Share

Bab 6

"Saya istrinya Dani Hilman, Sus," ucap wanita itu spontan membuat sekujur tubuh Dia kembali meremang hingga kepalanya terasa seperti tersengat sesuatu. "Tolong dahulukan saya karena anak saya lagi kritis sekarang."

Wanita itu maju lebih dulu lalu suster segera memberikan sebuah kertas. Mereka terlibat pembicaraan sehingga tak melihat Diandra yang masih menatap dengan tubuh tegak bagai patung. 

Tangan Dia yang tadinya menyentuh meja dengan kaca pembatas itu pun langsung terjatuh dan mengayun. Kedua matanya tampak penuh dengan lingkaran bening yang akhirnya tumpah membasahi pipi sembab Dia. 

"Terima kasih, Sus." Wanita itu memutar badan lalu melangkah menjauh dari sana. Saat wanita itu berhenti karena ingin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya, dari arah pintu lift yang terbuka, seorang pria yang mengenakan kemeja hitam berjalan sambil memanggil, "Dek."

Ya, dia adalah Dani Hilman. Pria yang pagi itu mengajak Dia belanja dan ingin memberikan kejutan. Pria itu menghampiri wanita yang tadi mengaku istrinya. Mereka tampak membicarakan sesuatu. 

Batin Dia semakin perih seperti luka yang belum kering lalu dialiri cairan asam saat melihat Dani membisikkan sesuatu ke dekat telinga wanita berambut panjang itu. Wanita itu memang cantik, badannya ramping juga tercium aroma harum ketika tadi berada di dekatnya. 

Mereka kembali berjalan memasuki lift hingga tiba saat itu, Dia baru tersadar dari apa yang ia lihat. 

"Maaf, Bu. Jadi mengurus administrasi?" tanya seorang wanita yang tadi memanggil namanya. Lalu Dia menoleh sekilas. 

Begitu kembali menoleh ke arah Dani dan wanita itu tadi berjalan, mereka sudah lenyap karena lift telah tertutup.

Dia menahan dirinya agar tetap kuat untuk berdiri demi putrinya. Ia segera menyelesaikan apa yang sejak tadi menjadi tujuannya. Lepas semua selesai, Dia berjalan ke arah lift untuk kembali menjaga putrinya di depan ruangan. 

Sampai pada akhirnya, ketika ia tiba di lantai dua, pada lorong di mana putrinya itu dirawat, Dia berjalan dengan tatapan kosong. Dia tak memerhatikan jalan bahkan hampir saja menabrak salah satu orang di sana. 

"Siapa yang tadi bersama kamu, Mas?" gumam Dia sambil memegangi dadanya yang sesak. 

Tiba di depan ruangan putrinya, ada seorang suster yang keluar bersama seorang dokter. Dia tak jadi duduk dan langsung bertanya, "Gimana keadaan anak saya, Dok?" 

Dokter yang baru saja memeriksa keadaan Aqila itu menghela napas panjang. "Keadaan putri Ibu begitu serius. Saya dan Dokter Imran sudah membicarakan ini sebelumnya. Begini, kalau Ibu bersedia, dua hari lagi akan ada dokter baru yang datang dari Jerman. Beliau pindah ke Jakarta dan baru saja hari ini mendarat di kota ini. Kalau Ibu mau dan tidak keberatan, kita tunggu dokternya saja. Beliau yang memang sudah ahli dalam bidang ini."

Pundak Dia luruh. Mendengar putrinya harus menunggu lagi sekitar dua harian untuk mendapatkan tindakan lanjutan, rasanya waktu begitu lama sekali. Ditambah suaminya yang tak kunjung datang. 

"Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter beserta suster yang mengikuti dari belakang tersenyum seraya mengangguk. Lalu mereka pergi dari hadapan Dia. Dia terduduk di kursi luar ruangan karena putrinya juga belum bisa dilihat dari dekat. 

Wanita yang berat badannya turun drastis itu menangis lagi sambil mere*mas kepalanya sendiri. Dilihatnya kanan kiri tak ada orang. Ia berjuang sendirian. Sampai pada akhirnya, Dia kembali menelpon Dani. Tetap tak ada jawaban dan kali ini terdengar suara bahwa nomor suaminya tidak aktif. 

