LOGINDi ruang makan yang sederhana, cahaya lampu kuning temaram menyinari meja makan bundar. Endang, ibu Dinda, baru saja menyelesaikan sayur sop kesukaan anaknya. Ia memanggil Dinda yang sejak sore hanya berdiam diri di kamar.
Endang melangkah mendekati pintu kamar Dinda dan mengetuk pintu kamar dengan lembut.
Tok... Tok...
“Din, makan dulu, Nak,” ujar Endang lembut dari balik pintu kamar.
Beberapa menit kemudian, Dinda keluar. Wajahnya masih sembab. Tapi ia berusaha tersenyum, berpura-pura tegar. Ia duduk di kursi makan dan mulai menyendok nasi ke piring.
"Ayo makan. Kita hanya berdua. Danang keluar," kata mamanya.
Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok yang sesekali menyentuh pinggir piring. Tapi suasana hening itu pecah, ketika tiba-tiba... air mata Dinda menetes, jatuh ke piringnya.
Sendok di tangannya gemetar, lalu diletakkan perlahan. Bahunya naik-turun menahan isak, namun tak mampu lagi disembunyikan.
Endang menoleh, kaget. “Dinda...?”
Dinda menunduk, mencoba mengusap air matanya diam-diam, tapi tangisnya semakin deras.
“Dinda, ada apa, Nak?” suara Endang lembut, panik. Ia bergeser mendekat, menyentuh bahu anak gadisnya.
“Ada yang sakit? Kepalamu? Perutmu?”
Dinda menggeleng, pelan... masih menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Lalu kenapa, sayang?” suara ibunya kini nyaris berbisik, dipenuhi kekhawatiran.
Dinda menggigit bibirnya. Ia mencoba bicara, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Endang mengusap punggung Dinda dengan pelan. “Kamu bisa cerita sama mama. Apa ada yang ganggu pikiranmu?”
Beberapa detik yang panjang berlalu.
Akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, Dinda berbisik:
“Aku… ditinggalin, ma…”
Endang menatap wajah putrinya dengan bingung. “Ditinggalin? Siapa, sayang?”
“Mas Rizal…” isaknya pecah. “Dia mutusin aku…”
Endang bangkit mendekati Dinda dan kemudian memeluk putrinya itu dengan erat, yang kini menangis di pelukannya. Seisi ruang makan berubah menjadi saksi keheningan paling menyakitkan antara ibu dan anak.
Di luar rumah, angin malam berhembus pelan. Dan di dalam rumah, tangis Dinda masih terus berlanjut… bukan karena tubuhnya yang sakit, tapi karena hatinya yang robek tanpa peringatan.
Masih dalam pelukan bundanya, Dinda terus menangis. Hatinya seperti meledak, semua beban yang ia tahan sejak sore tadi akhirnya tumpah juga.
Endang mengelus rambut putrinya dengan sabar, menunggu hingga isak itu mulai mereda.
“Pelan-pelan, Dinda… cerita ke mamanya. Apa yang sebenarnya terjadi?” bisiknya lembut.
Dinda menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Suaranya masih bergetar saat ia mulai bicara.
“Rizal… Rizal mutusin aku, ma,” katanya pelan.
“Kenapa, sayang? Bukannya kalian baik-baik saja?”
Dinda mengangguk pelan. “Kami baik… kami saling sayang. Tapi orangtuanya... mereka nggak setuju.”
“Orangtuanya?” Endang mengernyit.
“Mereka tahu soal Mas Danang. Mereka tahu Mas selingkuh, cerai dari Kak Dina. Dan karena itu… mereka nilai keluarga kita rusak. Mereka takut aib Mas Danang akan nempel di Rizal juga.”
Endang terdiam. Matanya menatap jauh ke dinding seolah tak percaya.
“Padahal aku bukan Mas Danang, ma… aku nggak salah apa-apa...” lanjut Dinda, air matanya kembali mengalir. “Tapi kenapa aku yang harus kehilangan?”
Ia menunduk, menatap jemarinya yang gemetar di atas pangkuan.
“Aku sayang Rizal... aku pikir dia bisa perjuangin aku. Tapi ternyata dia juga nyerah.”
Endang menggenggam tangan Dinda erat-erat.
