Share

Bab 3

last update Last Updated: 2023-11-30 17:53:34

"Apa aku bilang. Dari kemarin aja kamu enggak mau percaya," cetus Mega. Ia baru saja keluar dari kamar, dan langsung menyerobot ucapan Diandra ketika ia menceritakan apa yang terjadi semalam pada Imran, kakaknya yang juga duduk di ruang tengah.

Imran menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak mau ikut campur rumah tangga adiknya, tetapi ia juga tidak bisa melihat Dia mengadukan apa yang menjadi masalah dalam hidupnya. 

Sambil menatap bocah lima tahun yang tengah bermain di depan televisi bersama neneknya itu, Imran menjawab, "Cari tau aja dulu. Jangan gegabah bertanya langsung pada Dani. Khawatir dia tersinggung. Lelaki itu kalau badan capek, ditanyain hal-hal yang sensitif yang dia tidak lakukan, yang ada malah tersulut emosi."

"Terus, aku harus gimana, Mas?" 

"Kamu udah cek handphone dia? Barangkali ada titik terang." Imran menyesap kopinya. 

"Udah berkali-kali. Bahkan semua kontak yang ada di sana, aku kenal. Enggak ada tanda-tanda apa pun."

"Coba kamu sekali-kali ikut keluar kota sama dia. Enggak ada salahnya kan, kamu tinggal di hotel saat dia kerja."

"Nanti akan kucoba bilang, Mas."

Beberapa saat suasana rumah itu hening. Tak ada perbincangan lagi selain celotehan putri kecil yang tengah bermain dengan Halimah itu. Menatap Aqila, darah daging Dani, rasanya sesak dalam dada Diandra belum bisa lega. 

"Loh!" cetus Mega ketika melihat ponselnya. Ia sampai menutup mulutnya saat melihat benda pipih di tangannya. 

"Ada apa sih? Bikin kaget tau enggak, suaramu itu, Dek. Jam sembilan nanti Mas mau ke rumah sakit."

"Mas! Liat nih!" Mega menunjukkan ponselnya pada sang suami.

Saat melihatnya, Imran terdiam beberapa saat. Keningnya berkerut mencoba mengenali sosok yang ada di dalam ponsel. "Ini siapa, Dek?"

"Itu si mertuanya Diandra, Mas. Masa enggak kenal? Astaga kamu ini." Mega sampai menepuk lengan suaminya yang terbalik kemeja biru itu. 

"Orang pake make up begitu. Mana tau lah aku. Mana tebel pula lagi. Astaghfirullah." Imran menggeleng kepalanya. 

Saat lelaki itu ingin memperlihatkan foto dua orang wanita di dalam ponsel Mega pada Diandra, sayangnya Dia menyusul putrinya di lantai ruang tengah yang sedang bermain. Tak tega rasanya Imran mengadu apa yang ia barusan lihat. 

"Mas, tuh kasih tau si Dia! Coba tanya siapa wanita yang lagi foto sama mertuanya itu." Mega memaksa. 

Namun, Imran sepertinya banyak menimbang. Ia tak segera memberitahu sang adik mengenai foto itu. 

"Mas!" panggil Mega lagi, menyadarkan Imran yang masih melamun. 

"Kamu aja lah, Dek. Aku mau berangkat ke rumah sakit juga. Ada operasi jam sebelas nanti. Oh ya, kabari aku gimana reaksi Dia nanti. Aku enggak tega ngasih taunya. Pikiranku jadi ke mana-mana. Ini yang bikin nanti enggak konsen kalau lagi operasi."

"Halah, gitu doang. Kamu terlalu menyayangi Dia, Mas. Jadinya enggak siap dengan konsekuensi jika benar si Dani selingkuh."

"Huustt! Ngomong apa kamu! Jangan ngomong yang belum tentu terjadi."

"Ck." Mega berdecak lalu mengikuti suaminya yang keluar rumah setelah berpamitan pada ibunya. 

Dia menatap ke luar jendela yang terbuka. Tampak bahagia sekali sepasang suami istri itu meski sering bertengkar dan terkadang saling menyindir. Namun, mereka tetap akur kembali. 

"Dia, sarapan dulu gih!" Halimah bersuara. Ia melihat putrinya terlihat murung beberapa hari ini. 

"Dia udah makan di rumah, Bu. Masa makan lagi di sini," balas istri Dani itu. 

"Ya enggak apa-apa. Di rumah Ibu kan belum." Wanita tua itu tertawa. 

Dia dan ibunya serta Aqila duduk di karpet merah sambil bersantai. Tak lama datang Mega lagi dan langsung duduk bergabung dengan mereka. Wanita bergamis merah marun itu menepuk pundak Dia. Sontak, Dia pun langsung menatapnya. 

