Share

Bab 4 Gosip

Penulis: Lin shi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-03 16:34:31

Sudah dua bulan berlalu sejak perceraiannya dengan Dina, namun luka itu masih terasa segar. Danang berharap dunia segera melupakan aibnya. Tapi kenyataan justru sebaliknya.

Hari ini, kantor terasa berbeda. Tidak ada yang terang-terangan bertanya, tetapi Danang tahu—mereka tahu.

Di pantry, ia sedang menuang kopi ketika samar-samar telinganya menangkap suara dua orang staf muda berbicara pelan.

“Eh, katanya cerai karena selingkuh, ya?”

“Iya, aku juga denger gitu. Gila sih... padahal mukanya kayak alim.”

"Ssstt! Jangan keras-keras. Dia denger tuh..."

Danang menggertakkan giginya. Tangannya gemetar menahan emosi. Ia menoleh cepat , dan kedua staf itu buru-buru pergi. Danang letakkan cangkirnya di atas meja tanpa menyesap sedikit pun, dan berlalu meninggalkan ruang pantry dengan langkah cepat.

Di dalam ruang kerjanya, Danang mengepalkan tangan, wajahnya memerah menahan amarah.

"Siapa yang membocorkan perceraianku?" batinnya bergemuruh.

"Yoga, Toni, dan Rudy... mereka tahu aku sudah menikah. Apa mungkin salah satu dari mereka?"

Danang keluar dari ruang kerjanya. Dia melangkah menuju ruang kerja Yoga. Ia membuka pintu ruang kerja Yoga tanpa mengetuk dahulu. Dia masuk dan menutup pintu ruang kerja Yoga dengan sedikit keras. Yoga yang tengah mengetik menoleh cepat.

"Astaghfirullah... !" Yoga memegang dadanya. "Kau buat jantungku mau copot, Dan. Ada apa?

“kamu yang nyebarin kabar itu, ya?”

Yoga mengerutkan kening. “Kabar apa?”

“Jangan pura-pura. Soal perceraianku. Orang-orang kantor udah pada tahu. Aku denger sendiri mereka ngomongin perceraianku.”

Yoga bangkit dari kursinya, wajahnya serius.

“Dan, Aku nggak pernah cerita apa pun ke siapa pun. Kamu temenku, bro. Aku ngerti itu masalah pribadimu, tidak mungkin aku jadikan konsumsi publik.”

“Tapi cuma kamu yang tahu detailnya.”

Yoga menggeleng keras. “Nggak cuma aku, Dan. Toni, Rudy juga tahu. Tapi sumpah, aku nggak pernah ngomong. Kamu harus percaya.”

Danang menatap Yoga tajam. Hatinya masih membara, tapi sorot mata Yoga terlihat jujur—dan itu justru membuatnya semakin bingung.

"Jadi... bukan kamu?"

"Bukan, Dan," jawab Yoga tenang, dengan nada yang tidak terlihat menyembunyikan apa pun.

Danang terdiam sejenak, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan perasaan berkecamuk. Ia kembali ke mejanya, tapi pikirannya tak kunjung tenang.

Siapa yang menyebarkan kabar perceraiannya?

Jam makan siang, Danang segera menuju kantin. Dia mencari keberadaan Toni dan Rudy.

Begitu melihat keduanya, Danang mendatangi meja mereka . Tanpa basa-basi, ia duduk dan langsung berkata, “Siapa yang nyebarin cerita soal perceraianku?”

Toni meletakkan sendoknya. “Cerita apa?”

“Soal aku cerai!” Danang menatap dua temannya bergantian.

Rudy terbelalak. Dengan suara yang pelan ia bertanya. “Loh... cerai? Kamu cerai ?" 

Danang menggeram. “Jangan pura-pura kaget, Rud. Kalian tahu aku sudah nikah, dan kalian juga tahu aku ada masalah dengan istriku."

Toni ikut angkat tangan. “Serius, Dan. Aku tahu kamu nikah, tapi soal cerai? Aku tidak tahu. Baru sekarang sekarang aku tahu, Dan. Itu juga Kamu yang mengatakannya.”

