Share

Bab 3

"Apa aku bilang. Dari kemarin aja kamu enggak mau percaya," cetus Mega. Ia baru saja keluar dari kamar, dan langsung menyerobot ucapan Diandra ketika ia menceritakan apa yang terjadi semalam pada Imran, kakaknya yang juga duduk di ruang tengah.

Imran menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak mau ikut campur rumah tangga adiknya, tetapi ia juga tidak bisa melihat Dia mengadukan apa yang menjadi masalah dalam hidupnya. 

Sambil menatap bocah lima tahun yang tengah bermain di depan televisi bersama neneknya itu, Imran menjawab, "Cari tau aja dulu. Jangan gegabah bertanya langsung pada Dani. Khawatir dia tersinggung. Lelaki itu kalau badan capek, ditanyain hal-hal yang sensitif yang dia tidak lakukan, yang ada malah tersulut emosi."

"Terus, aku harus gimana, Mas?" 

"Kamu udah cek handphone dia? Barangkali ada titik terang." Imran menyesap kopinya. 

"Udah berkali-kali. Bahkan semua kontak yang ada di sana, aku kenal. Enggak ada tanda-tanda apa pun."

"Coba kamu sekali-kali ikut keluar kota sama dia. Enggak ada salahnya kan, kamu tinggal di hotel saat dia kerja."

"Nanti akan kucoba bilang, Mas."

Beberapa saat suasana rumah itu hening. Tak ada perbincangan lagi selain celotehan putri kecil yang tengah bermain dengan Halimah itu. Menatap Aqila, darah daging Dani, rasanya sesak dalam dada Diandra belum bisa lega. 

"Loh!" cetus Mega ketika melihat ponselnya. Ia sampai menutup mulutnya saat melihat benda pipih di tangannya. 

"Ada apa sih? Bikin kaget tau enggak, suaramu itu, Dek. Jam sembilan nanti Mas mau ke rumah sakit."

"Mas! Liat nih!" Mega menunjukkan ponselnya pada sang suami.

Saat melihatnya, Imran terdiam beberapa saat. Keningnya berkerut mencoba mengenali sosok yang ada di dalam ponsel. "Ini siapa, Dek?"

"Itu si mertuanya Diandra, Mas. Masa enggak kenal? Astaga kamu ini." Mega sampai menepuk lengan suaminya yang terbalik kemeja biru itu. 

"Orang pake make up begitu. Mana tau lah aku. Mana tebel pula lagi. Astaghfirullah." Imran menggeleng kepalanya. 

Saat lelaki itu ingin memperlihatkan foto dua orang wanita di dalam ponsel Mega pada Diandra, sayangnya Dia menyusul putrinya di lantai ruang tengah yang sedang bermain. Tak tega rasanya Imran mengadu apa yang ia barusan lihat. 

"Mas, tuh kasih tau si Dia! Coba tanya siapa wanita yang lagi foto sama mertuanya itu." Mega memaksa. 

Namun, Imran sepertinya banyak menimbang. Ia tak segera memberitahu sang adik mengenai foto itu. 

"Mas!" panggil Mega lagi, menyadarkan Imran yang masih melamun. 

"Kamu aja lah, Dek. Aku mau berangkat ke rumah sakit juga. Ada operasi jam sebelas nanti. Oh ya, kabari aku gimana reaksi Dia nanti. Aku enggak tega ngasih taunya. Pikiranku jadi ke mana-mana. Ini yang bikin nanti enggak konsen kalau lagi operasi."

"Halah, gitu doang. Kamu terlalu menyayangi Dia, Mas. Jadinya enggak siap dengan konsekuensi jika benar si Dani selingkuh."

"Huustt! Ngomong apa kamu! Jangan ngomong yang belum tentu terjadi."

"Ck." Mega berdecak lalu mengikuti suaminya yang keluar rumah setelah berpamitan pada ibunya. 

Dia menatap ke luar jendela yang terbuka. Tampak bahagia sekali sepasang suami istri itu meski sering bertengkar dan terkadang saling menyindir. Namun, mereka tetap akur kembali. 

"Dia, sarapan dulu gih!" Halimah bersuara. Ia melihat putrinya terlihat murung beberapa hari ini. 

"Dia udah makan di rumah, Bu. Masa makan lagi di sini," balas istri Dani itu. 

"Ya enggak apa-apa. Di rumah Ibu kan belum." Wanita tua itu tertawa. 

