Share

Bab 5

"Bagus enggak sih?" gumam Dia sendiri. 

Wanita cantik itu memantapkan diri di depan cermin sambil memutar badannya. Di ruangan ganti itu, ia mencoba sebuah setelan gamis syar'i yang warnanya sangat ia sukai. Warna favorit Diandra, ungu muda. 

Dia keluar dari ruangan ganti lalu disambut oleh karyawati yang menemaninya tadi. "Wah, cantik sekali, Nyonya. Pak Dani pasti sangat terkejut melihatnya."

"Iya, ini saya suka sekali dengan model dan warnanya." Dia tersenyum, tak sabar ingin memperlihatkan pada suaminya. "Mbak, suami saya tadi di mana ya?" Dia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan dengan pakaian-pakaian yang dipamerkan di sana. 

"Tadi ada, Nyonya. Beliau duduk di depan. Sebentar saya panggilkan," jawab wanita muda dengan rambut diikat di belakang itu. Ia segera berjalan ke bagian depan. 

Selang beberapa menit sampai Dia lelah menunggu, wanita tadi kembali dengan wajah menunduk. "Maaf, Nyonya. Pak Dani tidak ada di depan mau pun di luar. Saya sudah mencarinya dan bertanya pada karyawan lain."

"Hah! Yang bener, Mbak?"

Wanita tadi terus menunduk, tak enak hati sambil mengangguk pelan. 

"Ya sudah. Saya ambil yang ini aja. Biar saya yang cari suami saya sendiri." 

Dia bergegas melepas pakaian yang ia coba tadi dan ganti dengan baju yang ia pakai dari rumah. Ia meminta karyawati tadi membungkusnya setelah itu menyelesaikan pembayaran.

Keluar dari butik, Dia masih terlihat memerhatikan keadaan di luar. Benar saja, Dani tak ada di mana pun. Dia langsung menekan kontak ponsel milik suaminya. Beberapakali ia mencoba menghubungi Dani. Namun sayang, tak ada jawaban sama sekali.

Bersama dengan itu, saat Dia ingin melambai pada sebuah mobil taksi yang hendak lewat, wanita itu mendapat panggilan dari kakaknya. Dengan tentengan bag paper berisi belanjanya tadi, Dia masuk ke dalam taksi lalu melaju sambil menerima telpon dari Imran. 

"Iya, Mas?" 

"Dia, aku bawa Aqila ke rumah sakit! Dadanya sakit katanya tadi. Sampai di rumah sakit, Aqila udah enggak sadar, Di. Kamu bisa ke sini sekarang enggak?" 

Suara yang terdengar putus-putus itu masih bisa ditangkap oleh Diandra. Wanita itu seketika gemetaran dan ingin berteriak histeris. Sampai tak bisa lagi menjawab ucapan Imran, Dia meminta sopir taksi memutar balik mobil itu agar menuju rumah sakit di mana Aqila dirawat saat ini. 

Sopir taksi pun segera mengikuti perintah Dia. Sambil terus menangis dan tangan bergetar, Dia tak henti-hentinya menekan nomor telepon suaminya. Hasil menunjukkan sebuah kekecewaan, sudah pergi tanpa pamitan, Dani malah tak bisa dihubungi. Pria itu entah ke mana. 

30 menit berlalu di jalanan, bergelut dengan kemacetan panjang, Dia akhirnya sampai juga di rumah sakit tempat kakaknya menangani Aqila. Dia berlari dengan kaki yang terasa lemas seperti tak bertulang karena pikirannya sudah ke mana-mana. Hanya ada nama sang anak yang ada di benaknya. 

"Sus, pasien jantung anak atas nama Aqila di kamar mana, ya?" Bibir tipis Dia terus bergetar. Bahkan seluruh tubuhnya meremang, tak sabar menunggu jawaban dari suster yang masih mencari data. 

"Pasien ada di lantai dua, Bu, ruang Matahari. Nomor 55," balas sang suster. 

"Makasih, Sus." Dia langsung mencari di mana pintu lift berada. 

Ketika wanita itu menemukan pintu yang ia cari, Dia langsung berlari lalu masuk dan menekan nomor lantai. Selama lift berjalan naik, Dia menyandarkan kepalanya pada dinding sambil memegangi dadanya yang berdebar kuat. 

"Tolong selamatkan anakku, ya Allah." Tangis Dia pecah saat pintu mulai terbuka dan ia kembali berlari mencari nomor ruangan Aqila. 

Sampai di ujung lorong, Dia baru saja melihat Imran keluar dari sebuah kamar. Dia langsung memanggil, "Mas!"

Dengan tersedu-sedu, Dia berkata, "Gimana Aqila, Mas?" 

