Share

5. Bagaskara

Berada di tengah-tengah obrolan orang tua membuatku mati kutu, belum lagi bibirku terasa kering karena harus tersenyum terus menerus.

Ditambah perut yang minta diisi, benar-benar membuatku nelangsa. Berkali-kali aku memberi kode pada Mama meminta izin untuk masuk, yang kudapat hanya delikan mata Mama.

Mama sendiri sibuk mempromosikan anak gadisnya, pernah dengar tukang panci yang sedang berorasi? Nah, kira-kira seperti itulah Mama mempromosikan aku di depan Tante Anna, Om Handoko dan juga Bagas.

Ngomong-ngomong tentang Bagas, sedari tadi dia hanya diam. Menjawab singkat saat di tanya, selebihnya sama sepertiku terpaksa mendengar obrolan para orang tua. Bedanya aku selalu tersenyum, sedangkan dia diam dengan wajah datarnya.

Tetapi aku bersyukur, setidaknya tak harus membuka obrolan garing. Ya, aku memang tak pandai membuka obrolan apa lagi dengan orang asing.

“Ma, ajak tamu kita makan dulu, ini udah masuk waktu makan siang,” kata Papa.

Aku bersorak dalam hati, akhirnya cacing-cacing dalam perutku akan dapat jatah.

“Oh, iya. Ayo, ayo! Kita makan siang dulu, saya sudah masak yang spesial lho ....”

Papa menggiring semua orang ke meja makan. Aku yang memang belum sarapan langsung duduk di tempatku biasa duduk.

Tiba-tiba Mama untuk kedua kalinya mencubit punggungku.

“Layani Jeng Anna sama keluarganya makan! Baru kamu boleh makan,” bisik Mama nyaris tak terdengar.

Mau tak mau aku kembali berdiri, menyendokkan makanan satu per satu pada piring semua orang.

“Ya, Allah Caca ini mantu idaman lho, Pa. Terima kasih, ya, Sayang.” Celoteh Tante Anna membuat aku melotot sekaligus meringis.

Apa? Mantu? Awas saja, kalau Mama benar-benar menjodohkan aku tanpa persetujuanku lebih dulu.

“Ya, Papa setuju itu,” balas Om Handoko.

Aku meletakkan nasi dan lauk di atas piring Bagas. Lalu, menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkan di depan piringnya.

Setelahnya aku duduk dan mengisi piringku sendiri dengan makanan. Berdoa sebelum makan dalam hati, aku tersedak ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Tante Anna.

“Gimana kalau kita percepat aja perjodohannya? Enggak perlu tunangan langsung nikah, aja!”

“Uhuk! Uhuk!

Oh, sial! 

Bumbu rendang serasa masuk ke tenggorokanku, rasa panas dan perih menjadi satu. Dengan datar Bagas menyodorkan segelas air putih dan menepuk-nepuk punggungku pelan. Bukan! Bukan karena peduli, tetapi karena dia memang duduk di sebelahku.

“Ya Allah, Ca! Kamu enggak apa-apa, Nak?” tanya Tante Anna dengan raut khawatir yang kentara.

“Udah, Jeng. Caca pasti enggak apa-apa, udah ada Bagas yang nolong.”

“Makasih lho, Nak Bagas udah nolongin, Caca.”

Ya, benar kalimat-kalimat sumbang itu berasal dari Mama. Pakai bilang terima kasih segala coba, Bagas, kan cuma kasih air minum doang. Itu pun karena dia yang paling dekat.

Ide supaya aku duduk di samping Bagas pun adalah ide Mama, sepertinya Mama yang kebelet punya mantu.

“Sama-sama, Tante.”

“Lain kali, pelan-pelan makannya, ya,” ucap Bagas sembari mengambil selembar tisu, dan mengusapkan ke wajahku.

“Ya Allah, Jeng! Kita percepat aja gimana?” seru Tante Anna.

Kalimat Tante Anna membuatku kembali melotot, untung saja sedang tidak makan, kalau tidak aku pasti sudah tersedak.

“Kalau saya, ya, gimana anak-anak aja, Jeng,” ucap Mama kalem, yang kutahu dalam hatinya pastinya pasti sedang bersorak.

“Kalau kamu gimana, Gas?”

“Bagas, ikut kata Mama aja,” jawabnya tak mengalihkan pandangan dariku.

Sungguh aku melihat dia menyeringai tipis, sangat tipis.

“Alhamdulillah. Kalau Caca, mau jadi mantu Tante? Jadi istrinya Bagas!”

“Eh ... it-itu—“

“Caca pastilah mau, Jeng! Enggak mungkin nolak! Iya, kan Ca?” jawab Mama semena-mena.

“Ma—“

“Sudah, sudah. Kita makan dulu sekarang. Setelah itu baru bicara pernikahan," putus Papa, yang juga memutus semua kalimat protesku.

***

“Ma, nggak bisa gitu dong!”

“Kenapa?”

“Aku enggak mau nikah sama Bagas!”

“Iya, kenapa?”

“Ya, pokoknya Caca enggak mau nikah sama orang asing! Caca enggak mau pokoknya!”

“Kamu harus kasih alasan yang jelas, baru Mama pertimbangin lagi perjodohan kamu.”

