"Kami mohon kerja samanya. Anda akan kami bawa untuk diperiksa lebih lanjut." Devina membelalak. Wajahnya pucat, seolah tak percaya apa yang baru saja ia dengar. "Apa? Tidak! Ini pasti kesalahan! Aku tidak melakukan apa-apa! Adelia mati karena melahirkan, bukan dibunuh!" Suara Devina meninggi, tubuhnya bergerak gelisah, mencoba melawan. Ia menoleh tajam ke arah Jusuf. "Kamu yang lakukan ini padaku? Kamu jebak aku, Jusuf?! Kenapa kau tega fitnah istrimu sendiri?!" Jusuf tetap berdiri tegak, tatapannya tak goyah. "Aku tidak menjebak siapa pun. Aku tidak memfitnahmu! Kamu hanya sedang menuai perbuatan mu, Devina!" Salah satu polisi mendekat dan menunjukkan surat penangkapan. "Ini perintah resmi. Mohon jangan mempersulit, atau kami akan bertindak kasar sesuai prosedur." Devina mengangkat tangannya, tapi langkahnya mundur. Wajahnya mulai berubah panik. Kepura-puraannya luntur. Ia tak lagi tampak seperti seorang yang berduka—tapi seperti seseorang yang akhirnya tahu: kejahatannya sud
Drrrtt.... Drrttt....Ponsel bergetar pelan di atas meja rias, Devina mengerutkan kening saat melihat nama suaminya muncul di layar. Setelah beberapa detik ragu, ia menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.Devina : Halo, Sayang ada apa tiba-tiba meneleponku?Jusuf : Kamu sedang berada di mana sekarang, kenapa tidak pulang ke rumah?Glek!Devina terdiam sejenak. Kedua matanya melirik ke arah jendela besar vila tempatnya bersembunyi. Devina : A.. Aku sedang berada di tempat temanku bantu Melia mengurus yayasannya.Jusuf : Hmmm...Suara Jusuf terdengar seperti helaan napas panjang, entah karena lelah atau sekadar menahan pikirannya sendiri.Jusuf : Aku tidak menelepon untuk itu. Aku baru saja pulang dari rumah sakit.Devina terdiam sejenak. Detak jantungnya tiba-tiba tak teratur.Devina : Rumah sakit? Si... Siapa yang sedang sakit?Tanya Devina dengan nada terkejut yang terdengar dipaksakan, seperti sedang menyusun emosi.Jusuf: Adelia… Dia meninggal, Devina.Devina: A-ap
“Tidak mungkin!” Suara Jusuf bergema di lorong sepi. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal, matanya menatap tajam putra sulungnya. “Aku sudah melihat sendiri rekaman CCTV, Pa!” balas Samuel, penuh bara. “Mama mendorong Adelia sampai jatuh, dan meninggalkannya dalam keadaan sekarat!” “Samuel! Kau yakin dengan apa yang kau lihat?! Jangan-jangan itu hanya salah paham—” “Papa pikir aku akan tega menuduh Mama tanpa bukti?! Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri! Mama mendorong Adelia di tangga rumah sakit!” Nada suaranya naik. “Lalu dengan tega, dia pergi begitu saja! Meninggalkan Adelia yang sedang sekarat!" “Tapi dia ibumu, Samuel!” Jusuf menunjuk dada Samuel dengan telunjuknya, napasnya memburu. “Kau tega menuduh ibumu sendiri atas percobaan pembunuhan? Mungkin Mama hanya terpancing emosi—mereka kan sering berselisih!” Samuel menggeleng, mata merahnya penuh emosi. “Bukan berselisih, Pa… ini lebih dari itu. Mama menyimpan kebencian. Aku tahu sekarang, selama ini di
"Rania?" panggil Jusuf. Wanita separuh baya itu menoleh, menampilkan wajah yang masih memancarkan aura kecantikan meskipun usia 55 tahun telah menghampiri. Rambutnya yang tersanggul rapi, gaun lengan panjang berwarna biru donker yang membalut tubuh rampingnya memancarkan kesan kelas dan kecanggihan tanpa berlebihan. "Jusuf. Sudah lama," sahutnya dengan suara yang riang dan ramah.Langkah kaki Jusuf menggema pelan di koridor saat ia mendekati Rania. Ia menjabat tangan Rania dengan senyum hangat. "Aku dengar Adelia melahirkan kemarin malam?" tanya Rania sambil melangkah pelan di sisi Jusuf. ia mengenakan kemeja arang gelap, membalut tubuhnya yang masih tegap, ada sisa lelah di matanya, mengingat ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari luar kota. "Ya, Samuel bilang prosesnya cukup panjang. Adelia sempat kritis, namun semuanya baik-baik saja. Putra mereka pun sehat," jawab Jusuf dengan nada bangga. "Syukurlah. Aku selalu mendoakan mereka setiap hari," ujar Rania, tersenyum penu
Pintu kamar VIP terbuka pelan. Seorang suster masuk, mendorong troli inkubator bening beroda yang di dalamnya terbaring seorang bayi mungil—terbungkus selimut lembut, wajahnya tenang, napasnya perlahan.“Bu Adelia…” suara suster lembut. “Ini putra Ibu.”Adelia yang masih berbaring setengah duduk langsung menoleh. Tatapannya tajam, matanya membesar, air mata langsung mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menatap bayi itu—kulitnya merah muda, kecil sekali, dengan selang oksigen tipis di hidungnya. “Boleh… aku lihat lebih dekat?” suara Adelia nyaris berbisik, lirih karena lemah, tapi juga penuh dorongan naluri.Suster tersenyum dan mendorong inkubator hingga tepat di sisi tempat tidur Adelia.Adelia mencondongkan tubuh sedikit, sambil menahan nyeri luka operasi. Tapi ia tak peduli. Pandangannya terkunci pada bayinya yang mungil. Samuel berdiri di sisi lain ranjang, meletakkan tangannya di bahu Adelia. ikut menatap ke dalam inkubator. “Dia kuat, sama seperti kamu.”Adelia mengangguk, air mat
"Dia selamat. Bayi kita kuat, sama seperti kamu. Lahir dengan berat dua koma tujuh kilo. Napasnya sempat lemah, tapi sekarang sudah stabil. Dokter bilang dia pejuang, sama seperti ibunya.”Air mata mengalir. Ia menutup mulut dengan tangan lemah, terisak pelan. “Aku mau lihat dia…” Samuel mengangguk. “Tentu saja. Begitu kamu sedikit lebih kuat, Suster akan bawa dia ke kamar. Tapi kamu harus pulih dulu ya…”Adelia tersenyum haru. “Dia mirip siapa, Mas?”Samuel tersenyum sumringah. “Wajahnya kecil dan halus… mirip kamu. Tapi bibir dan alisnya… kayaknya dapat dari aku.”Mereka tertawa pelan, penuh rasa syukur. Tak lama pintu ruangan terbuka. Dokter masuk diikuti dua perawat yang membawa alat-alat medis.“Maaf, kami perlu memulai tindakan perawatan intensif. Kami akan bersihkan luka operasi, cek tekanan darah, dan siapkan pemindahan ke ruang rawat VIP," ucap Sang dokter Samuel berdiri, mengangguk. “Silakan, Dok. Saya tunggu di luar.”Sebelum ia melangkah keluar, ia membungkuk sedikit dan