Rudy mengangguk. “Iya, Dan. Demi Tuhan, bukan kita yang nyebarin. Kita juga nggak tahu orang lain tahu dari mana.”

“Aku nggak punya musuh di sini,” gumam Danang, suaranya pelan tapi dingin. “Kalau bukan dari kalian, siapa lagi?”

“Mungkin ada yang liat postingan mantanmu? Atau temen-temennya dia yang kebetulan kerja di sini?” tebak Rudy.

Danang terdiam.

Toni menyandarkan tubuh ke kursi. “Atau bisa jadi, ada orang luar yang nyebarinnya. Tapi bukan dari kami, Dan. Percaya deh.”

Danang bangkit berdiri. “Kalau aku tahu siapa yang mulaiin, aku nggak bakal diam aja.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Toni dan Rudy yang hanya bisa saling pandang.

“Ini bakal ribet,” desah Rudy.

"Siapa yang menyebarkannya ? Aku saja tidak tahu Danang cerai. Dia ada problem dengan istrinya, tahu. Tapi, kalo cerai, tidak," kata Rudy.

"Idem. Walaupun aku tahu, untuk apa juga kita cerita dengan orang lain. Kurang kerjaan sekali." Kata Toni.

~~~

Sementara itu, di sebuah toko kecil yang kini semakin ramai dengan aktivitas para penjahit, Dina tampak begitu bersemangat. Senyumnya tak pernah lepas sejak pagi, meski perutnya sudah mulai membesar memasuki bulan ketiga. Tangannya cekatan merapikan setumpuk kain yang siap dipotong, sambil sesekali memberi arahan kepada Rani dan Yuni.

“Ada benangnya keluar dikit, Mbak,” ujar Yuni sambil mengangkat satu set lengan baju yang belum dijahit.

Dina mendekat dan mengecek. “Iya, betulin lagi. Tapi cepat ya, Sabtu harus selesai dan Minggu harus sudah kita kirim.”

“Siap, Mbak!” jawab Rani dengan semangat.

Tawa kecil terdengar ketika Ana menjatuhkan satu gulung benang ke lantai, membuat semua ikut tergelak. Bahkan bunda Dina ikut tertawa kecil dari dapur, melihat putrinya tampak bahagia lagi setelah badai besar hidupnya.

Saat itulah terdengar suara depan pintu ruko.

“Assalamu’alaikum…” terdengar suara lembut.

Dina menoleh dan tersenyum. “Wa’alaikumsalam. Alma! Masuk, masuk!”

Alma masuk ke dalam toko yang penuh tumpukan kain. Ia langsung memeluk Dina sebentar, lalu menatap wajah sahabatnya dengan tatapan lembut.

“Kamu kelihatan makin glowing dan berisi,” goda Alma sambil duduk di kursi dekat jendela.

“Aku lagi bahagia. Usahaku mulai jalan, karyawan nambah, dan... ya, pelan-pelan hidupku balik ke jalurnya lagi,” jawab Dina dengan senyum lebar.

Alma ikut tersenyum, tapi matanya mengamati perut Dina yang membuncit.

“Kamu bahagia, aku ikut bahagia. Tapi, Din...” suara Alma mengecil. “Jangan terlalu sibuk ya. Ingat, kamu sedang hamil. Dan bukan satu... tapi tiga keponakan Tante Alma ads dalam sini.” Alma menunjuk perut Dina.

Dina terkekeh pelan. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau rebahan terus, Al. Aku senang lihat mereka kerja, lihat hasilnya. Rasanya kayak... aku punya kendali atas hidupku lagi.”

Alma memegang tangan Dina.

“Kendali itu penting. Tapi jangan lupa, tubuhmu juga butuh istirahat. Dan bayi-bayi di perutmu itu perlu ibu yang sehat, bukan yang kelelahan,” katanya lembut.

Bunda Dina datang membawa dua gelas es jeruk dan menyodorkannya ke meja.

“Benar kata Alma, Din. Kalau kamu kecapekan, bahaya."

“Iya, Bunda. Aku ngerti. Aku janji bakal jaga diri,” ucap Dina sambil mengelus perutnya.

Alma menatap sahabatnya dalam-dalam.

“Mbak Tatik mana?” tanya Alma.

“Lagi keluar beli benang,” sahut Dina.