"Aqila sudah aku tangani, sudah mendapatkan perawatan. Kita banyak berdoa saja, Dia. Anakmu memang sejak lahir begitu, dia memiliki kelainan bawaan. Mau gimana lagi, kita harus siaga setiap saat."

Sekujur tubuh Dia merinding. Bulu kuduk berdiri mendengar penjelasan kakaknya yang memang bekerja sebagai spesialis jantung itu. Dia terisak hampir terjatuh jika tidak Imran menangkapnya. Lelaki itu langsung membawa adiknya duduk di kursi depan ruangan. 

"Sabar, Dia. Ini sudah jalannya anakmu. Mana Dani? Kenapa kamu datang sendirian?" Imran terlihat heran. 

Dia tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya hanya menggeleng saja dan sibuk dengan tangisnya yang tak juga berhenti. 

"Ibu sama Mega sebentar lagi datang. Ibu kaget melihat Aqila tiba-tiba sesak napas lalu pingsan tadi. Jadi, aku minta Mega jagain ibu di rumah. Setelah enakan, baru aku izinkan mereka ke sini," terang Imran dengan sabar. 

"Aku harus gimana sekarang, Mas? Sakit dadaku mendengar Aqila begini. Sudah hampir sebulan dia baik-baik aja dan gak masuk rumah sakit lagi, sekarang kenapa harus begini lagi? Kalau saja penyakit itu bisa dipindahkan, maka biarlah aku yang menanggungnya." Dia kembali terisak. 

Imran menghela napas panjang. Ia bisa mengerti perasaan adiknya. "Sabar, Dia. Kita enggak bisa protes atas ketentuan Allah Subhanahuwata'ala. Kamu enggak boleh bilang gitu. Sekarang aku tanya, di mana Dani berada? Harusnya dia datang sama kamu!" 

"Aku enggak tau, Mas. Aku dari butik. Mas Dani tadi bilang mau nunggu aku mencoba baju, tapi setelah aku keluar, dia hilang. Enggak ada di mana-mana. Aku telpon ponselnya pun juga enggak ada diangkat." Kepala Dia rasanya sudah begitu berat sampai ia menyandarkan pada dinding dengan tatapan setengah terbuka. 

"Oke, Dia. Kita tunggu saja hasilnya. Gimana kondisi Aqila setelah ini, biarkan doa-doa kita terus naik dan sampai kepada Allah. Aku akan kembali lagi setelah memeriksa pasienku yang lain."

"Pergilah, Mas! Aku bisa jagain Aqila di sini sendiri." Dengan lemas, Dia menjawab. 

Imran pun menepuk pundak adiknya agar Dia lebih kuat. Lalu beranjak dari kursi dan meninggalkan Dia sendirian. 

***

Dua jam tak ada kabar, apakah kondisi putrinya itu mengalami kemajuan atau tidak. Suster hanya mengecek infus saja dan belum bisa menyimpulkan. Dia diminta mengurus administrasi di lantai bawah. Wanita dengan tas tenteng berwarna hitam itu pun segera masuk ke dalam lift lagi lalu turun ke bawah. 

Tatapan Dia tampak kosong. Belahan jiwanya adalah Aqila. Begitu ia menyayangi gadis kecil tak bersalah itu dan rela melakukan apa pun demi putrinya. 

Sampai di bawah, Dia duduk menunggu antrian panggilan. Ia bahkan sudah tak ingat lagi jika suaminya belum sempat ia kabari. Sambil menunggu, Dia meraih ponselnya di dalam tas lalu mengetik pesan pada Mega mengenai kondisi Aqila. Juga pada Dani dan memintanya segera datang ke rumah sakit. 

"Pasien Aqila putri Nyonya Dani," panggil seorang wanita di balik kaca pembatas. 

Mendengar itu, Dia pun segera berdiri sambil memegang tasnya. Namun, bersama itu juga seorang wanita berambut panjang dengan dagu lancip juga berdiri. Wanita itu kini menatap Dia, begitu juga dengan Diandra yang tampak bertanya-tanya dalam hati. Mereka sama-sama saling tersenyum. 

"Maaf, Sus. Dani siapa ya, panjangnya?" tanya Dia yang kebetulan duduk di bangku paling depan, sejajar dengan wanita itu. 

"Aqila putri Nyonya Dani Hilman." Suster mengulangi lagi setelah melihat catatan. 

Mereka berdua kembali selangkah maju. Dia kembali dikagetkan dengan hal itu. Suster juga dibuat bingung saat Dia dan wanita itu sudah sampai di depan kaca pembatas. 

"Yang mana ini pasien Aqila putri Nyonya Dani Hilman?" tanya suster dengan tatapan bergantian pada keduanya. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
aneh masa' nama anaknya jga sama kn yg dipanggil nama anaknya ...
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
semakin menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status