"Dia, kamu lihat ini!" Tak banyak basa-basi lagi. Mega langsung menunjukkan sebuah foto yang tadi Mega perlihatkan pada suaminya. 

"Ini ... bukannya mamanya Mas Dani? Astaghfirullah." Dia menutup mulutnya karena keterkejutan yang tak pernah ia sangka. "Mama sama siapa ini? Kenapa mereka seperti ...." Ucapan Dia terhenti. Tak kuat ia melanjutkannya. 

"Apa aku bilang, Dia. Ini status WA mama mertua kamu," lanjut Mega. 

Halimah yang tadinya mengajak cucunya bermain pun langsung beralih pada dua wanita muda yang duduk tak jauh darinya. "Ada apa? Kenapa Dia jadi sedih begini?" 

Melihat Diandra memijat keningnya sambil menyandar dinding, Halimah ikut panik. Wanita tua itu langsung diperlihatkan foto besannya dengan seorang wanita muda yang berpose dengan senyuman oleh Mega. 

"Ini dandanannya seperti orang menikah. Mungkin ini keponakan Bu Eni. Atau sanak saudaranya yang lain." Halimah beralih menatap Mega lagi. 

"Ck, bukan, Bu! Ibu liat deh baik-baik!" Mega tetap menyangkal. "Kalau saudara mereka, pasti Dia kenal. Dia kamu kenal enggak itu siapa?" 

Dia hanya menggeleng. Kini kepalanya pun tiba-tiba berat. 

"Nah kan. Udah jelas pasti Dani sering keluar kota karena itu. Apa lagi coba?" Lagi-lagi Mega semakin membuat aliran darah Dia mendidih. "Mana mungkin saudaranya menikah, Dani enggak kasih tau si Dia. Pasti ada apa-apa."

"Sudah-sudah! Nanti biar Dia tanyakan sama suaminya sendiri. Sabar ya, Dia. Semoga suami kamu orang yang setia." Halimah menerima pelukan dari putrinya. 

***

Dirundung pikiran buruk, Dia termenung di kamar putrinya malam itu. Setelah menemani Aqila tidur, wanita muda itu masih tetap di sana. Bahkan deru mobil yang biasa ia nantikan pun sekarang sudah tak mambuatnya ingin segera beranjak dari kamar bernuansa merah jambu dengan karakter lucu itu. 

Suara pintu terbuka sampai hingga ke telinganya. Namun, Dia tak sedikit pun  tergerak untuk menoleh pada pintu yang kini terbuka itu. 

"Sayang, kamu di sini?" Tampak Dani yang masih mengenakan kemeja putih berlapis jaket hitam itu mendekat. Lelaki itu langsung duduk di tepi ranjang lalu mengusap kepala istrinya. 

"Ada apa, Sayang? Kamu mikirin apa? Kenapa wajahmu pucat?" tanya Dani lagi. 

Dia menarik udara dalam-dalam lalu mengembus perlahan. "Mas, kapan kamu ke Bandung lagi?"

Dani mengedipkan matanya lebih cepat. Lalu menarik kepala Dia hingga ke dalam dekapannya. "Kenapa? Apakah Mas terlalu lama meninggalkan kamu?"

"Sekolah Aqila libur beberapa hari karena gurunya ada acara. Aku sama Aqila mau ikut Mas kalau ke Bandung lagi. Di sana udaranya lumayan bagus, bukan? Daripada di Jakarta." 

"Mas barusan pulang, Dia. Mungkin pekan depan lagi ke sananya."

"Oh." Nada suara yang keluar bersama angin dari mulut dia terdengar kecewa. 

"Maaf ya, Sayang. Lain kali pasti Mas akan ajakin kalian."

Dering ponsel di dalam saku kembali berbunyi, Dani bangkit setelah melepas pelukan pada istrinya. Pria itu menatap ponsel sambil berdiri. 

"Iya, Ma?" 

Dia langsung bisa menyimpulkan siapa yang tengah menelpon suaminya. Namun, di balik panggilan yang terdengar samar itu, ada suara tangisan bayi yang membuat jantung Dia semakin berdebar-debar. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
Semangat, Ayank
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kejutan Anniversary    Bab 111

    Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir

  • Kejutan Anniversary    Bab 110

    "Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek

  • Kejutan Anniversary    Bab 109

    "Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."

  • Kejutan Anniversary    Bab 108

    Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak

  • Kejutan Anniversary    Bab 107

    "Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme

  • Kejutan Anniversary    106

    Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status