“Ca! Kalau pakai baju tuh, yang matching dong! Itu juga rambut jangan cuma digulung-gulung kaya sarang tawon.” Kalimat yang sudah biasa aku dengar dari wanita yang kupanggil Mama.
“Gimana mau dapet jodoh kalau begitu terus!”
“Iya, Ma.”
“Kamu tuh kalau dibilangin Mama, jangan cuma iya, iya doang! Tapi enggak pernah dilakuin.”
“Pake baju asal, enggak pernah pake make up, gimana mau ada yang suka, Ca!
Meski sudah bosan dengan celoteh Mama tentang penampilanku, aku akan tetap mendengarkan ucapan Mama sampai selesai.
Aku Raisa Alfiani, biasa dipanggil Caca. Anak pertama dari tiga bersaudara, kedua saudaraku semuanya perempuan. Kedua adikku sangat fashionable dan pintar bersolek, jadi wajar jika Mama sangat cerewet soal penampilanku. Apalagi kedua adikku sudah memiliki pacar.
“Inget, Ca, umur kamu udah berapa! Pake nolak segala kalo dijodohin!”
“Mama jodohinnya sama dia.”
“Memangnya kenapa? Dia tampan, kok, mapan juga!”
“Dia itu masih saudara kita, Ma,” jawabku kali ini tak tahan untuk tak memutar mata malas.
“Saudara jauh!”
“Ya, tetep aja masih saudara.”
“Jawab terus kalo dibilangin Mama!”
“Ya, kan emang begitu kenyataannya, Ma.”
“Saudara jauh Raisa Alfiani, enggak ada larangan kalau kalian mau nikah.”
“Kita enggak saling cinta, Ma.”
“Cinta kok, jadi alasan! Mama sama Papa dulu nikah enggak pake cinta, buktinya langgeng sampe sekarang dan brojolin kalian bertiga.”
“Ma, aku harus berangkat kerja lho .... ngomelnya bisa ditunda dulu enggak?” kataku memelas, sementara Rania dan Ranita—kedua adikku cekikan di meja makan.
“Ck! Ngomel kok disuru tunda! Dari tadi Mama, tuh, bukan ngomel, ya. Mama lagi nasihatin kamu. Ya, udah sana!”
Setelah masuk ke dalam mobil, kedua adik kurang ajarku malah tertawa terbahak-bahak, sebenarnya kami bertiga dengan tujuan berbeda. Namun, masih satu arah. Rania masih menyelesaikan kuliahnya, sedangkan Ranita sudah bekerja, dan sedangkan kantorku berada paling ujung. Jadilah aku harus mengantar mereka dulu.
“Puas lo, pada ngetawain gue!” Keduanya malah makin terbahak-bahak.
“Lagian salah sendiri! Diajarin dandan kok, enggak mau!”
“Gue dandan, kok!”
“Cih! Pake pelembab doang, dibilang dandan.” Rania mencibir.
“Eh ... gue pake lipbalm juga, ya.”
“Ck! Sama aja dong!”
“Yang namanya dandan, tuh lengkap. Pelembab sama lipbalm mah, skincare kelesss." Kini Ranita yang mencibir.
“Heh! Gue tuh cantik alami, ya!”
“Untung Kakak, tuh, kerjaannya enggak ketemu orang banyak, cuma diem di depan komputer.”
“Kalau enggak, bukan cuma diomelin Mama tapi juga sama bos!”
“Udah deh berisik kalian!”
***
Berkutat dengan angka-angka di hadapan komputer seolah-olah ada kenikmatan sendiri buatku. Menghitung hingga mendapat hasil yang akurat adalah kebanggaan sendiri, meski tak sedikit yang mencibir pekerjaan ini dengan kalimat.
“Ngitungin duit orang.”
“Ngitungin duit yang enggak ada.”
“Ngitung doang enggak pernah megang duitnya.”
Masih banyak lagi kalimat-kalimat dengan arti serupa, tetapi aku tak pernah peduli. Dari pekerjaan ini aku bisa membiayai hidupku dengan layak, bahkan sangat layak.