“Dinda… kamu dengerin ma, ya,” ucapnya lembut, menahan emosi yang ikut bergelora.
“Kamu anak yang baik. Kamu bukan bayangan dari siapa pun. Kamu bukan dosa dari Danang. Kamu adalah kamu, Nak. Dan orang yang benar-benar mencintaimu nggak akan biarkan kamu terluka karena kesalahan orang lain.”
Dinda terisak. “Tapi kenapa semua orang lihat aku dari nama keluarga kita, ma? Aku sedih ma…”
Endang memeluk Dinda lebih erat, seolah ingin meredakan seluruh badai yang bergemuruh di hati anak gadisnya.
"Kamu boleh sedih... kamu boleh nangis... Tapi jangan pernah merasa kalau kamu nggak layak bahagia."
Suara Endang lembut tapi penuh kekuatan. "Orang yang menilai kamu dari aib orang lain, bukanlah orang yang pantas untuk mendampingimu.""Ada pria di luar sana yang sudah dipersiapkan Alloh untukmu." Endang mengusap punggung Dinda dengan lembut.
Dinda mengangguk kecil. Air matanya masih mengalir deras, namun pelukan itu dan kalimat itu seperti memberi ruang bagi hatinya untuk bernapas kembali.
~~~Dina berbaring di ranjang pemeriksaan, sedikit tegang.
“Bu Dina… jangan tegang. Rileks,” ucap perawat sambil mengoleskan gel dingin ke perut Dina.
"Santai Din," kata bundanya yang berdiri di sampingnya.
“Siap ya. Sekarang kita lihat kondisi anak-anaknya,” kata Dokter Eva sambil menyalakan alat USG.
Suara detak jantung memenuhi ruangan, ritmenya teratur dan jelas terdengar dari alat USG yang terhubung pada perut Dina. Ia berbaring mulai tenang, meski sorot matanya menyimpan rasa gugup. Di sampingnya, Dokter Eva fokus menatap layar monitor.
“Lihat, ini yang pertama,” ucap Dokter Eva sambil menunjuk bayangan kecil di monitor. “Yang ini adiknya, dan ini si bungsu... sangat aktif ya, dia terus bergerak dari tadi. USG pertama, si bungsu sedikit lemah.
Dina tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Mereka sehat, kan, Dok?”
“Alhamdulillah, sejauh ini perkembangan janin-janinnya baik. Ukuran dan detak jantung mereka normal. Tidak ada tanda-tanda kelainan sejauh ini,” jawab Dokter Eva meyakinkan. “Sudah masuk minggu ke-13. Artinya, kamu sudah melewati trimester pertama dengan cukup baik.”
Dina mengangguk, menatap layar seolah bisa menyentuh anak-anaknya dari sana. “Tiap kali lihat mereka bergerak… rasanya seperti mimpi, Dok.”
“Ini bukan mimpi. Ini berkah. Tapi karena kamu membawa tiga janin sekaligus, tubuhmu bekerja tiga kali lebih berat. Jadi, kamu juga harus tiga kali lebih disiplin menjaga diri.”
Setelah mematikan alat dan suster membersihkan gel dari perut Dina, dan Dina sudah kembali duduk. Dokter Eva mulai menjelaskan lebih rinci.
“Kamu harus benar-benar jaga asupan makanan. Perbanyak makanan tinggi protein, ikan matang, ayam, tahu, tempe, dan sayur hijau. Susu kehamilan juga jangan sampai absen. Tapi kurangi makanan asin, manis berlebihan, dan jangan konsumsi makanan mentah sama sekali.”
Dina duduk perlahan. “Jadi nggak boleh makan mie instan?”
Dokter Eva tertawa kecil. “Mie instan itu musuh ibu hamil. Sekali-sekali kalau benar-benar ingin, ya boleh, tapi jangan sering. Kamu bawa tiga bayi, bukan satu.”
Dina ikut tertawa. “Baik, Dok. Tapi… kalau es teh manis?”
“Lebih baik air putih hangat. Gula bisa memicu tekanan darah tinggi, apalagi di kehamilan kembar. Ingat, risiko preeklampsia juga lebih tinggi,” jelas Dokter Eva sambil menatap Dina dengan serius.
Dina mengangguk pelan. “Saya usahakan.”
