Share

Kejar Target, Bang!
Kejar Target, Bang!
Author: Adfa Al Yakub

1. Raisa

“Ca! Kalau pakai baju tuh, yang matching dong! Itu juga rambut jangan cuma digulung-gulung kaya sarang tawon.” Kalimat yang sudah biasa aku dengar dari wanita yang kupanggil Mama.

“Gimana mau dapet jodoh kalau begitu terus!”

“Iya, Ma.”

“Kamu tuh kalau dibilangin Mama, jangan cuma iya, iya doang! Tapi enggak pernah dilakuin.”

“Pake baju asal, enggak pernah pake make up, gimana mau ada yang suka, Ca!

Meski sudah bosan dengan celoteh Mama tentang penampilanku, aku akan tetap mendengarkan ucapan Mama sampai selesai.

Aku Raisa Alfiani, biasa dipanggil Caca. Anak pertama dari tiga bersaudara, kedua saudaraku semuanya perempuan. Kedua adikku sangat fashionable dan pintar bersolek, jadi wajar jika Mama sangat cerewet soal penampilanku. Apalagi kedua adikku sudah memiliki pacar.

“Inget, Ca, umur kamu udah berapa! Pake nolak segala kalo dijodohin!”

“Mama jodohinnya sama dia.”

“Memangnya kenapa? Dia tampan, kok, mapan juga!”

“Dia itu masih saudara kita, Ma,” jawabku kali ini tak tahan untuk tak memutar mata malas.

“Saudara jauh!”

“Ya, tetep aja masih saudara.”

“Jawab terus kalo dibilangin Mama!”

“Ya, kan emang begitu kenyataannya, Ma.”

“Saudara jauh Raisa Alfiani, enggak ada larangan kalau kalian mau nikah.”

“Kita enggak saling cinta, Ma.”

“Cinta kok, jadi alasan! Mama sama Papa dulu nikah enggak pake cinta, buktinya langgeng sampe sekarang dan brojolin kalian bertiga.”

“Ma, aku harus berangkat kerja lho .... ngomelnya bisa ditunda dulu enggak?” kataku memelas, sementara Rania dan Ranita—kedua adikku cekikan di meja makan.

“Ck! Ngomel kok disuru tunda! Dari tadi Mama, tuh, bukan ngomel, ya. Mama lagi nasihatin kamu. Ya, udah sana!”

Setelah masuk ke dalam mobil, kedua adik kurang ajarku malah tertawa terbahak-bahak, sebenarnya kami bertiga dengan tujuan berbeda. Namun, masih satu arah. Rania masih menyelesaikan kuliahnya, sedangkan Ranita sudah bekerja, dan sedangkan kantorku berada paling ujung. Jadilah aku harus mengantar mereka dulu.

“Puas lo, pada ngetawain gue!” Keduanya malah makin terbahak-bahak.

“Lagian salah sendiri! Diajarin dandan kok, enggak mau!”

“Gue dandan, kok!”

“Cih! Pake pelembab doang, dibilang dandan.” Rania mencibir.

“Eh ... gue pake lipbalm juga, ya.”

“Ck! Sama aja dong!”

“Yang namanya dandan, tuh lengkap. Pelembab sama lipbalm mah, skincare kelesss." Kini Ranita yang mencibir.

“Heh! Gue tuh cantik alami, ya!”

“Untung Kakak, tuh, kerjaannya enggak ketemu orang banyak, cuma diem di depan komputer.”

“Kalau enggak, bukan cuma diomelin Mama tapi juga sama bos!”

“Udah deh berisik kalian!”

***

Berkutat dengan angka-angka di hadapan komputer seolah-olah ada kenikmatan sendiri buatku. Menghitung hingga mendapat hasil yang akurat adalah kebanggaan sendiri, meski tak sedikit yang mencibir pekerjaan ini dengan kalimat.

“Ngitungin duit orang.”

“Ngitungin duit yang enggak ada.”

“Ngitung doang enggak pernah megang duitnya.”

Masih banyak lagi kalimat-kalimat dengan arti serupa, tetapi aku tak pernah peduli. Dari pekerjaan ini aku bisa membiayai hidupku dengan layak, bahkan sangat layak.

Juga bisa membantu membayar sedikit biaya kuliah Ranita, serta menabungnya sebagian. Itu sudah cukup buatku.

“Ca, udah selesai?”

“Dikit lagi, Mbak.”

Mbak Kia—kepala divisi keuangan menghampiriku ke meja kerja, dia menengok hasil kerjaku pada layar komputer.

“Kamu emang selalu bisa diandalkan, Ca.”