Juga bisa membantu membayar sedikit biaya kuliah Ranita, serta menabungnya sebagian. Itu sudah cukup buatku.
“Ca, udah selesai?”
“Dikit lagi, Mbak.”
Mbak Kia—kepala divisi keuangan menghampiriku ke meja kerja, dia menengok hasil kerjaku pada layar komputer.
“Kamu emang selalu bisa diandalkan, Ca.”
“Makasih, Mbak.”
“Kalau sudah diprint tolong taro di atas mejaku, ya. Aku mau meeting dulu jangan lupa soft copynya juga kirim ke email! Semangat kerjanya, bonus akhir tahun menanti, Ca!” katanya sambil berlalu dengan tangan mengepal tanda memberi semangat.
“Jelaslah harus semangat, bonus akhir tahun selalu menggiurkan. Ya enggak, Ca?” timbrung Maria—partnerku di divisi keuangan
Aku hanya menanggapinya dengan tertawa. Ya, bonus akhir tahun memang sangat menggiurkan, terkadang perusahaan memberi kami bonus dua kali lipat dari gaji kami.
***
Pulang larut hingga hampir lewat tengah malam sudah biasa untukku, terlebih jika mendekati akhir tahun seperti sekarang.
Setelah memastikan mobil terparkir dengan benar dan terkunci, aku bergegas masuk. Udara malam ini terasa sangat menusuk, hujan deras dari tadi siang sepertinya tak akan berhenti sampai besok pagi.
“Kirain kamu mau tidur di kantor!”
“Ya, ampun Mama, bikin kaget aja deh!” Aku mengelus dadaku dramatis, Mama tiba-tiba muncul di belakangku saat aku berbalik setelah mengunci pintu rumah.
“Kamu enggak punya jam? Liat, tuh jam berapa!”
“Mama, kan tau kerjaanku emang gini apalagi mau akhir tahun kayak sekarang.”
“Kerja terus, di kantor terus! Kapan dapet pacar!” Dengan mulut yang sibuk mengomel, Mama menggiringku menuju meja makan.
Aku hanya menurut saat Mama menyuruhku duduk, aku memerhatikan Mama yang sigap memanaskan makanan untukku.
Dengan wejangan yang tak berhenti, membuatku mengusap wajar pelan. Rasa lelah selepas bekerja dan bahasan yang tak bosan Mama bahas menambah lelah di tubuhku.
Aku baru 27 tahun, tetapi seolah-olah aku ini nenek-nenek yang semua sibuk memberi nasihat untuk segera menikah.
Ngomong-ngomong soal menikah, aku juga bukan tak ingin menikah. Wanita di mana pun pasti ingin menikah dan memiliki keluarga.
Masalahnya menikah itu bukan perlombaan, siapa cepat dia dapat. Menikah buatku adalah memilih orang yang tepat untuk menjadi pasangan sampai akhirat.
Sayang hingga sekarang aku belum bertemu dengan orang itu.
“Makan! Kenapa bengong!”
“Punya badan, kok, kurus krempeng kayak gitu! Jangan-jangan kamu kalau di kantor enggak pernah makan bekal yang Mama buat, ya?”
Apa ibu lain di luar sana sama seperti mamaku? Sepertinya bukan hanya hobi memarahi anak, tetapi juga hobi menuduh yang tidak-tidak.
“Kalau aku enggak makan aku bisa pingsan, Ma.”
“Iya, juga ya. Makanmu kan juga banyak.”
“Itu, Mama tau!”
“Ck! Berarti memang harus nikah, Ca!”
“Apa hubungannya kurus sama nikah, Ma?”
“Katanya, perempuan yang kurus pas nikah itu jadi berisi, Ca!”
“Emang dulu Mama begitu juga?”
“Enggak lah, badan Mama tuh dari dulu emang udah berisi!”
“Gendut maksudnya?”
“Kamu lagi ngatain Mama?”
“Enggak, kok! Aku mana berani katain Mama.”
“Terus tadi? Mau Mama kutuk kamu?”
“Ampun, Ma. Mama enggak ngantuk?”