“Oh ya, satu lagi. Hindari terlalu banyak berdiri atau berjalan jauh. Jangan paksakan pekerjaan fisik. Tidur siang itu wajib. Dan tolong, jangan stres.”
Ucapan terakhir itu membuat Dina terdiam sejenak. Ia menunduk, menggenggam ujung jilbabnya.
Dokter Eva menatap Dina dengan penuh empati, sorot matanya hangat dan meyakinkan.
"Bu Dina harus tetap kuat dan semangat, ya. Izinkan orang lain membantu, tidak semua harus Ibu tanggung sendiri."Bunda Dina langsung menimpali, “Tuh...Din. Dengerin dokter. Kamu sekarang jangan cuma mikirin dirimu sendiri. Ada tiga malaikat kecil yang harus kamu jaga.”
Dina tersenyum kecil, lalu membelai perutnya. “Saya akan mengingat apa yang dokter katakan. Mereka butuh mama yang kuat dan sehat.”
Sebelum pergi, Dokter Eva menepuk ringan bahu Dina. “Dan kamu juga butuh mereka. Mereka yang akan membuatmu terus melangkah.”
Dina melangkah keluar dari ruangan dengan dada yang sedikit lebih lapang, meski bayangan tentang hari esok masih menggelayuti pikirannya. Tiga kehidupan tumbuh di dalam dirinya. Dan mulai saat ini, tak ada lagi kata mundur.
“Bun, uang dari mana?” tanya Dina memberanikan diri, suaranya bergetar menahan cemas yang menggelayuti pikirannya. Udara sore yang lembap semakin menekan dadanya. Ia menatap bundanya yang duduk di sudut ruang tamu sederhana mereka, dikelilingi tumpukan kain dan benang warna-warni. Bau lembut kain baru bercampur aroma kopi dingin di meja kecil di sebelah mesin jahit.Aini, yang serius memasang kancing pada baju yang baru saja dijahitnya dengan penuh ketelitian, menoleh perlahan. Gerakannya terhenti, jarum di tangannya melayang di udara. Keningnya berkerut, memperlihatkan garis-garis halus yang semakin jelas seiring bertambahnya usia. Tatapannya beralih ke wajah putrinya yang tampak gelisah.“Uang apa?” jawab Aini, nada suaranya datar namun terdengar ragu, seolah menimbang apakah pertanyaan itu perlu dijawab sekarang.“Untuk bayar rumah sakit?” Dina bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras, meski tetap gemetar. “Tadi… hampir enam puluh juta keluar, Bun. Uang dari mana? Apa bunda ber
Sore itu, udara di gang kecil itu terasa lembap dan berdebu. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya jingga di dinding-dinding rumah yang rapat berjejer. Danang berjalan di belakang Pak RT dengan langkah mantap tapi hati yang was-was. Di sampingnya, Yoga ikut melangkah pelan, menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.“Rumahnya di ujung sana, Mas,” kata Pak RT sambil menunjuk sebuah rumah sederhana bercat hijau muda dengan pagar besi yang mulai berkarat. “Pemuda itu jarang keluar, tapi beberapa kali warga lihat dia belanja di warung depan.”Danang mengangguk. Hatinya berdebar pelan. Entah kenapa, ada harapan kecil yang tumbuh, semoga kali ini benar-benar Deni.Setelah mengetuk beberapa kali, pintu rumah itu terbuka. Seorang pemuda muncul. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sekilas... mirip sekali dengan Deni. Bahkan cara dia menatap membuat dada Danang bergetar sesaat.Namun, begitu pemuda itu berbicara, harapannya perlahan runtuh.“Iya, Pak? Ada perlu?” suaranya datar, d
