Nadisa mengerjap kaget lantaran mobil yang dikendarai oleh Jeffrey langsung tancap gas meninggalkan Karenia. Karenia di belakang sana bahkan melompat-lompat dan menghentakkan kaki dengan emosi. Kesal dan kebingungan karena ditinggalkan seorang diri oleh Nadisa dan Jeffrey."Hey! Kak Jeff! Disa! Kenapa aku ditinggal?!" teriak Karenia di belakang sana, terdengar samar dari dalam mobil Jeffrey karena suaranya yang memang terbilang sangat keras. "Argh! Sialan!"Nadisa bahkan sampai memutar tubuhnya, melihat Karenia yang wajahnya tampak memerah lantaran terbakar amarah. Baru kemudian Nadisa menoleh pada sang Kakak. Mendapati Jeffrey Tirta Sanjaya yang masih saja menyetir dengan sangat tenang. Seolah tidak ada masalah."Kak? Kok kita–""Kenapa kita meninggalkan Karenia?" potong Jeffrey, menebak pertanyaan dari Nadisa."I-iya," jawab Nadisa pelan.Jeffrey menyempatkan diri melempar senyum pada Nadisa, sebelum akhirnya ia kembali fokus memandang ke jalan di depannya.
Jeffrey kembali mendapati kebisuan dari adiknya. Membuat anak sulung keluarga Sanjaya itu menoleh, lalu mengelus kepala Nadisa dengan begitu lembutnya."Kenapa, Disa?" tanya Jeffrey lembut."Nggak–""Jevano Putra Hartono, ya?" tebak Jeffrey. "Kakak dengar, Mama pernah meminta kamu untuk lebih mengenal Jevan karena dia adalah putranya Tante Jessica. Kamu jadi tidak nyaman, ya?"Nadisa masih terdiam di tempatnya. Andai saja Jeffrey tahu kalau masalahnya tidak semudah itu. Di kehidupan sebelumnya, Nadisa telah dikhianati oleh Jevano. Parahnya lagi, Jevano melakukannya dengan Karenia Winata yang jelas-jelas merupakan sahabat Nadisa. Nadisa tidak bisa untuk baik-baik saja."Kalau kamu tidak mau, Kakak saja yang menemui para kolega kita, Disa. Pekerjaan Kakak bisa ditunda sebentar." Jeffrey berkata lembut.Nadisa menggigt bibir bawahnya.Benarkah Nadisa harus berdiam diri? Bukankah dirinya terlalu pengecut jika ia memilih untuk menghindar dan enggan m
Tentu saja Nadisa kaget bukan kepalang saat melihat kedatangan Jevano dan Karenia. Mereka berdua datang bersama, pula. "Nadisa? Anda dengar saya?" tanya Sean.Sean menatap bingung pada gadis cantik di hadapannya. Pasalnya, Nadisa yang awalnya terlihat ramah kini tampak mematung. Hingga Sean memutuskan untuk mengikuti arah pandang Nadisa.Lalu Sean dapat melihat kehadiran Jevano Putra Hartono dengan seorang gadis cantik di sampingnya."Jevano?" gumam Sean. "Aa, Sean, tentu saja saya mendengarkan Anda," kata Nadisa dengan suara ramahnya. Kembali mengarahkan atensi Sean padanya. Membuat Sean tersenyum pada sang gadis Sanjaya.Di saat yang sama, Jevano dan Karenia tiba di tempat mereka."Selamat pagi," Jevano menyapa seraya berjabat tangan dengan Sean. Hanya saling bertukar senyum tipis karena keduanya tidak dekat. Lalu Jevano mengulurkan tangannya pada Nadisa. "Pagi, Nadisa. Aku turut berduka atas kepergian papamu."Nadisa sempat memandangi tangan Jevano dalam diam. Menyulut tatapan ta
Karenia tanpa sadar mencekal tangan kiri Nadisa karena terbawa oleh rasa kesalnya. Jelas saja ia tersulut karena ucapan Nadisa yang seakan mencemooh dirinya. Tindakan Karenia itu membuat Nadisa meringis kesakitan."Aw, sakit! Apa yang kamu lakukan, Karen?! Apa aku salah bicara?" tanya Nadisa, berpura-pura kesakitan.Nyatanya, Karenia bahkan tidak mencengkram lengan Nadisa terlalu kencang.Melihat Nadisa yang kesakitan, Jevano dan Sean kontan menatap nyalang Karenia. Jevano bahkan nyaris beranjak, hendak menarik tangan Karenia dari lengan Nadisa. Akan tetapi, Karenia sudah bergegas melepaskan tangannya."T-tentu tidak! I-itu … jam! Lihat jam tanganmu. Sudah waktunya untuk bekerja," kata Karenia dengan panik.Nadisa tertawa dalam hati. Lihatlah, gadis licik ini terlihat mati kutu di hadapan dua lelaki kaya raya incarannya. Terlihat begitu menyedihkan."Ah, iya. Kamu benar, Karen. Sudah jam sembilan rupanya," ucap Nadisa dengan tenang. "Aku dan Karen harus