“Makasih, Mbak.”

“Kalau sudah diprint tolong taro di atas mejaku, ya. Aku mau meeting dulu jangan lupa soft copynya juga kirim ke email! Semangat kerjanya, bonus akhir tahun menanti, Ca!” katanya sambil berlalu dengan tangan mengepal tanda memberi semangat.

“Jelaslah harus semangat, bonus akhir tahun selalu menggiurkan. Ya enggak, Ca?” timbrung Maria—partnerku di divisi keuangan

Aku hanya menanggapinya dengan tertawa. Ya, bonus akhir tahun memang sangat menggiurkan, terkadang perusahaan memberi kami bonus dua kali lipat dari gaji kami.

***

Pulang larut hingga hampir lewat tengah malam sudah biasa untukku, terlebih jika mendekati akhir tahun seperti sekarang.

Setelah memastikan mobil terparkir dengan benar dan terkunci, aku bergegas masuk. Udara malam ini terasa sangat menusuk, hujan deras dari tadi siang sepertinya tak akan berhenti sampai besok pagi.

“Kirain kamu mau tidur di kantor!”

“Ya, ampun Mama, bikin kaget aja deh!” Aku mengelus dadaku dramatis, Mama tiba-tiba muncul di belakangku saat aku berbalik setelah mengunci pintu rumah.

“Kamu enggak punya jam? Liat, tuh jam berapa!”

“Mama, kan tau kerjaanku emang gini apalagi mau akhir tahun kayak sekarang.”

“Kerja terus, di kantor terus! Kapan dapet pacar!” Dengan mulut yang sibuk mengomel, Mama menggiringku menuju meja makan.

Aku hanya menurut saat Mama menyuruhku duduk, aku memerhatikan Mama yang sigap memanaskan makanan untukku.

Dengan wejangan yang tak berhenti, membuatku mengusap wajar pelan. Rasa lelah selepas bekerja dan bahasan yang tak bosan Mama bahas menambah lelah di tubuhku.

Aku baru 27 tahun, tetapi seolah-olah aku ini nenek-nenek yang semua sibuk memberi nasihat untuk segera menikah.

Ngomong-ngomong soal menikah, aku juga bukan tak ingin menikah. Wanita di mana pun pasti ingin menikah dan memiliki keluarga.

Masalahnya menikah itu bukan perlombaan, siapa cepat dia dapat. Menikah buatku adalah memilih orang yang tepat untuk menjadi pasangan sampai akhirat.

Sayang hingga sekarang aku belum bertemu dengan orang itu.

“Makan! Kenapa bengong!”

“Punya badan, kok, kurus krempeng kayak gitu! Jangan-jangan kamu kalau di kantor enggak pernah makan bekal yang Mama buat, ya?”

Apa ibu lain di luar sana sama seperti mamaku? Sepertinya bukan hanya hobi memarahi anak, tetapi juga hobi menuduh yang tidak-tidak.

“Kalau aku enggak makan aku bisa pingsan, Ma.”

“Iya, juga ya. Makanmu kan juga banyak.”

“Itu, Mama tau!”

“Ck! Berarti memang harus nikah, Ca!”

“Apa hubungannya kurus sama nikah, Ma?”

“Katanya, perempuan yang kurus pas nikah itu jadi berisi, Ca!”

“Emang dulu Mama begitu juga?”

“Enggak lah, badan Mama tuh dari dulu emang udah berisi!”

“Gendut maksudnya?”

“Kamu lagi ngatain Mama?”

“Enggak, kok! Aku mana berani katain Mama.”

“Terus tadi? Mau Mama kutuk kamu?”

“Ampun, Ma. Mama enggak ngantuk?”

“Ya, ngantuk! Tapi Mama nungguin kamu pulang.”

“Udah berapa kali Caca bilang, enggak usah nunggu Caca pulang, Ma.”

“Mana bisa begitu, nanti kalau kamu udah jadi seorang ibu, juga pasti ngerasain, kok.”

“Makasih Mama udah khawatir sama Caca, tetapi Caca sekarang udah dewasa, Ma.”

“Nah, kami sendiri udah ngaku dewasa, makanya nikah Ca!”

Setelahnya aku merasa menyesal mengakui bahwa aku telah dewasa, rentetan panjang nasihat tentang pernikahan membuat waktu istirahat yang memang sudah berkurang banyak jadi makin berkurang banyak.

Mama baru berhenti memberi omelan yang katanya “nasihat” saat Papa memanggil dan aku berterima kasih sekali atas apa yang Papa lakukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status