Kamar rawat Dina siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Suara tawa kecil dan obrolan riuh memenuhi ruangan. Hanum duduk di sisi ranjang sambil mengupas buah, sementara Seno sibuk menyiapkan kursi tambahan untuk tamu dari kampung, Paman Amar dan istrinya, Bik Sarti, yang baru saja tiba.“Ya Allah, Din, kamu kurusan, tapi cantiknya tetap aja nggak ilang,” ucap Bik Sarti sambil menepuk lembut tangan Dina. “Anak tiga sekaligus, kamu harus banyak makan, biar kuat.”Dina tersenyum lemah tapi hangat. “Iya, Bik... capeknya memang dobel, tapi waktu lihat mereka bertiga, semua rasa letih langsung hilang.”Hanum menimpali sambil menatap Dina dengan bangga. “Iya, mereka kuat... sama seperti ibunya.”Dina hanya tersenyum tipis. Ada cahaya lembut di matanya, kelegaan sekaligus rindu, sebab hingga kini ia belum bisa memeluk bayi-bayinya. Mereka masih dirawat di ruang NICU, di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kecil mereka dari dekapan ibunya.Tawa ringan pun terdengar. Setelah cukup lama b
Suasana malam di toko jahit “Rumah Busana” masih ramai oleh tawa tiga wanita: Tatik, Rani, dan Yuni. Meskipun mesin jahit sudah lama dimatikan, suasana ceria yang mengisi ruangan tidak kunjung pudar. Mereka duduk melingkar di sekitar meja kerja, dikelilingi oleh tumpukan kain berwarna-warni dan alat jahit yang berserakan. Perbincangan hangat dan tawa yang mengalun seolah menjadi soundtrack malam itu, menandakan betapa akrabnya persahabatan mereka.Malam ini, mulut mereka belum bisa berhenti membahas kejadian lucu yang terjadi siang tadi, saat Dinda datang secara tiba-tiba mencari Dina. Rani, yang masih terpengaruh oleh tawa, mengingat kembali momen itu dengan rasa geli. “Yun… aku masih nggak habis pikir,” kata Rani sambil mengusap air mata karena terlalu banyak tertawa. “Kok kamu bisa-bisanya bilang kalau toko ini udah dijual ke Haji Imron segala? Siapa lagi tuh Haji Imron?”Yuni, yang duduk di sebelah Rani, langsung nyengir lebar, pipinya merah karena malu. “Ya ampun, Ran… itu spont
Malam itu, ruang keluarga rumah Danang terasa hangat. Di atas meja masih ada sisa teh hangat dan piring kue kering yang belum habis. Dinda duduk bersandar santai di sofa, sementara Mamanya duduk di sebelah Danang dengan wajah penasaran.“Jadi, gimana hasil pencarianmu tadi?” tanya Mamanya sambil menyeruput teh pelan.Danang menghela napas, lalu menatap mereka berdua. “Kalian nggak bakal percaya apa yang aku alami tadi.”Dinda langsung duduk tegak. “Apa mas ?" Wajahnya penasaran.Danang menghela napas panjang. “Kalau yang aku temuin tadi sih... namanya memang mirip. Tapi bentuknya—” ia berhenti sebentar, mengatur napas. “Bentuknya... beda jauh!”Mama menaikkan alis. “Beda jauh gimana maksudmu, Dan?”Danang memijit pelipisnya, seolah masih terbayang kejadian aneh yang baru saja dialaminya. “Begitu pintu rumahnya kebuka, aku berharap Dina yang keluar. Namun, yang keluar seorang wanita... bajunya merah nyala, rambutnya keriting panjang kayak mie instan tumpah, bibir merah kayak cabe setan
Pintu rumah itu perlahan terbuka.Danang menahan napas, jantungnya berdegup seperti genderang perang. Dalam pikirannya, ia sudah membayangkan Dina dengan wajah lembut dan senyum yang dulu selalu menenangkannya.Namun, begitu pintu benar-benar terbuka...Danang terpaku.Mulutnya nyaris terbuka tanpa suara.Seorang wanita muncul atau lebih tepatnya, seseorang dengan dandanan yang tak bisa dijelaskan dengan logika manusia biasa.Rambut keriting panjang menutupi separuh wajah, bibir merah menyala, bulu mata tebal melambai-lambai seolah bisa menepis angin badai. Bajunya merah terang, dan wanginya... menusuk hidung, entah wangi bunga, entah wangi pom bensin.“Mas ganteng…” suara berat itu keluar pelan, seperti suara pria pilek bercampur manja.“Mas ganteng... cari eike ya? Masuk yok…” katanya sambil menggigit bibir merah menyala itu.Danang spontan mundur setapak. Merinding!Suara itu bukan suara perempuan biasa. Ada nada… bass di dalamnya, membuat Danang mengambil sikap waspada.“E-eh, anu







