Danang, yang baru turun dari lantai atas, kamarnya, duduk di seberang Dinda sambil menyeduh teh.
“Kenapa kamu? Mukamu kaya mau perang,” tegur Danang, mencoba berkelakar untuk menormalkan hubungannya dengan sang adik.
Dinda mendongak pelan. Matanya sembab. Tapi yang keluar dari mulutnya bukan keluhan biasa.
“Masih bisa bercanda ya?” suaranya pelan, tapi menggigit.
Danang mengerutkan alis. “Maksud kamu apa, Din?”
“Kamu tuh tahu nggak, karena kamu, aku diputusin Rizal!” suara Dinda meninggi. Dia tidak memanggil Danang dengan sebutan 'Mas' seperti biasanya.
Danang terkejut. “Apa hubungannya aku dengan cowok kamu, Din?”
Dinda meledak. Ia berdiri, napasnya naik turun. “Orangtuanya Rizal tahu kamu cerai karena selingkuh! Mereka pikir keluargaku nggak bisa dipercaya! Mereka takut aku nanti sama aja kayak kamu!”
“Dinda!” bentak Danang, ikut berdiri. “Jangan lempar semua kesalahan ke aku!”
“Lho? Emang bukan salah kamu? Perceraian terjadi karena kamu itu selingkuh !" serang Dinda, air matanya mulai tumpah. “Kamu yang bikin aib! Kamu yang hancurin pernikahan sendiri! Tapi aku yang kena imbas! Aku yang ditinggal tanpa salah apa-apa!”
“Cukup, Dinda!” Danang membanting sendoknya ke meja. “Jangan sok jadi korban! Hubungan kamu sama cowok itu urusan kamu! Jangan tarik-tarik aku ke dalamnya!”
Suara dua saudara itu menggema di ruang makan. Mama mereka, Endang, yang sedang menyusun buah potong di dapur, buru-buru keluar.
“Astaghfirullah! Apa-apaan kalian ini pagi-pagi sudah teriak-teriak?” serunya panik.
“Maa…,” Dinda menoleh, air mata membanjiri pipinya. “Dia tidak merasa bersalah ma. Dia yang membuat orang tua Mas Rizal menolak aku. Namun, dia tidak merasa itu salahnya."
Danang menggeleng keras. “Mama,hubungan mereka kandas, kenapa aku yang dipersalahkan? Kenapa sekarang semua kesalahan ditimpakan ke aku seolah-olah aku ini sampah!”
“Cukup!” Endang meninggikan suaranya. “Kalian ini saudara! Mau sampai kapan saling menyalahkan?”
Keduanya terdiam, dada naik turun, emosi belum sepenuhnya reda.
Endang mendekat ke Dinda dan merangkul pundaknya.
“Kamu sakit hati, Mama paham. Tapi jangan simpan dendam ke kakakmu. Dan kamu, Danang, kalau kamu memang menyesal, tunjukkan! Bukan dengan marah-marah balik, tapi berubah dan tanggung jawab.”
Danang menunduk. Dinda menghapus air matanya kasar. Tapi tak ada kata-kata yang keluar lagi.
Sarapan pagi itu nyaris berantakan. Napas Danang masih tersengal karena emosi. Ia menatap adiknya, Dinda, yang masih berdiri dengan wajah basah air mata. Tapi kali ini, bukan hanya amarah yang muncul di matanya—ada luka dan rasa bersalah yang tak mampu ia sembunyikan.
“Kalau memang orangtuanya Rizal menilai kamu dari kesalahan yang aku perbuat…” suara Danang mulai merendah, namun tegas, “Aku sendiri yang akan datang ke Rizal. Aku akan bicara langsung. Aku akan pertanyakan kenapa dia harus bawa-bawa urusan pribadiku ke hubungan kalian.”
Dinda menatap kakaknya dengan mata melebar, seakan tak percaya.
“Mas mau datangi Rizal?” tanyanya setengah mengejek. “Buat apa? Udah terlambat! Aku sudah putus dengan Rizal."
“Enggak!” Danang menegakkan tubuhnya. “Aku mungkin salah di masa lalu, tapi aku nggak akan diam saat kesalahanku menyakiti kamu juga. Aku akan temui dia. Biar aku sendiri yang jelaskan. Aku nggak mau kamu kehilangan orang yang kamu sayangi gara-gara aku.”
Endang memejamkan mata sejenak. Kalimat Danang adalah sesuatu yang tak ia duga keluar dari mulut anak laki-lakinya. Mungkin, akhirnya, penyesalan itu tumbuh juga.
Dinda masih menatap kakaknya, diam, matanya basah tapi tak lagi meluapkan emosi. Mungkin, di balik semua amarah dan luka, masih tersisa harapan bahwa kakaknya bukan sepenuhnya lelaki yang ia benci pagi ini.
