"Kenapa data ini baru muncul sekarang? Dan... kenapa namaku tercantum di sini?"Samuel terpaku di kursinya. Layar laptop di depannya menampilkan grafik dan deretan angka—transfer dana yang tak pernah ia setujui. Alisnya mengerut, jemarinya memijit pelipis, mencoba mengingat satu per satu transaksi yang pernah ia acc dalam tiga bulan terakhir.Tidak ada yang terasa janggal sebelumnya. Hingga hari ini.Tok... Tok... Tok..."Masuk.""Sayang, aku bawakan teh dan camilan."Adelia masuk pelan, membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring camilan favorit Samuel. Tapi Samuel tak menoleh. Matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya sibuk menggeser mouse.“Sayang,” panggilnya lagi.Samuel hanya mengangguk tanpa menoleh. Tangannya sibuk menggerakkan mouse, membuka satu folder ke folder lain, ekspresinya semakin tegang.Adelia mendekat, meletakkan nampan di meja kecil di samping sofa. Ia duduk perlahan, memandang Samuel yang masih tenggelam dalam pikirannya."Sudah larut malam, Mas
"Duh... sampai biru seperti ini."Sambil meringis, Adelia membuka tutup salep antiseptik, sementara Satrio duduk diam di kursi, kepalanya sedikit menunduk. Lampu putih di atas mereka menyorot wajahnya yang penuh lebam.Saat Adelia mulai mengoleskan salep, ia sempat meringis sejenak.Adelia memperhatikan—bukan hanya sudut bibir, tapi juga pipi kiri yang membiru, pelipis yang memar, bahkan ada goresan kecil di bawah rahang. Lebih parah dari yang ia bayangkan. Lebih banyak dari luka yang sempat ia lihat di wajah suaminya.“Ini semua… hasil pukulan dari Samuel?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya.Satrio tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu sedikit, lalu tersenyum miring.“Aku yang mulai duluan,” ujarnya ringan. “Makanya dia sangat emosi." Adelia menarik napas dalam, tangannya gemetar sesaat sebelum kembali mengoleskan salep."Harusnya Kakak segera obati, biar gak separah ini. Takut kalau sampai infeksi,” ucap Adelia sambil pelan-pelan mengoleskan salep ke bagian yang membir
“Masakan kamu enak banget, aku jadi makin sayang,” kata Samuel sambil tersenyum penuh arti.Ia duduk di samping Adelia. Dengan lahap, ia mulai menyuap makan siangnya, sesekali menatap wajah istrinya yang masih sedikit merona.Devina duduk di kursi seberang, diam dengan wajah kesal yang tak bisa disembunyikan. Tatapannya menusuk ke arah dua pasutri yang tampak seperti pengantin baru, penuh kehangatan dan cinta—sesuatu yang sangat tak ia harapkan dari pernikahan Samuel.Adelia merasa enggan terus diperhatikan, dan coba mencairkan suasana, “Mama sudah makan siang?”Devina menjawab ketus, “Sudah.”Matanya kembali menelusuri Adelia, tertuju pada rona merah yang masih tersisa di pipinya, serta sofa yang tampak agak lembap dan berantakan.Dengan nada yang penuh cemooh tapi tak terdengar diucapkan, pikir Devina dalam hati, “Wah, jangan-jangan mereka bulan madu di tempat kerja. Bodoh sekali kamu, Samuel, kenapa makin terjerumus sama gadis kampung ini!”Samuel menatap ibunya dengan raut penasar
“Kamu nggak perlu khawatir, Sayang. Pintunya sudah ku kunci kok,” bisik Samuel, suaranya berat, penuh godaan.“Mas… Jangan di sini, aku malu kalau sampai suaraku terdengar keluar… ini kan tempat umum…” Adelia menahan napas, gelisah.Samuel tersenyum miring, menatap dalam ke mata istrinya. “Ruangan ini kedap suara, Sayang. Nggak akan ada yang dengar. Percaya deh sama aku.”Tangannya dengan pelan membuka satu per satu kancing blus Adelia. Gerakannya tenang tapi penuh hasrat, hingga bahu istrinya yang halus mulai terlihat.Begitu kulitnya terbuka, bibir Samuel segera menempel, memberikan ciuman lembut di bahu Adelia. Sentuhannya membuat tubuh Adelia bergetar halus, geli sekaligus terseret dalam godaan yang sulit ditolak.“Ayo, Sayang… sebelum semua karyawan selesai makan siang,” Samuel mulai membuka kemeja serta celananya, dan membebaskan miliknya yang sudah tegang.Dengan hati berdebar Adelia ikut terhanyut. Lalu dengan tangan sedikit gemetar, mulai melepaskan sisa bajunya satu per satu
Namun teriakannya tak digubris. Samuel dan Satrio masih saling menghantam, masing-masing diliputi amarah yang sudah lama terpendam.Pukulan demi pukulan mendarat brutal, membuat beberapa karyawan hanya bisa terpaku, tak berani ikut campur.Adelia panik. Ia menoleh ke arah para karyawan pria yang berdiri kebingungan di dekat pintu."Kalian kok diam saja sih? Cepat pisahkan mereka!" serunya lantang, matanya nyalang, penuh kecemasan.Barulah beberapa staf pria tersadar dan segera bergerak. Mereka berhamburan masuk, mencoba memisahkan dua bersaudara itu yang sudah tampak babak belur. Samuel meronta, Satrio masih mencoba melepaskan diri dari pegangan."Lepaskan!" teriak Samuel, masih ingin menyerang lagi.Adelia maju, berdiri di tengah mereka. "Cukup!" suaranya tegas, "Berhenti! Kalian ini saudara kandung, kenapa malah berkelahi!"Satrio melangkah mundur sedikit, menegakkan tubuhnya sambil mengelap darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Ia menatap Samuel dengan tajam.“Aku rasa su
Dua bulan kemudian, Jakarta."Ini baru namanya pembuktian. Aku nggak salah waktu kirim kamu ke Jerman," ucap Jusuf sambil meletakkan dokumen itu di meja.Satrio berdiri tegak di depan meja, tangan disilangkan rapi di depan badan. Ia menunduk sedikit, sopan."Saya cuma jalankan tugas, Papa. Kliennya punYa kekhawatiran, saya dengarkan, lalu tawarkan solusi. Kebetulan mereka cocok."Jusuf mengangguk pelan, matanya menyipit menilai anak sulungnya itu. "Kamu bikin pendekatan yang beda dari Samuel, dan itu berhasil. Papa bangga."Satrio hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Pa. Tapi semua juga karena kerja tim. Saya nggak bisa jalan sendiri."Proyek senilai puluhan miliar yang semula digarap tim Samuel—gagal di negosiasi akhir. Tanpa banyak bicara, Satrio mengambil alih, menyusun ulang strategi, dan berhasil menarik klien besar itu untuk menandatangani kontrak langsung.Jusuf menoleh kepada sekretaris. "Pastikan bonus bulan ini disesuaikan. Satrio harus dapat yang pantas."Semua mata di rua