***

Malam itu, Dia mendapat telepon dari Mega kalau dia dan mertuanya belum bisa datang menjenguk. Dia menjawab dengan lemas dan tidak mempermasalahkannya. Ada Imran di sana yang selalu menemaninya, tetapi tidak bisa setiap saat. 

Lelaki gagah itu datang dengan membawa bungkusan plastik. Lalu duduk di sebelah adiknya dan menyerahkan apa yang ia bawa. "Makan dulu, Di! Kamu diajak makan di luar enggak mau. Ditawarin apa-apa juga enggak mau. Gimana kamu mau jagain Aqila kalau kamu sendiri sakit nanti karena enggak memperhatikan dirimu sendiri?" 

Dia menghela napas berat. Hidupnya terasa banyak sekali beban yang ditanggung seorang diri. Dia tak menjawab ucapan kakaknya yang mulai membuka bungkus roti. 

"Di, makan dulu!" Imran menyodorkan sepotong roti. 

"Aku enggak lapar, Mas."

"Dia, jangan gitu. Aku janji habis ini bakal cari si Dani. Enggak masalah ini sudah malam, akan kutemukan lelaki itu nanti!" Dengan nada kesal, Imran menduga kalau adiknya tengah memikirkan sang suami yang sampai pukul sembilan malam tak memberi kabar juga. 

"Enggak usah nyariin dia, Mas." 

Kening Imran berlipat saat mendengar jawaban Diandra. "Maksud kamu?" 

"Aku liat dia tadi di rumah sakit ini. Aku yakin itu Mas Dani. Demi Allah, aku sangat yakin."

"Terus?" Imran mendelik. 

"Dia bersama seorang wanita. Aku ... tidak bisa membayangkannya. Aku bingung mau cerita dari mana." Diandra menunduk sambil menutup wajahnya yang panas. 

"Di rumah sakit ini? Dia ngapain? Jenguk anaknya aja enggak. Kenapa aku enggak liat sama sekali ya?" Imran tampak heran. Dari pagi saat dia berangkat sampai malam, ia tak melihat iparnya sama sekali. 

"Mas, aku mau ke toilet dulu."

"Ya udah. Biar aku di sini yang jagain."

Dia meletakkan tas yang tadi ada di pangkuan ke atas kursi. Lalu ia berjalan dengan malas menuju ruangan yang tak jauh dari sana. Begitu sampai pada belokan dinding, betapa terkejut Dia melihat apa yang ada di hadapannya. 

"Sabar, Dek. Alfa pasti sehat lagi." Lelaki itu memeluk sambil mengelus kepala seorang wanita. 

"Gimana aku bisa sabar, Mas? Anak kita sedang sakit. Dia masih bayi, tapi penyakitnya begitu serius." Wanita itu membalas. Terdengar isakan pada dekapan pria itu. 

Seluruh tubuh terasa mendidih karena aliran darah berdesir panas. Dia sudah tak bisa menahan lagi. "Mas Dani!" bentaknya dengan kemarahan yang sudah memuncak.

Dia berlari sambil mengepalkan tangannya. Lalu menghantam pada tubuh bagian belakang Dani dengan sekuat tenaga. Sontak Dani yang tak menyangka sejak awal ada Diandra di sana pun langsung melotot dengan mulut ternganga. 

"Dia," lirih Dani. 

Dia terus memukul Dani tanpa berhenti. Sambil mengatur napas, Dia meluapkan segala emosinya. "Jadi ini kejutan anniversary itu, Mas! Kamu jahat! Jelaskan padaku siapa wanita itu!" 

Suara Dia terdengar serak. Sikapnya itu menimbulkan kegaduhan pada akhirnya hingga beberapa orang yang kebetulan ada di sana menyaksikan sambil membisik. 

Wanita yang Dani peluk tadi tak kalah terkejut. Ia menelan ludah susah payah. Tak menyangka kalau yang ada di depannya itu adalah istri Dani yang pertama. Wanita itu tergerak untuk membantu Dani berdiri karena sempat terjatuh. 

"Dia, Mas bisa jelaskan ini semua. Ini ... ini tidak seperti yang kamu kira," jelas Dani terbata-bata. 

Karena terdengar keramaian dari ujung lorong itu, Imran langsung berdiri. Tak lupa membawa tas adiknya yang berada di kursi sebelahnya duduk. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
oke , semakin penasaran ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status