Share

Bab 6

last update Last Updated: 2023-12-19 19:43:13

"Saya istrinya Dani Hilman, Sus," ucap wanita itu spontan membuat sekujur tubuh Dia kembali meremang hingga kepalanya terasa seperti tersengat sesuatu. "Tolong dahulukan saya karena anak saya lagi kritis sekarang."

Wanita itu maju lebih dulu lalu suster segera memberikan sebuah kertas. Mereka terlibat pembicaraan sehingga tak melihat Diandra yang masih menatap dengan tubuh tegak bagai patung. 

Tangan Dia yang tadinya menyentuh meja dengan kaca pembatas itu pun langsung terjatuh dan mengayun. Kedua matanya tampak penuh dengan lingkaran bening yang akhirnya tumpah membasahi pipi sembab Dia. 

"Terima kasih, Sus." Wanita itu memutar badan lalu melangkah menjauh dari sana. Saat wanita itu berhenti karena ingin memasukkan sesuatu ke dalam tasnya, dari arah pintu lift yang terbuka, seorang pria yang mengenakan kemeja hitam berjalan sambil memanggil, "Dek."

Ya, dia adalah Dani Hilman. Pria yang pagi itu mengajak Dia belanja dan ingin memberikan kejutan. Pria itu menghampiri wanita yang tadi mengaku istrinya. Mereka tampak membicarakan sesuatu. 

Batin Dia semakin perih seperti luka yang belum kering lalu dialiri cairan asam saat melihat Dani membisikkan sesuatu ke dekat telinga wanita berambut panjang itu. Wanita itu memang cantik, badannya ramping juga tercium aroma harum ketika tadi berada di dekatnya. 

Mereka kembali berjalan memasuki lift hingga tiba saat itu, Dia baru tersadar dari apa yang ia lihat. 

"Maaf, Bu. Jadi mengurus administrasi?" tanya seorang wanita yang tadi memanggil namanya. Lalu Dia menoleh sekilas. 

Begitu kembali menoleh ke arah Dani dan wanita itu tadi berjalan, mereka sudah lenyap karena lift telah tertutup.

Dia menahan dirinya agar tetap kuat untuk berdiri demi putrinya. Ia segera menyelesaikan apa yang sejak tadi menjadi tujuannya. Lepas semua selesai, Dia berjalan ke arah lift untuk kembali menjaga putrinya di depan ruangan. 

Sampai pada akhirnya, ketika ia tiba di lantai dua, pada lorong di mana putrinya itu dirawat, Dia berjalan dengan tatapan kosong. Dia tak memerhatikan jalan bahkan hampir saja menabrak salah satu orang di sana. 

"Siapa yang tadi bersama kamu, Mas?" gumam Dia sambil memegangi dadanya yang sesak. 

Tiba di depan ruangan putrinya, ada seorang suster yang keluar bersama seorang dokter. Dia tak jadi duduk dan langsung bertanya, "Gimana keadaan anak saya, Dok?" 

Dokter yang baru saja memeriksa keadaan Aqila itu menghela napas panjang. "Keadaan putri Ibu begitu serius. Saya dan Dokter Imran sudah membicarakan ini sebelumnya. Begini, kalau Ibu bersedia, dua hari lagi akan ada dokter baru yang datang dari Jerman. Beliau pindah ke Jakarta dan baru saja hari ini mendarat di kota ini. Kalau Ibu mau dan tidak keberatan, kita tunggu dokternya saja. Beliau yang memang sudah ahli dalam bidang ini."

Pundak Dia luruh. Mendengar putrinya harus menunggu lagi sekitar dua harian untuk mendapatkan tindakan lanjutan, rasanya waktu begitu lama sekali. Ditambah suaminya yang tak kunjung datang. 

"Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter beserta suster yang mengikuti dari belakang tersenyum seraya mengangguk. Lalu mereka pergi dari hadapan Dia. Dia terduduk di kursi luar ruangan karena putrinya juga belum bisa dilihat dari dekat. 

