"Dia, jangan pergi!" teriak Dani sambil mengangkat tangannya, berusaha mencegah Diandra yang memutar badan sambil menutup mulut.Perawat yang mendengar keributan di lorong itu pun lantas berlari berusaha mengamankan situasi itu. "Ada apa ini? Jangan bikin keributan di rumah sakit! Banyak pasien yang butuh istirahat," terang seorang pria. "Dia!" panggil Dani lagi. Dia berlari dan hilang dari pandangan mata saat melewati dinding. Wanita muda itu tak melihat jalan, sampai menabrak kakaknya yang tadi ingin menyusul. Wajah Dia membentur dada bidang Imran. Lelaki itu tampak bingung, dan belum sempat bertanya, Dia malah berlari lagi dengan isakan tangis yang tak pernah berhenti. Dia masuk ke dalam ruangan putrinya. Ia luruh di lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Meredam panas dan hancur dalam hati. Begitu Imran membuka pintu lalu masuk dan berjongkok, lelaki itu menyentuh pundak adiknya. "Ada apa sebenarnya? Ceritakan, Dia!" Dengan napas yang begitu berat, dan dengan mata yang sud
"Tolonglah, Dia. Demi Aqila, jangan memintaku melepasmu. Karena aku tidak akan sanggup." Dani kembali memohon. Bahkan ia rela bersimpuh di depan kaki Diandra. "Aku sangat kecewa sama kamu, Mas! Lepaskan tanganku! Jangan cegah aku lagi karena hatiku saat ini sudah mati.""Sayang ....""Di mataku, kau tak punya cela, Mas. Kau suami yang sempurna. Namun, ternyata aku salah. Aku bodoh karena sudah terlalu percaya denganmu.""Dia sayang ... itu tidak seperti yang kamu kira. Aku akan jelaskan semuanya setelah kita pulang. Aku akan mengakui semuanya.""Jelaskan itu semua di depan keluarga kita. Akui bahwa kau memang sudah menikah lagi. Lalu lepaskan aku!" "Tidak!" Dani tak mau melepaskan tangan Diandra. Adegan itu rupanya telah disaksikan oleh seorang wanita yang kini tangannya mengepal keras. Bibirnya yang merah merona itu mengatup rapat. Wanita berwajah muram itu mendekat lalu menarik lengan suaminya setelah berhenti di dekat Dani. "Mas, ngapain kamu bersimpuh begitu? Kamu itu laki-lak
Dia tak menjelaskan apa yang menyebabkan ia bertemu dengan teman lama kakaknya itu. Hanya sebatas bertemu saja dan pria itu pun tampaknya juga mencoba menutupi. Perjalanan yang singkat itu akhirnya sampai juga. Tiga orang di dalam mobil tadi keluar.Mereka berjalan menuju lift. Setelah masuk, Dia merasa ingin segera sampai karena tak enak berjalan bersamaan dengan dua pria itu. Lelaki bernama Zayyan tadi berhenti. "Im, aku duluan ya." Senyum di bibirnya begitu manis."Oke. Semoga ibu segera sehat lagi, ya. Salam buat ibu," balas Imran. "Iya. Nanti aku sampaikan." Sekilas Zayyan melirik pada Dia yang ikut berhenti lalu tersenyum dan masuk ke ruang rawat ibunya. Lantas Imran dan Dia kembali berjalan dan mereka menuju ruangan Aqila. Mereka menemui Halimah yang tengah menjaga cucunya. Tampak Aqila sudah lebih baik, sudah mau makan dan ketika Imran memeriksanya, kondisi gadis kecil itu semakin membaik. Hari berganti hari, Dia sudah jarang bertemu dengan suaminya lagi. Bahkan di rumah
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di tengah jalanan, dan ketika sampai, Zayyan langsung membantu Diandra menggendong putrinya. Pria itu membawa masuk dengan berlari. Tepat saat itu Imran ada di sana dan melihat keponakan dalam gendongan Zayyan. "Kenapa dengan Aqila?" Melihat Diandra datang bersama Zayyan, Imran panik. Ia langsung menghampiri. "Sesak napas," balas Zayyan cepat. Lalu putri kecil itu dibawa ke ruangan gawat darurat. Keadaan Aqila semakin memburuk. Ketika Imran memeriksa, detak jantung Aqila melemah. Zayyan dan Diandra diminta untuk menunggu di luar ruangan. Keadaan rumah sakit yang tampak sepi itu membuat keduanya duduk tanpa kata. Zayyan tak enak hati ingin bertanya pada wanita yang duduk di sebelahnya itu. Sejak tadi Diandra menangis. Pria gagah itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Lalu mengeluarkan sapu tangan dan memberikannya pada Dia. Diandra yang masih sesenggukan itu menerima uluran tangan Zayyan. Sapu tangan itu langsung digunakan untuk mengusa