“Aku senang, usahamu semakin maju,” kata Alma, tersenyum.

“Tiga keponakanmu membawa rezeki,” ucap Dina sambil mengelus perutnya.

Alma menatap wajah sahabatnya lekat-lekat, lalu bertanya pelan, “Din, apa kamu akan mengatakan soal kehamilanmu pada mantanmu?”

Dina tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong, menatap benang-benang rajut di hadapannya yang mendadak terasa kabur di matanya. Hening sejenak menyelimuti ruang kecil itu.

Lalu perlahan, Dina menoleh pada Alma. Suaranya lirih, tapi terdengar jelas.

“Kalau kamu jadi aku… apa yang akan kamu lakukan, Ma?”

Alma terdiam. Ia tidak menyangka Dina akan balik bertanya seperti itu. Tatapan Dina begitu dalam, seolah menyimpan luka yang terlalu lama dipendam.

“Apa kamu akan datangi pria yang pernah nyakitin kamu… cuma buat bilang, ‘Aku hamil anakmu’? Apa kamu pikir dia akan peduli?” suara Dina mulai bergetar.

Alma menghela napas pelan, lalu menggenggam tangan Dina yang mulai dingin.

“Din, aku tahu kamu kuat. Tapi ini bukan soal dia peduli atau tidak. Ini tentang kebenaran. Anak-anakmu punya hak tahu siapa ayah mereka.”

Dina menarik tangannya pelan, lalu berdiri. Ia berjalan ke arah jendela, menatap langit yang mendung.

“Kamu tahu apa yang paling aku takutkan, Ma?” katanya pelan. “Aku takut, saat aku bilang anak ini anaknya… dia malah anggap aku pakai bayi ini buat nyeret dia balik ke hidupku. Seolah-olah aku nggak move on, masih berharap.”

Alma berdiri, ikut menghampiri sahabatnya.

“Kalau kamu diam… suatu saat anak-anakmu bisa nuntut. ‘Kenapa Ibu nggak pernah cerita siapa ayah kami?’ Dan kamu… nggak akan punya jawaban.”

Dina terisak pelan. Ia menggigit bibir, menahan tangis yang nyaris pecah.

“Aku cuma ingin tenang, Ma… Hidup damai tanpa masa lalu terus menghantui.”

Alma memeluknya pelan, membiarkan sahabatnya menangis di pundaknya.

“Terkadang… untuk bisa tenang, kita justru harus berani menghadapi masa lalu. Bukan lari darinya,” bisik Alma, menepuk lembut punggung Dina.

Dan di antara isak tangis yang tertahan, Dina tahu—cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap diam, atau mengungkapkan kebenaran yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 62 Firasat

    Lorong rumah sakit terasa begitu panjang dan dingin bagi Dina. Langkah kakinya terasa berat, napasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya ikut menekan dadanya. Begitu tiba di depan ruangan dokter anak yang menangani Alya, tangannya gemetar saat mengetuk pintu.Suster yang berjaga di depan mempersilakan mereka masuk. Dina, Hanum, dan Seno segera melangkah ke dalam ruangan. Dokter anak itu berdiri dari kursinya, menyambut dengan senyum tipis namun wajahnya tampak serius.“Silakan duduk dulu, Bu Dina,” ujar sang dokter lembut.Dina mencoba duduk, tetapi tubuhnya terasa kaku. Tangannya saling menggenggam di pangkuannya, bergetar hebat. Suaranya nyaris tak keluar ketika ia berkata, “Bagaimana kondisi Alya, Dok?”Namun sebelum dokter menjawab, suaranya pecah dan matanya langsung basah. Hanum segera meraih bahu Dina, menenangkannya. “Tenang dulu, Nak. Dengar baik-baik apa kata dokter, ya?”Seno yang sedari tadi berdiri di belakang kursi, menatap dokter dengan tegas namun sopan. “Silakan, D

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 61 Kabar dari rumah sakit

