Share

Bab 4

"Siapa itu tadi, Mas?" tanya Dia, ikut berdiri. 

"Oh, ini. Mama." Dani menarik pundak istrinya ingin segera ke kamar. 

Mereka keluar dari kamar Aqila lalu berjalan bersama dengan tangan bergandengan menuju kamar mereka sendiri. Malam itu, Dia mencoba memancing keinginan suaminya. Namun, Dani sejauh itu tidak bereaksi apa-apa. Pria itu terus terpejam dan malam berlalu dengan begitu saja. 

Dia merasa sedikit kecewa karena sudah hampir tiga pekan, Dani tak memulai lebih dulu. Berbeda sekali dengan dirinya yang dulu. 

Pagi itu, setelah menyiapkan sarapan untuk suami dan putrinya, Dia teringat sesuatu. Wajahnya mendongak dan segera berjalan menuju kalender yang ada di dinding dapur. Ia lupa membalik satu lembar kalender itu karena sudah datang bulan baru. 

Senyum di bibir Dia terlukis manis. Wanita cantik dengan celemek Hello Kitty itu melihat lingkaran merah pada tanggal tiga bulan ini. 

"Kamu liat apa, Sayang?" Sentuhan dari belakang punggung membuat Dia terkejut sampai pundaknya terangkat. 

Dia memutar badan seraya tersenyum. "Mas ingat besok tanggal berapa?" 

"Tentu saja. Bahkan aku sudah menyiapkan kejutan untukmu. Mas tidak akan pernah melupakan hari paling bersejarah dalam hidup kita itu." 

"Benarkah? Mas menyiapkan apa?"

"Kejutan yang akan membuatmu tidak akan pernah melupakannya. Tapi janji, jangan nanya terus sebelum besok tiba. Em, gimana kalau Aqila kita titipkan sama ibu dulu? Mas mau sama kamu aja soalnya. Kejutan ini sangat spesial, sudah lama Mas pikirkan."

"Tapi aku enggak enak sama ibu. Ibu udah tua. Masa kita titipkan Aqila."

"Sebentar saja. Siang kita berangkat, sore kita jemput. Habis itu kita akan ajak semua keluarga kita makan bersama."

Dia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya itu. Mereka lantas berpelukan lagi. Wanita itu sudah tak sabar ingin segera berganti hari.

"Mas, aku boleh tanya sesuatu?" Dia teringat kotak merah yang saat itu ia lihat. 

"Boleh dong, Sayang. Kamu mau tanya apa?" 

"Saat aku buka koper Mas waktu itu, aku menemukan ...."

Suara salam dari luar pintu membuat Dia menghentikan perkataannya. Mereka berdua langsung menoleh pada sumber suara. 

"Mas, sepertinya aku kenal suara itu."

Dani tertawa. "Aku lebih kenal, Sayang. Kita ke sana saja," pinta Dani. 

Dia bergegas melepas celemeknya. Lalu mengikuti langkah Dani yang lebih dulu sampai di dekat pintu. 

"Apa kabar, Ma?" Dani memeluk wanita yang telah melahirkannya itu. Lalu beralih pada seorang wanita yang lebih muda dari Diandra. 

"Fir, kamu enggak kuliah?" tanya Dani pada adiknya yang terlihat ketus itu. 

"Dia lagi enggak ada kuliah katanya, Dan," balas Eni karena putrinya tak segera menjawab. 

"Mah, Fir, ayo masuk! Sekalian sarapan. Tadi Dia udah masak juga," ucap Dani lagi. 

Tak lama, Dia muncul dari belakang tubuh suaminya. "Apa kabar, Ma?" Dia tersenyum sopan. Lalu meraih tangan mertuanya. 

Ada yang aneh pagi itu, tatapan Eni seperti enggan membalas senyuman menantunya. "Mama baik." Terdengar datar dan biasa saja. 

Begitu selesai Dia mencium punggung tangan Eni, wanita tua itu mengusap tangannya bekas cium Diandra pada pakaian yang ia kenakan tanpa sepengetahuan Dani karena lelaki itu lebih dulu masuk. 

Dia merasakanannya, tetapi ia tak begitu mempermasalahkan. Ia masih saja berbaik sangka. Beralih pada adik iparnya, Dia juga ingin bersalaman atau memeluk untuk melepas rindu. Sayangnya, gadis muda itu malah melengos lalu menyerobot lebih dulu untuk masuk. 