“Ya, ngantuk! Tapi Mama nungguin kamu pulang.”
“Udah berapa kali Caca bilang, enggak usah nunggu Caca pulang, Ma.”
“Mana bisa begitu, nanti kalau kamu udah jadi seorang ibu, juga pasti ngerasain, kok.”
“Makasih Mama udah khawatir sama Caca, tetapi Caca sekarang udah dewasa, Ma.”
“Nah, kami sendiri udah ngaku dewasa, makanya nikah Ca!”
Setelahnya aku merasa menyesal mengakui bahwa aku telah dewasa, rentetan panjang nasihat tentang pernikahan membuat waktu istirahat yang memang sudah berkurang banyak jadi makin berkurang banyak.
Mama baru berhenti memberi omelan yang katanya “nasihat” saat Papa memanggil dan aku berterima kasih sekali atas apa yang Papa lakukan.
Pagi-pagi sekali Mama sudah datang. Wanita yang paling cantik sedunia bagiku itu mnenteng banyak sekali bawaan di tangan kanan dan kirinya. Wanita bertubuh gemuk itu terlihat kesulitan ketika berjalan. Lalu yang membuatku cemberut adalah hal pertama yang dia tanyakan bukan menanyakan bagaimana keadaanku.“Kai mana, Ca? Mama bawa sarapan buat dia.”“Cuma buat Kak Kai?”“Loh, makanan buat kamu kan disediain rumah sakit, tapi Mama bawa banyak camilan kok.”Mama mengedarkan pandangannya ke seluruh sisi ruangan. “Kai lagi di kamar mandi?”“Iya.”Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Kak kai dengan rambut basah. Rambutnya itu bahkan masih meneteskan air dari ujung rambut. “Pagi, Tante,” sapa Kak Kai dengan senyumnya yang khas.“Pagi, Kai. Tante bawa sarapan buat kamu. Kita sarapan dulu, yuk!”“Tante kok malah repot-repot sih?”“Enggak apa-apa. Pagi-pagi gini belum banyak pilihan sarapan yang dijual. Lagian kan lebih sehat kalau dimasak sendiri.”Lalu, Mama menuntun Kak Kai ke kurs
Dengan sekali tegukkan aku meneguk air berserta tiga butir obat dengan ukuran kecil. Kak Kai kembali menurunkan ranjang. Dia menaikkan selimut hingga sebatas dadaku. Aku kembali membuka kembali mataku saat Kak Kai membisikkan sesuatu di telingaku dan pria itu berhasil mendaratkan ….“Ah, jantung apa kabarmu saat ini?”Pria itu mendaratkan satu kecupan di dahiku. Hal yang membuat tubuhku bukan hanya meremang, tetapi juga kembali menggigil. Usai mencium keningku, pria itu bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Dia berjalan menuju sofa. Lalu, berbaring dan memakai selimutnya sendiri. Tak lama kudengar dia mendengkur halus. Aku mendengkus dalam hati. Setelah mencuri satu ciuman pertama dariku dia enak-enak tertidur. Sementara aku didera insomnia karena ulahnya.Sampai jam satu dini hari mataku sulit banget buat dipejamin. Aku melirik ke arah Kak Kai, pria itu entah sedang terbang ke mana sekarang dalam mimpinya. Uh, ini sih sama saja aku enggak ditemanin namanya.Aku ambil ponselku. Aku li
Entah berapa lama aku tertidur, atau mungkin pingsan? Yang jelas aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku merasa sinar lampu tepat di atas kepalaku. Sinar lampu yang aku rasa terlalu dekat, membuatku kesulitan membuka mata. Aku meringis saat merasakan seluruh tubuhku terasa remuk.“Caca ….”Aku tahu betul itu suara Mama. Aku ingin menjawab, tetapi tenggorokanku seakan-akan tak mau mengekuarkan suara. Aku mengerang kembali saat rasa dingin yang begitu hebat memeluk tubuhku erat. Aku seperti berada di dalam lemari es. Tubuhku menggigil hingga aku harus merapatkan gigi. Namun, di saat yang bersamaan rasa panas juga ikut menyebar seluruh nadi di dalam tubuh.Mataku masih enggan terbuka. Aku merasakan Mama menambah lembaran selimut atau apa pun itu. Namun, rasa dingin yang kurasakan enggak juga berkurang. Di sisi yang lain keringat terasa membasahi tubuh. Tak lama suara pintu dibuka terdengar.“Bagaimana keadaan Caca, Tante?”“Caca udah bangun, tapi kayaknya sekarang lagi kedi