Nadisa kembali melangkahkan kakinya. Hendak menuju ruangannya. Gadis Sanjaya itu tanpa ragu meninggalkan Karenia yang terdiam dan menatap nyalang pada punggung berbalut blazer hitamnya.Karenia berdecak seraya melipat tangan di depan dada."Apa-apaan, sih, dia. Cewek sialan nggak jelas." Karenia berdesis, sebelum akhirnya ia berjalan menuju area kerja departmennnya.Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Karenia jejaki, tiba-tiba saja sebuah suara berhasil menghentikan Karenia. Suara yang tidak terlalu asing bagi Karenia."Karenia!"Suara lelaki itu membuat Karenia menolehkan kepala. Senyuman kontan menghiasi wajah cantik Karenia. Tak lupa, ia menyelipkan rambut hitam bergelombangnya ke belakang telinga. Lalu menunggu lelaki itu berjalan mengikis jarak dengannya."Sean?" panggil Karenia dengan sangat lembut. Dalam hati, Karenia bersorak kegirangan. Lihatlah, lelaki kaya ini akhirnya tertarik juga pada dirinya. Dasar sok jual mahal di awal. "Ada apa? Ken
Nadisa saat ini sedang duduk di kursinya; dalam ruang sekretaris direktur utama. Nadisa kemudian melirik ke arah pintu bertuliskan direktur utama yang tak jauh darinya. Pintu ruangan yang biasanya diisi oleh sang Papa.Nadisa beranjak dari posisinya, kemudian memasuki ruangan papanya.Kedua kaki berlapiskan sepatu hak tinggi milik Nadisa melangkah mendekati jendela kaca di sana. Kemudian melihat banyaknya mobil pick up yang menurunkan karangan bunga berbagai warna di area kantor Sanjaya."Hah …" Nadisa menghela napas pelan.Gadis Sanjaya itu tenggelam dalam pikirannya. Pada awalnya, Nadisa memang berangkat ke kantor untuk membuat rencana guna menghindari takdir buruknya. Akan tetapi, berhadapan langsung dengan para penyebab kehancuran hidupnya ternyata sangat sulit bagi Nadisa. Rasa takut, khawatir, juga amarah seakan meledak-ledak dalam benak Nadisa.Terutama saat melihat wajah Jevano dan Karenia.Akan tetapi, satu hal yang Nadisa tahu. Nadisa haru
Nadisa menenggak habis susu kocok rasa cokelatnya. Makan siangnya pun telah tandas tak bersisa. Membuat gadis itu berniat untuk membuang wadah makanannya dan kembali ke ruangannya, di depan ruangan direktur utama.Krieet.Suara pintu yang terbuka di ruangan Nadisa membuat gadis itu bergegas keluar dari ruangan sang Papa. Senyuman terpatri manis di wajah Nadisa."Kakak kok balik lag–"Ucapan Nadisa terhenti tatkala mendapati sosok Jevano Putra Hartono di dalam ruangannya sebagai sekretaris direktur utama. Dia. Bukan. Kakaknya. Senyuman di wajah Nadisa pun perlahan lenyap."Jevan…?" gumam Nadisa, dengan wajah bingungnya.Jevano tersenyum manis dengan kedua mata yang menyipit. Terlihat tampan juga menggemaskan di saat yang bersamaan. Sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Nadisa tatkala menatapnya."Mau makan siang bersamaku, Nadisa?" tawar Jevano.Nadisa mengangkat kantung kertas yang sedang dibawanya. Pun ia berjalan ke arah Jevano, hendak
Nadisa berlari menyusuri kantornya. Dengan napas yang tersengal dan rambut kelam yang diterpa angin, selaras dengan betapa cepat langkahnya. Beberapa karyawan yang kebetulan sedang melintas pun menoleh dan memandangi Nadisa dengan keheranan. Tapi sama sekali tidak Nadisa indahkan.Suara karyawan perempuan tadi kembali mengalun di telinga Nadisa."Ha-harusnya masih ada, Nona. Tadi saat kami lihat, lelaki bernama Narendra Bagaskara itu ada di ruangan HRD."TAK! TAK! TAK!Nadisa kian mempercepat laju langkahnya. Mengabaikan kebisingan yang tercipta akibat hentakan sepatu hak tingginya dengan lantai kantor Sanjaya. Dirinya ... sangat ingin bertemu dengan Narendra Bagaskara. Penyelamatnya.***Karenia Winata beserta seluruh staf Human Resource Development sudah duduk berjejer di ruangannya. Berhadapan dengan dua kandidat karyawan baru di kantor Sanjaya."Jujur saja. Kalian berdua memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi staf human resource di perus