Wanita yang berat badannya turun drastis itu menangis lagi sambil mere*mas kepalanya sendiri. Dilihatnya kanan kiri tak ada orang. Ia berjuang sendirian. Sampai pada akhirnya, Dia kembali menelpon Dani. Tetap tak ada jawaban dan kali ini terdengar suara bahwa nomor suaminya tidak aktif. 

***

Malam itu, Dia mendapat telepon dari Mega kalau dia dan mertuanya belum bisa datang menjenguk. Dia menjawab dengan lemas dan tidak mempermasalahkannya. Ada Imran di sana yang selalu menemaninya, tetapi tidak bisa setiap saat. 

Lelaki gagah itu datang dengan membawa bungkusan plastik. Lalu duduk di sebelah adiknya dan menyerahkan apa yang ia bawa. "Makan dulu, Di! Kamu diajak makan di luar enggak mau. Ditawarin apa-apa juga enggak mau. Gimana kamu mau jagain Aqila kalau kamu sendiri sakit nanti karena enggak memperhatikan dirimu sendiri?" 

Dia menghela napas berat. Hidupnya terasa banyak sekali beban yang ditanggung seorang diri. Dia tak menjawab ucapan kakaknya yang mulai membuka bungkus roti. 

"Di, makan dulu!" Imran menyodorkan sepotong roti. 

"Aku enggak lapar, Mas."

"Dia, jangan gitu. Aku janji habis ini bakal cari si Dani. Enggak masalah ini sudah malam, akan kutemukan lelaki itu nanti!" Dengan nada kesal, Imran menduga kalau adiknya tengah memikirkan sang suami yang sampai pukul sembilan malam tak memberi kabar juga. 

"Enggak usah nyariin dia, Mas." 

Kening Imran berlipat saat mendengar jawaban Diandra. "Maksud kamu?" 

"Aku liat dia tadi di rumah sakit ini. Aku yakin itu Mas Dani. Demi Allah, aku sangat yakin."

"Terus?" Imran mendelik. 

"Dia bersama seorang wanita. Aku ... tidak bisa membayangkannya. Aku bingung mau cerita dari mana." Diandra menunduk sambil menutup wajahnya yang panas. 

"Di rumah sakit ini? Dia ngapain? Jenguk anaknya aja enggak. Kenapa aku enggak liat sama sekali ya?" Imran tampak heran. Dari pagi saat dia berangkat sampai malam, ia tak melihat iparnya sama sekali. 

"Mas, aku mau ke toilet dulu."

"Ya udah. Biar aku di sini yang jagain."

Dia meletakkan tas yang tadi ada di pangkuan ke atas kursi. Lalu ia berjalan dengan malas menuju ruangan yang tak jauh dari sana. Begitu sampai pada belokan dinding, betapa terkejut Dia melihat apa yang ada di hadapannya. 

"Sabar, Dek. Alfa pasti sehat lagi." Lelaki itu memeluk sambil mengelus kepala seorang wanita. 

"Gimana aku bisa sabar, Mas? Anak kita sedang sakit. Dia masih bayi, tapi penyakitnya begitu serius." Wanita itu membalas. Terdengar isakan pada dekapan pria itu. 

Seluruh tubuh terasa mendidih karena aliran darah berdesir panas. Dia sudah tak bisa menahan lagi. "Mas Dani!" bentaknya dengan kemarahan yang sudah memuncak.

Dia berlari sambil mengepalkan tangannya. Lalu menghantam pada tubuh bagian belakang Dani dengan sekuat tenaga. Sontak Dani yang tak menyangka sejak awal ada Diandra di sana pun langsung melotot dengan mulut ternganga. 

"Dia," lirih Dani. 

Dia terus memukul Dani tanpa berhenti. Sambil mengatur napas, Dia meluapkan segala emosinya. "Jadi ini kejutan anniversary itu, Mas! Kamu jahat! Jelaskan padaku siapa wanita itu!" 

Suara Dia terdengar serak. Sikapnya itu menimbulkan kegaduhan pada akhirnya hingga beberapa orang yang kebetulan ada di sana menyaksikan sambil membisik. 