“Ma! Enggak bisa gitu!”

“Enggak bisanya kenapa? Kamu udah punya pacar?”

“Ya-ya, enggak.”

“Nah, kamu aja enggak punya alasan jelas, kok!

“Ta-tapi, Ma?”

“Udah deh! Enggak usah tapi-tapi, masalah belum kenal, kalian bisa kenalan dulu. Toh, kalian tunangan dulu, enggak langsung nikah.”

“Aku enggak suka sama dia, Ma!”

“Enggak susah buat kamu jatuh cinta sama Bagas. Dia tampan, baik, perhatian dan mapan juga!”

“Astagfirullah, Mama ... Mama enggak bisa kayak gitu dong! Belum tentu Bagasnya juga suka sama aku, kan?”

“Kamu enggak denger tadi Bagas bilang apa?”

“Apa?”

“Makanya dengerin!”

“Yang mana?”

“Ish ... dia bilang setuju sama perjodohan ini. Lagian, kalau dia enggak suka enggak mungkin dia setuju, kan?”

“Tap—“

“Lagian anak Mama, tuh cantik! Kamunya aja yang enggak bisa rawat diri! Pokoknya mulai sekarang kamu harus dandan! Rubah penampilan!”

“Sesekali pake rok, kek. Jangan celana mulu! Pake dress biar keliatan perempuan banget! Ini pake kemeja sama celana terus, warnanya item teruss!”

“Kok, jadi aku yang harus rubah penampilan? Kalau dia suka, ya, terima dong apa adanya,” protesku.

“Enggak usah banyak protes! Mama udah beli make up sama skincare buat kamu, sama dress-dress juga! Mulai sekarang kamu harus terbiasa pake itu semua.”

Mama berlalu meninggalkan aku yang terbengong-bengong.

Aku memutuskan untuk masuk ke kamar, tetapi langkahku terhenti oleh suara tawa dari kamar Ranita.

Aku melangkah lebih dekat, menempelkan telinga pada daun pintu. Ternyata di sana ada Rania juga, saat aku sedang kesal mereka malah tertawa-tawa.

Aku membuka pintu kasar, melihatku masuk keduanya sontak terdiam.

“Bagus ya, lo berdua ketawa di atas penderitaan gue!”

“Astaga, Kak! Enggak bisa apa buka pintunya pelan-pelan? Bikin kaget aja! Lagian siapa juga yang ketawain lo!”

“Trus lo ngapain ketawa-tawa?”

“Yeee ... suudzon aja! Kita lagi nonton drakor nih!” kata Ranita menunjukkan laptop di depannya.

“Gue mau tanya serius sama lo!”

“Tanya apa?”

“Lo beneran enggak tau rencana Mama?”

“Demi Allah, Kak. Gue enggak tau!”

“Trus kenapa si Cici bilang semoga acara lamarannya lancar?”

“Ck! Itu sih karena gue request make upnya kayak orang lamaran kali!”

“Kenapa lo request gitu?”

“Ih ... itu requestan Mama. Mama bilang make upnya yang bagus, kayak buat acara lamaran gitu.”

“Beneran lo enggak tau?”

“Sumpah, Kak! Sumpah, gue enggak tau! Kenapa sih?”

“Cowok yang tadi itu mau dijodohin ke gue sama Mama.”

“Terus kenapa? Kan, ganteng,” balas Rania.

“Ganteng-ganteng srigala? Lo pikir nikah cukup ganteng doang? Udahlah gue mau ke kamar.”

“Woiii, Kak! Tutup lagi dong!”

Tak kuhiraukan teriakan Ranita di belakang sana, aku tetap melanjutkan langkahku menuju kamar.

Aku berdecak kala perutku berbunyi, menimbulkan rasa perih pada lambung. Aku memang tak menyentuh lagi makananku tadi, terlalu shock dengan kejadian hari ini, membuat nafsu makanku hilang. Sayang, rasa laparnya tak ikut hilang.

Aku melihat di atas meja riasku kini dipenuhi oleh botol-botol make up dan skincare, sepertinya Mama tak bercanda saat bilang aku harus mengubah diri.

Aku menghembuskan napas kasar, memilih berjalan ke kamar mandi. 

Masuk ke dalam kamar mandi, aku segera membuka dress yang ternyata tak lebih nyaman dari kaos oblong dan celana kulot. Setelah membuka semuanya, aku menyalakan shower untuk mengguyur seluruh tubuhku.

Membiarkan penat ikut mengalir bersama air.

Mungkinkah Bagas adalah jodohku? Entah mengapa aku merasa ada yang tak beres dengan Bagas, kenapa dengan begitu mudah dia menerima perjodohan ini. Siapa pun akan setuju bahwa Bagas memiliki paras yang tampan, tubuhnya tegap disempurnakan oleh tinggi badan yang ideal, pun pendidikan S2 membuatnya tak mungkin tak dilirik oleh wanita di luar sana, kan?

Jangan-jangan dia pria yang gagal move on? Lalu, menjadikanku sebagai pelarian. Atau jangan-jangan dia pria yang suka jeruk makan jeruk? Astaga! Kemungkinan terakhir membuatku bergidik ngeri. Ya Allah jauhkanlah aku dari makhluk seperti itu.

.

.

.

.

.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status