Dia tercengang dengan sikap Fira. Namun, memang gadis itu bersifat agak tertutup dan sering menghindarinya. Dia beralih pada mertuanya lagi. "Ayo masuk, Mah!" 

Eni berjalan lebih dulu. Ia tak mengindahkan menantunya yang mengikuti dari belakang. 

***

Mereka sudah berada di meja makan pagi itu. Menu yang Dia masak tak lain semua kesukaan suaminya. Saat itu, Dia sibuk mengajari putrinya makan agar tidak tumpah-ruah. Dengan lebih sering menatap Aqila malah menjadikannya mendapatkan sentilan pedas dari sang mertua. 

"Anak itu jangan sering-sering dibantuin kalau makan. Nanti dia manja." Eni berbicara dengan nada menyindir. Bibirnya komat-kamit sambil mengunyah makanan.

"Tapi Aqila ini berbeda dengan anak-anak lainnya, Bu. Dia punya ...." 

Belum sempat dijawab dengan lengkap oleh Dia, mertuanya langsung memotong lagi. "Justru itu, dia harus jadi anak yang kuat. Meskipun penyakitan dari kecil, agar dia tetap bisa mandiri."

"Udahlah, Bu. Biarkan Dia mengurus Aqila. Dia sudah tau apa yang harus dilakukan," sela Dani karena tak mau ada keributan. 

"Ck, kamu selalu belain dia." Eni melanjutkan makannya. 

"Besok Dani mau mengundang semua anggota keluarga untuk makan malam."

"Buat apa?" tanya Eni, tampak kurang suka mendengarnya. 

"Dani sama Diandra kan sudah enam tahun menikah, Ma. Enggak ada salahnya dirayakan."

"Buang-buang uang aja kamu, Dan." 

Dia mengelus dadanya di balik jilbab yang ia kenakan. Sampai hati mertuanya yang kaya raya itu membalas ucapan putranya. Namun, Dia tak mau ikut ambil bicara. Ia tetap diam dan membantu putrinya makan. 

Dani tak menjawab lagi. Ia paham betul bagaimana mamanya itu. Selesai bicara empat mata dengan putranya di ruang tamu setelah makan tadi, Eni dan putrinya berpamitan pulang. 

Meskipun dua wanita itu telah pergi, rasanya ucapan mereka masih tertinggal di rumah itu. Dia masih terbayang-bayang wajah keriput sang mertua yang kurang suka dengannya sejak dulu. 

Waktu berlalu begitu cepat, Dia bersama Dani pergi ke rumah Halimah pagi itu. Mereka menitipkan Aqila pada wanita tua itu dan juga dua orang yang ada di sana dengan alasan untuk menyiapkan acara makan malam nanti. 

Halimah begitu senang dititipi cucunya karena ia begitu menyayangi Aqila. Halimah mengusap rambut panjang Aqila lalu berkata, "Kalian enggak usah khawatir. Aqila akan baik-baik saja sama kami." 

"Makasih banyak, Buk. Maaf ngerepotin Ibu," balas Dani. 

"Enggak. Kalian sama sekali enggak ngerepotin. Gih, berangkat!" 

Berpamitan dengan putrinya, Diandra berjanji ketika kembali nanti akan membawakan hadiah. Mereka saling melambai lalu Dia dan Dani langsung masuk ke dalam mobil. Mereka saling menggenggam dan pagi menjelang siang itu sengaja Dani mengajak Dia pergi ke salah satu butik ternama di Jakarta. 

Sampai di sana, Dani mengajak masuk dan meminta Dia memilih pakaian terbaik. Pria itu membiarkan istrinya bersama salah seorang karyawati berkeliling mencari setelan yang pas untuk acara nanti malam. 

Sementara itu, Dani duduk di sofa sambil membuka ponselnya. Pria itu mengerutkan dahi sambil menatap jeli apa yang tertulis dalam pesan masuk beberapa menit lalu di ponselnya. 

"Aku sedang di depan butik. Alfa menangis sejak tadi, aku enggak tau lagi harus gimana."

Kedua mata elang itu melotot saking terkejutnya. Berkali-kali Dani memastikan bahwa apa yang ia baca adalah benar. Pria itu pun langsung bergegas keluar dari butik tanpa mengindahkan istrinya yang masih berada di dalam.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
lanjutkan. Gak ngebosenin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status