Danang menunduk, merapikan sendok garpu yang tergeletak di meja, lalu berkata pelan namun dalam,
“Aku tahu aku nggak bisa perbaiki semuanya dalam sehari. Tapi setidaknya... biar aku coba bertanggung jawab. Aku nggak mau kamu ikut hancur cuma karena aku gagal menjaga hidupku.”
Tak ada yang menjawab. Tapi pagi itu, meski penuh dentuman emosi, akhirnya menyisakan satu hal yang belum ada sebelumnya: niat untuk memperbaiki.
~~~Dina duduk di lantai beralas karpet tipis. Kardus-kardus besar mengelilinginya, penuh dengan baju-baju seragam berwarna abu-abu dan biru laut yang telah rapi disetrika dan dilipat.
Tangannya dengan cekatan memasukkan pakaian ke dalam kardus, satu per satu, sembari menempelkan label kecil bertuliskan nama pabrik dan jumlah pesanan.
“Din, hati-hati, jangan terlalu nunduk. Ntar pegal perutnya,” kata Bunda dari dapur sambil membawa gelas berisi air putih.
“Iya, Bun,” jawab Dina seraya menyandarkan punggung ke dinding sejenak. Ia menyeka peluh di dahinya, lalu tersenyum melihat tumpukan kardus yang hampir selesai. “Sebentar lagi selesai packing-nya. Besok tinggal kirim.”
Bunda duduk di sampingnya, menyerahkan air. “Masya Allah, rezeki bayi-bayi ini memang luar biasa. Belum lahir aja udah bawa berkah.”
Dina tersenyum, lalu menatap baju-baju dalam kardus seolah sedang menatap masa depan yang perlahan ia bangun dengan tangannya sendiri. “Semoga mereka bangga nanti, Bun… lihat ibunya bisa berdiri sendiri meski tanpa ayahnya.”
Bunda menggenggam tangan Dina dengan lembut. “Kamu kuat, Nak. Tapi jangan lupa, sesekali juga boleh menangis. Nggak apa-apa.”
Dari arah mesin jahit, terdengar suara tertawa kecil.
“Mbak Dina, istirahatlah. Biar kami yang kerjain. Jahitan kami tinggal beberapa saja ini ," kata Ana sambil merapikan potongan kain di meja.
"Biar saya saja mbak," kata Ana
Dina tertawa, suaranya renyah. “Iya dong! Kalian masuk daftar tim tetap. Nanti kalau punya pabrik beneran, kalian jadi kepala bagian semua.”
“Wah, siap, Bu Direktur!” ucap Ana sambil berdiri dan memberi hormat pura-pura.
“Yang penting, nanti kasih kita seragam kerja yang bagus. Jangan kayak seragam pabrik ini, warnanya suram banget,” kata Yuni dengan wajah jenaka.
Tawa kembali memenuhi ruangan sederhana itu. Meski letih dan peluh bercampur, semangat dan harapan seolah menjahit mereka menjadi satu keluarga kecil yang saling menguatkan.
Dina menatap mereka, lalu mengusap lembut perutnya yang kian membuncit. Dalam hati, ia membisikkan janji. Ibu akan berjuang. Untuk kalian. Untuk masa depan yang lebih baik.
~~~
Siang itu matahari menyengat tanpa ampun. Deni melangkah cepat melewati jalan kampung yang berdebu, membawa dua kantong plastik berisi kebutuhan dapur. Saat hendak menyeberang jalan kecil di dekat warung tua milik Pak Samin, suara tajam terdengar dari sebelah kiri.
“Eh, Den!” panggil seseorang.
Deni menoleh. Juragan Zuki berdiri di depan warung, tangannya bersedekap di dada. Wajahnya menyiratkan senyum sinis, bukan sapaan hangat seperti biasanya.
“Gimana kabar dua janda di rumah?” tanya Juragan Zuki lantang, dengan nada merendahkan.
Deni mengernyit. “Apa maksudnya, juragan?” tanyanya dengan nada menahan diri.
Juragan Zuki menyeringai, masih tetap berdiri santai. “Ya kakakmu itu, kan sekarang sudah resmi janda. Ibumu juga janda. Berat juga hidupmu, Den. Harus jagain dua janda. Jangan tua sebelum waktunya .”
Beberapa warga yang tengah duduk di depan warung langsung menghentikan obrolannya. Suasana mendadak hening.
Deni menggenggam erat kantong plastik di tangannya. Matanya menatap lurus ke arah Juragan Zuki. Napasnya naik turun, dengan raut wajah merah menahan amarahnya.
