Share

Bab 5

last update Last Updated: 2023-11-30 17:54:34

"Bagus enggak sih?" gumam Dia sendiri. 

Wanita cantik itu memantapkan diri di depan cermin sambil memutar badannya. Di ruangan ganti itu, ia mencoba sebuah setelan gamis syar'i yang warnanya sangat ia sukai. Warna favorit Diandra, ungu muda. 

Dia keluar dari ruangan ganti lalu disambut oleh karyawati yang menemaninya tadi. "Wah, cantik sekali, Nyonya. Pak Dani pasti sangat terkejut melihatnya."

"Iya, ini saya suka sekali dengan model dan warnanya." Dia tersenyum, tak sabar ingin memperlihatkan pada suaminya. "Mbak, suami saya tadi di mana ya?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan dengan pakaian-pakaian yang dipamerkan di sana. 

"Tadi ada, Nyonya. Beliau duduk di depan. Sebentar saya panggilkan," jawab wanita muda dengan rambut diikat di belakang itu. Ia segera berjalan ke bagian depan. 

Selang beberapa menit sampai Dia lelah menunggu, wanita tadi kembali dengan wajah menunduk. "Maaf, Nyonya. Pak Dani tidak ada di depan mau pun di luar. Saya sudah mencarinya dan bertanya pada karyawan lain."

"Hah! Yang bener, Mbak?"

Wanita tadi terus menunduk, tak enak hati sambil mengangguk pelan. 

"Ya sudah. Saya ambil yang ini aja. Biar saya yang cari suami saya sendiri." 

Dia bergegas melepas pakaian yang ia coba tadi dan ganti dengan baju yang ia pakai dari rumah. Ia meminta karyawati tadi membungkusnya setelah itu menyelesaikan pembayaran.

Keluar dari butik, Dia masih terlihat memerhatikan keadaan di luar. Benar saja, Dani tak ada di mana pun. Dia langsung menekan kontak ponsel milik suaminya. Beberapakali ia mencoba menghubungi Dani. Namun sayang, tak ada jawaban sama sekali.

Bersama dengan itu, saat Dia ingin melambai pada sebuah mobil taksi yang hendak lewat, wanita itu mendapat panggilan dari kakaknya. Dengan tentengan bag paper berisi belanjanya tadi, Dia masuk ke dalam taksi lalu melaju sambil menerima telpon dari Imran. 

"Iya, Mas?" 

"Dia, aku bawa Aqila ke rumah sakit! Dadanya sakit katanya tadi. Sampai di rumah sakit, Aqila udah enggak sadar, Di. Kamu bisa ke sini sekarang enggak?" 

Suara yang terdengar putus-putus itu masih bisa ditangkap oleh Diandra. Wanita itu seketika gemetaran dan ingin berteriak histeris. Sampai tak bisa lagi menjawab ucapan Imran, Dia meminta sopir taksi memutar balik mobil itu agar menuju rumah sakit di mana Aqila dirawat saat ini. 

Sopir taksi pun segera mengikuti perintah Dia. Sambil terus menangis dan tangan bergetar, Dia tak henti-hentinya menekan nomor telepon suaminya. Hasil menunjukkan sebuah kekecewaan, sudah pergi tanpa pamitan, Dani malah tak bisa dihubungi. Pria itu entah ke mana. 

30 menit berlalu di jalanan, bergelut dengan kemacetan panjang, Dia akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat kakaknya menangani Aqila. Dia berlari dengan kaki yang terasa lemas seperti tak bertulang karena pikirannya sudah ke mana-mana. Hanya ada nama sang anak yang ada di benaknya. 

"Sus, pasien jantung anak atas nama Aqila di kamar mana, ya?" Bibir tipis Dia terus bergetar. Bahkan seluruh tubuhnya meremang, tak sabar menunggu jawaban dari suster yang masih mencari data. 

"Pasien ada di lantai dua, Bu, ruang Matahari. Nomor 55," balas sang suster. 

"Makasih, Sus." Dia langsung mencari di mana pintu lift berada. 

Ketika wanita itu menemukan pintu yang ia cari, Dia langsung berlari lalu masuk dan menekan nomor lantai. Selama lift berjalan naik, Dia menyandarkan kepalanya pada dinding sambil memegangi dadanya yang berdebar kuat. 

"Tolong selamatkan anakku, ya Allah." Tangis Dia pecah saat pintu mulai terbuka dan ia kembali berlari mencari nomor ruangan Aqila. 

Sampai di ujung lorong, Dia baru saja melihat Imran keluar dari sebuah kamar. Dia langsung memanggil, "Mas!"

Dengan tersedu-sedu, Dia berkata, "Gimana Aqila, Mas?" 

"Aqila sudah aku tangani, sudah mendapatkan perawatan. Kita banyak berdoa saja, Dia. Anakmu memang sejak lahir begitu, dia memiliki kelainan bawaan. Mau gimana lagi, kita harus siaga setiap saat."