    Malam itu, suasana rumah terasa sepi. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar pelan. Aida duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi lantai tanpa fokus. Wajahnya pucat, matanya kosong. Malam ini, dia sendiri dalam kamar, karena sang suami pergi keluar kota.Ucapan Rima siang tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya.“Tante itu bukan siapa-siapa di keluarga ini, hanya ibu sambung Rizal.”Kata-kata itu berputar dalam pikirannya, menusuk lebih dalam setiap kali ia berusaha melupakannya. Rasanya seperti belati yang tajam, menggores luka yang sudah ada.Aida menarik napas panjang, menahan sesak yang tiba-tiba naik ke dada. “Kenapa hatiku terasa sakit sekali...” bisiknya lirih. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran itu, tapi yang muncul justru kenangan, saat Rizal masih kecil, berlari ke arahnya sambil memanggil ‘Mama Aida!’ dengan tawa polosnya.Ia ingat bagaimana dulu, setelah ia menikah dengan Salman, dialah yang menidurkan bocah itu setiap malam. Dialah yang merawat saat

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 60 Menunggu bahagia

    Setiap hari, Dina selalu datang ke rumah sakit untuk melihat ketiga buah hatinya. Ia tak pernah absen, bahkan di hari hujan sekalipun. Ketiga bayi mungilnya menjadi alasan terkuatnya untuk terus bertahan.Hari ini, suasana ruang NICU terasa berbeda. Wajah dokter anak yang biasanya tenang kini tampak tersenyum hangat. “Perkembangan kedua bayi laki-laki Ibu sangat baik,” ujarnya sambil menatap Dina. “Rayan dan Revan sudah cukup kuat untuk dibawa pulang. Tapi untuk Alya… mohon bersabar, ya, Bu. Berat badannya belum stabil, dan pernapasannya masih perlu dipantau beberapa hari lagi.”Dina mengangguk, namun hatinya terasa berat. “Dok, apakah ada kemungkinan Alya bisa segera pulang dalam waktu dekat ini?” tanyanya penuh harap.Dokter itu tersenyum lembut. “Kami akan terus memantau kondisinya, Bu. Kami optimis, tapi kita harus sabar. Setiap bayi memiliki waktu yang berbeda untuk pulih.”Ucapan dokter itu seperti dua sisi mata uang bagi Dina, bahagia sekaligus sedih. Ia menatap ketiga bayinya

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 59 Mengharapkan bahagia

    “Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 58 Kecewa

    Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 57 Tiga nama, Tiga doa'

    Kamar rawat Dina siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa kecil dan obrolan riuh memenuhi ruangan. Hanum duduk di sisi ranjang sambil mengupas buah, sementara Seno sibuk menyiapkan kursi tambahan untuk tamu dari kampung, Paman Amar dan istrinya, Bik Sarti, yang baru saja tiba.“Ya Allah, Din, kamu kurusan, tapi cantiknya tetap aja nggak ilang,” ucap Bik Sarti sambil menepuk lembut tangan Dina. “Anak tiga sekaligus, kamu harus banyak makan, biar kuat.”Dina tersenyum lemah tapi hangat. “Iya, Bik... capeknya memang dobel, tapi waktu lihat mereka bertiga, semua rasa letih langsung hilang.”Hanum menimpali sambil menatap Dina dengan bangga. “Iya, mereka kuat... sama seperti ibunya.”Dina hanya tersenyum tipis. Ada cahaya lembut di matanya, kelegaan sekaligus rindu, sebab hingga kini ia belum bisa memeluk bayi-bayinya. Mereka masih dirawat di ruang NICU, di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kecil mereka dari dekapan ibunya.Tawa ringan pun terdengar. Setelah cukup lama b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status