Wanita yang Dani peluk tadi tak kalah terkejut. Ia menelan ludah susah payah. Tak menyangka kalau yang ada di depannya itu adalah istri Dani yang pertama. Wanita itu tergerak untuk membantu Dani berdiri karena sempat terjatuh. 

"Dia, Mas bisa jelaskan ini semua. Ini ... ini tidak seperti yang kamu kira," jelas Dani terbata-bata. 

Karena terdengar keramaian dari ujung lorong itu, Imran langsung berdiri. Tak lupa membawa tas adiknya yang berada di kursi sebelahnya duduk. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
yenyen
bibit sperma nya ga bagus ya dani? anak anaknya sakit gitu
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
oke , semakin penasaran ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kejutan Anniversary    Bab 111

    Sembilan bulan sudah mereka menanti, akhirnya pagi itu, Aruna merasa tak enak perasaan. Tiba-tiba merasa jantung berdebar-debar, tapi ia masih sibuk menyiapkan makan pagi di meja makan bersama pembantu. Ia merasa tak tahan untuk buang air kecil saat itu. Aruna menoleh pada pembantu, lalu berkata, "Bik, aku ke kamar mandi dulu, ya. Nanti kalau baby Al nangis, tolong ajak dulu. Soalnya Mas Zain belum pulang.""Baik, Mbak." Pembantu yang tadinya mencuci piring itu pun langsung membalas. Saat masuk ke kamar mandi, Aruna menunaikan hajatnya. Kandungan yang sudah membesar membuatnya sering buang air kecil. Namun, saat ia membuka celana, ia melihat bercak flek seperti saat ia hendak melahirkan baby Al saat itu. Aruna mendelik. Ia sudah yakin, hari itu juga ia bakal melahirkan. Dalam hatinya berdesir rasa khawatir. Setelah selesai, lalu mengganti celana yang baru, dan mencuci tangan, Aruna langsung keluar. "Bik," teriaknya. "Bik, tolong!" Pembantu tadi langsung tergopoh-gopoh menghampir

  • Kejutan Anniversary    Bab 110

    "Mas, aku kok khawatir ya, sama baby Al." Aruna menyentuh lengan suaminya. "Wajar begitu, Sayang. Namanya juga ibunya. Nanti setelah sampai bandara, kita video call." Zain menjawab dengan santai. Mereka saat ini berada di atas awan, di dalam pesawat yang menuju ke sebuah kota sejuk di mana orang-orang menyebutnya kota apel. Begitu pesawat landing, mereka Oun segera melangkah keluar. Menuju hotel untuk menginap. Dua koper besar masuk ke dalam taksi, mereka langsung menuju ke tempat wisata itu sekaligus menikmati waktu bulan madu yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Sampai di hotel, Aruna menghela napas panjang. Ia langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Sementara Zain yang baru masuk, langsung menahan senyuman. Seisi ruang kepalanya mulai berkenalan, Zain tertawa. Pintu kamar hotel ia tutup. Pria itu melepas sepatu, lalu jaket hitamnya. Kemudian ia ikut merebahkan diri di sana. Memeluk tubuh Aruna dengan erat dan rasa bahagia. "Mas," panggil Aruna. "Hem. Kamu capek

  • Kejutan Anniversary    Bab 109

    "Besok Mas bicara sama dia. Kalau kamu yakin, Mas akan bertindak tegas." Aruna mengangguk. Ia segera memeluk suaminya lagi. Lalu malam berlalu begitu cepat. Paginya, Aruna mendadak malas bangun. Ia sengaja tiduran di atas ranjang sejak setelah Subuh. Tentunya bersama baby Al yang sudah bangun lebih awal. Bayi kecil itu kini mulai bersuara riang. Entah apa yang ingin ia ucapkan, yang jelas ia sangat lucu. "Sayang, kamu enggak bangun?" Zain baru saja masuk ke kamar. Ia baru saja keluar untuk mengambil air minum. "Males. Lagi pengen tidur-tiduran. Perutku mual lagi, Mas."Zain mendekat. Ia kembali mengusap kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu. Lalu mencium kening Aruna yang wangi. "Kangen lagi? Barusan mandi," sindir Zain sambil meringis. "Iya, males mandi juga. Masa belum ada sejam udah mandi lagi. Rajin banget.""Maklumin dong, Yang. Kan namanya juga pengantin baru. Enggak ada istilah liburnya." Kali ini pria itu tertawa lepas. "Hem. Dasar laki-laki. Ke sana terus pikirannya."