Sekujur tubuh Dia merinding. Bulu kuduk berdiri mendengar penjelasan kakaknya yang memang bekerja sebagai spesialis jantung itu. Dia terisak hampir terjatuh jika tidak Imran menangkapnya. Lelaki itu langsung membawa adiknya duduk di kursi depan ruangan. 

"Sabar, Dia. Ini sudah jalannya anakmu. Mana Dani? Kenapa kamu datang sendirian?" Imran terlihat heran. 

Dia tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya hanya menggeleng saja dan sibuk dengan tangisnya yang tak juga berhenti. 

"Ibu sama Mega sebentar lagi datang. Ibu kaget melihat Aqila tiba-tiba sesak napas lalu pingsan tadi. Jadi, aku minta Mega jagain ibu di rumah. Setelah enakan, baru aku izinkan mereka ke sini," terang Imran dengan sabar. 

"Aku harus gimana sekarang, Mas? Sakit dadaku mendengar Aqila begini. Sudah hampir sebulan dia baik-baik aja dan gak masuk rumah sakit lagi, sekarang kenapa harus begini lagi? Kalau saja penyakit itu bisa dipindahkan, maka biarlah aku yang menanggungnya." Dia kembali terisak. 

Imran menghela napas panjang. Ia bisa mengerti perasaan adiknya. "Sabar, Dia. Kita enggak bisa protes atas ketentuan Allah Subhanahuwata'ala. Kamu enggak boleh bilang gitu. Sekarang aku tanya, di mana Dani berada? Harusnya dia datang sama kamu!" 

"Aku enggak tau, Mas. Aku dari butik. Mas Dani tadi bilang mau nunggu aku mencoba baju, tapi setelah aku keluar, dia hilang. Enggak ada di mana-mana. Aku telpon ponselnya pun juga enggak ada diangkat." Kepala Dia rasanya sudah begitu berat sampai ia menyandarkan pada dinding dengan tatapan setengah terbuka. 

"Oke, Dia. Kita tunggu saja hasilnya. Gimana kondisi Aqila setelah ini, biarkan doa-doa kita terus naik dan sampai kepada Allah. Aku akan kembali lagi setelah memeriksa pasienku yang lain."

"Pergilah, Mas! Aku bisa jagain Aqila di sini sendiri." Dengan lemas, Dia menjawab. 

Imran pun menepuk pundak adiknya agar Dia lebih kuat. Lalu beranjak dari kursi dan meninggalkan Dia sendirian. 

***

Dua jam tak ada kabar, apakah kondisi putrinya itu mengalami kemajuan atau tidak. Suster hanya mengecek infus saja dan belum bisa menyimpulkan. Dia diminta mengurus administrasi di lantai bawah. Wanita dengan tas tenteng berwarna hitam itu pun segera masuk ke dalam lift lagi lalu turun ke bawah. 

Tatapan Dia tampak kosong. Belahan jiwanya adalah Aqila. Begitu ia menyayangi gadis kecil tak bersalah itu dan rela melakukan apa pun demi putrinya. 

Sampai di bawah, Dia duduk menunggu antrian panggilan. Ia bahkan sudah tak ingat lagi jika suaminya belum sempat ia kabari. Sambil menunggu, Dia meraih ponselnya di dalam tas lalu mengetik pesan pada Mega mengenai kondisi Aqila. Juga pada Dani dan memintanya segera datang ke rumah sakit. 

"Pasien Aqila putri Nyonya Dani," panggil seorang wanita di balik kaca pembatas. 

Mendengar itu, Dia pun segera berdiri sambil memegang tasnya. Namun, bersama itu juga seorang wanita berambut panjang dengan dagu lancip juga berdiri. Wanita itu kini menatap Dia, begitu juga dengan Diandra yang tampak bertanya-tanya dalam hati. Mereka sama-sama saling tersenyum. 

"Maaf, Sus. Dani siapa ya, panjangnya?" tanya Dia yang kebetulan duduk di bangku paling depan, sejajar dengan wanita itu. 

"Aqila putri Nyonya Dani Hilman." Suster mengulangi lagi setelah melihat catatan. 

Mereka berdua kembali selangkah maju. Dia kembali dikagetkan dengan hal itu. Suster juga dibuat bingung saat Dia dan wanita itu sudah sampai di depan kaca pembatas. 

"Yang mana ini pasien Aqila putri Nyonya Dani Hilman?" tanya suster dengan tatapan bergantian pada keduanya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
aneh masa' nama anaknya jga sama kn yg dipanggil nama anaknya ...
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
semakin menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kejutan Anniversary    Bab 111

    Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir

  • Kejutan Anniversary    Bab 110

    "Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek

  • Kejutan Anniversary    Bab 109

    "Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."

  • Kejutan Anniversary    Bab 108

    Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak

  • Kejutan Anniversary    Bab 107

    "Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme

  • Kejutan Anniversary    106

    Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status