Lalu apa yang dilakukan oleh pria itu selanjutnya membuatku ingin menjerit keras. Pria aneh itu tertawa terbahak sembari membawa langkahnya ke luar dari kamarku. Dia berbalik di ambang pintu. “Mukamu merah, Ca.”Setelah ngomong gitu, dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, dan menutup pintu kamarku. Di dalam kamar aku masih bisa dengar suaranya yang tertawa kencang. Sumpah, aku baru tahu kalau Kak Kai memiliki sifat jahil. Astaga bisa-bisanya aku bersemu merah jambu hanya karen aulah jahilnya. Ish, jantungku juga kok norak banget, baru segitu saja udah deg-degan enggak karuan. Raisa bodoh banget!Usai membersihkan diri, memakai baju, aku sedikit memoleskan pelembap bibir agar bibirku tak terlalu pucat. Setelahnya aku menuruni tangga dengan hati-hati. Meski sudah lebih baik, sqakit di kepalaku masih terasa. Badanku juga masih lemas banget.Di tengah tangga, tiga orang yang sedang mengobrol asyik sambil menikmati secangkir teh dan sepiring camilan buatan Mama itu kompak menoleh ke a
Demi apa pun selama 27 tahun aku hidup, aku tak pernah sekali pun melihat Mama tersenyum begitu indah sekaligus mengerikan seperti sekarang ini. Aku kembali mengalihkan pandangan pada dua orang yang ada di belakang Mama. Dua orang dengan wajah hampir serupa dalam jenis kelamin berbeda itu sedang tersenyum ke arahku.Aku meringis sejadi-jadinya. Astaga, dalam keadaan tidak sakit saja aku merasa tak cantik. Apa lagi sekarang? Wajah pucat, bibir pucat, rambut bak singa, berkeringat, baju rumahan tipis karena sudah terlalu sering aku gunakan sekarang dalam keadaan yang sudah basah, dan satu ingatan tentang aktivitas pagi berhasil membuatku ingin menelenggelamkan diri ke laut. Ya, Tuhan … aku belum mandi.Langkah Mama dan dua orang tamunya itu makin mendekat ke arahku. Senyum Mama tak luntur, berbanding terbalik denganku yang hanya bisa pasrah. Senyuman Mama itu masih bertahan bahkan saat telah sampai di dekatku. Aku hanya bisa diam tanpa merasa bisa melakukan apa-apa. Ah … masa bodoh lah
Setelah membantuku menaruh baju basah, Kak Kai lantas mengunci mobil. Dia tersu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sialnya kuci mobilku dia bawa. Gagal sidah rencanaku untuk kabur.Aku terpaksa mengikuti langkahnya masuk lagi ke dalam rumah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayang sudah pertanyaan-pertanyaanyang akan aku terima di dalam sana. Aku yakin tak akan melepaskan aku begitu saja.Arggh!Tahu begini aku lebih baik di rumah saja. Menikmati hari minggu sembari membaca novel penulis favoritku yang kubeli satu minggu lalu dan belum sempat kusentuh sama sekali. Masa bodoh dengan urusan jodoh. Toh aku bisa mencari jalan lain untuk bertemu dengan Kak Kai.Ngomong-ngomong soal Kak kai, aku masih penasaran dengan dress yang kupakai. Sebenarnya dress ini punya siapa sih? Ah, bikin penasaran aja.Akhirnya acara arisan yang membuatku harus jadi topik pembicaraan itu selesai. Namun, penderitaanku belum juga berakhir. Sampai di rumah, Mama memberondongku dengan ban