“Pak, hati-hati kalau bicara. Kakakku cerai bukan karena dia mau, tapi karena disakiti. Dia sudah cukup menderita. Nggak usah ditambahin dengan kata-kata nyinyir begitu,” ucap Deni, nadanya mulai meninggi.
Pak Samin yang mendengar langsung menimpali, “Juragan. Nggak pantas ngomong seperti itu. Kalau nggak bisa bantu, ya diam saja.”
“Benar, juragan. Jangan mempermalukan orang yang sedang mendapat musibah,” sahut Pak Naryo.
“Lho, saya cuma ngomong apa adanya,” ucap juragan Zuki masih bertahan dengan gaya congkaknya.
“‘Apa adanya’ nggak harus nyelekit begitu, juragan,” jawab Deni tegas. “Kalau keluarga juragan digituin, juragan tidak marah?”
Juragan Zuki tak menjawab. Matanya beralih ke arah lain, tak berani menatap Deni.
Tiba-tiba dari arah gang muncul Johnny, sahabat Deni. Ia melihat kerumunan itu dan mendekat cepat.
“Ada apa Den?” tanya Johnny curiga, menatap wajah Deni yang memerah.
“Biasa,” ujar Deni sambil menarik napas dalam. “Ada orang yang hobinya nyakitin orang lain pakai mulutnya.”
Deni sedikit mengatakan pada Johnny.
Johnny menatap Juragan Zuki dengan tajam. “Juragan, jangan asal bicara. Sudah tua banyak-banyak menumpuk pahala juragan. Jangan malah numpuk dosa."
Warga lainnya mengangguk, menandakan dukungan mereka.
Deni masih menatap Juragan Zuki. “Saya tahu keluarga saya bukan siapa-siapa, Pak. Tapi jangan pernah rendahkan perempuan yang sudah berjuang sekuat itu. Kakakku lebih mulia dari mulut Bapak yang cuma bisa nyinyir.”
Juragan Zuki diam. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi karena sadar ia kalah dalam debat di hadapan banyak orang.
“Sudahlah, Den,” ujar Johnny, menepuk bahu Deni. “Orang seperti itu biar hidup dengan lidahnya sendiri. Kita lanjut, yuk.”
Deni menatap Zuki sekali lagi, lalu memalingkan wajah. Ia dan Johnny melangkah pergi.
“Kak, orang-orang mungkin bisa bicara apa saja... Tapi aku di sini. Aku akan jaga kehormatanmu. Kakak nggak sendiri.” dalam hati Deni.
Malam merambat sunyi di kamar rumah sakit. Hanya suara mesin pendingin udara dan deru halus napas orang-orang yang tertidur di dalamnya. Kegelapan malam seolah menyelimuti semuanya, menciptakan suasana yang tenang namun penuh ketegangan. Aini, sang bunda, sudah terlelap di kursi dengan selimut tipis menutupi bahunya. Tidur yang tampak damai, meskipun di balik itu, hatinya penuh kekhawatiran. Hanum pun sama, kepalanya bersandar di pinggiran sofa, tidur dengan posisi miring. Keduanya berusaha mencari kenyamanan dalam keletihan, namun bayang-bayang kekhawatiran tetap menghantui.Dina, justru terbangun. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Keheningan malam membuat pikirannya melayang jauh, mengingat kembali kenangan-kenangan yang menyakitkan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Gelisah. Perasaan itu seperti benang kusut yang sulit diurai, menimbulkan rasa tidak nyaman yang terus mengganggu pikirannya.Ia menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangan pelan mengambil ponsel d
Sore itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan hanya karena angin sore yang menyelinap malas lewat jendela ruang tamu yang terbuka setengah, tapi juga karena aura kelam yang menyelimuti Danang. Ia terduduk di sofa, kemeja kerja yang kusut menjadi saksi bisu betapa berat hari yang baru saja dilaluinya. Pijatan di pelipisnya tak mampu mengusir bayangan-bayangan yang berputar di kepalanya. Endang keluar dari dapur, tangannya sibuk mengeringkan sisa air ditangannya. Langkahnya terhenti di depan sofa, sorot matanya menyelami wajah putranya yang pucat.“Dan, Mama mau tanya soal usaha restoran itu,” suara Endang lirih, seolah takut membuyarkan lamunan Danang.Danang hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap kosong ke arah dinding. “Nggak jadi, Ma.”Kening Endang berkerut dalam. “Nggak jadi? Kok bisa? Bukannya kamu dulu semangat sekali? Uang yang Mama kasih… terus gimana?”Helaan napas berat lolos dari bibir Danang. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang menyimpan segudang beban.
