEBB! Sosok itu menancapkan pisaunya di dada kiri Narendra. Langsung membuat Narendra tewas seketika.

Nadisa menahan napasnya, dengan mata yang terbuka lebar karena rasa kagetnya. Tanpa sengaja, Nadisa melihat wajah pembunuh itu. Mendapati senyuman lebar nan menyeramkan di wajah tersebut. Membuat sekujur tubuh Nadisa bergetar ketakutan.

Meski begitu, Nadisa kembali memacu langkahnya, untuk berlari menjauhi pembunuh yang bahkan tidak dikenalnya.

'Narendra… Maafkan aku…'

Ucapan itu terus berputar di kepala Nadisa. Membuat gadis itu kian menangisi lelaki manis yang telah mengorbankan nyawa untuknya. Nadisa merasa bersalah karena sudah bertindak kasar pada Narendra, padahal lelaki itu mati-matian menyelamatkannya.

"Maafkan aku, Narendra." Nadisa berbisik lirih.

Brughh! Di saat yang sama, Nadisa kembali jatuh terduduk karena kakinya yang sudah tidak kuat melangkah.

Dengan napas yang memburu, Nadisa merangkak menjauh, lalu menyembunyikan dirinya di balik dinding taman. Berjongkok lalu meringkuk di sana. Berharap tidak ada satu pun orang yang dapat menemukannya.

Agar setidaknya, pengorbanan Narendra tidak sia-sia.

Dengan tangan yang masih bergetar hebat, Nadisa berusaha mencari kontak Jevano. Pun gadis itu segera meneleponnya. Berharap sang suami dapat segera datang untuk menyelamatkannya.

Tuuut. Tuuut. Tuuut. Suara dering telepon terdengar sangat lambat di telinga Nadisa. Kontras dengan detak jantung Nadisa yang kian menggila. Gadis itu membekap mulutnya sendiri, mencegah suara tangisannya terdengar oleh pembunuh tadi.

Tut. Tepat saat telepon itu diangkat, Nadisa seolah mendapatkan harapan.

"Jevan--"

"Bisakah kamu jangan mengganggu pacarku, Disa? Kami sedang menghabiskan waktu bersama."

Deg. Jantung Nadisa seakan berhenti berdetak tatkala ia mendengar suara jernih milik Karenia di seberang sana. Membuat sang gadis Sanjaya terdiam mematung di tempatnya.

"Maksud--"

"Ah, kamu belum mengerti juga ya, Disa? Aku pacaran sama suami kamu, Kak Jevan. Masa gitu aja kamu nggak ngerti. Payah banget sih, padahal lulusan terbaik di fakultas kita."

"J-jangan bercanda, Karen. A-aku sangat butuh Jevan sekarang." Nadisa berusaha menjawab dengan suara yang pelan yang bergetar.

"Oh? Iyakah? Tapi sayangnya, Kak Jevan malah lagi butuh aku--"

"Sayang, kamu ngapain? Lama banget di kamar mandinya?" Suara Karenia Winata terpotong oleh suara Jevano, yang terdengar serak karena baru saja terbangun dari tidur singkatnya.

Kedua mata Nadisa melebar tatkala mendengarnya. Karenia tidak berbohong. Karenia sedang bersama Jevano. Dan panggilan sayang tadi … menunjukkan bahwa Karenia memang bermain api dengan Jevano. Suami dari Nadisa, yang merupakan sahabat Karenia sejak masa Sekolah Menengah Atas.

Narendra … tadi tidak berbohong pada Nadisa

"Iya, Kak Jevan. Karen datang!" Karen berkata dengan suara lembutnya di seberang sana. "Sudah dulu ya, Disa. Kak Jevan sepertinya ingin main lagi denganku. Ah, iya. Hampir saja aku lupa mengatakannya ..."

Nadisa terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa karena pikirannya terasa kacau sekarang.

"... sampai jumpa di neraka, Disa."

Tepat saat Karenia mengakhiri sambungan telepon antara dirinya dan Nadisa, satu buah pisau yang teramat tajam tiba-tiba bersarang di leher sang gadis Sanjaya.

Jlebb! Membuat Nadisa jatuh tergeletak di tanah. Dengan darah yang mengalir deras dari luka di lehernya.

Nadisa terdiam, seakan menunggu ajal mendatanginya. Nadisa dengan pasrah memandangi sosok pembunuhnya, yang kini menatap Nadisa dengan senyuman menyeramkan di wajahnya. Dengan samar, Nadisa mendengar lelaki itu berbicara dengan suara lembutnya, seraya merekam tubuh Nadisa yang tergeletak tak berdaya.

“Kak Karen, ini buktinya ya. Rifan sudah menghabisi Kak Nadisa. Besok jangan lupa temui Rifan. Rifan sayang Kak Kar—“.

Nadisa perlahan mulai ditelan kegelapan. Membuatnya yakin bahwa kematian akan segera datang. Ia bahkan tidak bisa lagi mendengar suara seseorang yang menyebut dirinya sendiri sebagai Rifan.

Dalam kegelapan yang menyelimutinya, Nadisa tenggelam dalam seluruh penyesalannya.

Nadisa menyesal tidak mengindahkan peringatan Narendra.

Nadisa menyesal tidak menerima bantuan Jeffrey untuk terbebas dari suaminya.

Nadisa menyesal sudah mulai mencintai Jevano.

Nadisa menyesal … telah mengenal Karenia.

"Nadisa Tirta Sanjaya, aku berikan satu kesempatan untukmu. Perbaikilah semua kesalahanmu, agar tidak ada lagi penyesalan di hatimu." Suara yang terdengar penuh wibawa namun lembut itu seakan menenangkan Nadisa. Membuat gadis yang saat ini tengah ditelan kegelapan, perlahan melihat sebuah cahaya.

Cahaya itu kian terang, hingga seluruh tubuh Nadisa diselimuti oleh pendarannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status