“Katamu ada yang penting yang mau kamu bicarakan?” tanya Jusuf sambil menyandarkan punggungnya di kuris kebesaran.Samuel mengangguk, lalu menyodorkan tablet ke arah ayahnya. “Aku menemukan data ini dari tim keuangan. Ada sesuatu yang janggal selama 3 bulan ini.”Jusuf mengambil tablet itu, menatap layar sambil memperhatikan grafik-grafik yang ditampilkan. “Apanya yang janggal?”“Papa lihat saja, ada angka-angka biaya pengeluaran untuk iklan promosi produk, melonjak naik, terutama untuk proyek yang direkomendasikan oleh kak Satrio,” ujar Samuel menjelaskan.Jusuf mengangkat alisnya, menoleh. “PT. Solusi Mandiri?”“Betul, Papa gak pernah dengarkan ada klien kita atas nama PT ini” jawab Samuel. “Masalahnya, beberapa transaksi masuk ke rekening atas perusahaan ini, rasanya PT inj tidak pernah terdaftar sebagai rekanan resmi perusahaan kita.”Jusuf terdiam. Tangannya menggenggam tablet itu lebih erat.“Apa kamu sudah tanyakan ke tim audit. Ini bukan kesalahan input nama PT, kan?”“Penggel
“Aku kehilangan anak perempuanku dengan cara yang ku anggap tidak adil,” ucapnya lirih.“Arabella sudah berjuang bertahun-tahun melawan penyakitnya. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, memberikan perawatan terbaik agar dia bisa hidup normal, tapi…”Suara Rania terhenti, tercekat oleh isak yang tiba-tiba meledak. Air matanya mengalir deras.Adelia cepat-cepat mengulurkan tisu, hati ikut tersentuh oleh kesedihan yang begitu dalam terpancar dari perempuan di depannya.“Kami sama sekali tak menyangka, Arabella akan pergi sebelum sempat membuka mata melihat anaknya. Oh, Arabella anakku yang malang...”Adelia perlahan mendekat, lalu mengusap punggung Rania dengan lembut, berusaha menguatkan tanpa kata-kata.Beberapa detik hening berlalu, lalu Adelia pelan membuka suara. “Saya juga mau minta maaf... karena waktu itu terlambat mengambil keputusan soal transfusi darah untuk Arabella.”Rania menggeleng, “Tidak, kamu tak salah. Mungkin saat itu memang sudah waktunya. Arabella sangat menderita men
“Adelia…” suara Rania Shevanka terdengar pelan namun menggetarkan. “Aku ingin bertemu cucuku.”Adelia menelan ludah, langkahnya refleks mundur setengah jengkal. “Silahkan masuk dulu, Nyonya,” ucap Adelia sopan, berusaha menjaga nada suara tetap tenang meski hatinya sedang panik.Nyonya Shevanka melangkah masuk dengan gaya angkuh. Tatapannya menusuk, menyapu setiap sudut rumah.“Di mana cucuku?” tanyanya, tanpa basa-basi.“Isabella… sedang bermain,” jawab Adelia pelan, lalu menunduk. “Mari, saya antar.”Langkah Adelia terasa berat saat menuntun wanita itu menyusuri ruang tamu, hingga masuk menuju ruang keluarga."Kenapa baru datang sekarang, setelah dua tahun tidak pernah sekalipun menanyakan cucunya?" batinnya berteriak.Selama ini, Nyonya Rania Shevanka enggan menemui cucunya sejak hari pemakaman Arabella. Bahkan undangan ulang tahun dari Samuel pun tak pernah ia gubris. Tapi kini—tanpa kabar, tanpa aba-aba—perempuan setengah baya itu muncul, dan langsung meminta bertemu cucunya.Ses
"Kenapa data ini baru muncul sekarang? Dan... kenapa namaku tercantum di sini?"Samuel terpaku di kursinya. Layar laptop di depannya menampilkan grafik dan deretan angka—transfer dana yang tak pernah ia setujui. Alisnya mengerut, jemarinya memijit pelipis, mencoba mengingat satu per satu transaksi yang pernah ia acc dalam tiga bulan terakhir.Tidak ada yang terasa janggal sebelumnya. Hingga hari ini.Tok... Tok... Tok..."Masuk.""Sayang, aku bawakan teh dan camilan."Adelia masuk pelan, membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan sepiring camilan favorit Samuel. Tapi Samuel tak menoleh. Matanya terpaku pada layar laptop, jari-jarinya sibuk menggeser mouse.“Sayang,” panggilnya lagi.Samuel hanya mengangguk tanpa menoleh. Tangannya sibuk menggerakkan mouse, membuka satu folder ke folder lain, ekspresinya semakin tegang.Adelia mendekat, meletakkan nampan di meja kecil di samping sofa. Ia duduk perlahan, memandang Samuel yang masih tenggelam dalam pikirannya."Sudah larut malam, Mas
"Duh... sampai biru seperti ini."Sambil meringis, Adelia membuka tutup salep antiseptik, sementara Satrio duduk diam di kursi, kepalanya sedikit menunduk. Lampu putih di atas mereka menyorot wajahnya yang penuh lebam.Saat Adelia mulai mengoleskan salep, ia sempat meringis sejenak.Adelia memperhatikan—bukan hanya sudut bibir, tapi juga pipi kiri yang membiru, pelipis yang memar, bahkan ada goresan kecil di bawah rahang. Lebih parah dari yang ia bayangkan. Lebih banyak dari luka yang sempat ia lihat di wajah suaminya.“Ini semua… hasil pukulan dari Samuel?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya.Satrio tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu sedikit, lalu tersenyum miring.“Aku yang mulai duluan,” ujarnya ringan. “Makanya dia sangat emosi." Adelia menarik napas dalam, tangannya gemetar sesaat sebelum kembali mengoleskan salep."Harusnya Kakak segera obati, biar gak separah ini. Takut kalau sampai infeksi,” ucap Adelia sambil pelan-pelan mengoleskan salep ke bagian yang membir
“Masakan kamu enak banget, aku jadi makin sayang,” kata Samuel sambil tersenyum penuh arti.Ia duduk di samping Adelia. Dengan lahap, ia mulai menyuap makan siangnya, sesekali menatap wajah istrinya yang masih sedikit merona.Devina duduk di kursi seberang, diam dengan wajah kesal yang tak bisa disembunyikan. Tatapannya menusuk ke arah dua pasutri yang tampak seperti pengantin baru, penuh kehangatan dan cinta—sesuatu yang sangat tak ia harapkan dari pernikahan Samuel.Adelia merasa enggan terus diperhatikan, dan coba mencairkan suasana, “Mama sudah makan siang?”Devina menjawab ketus, “Sudah.”Matanya kembali menelusuri Adelia, tertuju pada rona merah yang masih tersisa di pipinya, serta sofa yang tampak agak lembap dan berantakan.Dengan nada yang penuh cemooh tapi tak terdengar diucapkan, pikir Devina dalam hati, “Wah, jangan-jangan mereka bulan madu di tempat kerja. Bodoh sekali kamu, Samuel, kenapa makin terjerumus sama gadis kampung ini!”Samuel menatap ibunya dengan raut penasar