Pagi itu, suasana kantor seperti biasa, ramai oleh aktivitas dan obrolan ringan di antara para karyawan. Namun, tidak semua obrolan hanya sekadar basa-basi.Di sudut dekat pantry, dua orang karyawan sedang berbicara pelan-pelan, seolah membagikan kabar penting.“Aku baru tahu, ternyata Pak Danang itu udah nikah. Tapi katanya istrinya tuh biasa aja, tidak cantik."“Iya, makanya dia sembunyiin. Malu mungkin, soalnya istrinya katanya gak menarik. Eh, sekarang malah cerai katanya. Tidak tahu kapan nikah, tahunya sudah cerai saja."“Denger-denger sih ketahuan selingkuh, ya?”“Gila… tampang boleh, tapi kelakuan… Ehm... minus .'Tawa kecil menyusul.Tanpa mereka sadari, langkah Danang yang hendak menuju pantry terhenti tak jauh dari situ. Kalimat-kalimat itu menusuk telinganya dan hatinya.Pelipisnya berdenyut. Napasnya berat. Matanya menajam menatap dua orang itu, yang masih asyik berbicara tanpa sadar sedang membakar emosi seseorang yang sedang menjadi target pembicaraan keduanya."Kurang
Tirai ruang IGD perlahan terbuka.“Dokter Eva...” ucapnya lirih.Dokter Eva tersenyum hangat dan segera mendekat ke sisi tempat tidur Dina.“Malam, Bu Dina. Saya dengar dari perawat kamu masuk IGD. Apa keluhannya, Bu ?”"Tiba-tiba perutnya sakit, Dok. Terutama di bagian bawah perut... nyerinya tajam banget. Tadi juga sempat keluar darah.”Wajah dokter Eva langsung menunjukkan keprihatinan. Ia menatap Dina penuh perhatian.“Baik, Ibu tenang dulu ya. Saya akan periksa untuk melihat kondisi ketiga janinnya.”Ia lalu menoleh ke perawat.“Tolong siapkan alatnya, kita lakukan USG sekarang.”“Siap, Dok,” jawab suster yang langsung bergerak cepat.Dokter Eva mengangguk dan mengenakan sarung tangan.“Kita mulai, ya, Bu Dina. Coba tarik napas pelan dan rileks.”Dina mengangguk pelan. Ia berbaring dengan tegang. Perutnya dilumuri gel dingin, lalu alat USG mulai digerakkan perlahan di atas kulit perutnya.“Santai, Bu. Jangan tegang, ya,” ujar dokter Eva sambil melirik ke arah mata Dina yang menat
Detik berikutnya, terdengar langkah tergesa dari luar. Pintu kamar, dan Bundanya muncul dengan wajah panik."Dina !""Sini Bun."Aini berlari menuju kamar mandi dan Aini terkejut melihat Dina duduk di lantai kamar mandi. "Ya Allah... kenapa?!" "Bun… sakit banget. Perut aku..." Dina menunjuk ke arah bercak darah di celana dalamnya. "Ada ini, Bun… darah. Keluar..."Aini langsung menghampiri dan jongkok di samping putrinya, wajahnya pucat. "Ya Allah... sejak kapan, Din?""Baru banget... tadi pas di ranjang. Sakitnya nyentak, Bun. Aku pikir cuma kram biasa. Tapi makin nyeri waktu aku jalan ke kamar mandi...""Kamu jatuh, Din?""Nggak Bun. Cuma pas buka celana mau buang air... aku lihat bercak darah. Bun... nyeri... badan lemas." Dina menunduk, memegangi perutnya. "Aku takut, Bun... takut kenapa-napa sama kandungan aku..."Aini menggenggam tangan Dina erat, berusaha menenangkan. "Dina, dengerin bunda... kandunganmu baik-baik saja. Sekarang kita harus ke rumah sakit," kata Aini
Senja merambat turun perlahan, membalut langit dengan semburat jingga dan abu-abu. Danang berdiri termenung di balkon kamarnya. Jemarinya menggenggam pagar besi, mata menerawang jauh ke ujung langit. Suasana rumah terasa lengang, hanya suara burung pulang sarang dan angin sore yang berbisik pelan.Ia memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang. Kepalanya masih dipenuhi bayangan pertengkarannya dengan Dinda. Hatinya remuk.“Apa aku selalu jadi alasan orang yang kusayangi terluka?"Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya kalau sejak pagi hanya meneguk kopi. Tapi bukan sekadar lapar. Ada rasa aneh... Entah kenapa, ia tiba-tiba ingin makan semur jengkol, makanan yang seumur hidup selalu ia hindari.Dengan langkah berat, Danang turun ke lantai bawah. Di dapur, Endang sedang mencuci piring, punggungnya membelakangi pintu.“Mama…” panggil Danang lirih.Endang menoleh. “Iya, Dan. Mau apa ? Kopi ?" tanyanya saat melihat Danang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu dapur.Danang mendekat