"Kamu siapa? Berani-beraninya bicara seperti itu!" Dani membusungkan dadanya. Menantang Zayyan yang terlihat santai saja menanggapi. "Anda punya istri baik, tapi menikah lagi. Itu pun dengan menyia-nyiakan dia. Anda sadar enggak, kalau Anda sudah tidak berlaku adil pada Dia sebagai istri Anda juga." Zayyan seolah tak takut dengan Dani yang siap melayangkan tinjunya di rumah sakit itu."Apa? Jangan sok tau kamu!" Dani langsung emosi dan mendorong dada bidang Zayyan. Dani yang menyerang lebih dulu lantas ditarik tubuhnya oleh Imran. Suasana depan kamar itu berubah mencengangkan. Imran memanggil dua perawat yang tak jauh darinya lalu meminta mereka membawa Dani turun ke bawah. Dani meronta tak mau dipegang. Ia langsung pergi tanpa dipaksa lagi. Setelah serangkaian kejadian itu, mereka pulang ke rumah dan menjalani prosesi pemakaman Aqila. Waktu berjalan dengan cepat, kini Dia dan keluarganya menabur bunga pada makam dengan tanah yang masih basah itu. Batu nisan putih tertulis nama Aq
"Kenapa dia ada di sini, Mas?" Dia berdiri mematung tak mau melangkah maju. "Sayang, kita masuk dulu. Kau akan tau apa yang akan terjadi nanti." Tangan Dani menyentuh pinggang Dia lalu menariknya agar ikut dengannya. Tak punya pilihan lain selain mengikuti apa kata Dani. Diandra berjalan dan tak mau menatap Dewi yang segera menghadang mereka. Tampak gelang yang sempat dilihat oleh Dia saat itu di koper suaminya, kini gelang itu ada di tangan Dewi. Dia merasa menyesal telah ikut suaminya pulang. Luka yang belum kering itu serasa kembali mengoyak batinnya. "Mas, kenapa kamu lama sekali? Anak kamu nangis terus ini loh!" Dani menghela napas panjang. "Maaf, Wi. Lain kali aku akan lebih cepat."Wanita berwajah muram itu menghentakkan kakinya ke lantai seraya masuk ke dalam rumah. Seharusnya Dia yang masuk lebih dulu karena dahulu kata Dani, rumah itu adalah untuknya. Baru sehari ditinggal, Dewi yang pindah ke sana langsung bersikap layaknya tuan rumah. Dani menggandeng tangan Dia dan
Hujan gerimis yang disertai oleh angin dan petir membuat sekujur tubuh Diandra menggigil. Ia berjalan terus tanpa henti. Tujuannya masih sangat jauh. Bahkan mungkin besok pagi pun ia belum akan sampai. Namun, Dia tetap berjalan sembari membuang luka yang membuatnya semakin bodoh. Hanya karena ucapan manis Dani, ia akhirnya luluh. Akan tetapi, kini tinggal penyesalan saja yang ia dapatkan. Dua kali termakan keluguan sendiri, Dia harus menanggungnya sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Sebuah mobil lewat dengan kencang, ban menggelinding melewati genangan air dan akhirnya mengenai tubuh Dia. Sudahlah basah, ditambah kotor pula. Dia ingin marah. Kali ini kembali sebuah mobil dari belakangnya sana menyorot lampu. Mobil tersebut berjalan pelan lalu kaca samping kiri terbuka. "Ya Allah, Dia!" Zayyan langsung menghentikan mobilnya saat lelaki itu mengenali siapa yang berjalan di tengah hujan itu. Lelaki itu melepas jas hitamnya lalu memalingkan pada wanita yang ia temui pertama kali d
"Ck, bisa aja. Makasih, Bang, sudah menghiburku." Dia tersenyum. Zayyan ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi ia paham kalau Dia masih dalam proses penyembuhan lukanya. "Kamu mau enggak, kalau udah enakan, gabung sama perusahaan aku? Biar enggak kepikiran sama masalah kamu terus.""Abang hebat, bisa tau pikiran aku. Sudah sejak kapan lalu, sejak Aqila pergi, aku sebenarnya ingin mencari kesibukan lain. Cuman saat itu Mas Dani enggak mengizinkan.""Tapi, selesaikan dulu hubungan kalian di pengadilan. Aku yakin, pasti Allah sudah menyiapkan hadiah besar di balik ujianmu.""Iya, Bang. Cuman, waktu enam tahun berumah tangga itu enggak sebentar. Aku trauma dengan sebuah hubungan dan rasanya semua lelaki sama saja seperti Mas Dani. Aku sudah sangat percaya dengan dia. Tapi, dia malah begitu."Zayyan menghela napas. "Eh, jangan samain semua laki-laki sama, Di. Aku enggak gitu, kok." Lelaki tampan dengan bibir semu merah itu menahan senyuman. Lalu menunduk karena tak tahan ingin tertawa.