Share

8. Kado Misterius

Seminggu sudah aku mengenakan segala pernak pernik yang di sebut make up juga segala produk perawatan kulit serta menggunakan dress-dress yang Mama belikan. Aku bahkan membeli beberapa dress lagi.

Tatapan aneh dan penuh selidik tak lagi kudapatkan dari orang di sekitarku, baik di kantor maupun di rumah. Pagi itu saat aku akan masuk mobil, Mama mencekal tanganku.

“Ca, pakai apa yang buat kamu nyaman. Jangan paksain sesuatu yang enggak kamu suka.”

Aku mengerutkan kening. “Caca suka, kok, Ma. Udah, ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”

 

“W* alaikum salam.”

 

“Kak, lo baik-baik aja, kan?”

 

“Kenapa emang?

 

“Lah, ini lo bukan style lo banget!”

 

“Emang style gue gimana?”

Bisa kulihat kedua adikku itu memutar mata malas secara bersamaan. “Belaga pilon lagi.”

“Emangnya salah kalau gue mau berubah?”

“Ya, enggak sih.”

 

“Trus?”

“Kak, ini bukan karena perjodohan itu batal, kan?” cicit Rania hampir saja tak terdengar.

“Enggaklah. Iya kali cuma gara-gara dia gue harus berubah!”

“Ya, baguslah. Betewe, lo cakep pake begini, Kak.”

 

“Gue, kan emang cakep dari lahir!”

 

“Yeee!”

 

“Narsis!”

 

“Tapi seriusan Kak, lo lebih cakep kalau dandan begini.”

 

“Iyeeee ... ini juga, kan yang diharapin Mama.”

 

“Ck! Lo, ngelakuin ini buat Mama?”

 

“Ya, enggak juga! Mama buat gue ya, prioritas, tapi gue ngelakuin ini buat diri gue sendiri juga!”

 

“Mama tadi udah bilang, kan. Lo enggak harus maksain apa yang enggak lo suka.”

 

“Gue suka, kok! Mencoba buat suka lebih tepatnya.”

“Kak, maafin aku, ya, kata-kataku kasar banget malem itu,” ucap Rania penuh sesal.

 

“Udahlah lupain. Yang penting sekarang belajar yang bener! Tahun depan wisuda!”

 

“Kak!”

 

“Apa? Enggak usah protes!”

 

“Kakak enggak beneran minta aku bayar, kan?”

 

“Menurut, lo?”

 

“Hehehe ... makasih.”

 

“Yeee, malah cengengesan. Udah nyampe nih, masuk sono!”

 

Setelah mencium tanganku dan Ranita, Rania keluar dari mobilku. Aku masih harus mengantarkan Ranita ke kantornya sebelum melanjutkan perjalanan menuju kantor tempatku bekerja.

 

***

 

Tentang perjodohanku yang batal dengan Bagas, kata Mama Tante Anna pernah datang malam-malam ke rumahku.

Mama menjelaskan bahwa dia masih mengharapkan perjodohan itu akan terjadi. Tanpa tahu bahwa anaknya sendirilah yang tak menginginkan perjodohan itu. Akan tetapi, Mama dan Papa menjelaskan bahwa kami karena satu hal tak bisa meneruskan perjodohan itu.

Kata Mama, Tante Anna terlihat sangat kecewa sekali. Namun, bukan Mama namanya jika tak dapat menghibur hati orang lain. Jadi, hubungan pertemanan Tante Anna dan Mama tetap terjalin dengan baik.

 

Hari ini aku dikejutkan dengan kedatangan paket berupa tas branded ternama ke kantor tempatku bekerja.

 

“Mbak Caca ada paket, mau diantar OB atau di ambil,” ucap Siska-resepsionis lantai satu pada sambungan telepon.

“Hah? Paket? Buat aku?”

 

“Iya, Mbak.”

 

“Kamu enggak salah baca, kan?”

 

“Lho ... enggak dong, Mbak! Di sini jelas tertulis alamat kantor, paket atas nama Raisa Alfiani divisi keuangan.”

 

“Oke, deh. Minta tolong sama OB, ya, buat anter paketku ke sini.”

 

“Oke, Mbak!”

 

“Thank you, Sis.”

“Sama-sama, Mbak Caca.”

 

Aku mengucapkan terima kasih saat Pak Kasim-OB kantor mengantarkan paket untukku. Ternyata paket itu terdiri dari satu kotak besar berwarna merah muda dan satu buoqet bunga mawar yang juga berwarna merah muda.

 

Aku masih memandang dua benda yang kuletakkan di atas meja tanpa menyentuhnya. Terlebih tak ada identitas sang pengirim yang tertulis di sana.

“Buka aja kali, Mbak. Penasaran, kan? Cieee ... Mbak Caca punya penggemar rahasia.” Setelah mengatakan itu Maria malah tergelak sendiri.

 

“Ck! Penasaran sih penasaran! Ngeri juga, kan buka paket yang enggak ada nama pengirimnya kayak gini, Mar!”

 

“Dari pada penasaran ya, mending dibuka dong, Mbak! Enggak mungkin bom juga, kan udah diperiksa sebelum masuk ke kantor. Kalau itu bom, ya udah pasti ke detect.”

 

Aku mencebik menanggapi ucapan Maria. “Ya, enggak bom juga, Maria.”

 

“Ya, udah buka makanya!”

 

“Iya entar!"

“Sekarang aja, sini biar aku yang buka! Mumpung enggak ada kerjaan, mumpung Mbak Kia lagi keluar juga, hahaha ...."

 

“Ck! Nih, buka gih!”

 

Dengan penuh semangat, Maria membuka paket berwarna merah muda itu tanpa menggunakan gunting. Dia mengabaikan gunting yang kusodorkan padanya.

 

“Enggak usah, Mbak!” tolaknya.

 

“Wuihhh ... tas branded ini, Mbak!” katanya dengan mata berbinar sesaat setelah membuka paket itu.

 

“Hah?”

.

.

.

.

.

TBC

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status