  • Kejutan Anniversary    Bab 108

    Aruna segera mengetik pesan untuk suaminya saat di kamar. "Baru juga hidup tenang, ada aja yang ganggu. Iseng banget," gumamnya sendiri. ["Mas, aku takut."]["Takut kenapa?"]["Ada yang melempar boneka serem ke halaman setelah Mas berangkat tadi."]["Hah. Serius?"]["Iya lah, masa aku bohong. Enggak lucu juga. Lagian tadi pas Mas berangkat ada mobil berhenti di depan rumah."]["Mobil tetangga kali. Itu palingan yang ngelempar orang gila. Suka ada orang gila masuk komplek kali satpam depan ngantuk."]["Mas aneh banget, sih. Orang ini pagi-pagi. Mana mungkin satpam ngantuk? Kan gantian yang jaga semalam sama pagi ini."]["Ya udah, pokoknya hati-hati aja kalo di rumah. Jangan keluar kalo gitu. Mama udah dikasih tau?"]["Enggak. Aku enggak enakan ngasih taunya."]["Ya biar hati-hati juga. Ya udah, aku ada pasien lagi, Sayang. Kamu nikmati hari di rumah, ya! Mau dibawakan apa nanti kalo pulang?"]["Apa aja deh, Mas. Yang penting Mas pulang dengan selamat."]["Ciee, so sweet banget. Kayak

  • Kejutan Anniversary    Bab 107

    "Sayang, jangan marah dong. Aku enggak kayak gitu. Please!" Zain memohon dengan kaki berjongkok di depan istrinya. "Mas jahat. Nuduh aku sama mama kayak orang-orang di cerita itu, kan? Aku emang bukan anak mama. Aku emang bukan menantu yang baik bahkan bukan dari keluarga kaya. Tapi aku sama mama tetap baik-baik aja." Sambil mengusap wajah, Aruna melengos. "Iya, aku minta maaf. Aku udah buat kamu salah paham. Maafin, ya.""Apa aku pergi aja? Enggak tinggal di sini lagi. Biar Mas enggak menduga-duga kalo aku sama mama lagi enggak enakan.""Kenapa buntutnya jadi panjang gini, sih? Aku enggak ada maksud bilang begitu, Sayang." Zain tampak stres membujuk Aruna yang tak kunjung paham. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri. "Aku capek lah, Run. Kamu enggak mau ngalah. Aku udah ngalah, udah ngejelasin panjang lebar, juga udah segalanya. Bujuk kamu gimana pun, tetap saja kamu begitu. Terserah lah." Zain merebahkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan di belakang kepala. Ia langsung meme

  • Kejutan Anniversary    106

    Dua bulan sudah mereka menjalin hubungan suami istri. Kehidupan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai tiba saat Zain baru bangun tidur siang di hari liburnya, ia melihat ke samping. Ada Aruna yang berselimut sampai kepalanya. Baby Al yang menangis di dalam keranjang tidur pun tak dihiraukan. Zain bergegas bangkit lalu meraih putra sambungnya itu lalu mengajaknya keluar dari kamar. Zain meminta pembantu mengajak putranya itu, lalu ia kembali ke kamar karena curiga. Pikirannya tertuju pada sang istri yang sejak tadi tak merespon apa pun. "Yang, kamu enggak apa-apa?" Pria itu menatap istrinya setelah duduk di tepi ranjang. "Yang," panggilnya lagi. "Kamu enggak apa-apa?" Disentuhnya kening sang istri, ternyata dan ia terkejut saat merasakan kening Aruna terasa panas. "Yang, kamu demam?" Zain langsung membuka selimut tebal itu, lalu menyentuh tubuh istrinya juga. "Ya Allah, kamu sakit?" Ia pun kembali menyelimuti tubuh Aruna lagi. Karena tak menjawab, Zain makin panik. Aruna seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status