Dia dan ibunya serta Aqila duduk di karpet merah sambil bersantai. Tak lama datang Mega lagi dan langsung duduk bergabung dengan mereka. Wanita bergamis merah marun itu menepuk pundak Dia. Sontak, Dia pun langsung menatapnya. 

"Dia, kamu lihat ini!" Tak banyak basa-basi lagi. Mega langsung menunjukkan sebuah foto yang tadi Mega perlihatkan pada suaminya. 

"Ini ... bukannya mamanya Mas Dani? Astaghfirullah." Dia menutup mulutnya karena keterkejutan yang tak pernah ia sangka. "Mama sama siapa ini? Kenapa mereka seperti ...." Ucapan Dia terhenti. Tak kuat ia melanjutkannya. 

"Apa aku bilang, Dia. Ini status WA mama mertua kamu," lanjut Mega. 

Halimah yang tadinya mengajak cucunya bermain pun langsung beralih pada dua wanita muda yang duduk tak jauh darinya. "Ada apa? Kenapa Dia jadi sedih begini?" 

Melihat Diandra memijat keningnya sambil menyandar dinding, Halimah ikut panik. Wanita tua itu langsung diperlihatkan foto besannya dengan seorang wanita muda yang berpose dengan senyuman oleh Mega. 

"Ini dandanannya seperti orang menikah. Mungkin ini keponakan Bu Eni. Atau sanak saudaranya yang lain." Halimah beralih menatap Mega lagi. 

"Ck, bukan, Bu! Ibu liat deh baik-baik!" Mega tetap menyangkal. "Kalau saudara mereka, pasti Dia kenal. Dia kamu kenal enggak itu siapa?" 

Dia hanya menggeleng. Kini kepalanya pun tiba-tiba berat. 

"Nah kan. Udah jelas pasti Dani sering keluar kota karena itu. Apa lagi coba?" Lagi-lagi Mega semakin membuat aliran darah Dia mendidih. "Mana mungkin saudaranya menikah, Dani enggak kasih tau si Dia. Pasti ada apa-apa."

"Sudah-sudah! Nanti biar Dia tanyakan sama suaminya sendiri. Sabar ya, Dia. Semoga suami kamu orang yang setia." Halimah menerima pelukan dari putrinya. 

***

Dirundung pikiran buruk, Dia termenung di kamar putrinya malam itu. Setelah menemani Aqila tidur, wanita muda itu masih tetap di sana. Bahkan deru mobil yang biasa ia nantikan pun sekarang sudah tak mambuatnya ingin segera beranjak dari kamar bernuansa merah jambu dengan karakter lucu itu. 

Suara pintu terbuka sampai hingga ke telinganya. Namun, Dia tak sedikit pun  tergerak untuk menoleh pada pintu yang kini terbuka itu. 

"Sayang, kamu di sini?" Tampak Dani yang masih mengenakan kemeja putih berlapis jaket hitam itu mendekat. Lelaki itu langsung duduk di tepi ranjang lalu mengusap kepala istrinya. 

"Ada apa, Sayang? Kamu mikirin apa? Kenapa wajahmu pucat?" tanya Dani lagi. 

Dia menarik udara dalam-dalam lalu mengembus perlahan. "Mas, kapan kamu ke Bandung lagi?"

Dani mengedipkan matanya lebih cepat. Lalu menarik kepala Dia hingga ke dalam dekapannya. "Kenapa? Apakah Mas terlalu lama meninggalkan kamu?"

"Sekolah Aqila libur beberapa hari karena gurunya ada acara. Aku sama Aqila mau ikut Mas kalau ke Bandung lagi. Di sana udaranya lumayan bagus, bukan? Daripada di Jakarta." 

"Mas barusan pulang, Dia. Mungkin pekan depan lagi ke sananya."

"Oh." Nada suara yang keluar bersama angin dari mulut dia terdengar kecewa. 

"Maaf ya, Sayang. Lain kali pasti Mas akan ajakin kalian."

Dering ponsel di dalam saku kembali berbunyi, Dani bangkit setelah melepas pelukan pada istrinya. Pria itu menatap ponsel sambil berdiri. 

"Iya, Ma?" 

Dia langsung bisa menyimpulkan siapa yang tengah menelpon suaminya. Namun, di balik panggilan yang terdengar samar itu, ada suara tangisan bayi yang membuat jantung Dia semakin berdebar-debar. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
Semangat, Ayank
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status