LOGINTapi Samuel sama sekali tidak tergerak hatinya oleh isak tangis Adelia. Dia malah memandangnya dengan dingin dan berkata, "Aku terpaksa menikah denganmu karena permintaan ayah, tapi tidak pernah sekalipun aku tertarik padamu . Hanya Bella, dia wanita yang aku cintai, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya."
Adelia menatap Samuel dengan geram. Selama ini, dia berusaha menahan emosinya, saat disakiti dihina, dan di fitnah oleh ibu mertua dan kakak iparnya. Tapi tidak kali ini. Adelia menyuarakan isI hatinya, sebagai istri sah Samuel Dimata hukum, hanya dia yang berhak memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi. "Tidak akan! Tidak ada ijin dariku! Aku adalah istri sah mu. Aku adalah orang yang telah bersumpah untuk mencintaimu dan mendampingi mu selamanya," tegas Adelia. Samuel terkejut melihat ketegasan Adelia. Tidak pernah ia melihat istrinya seperti ini. Adelia selalu terlihat lemah dan penakut, tapi sekarang dia terlihat seperti singa yang baru terbangun dari tidurnya. "Kami tidak butuh air matamu, kami butuh kamu naik ke panggung dan mengumumkan pertunangan Bella dan suamimu!" sela Devina dengan nada sarkas yang menusuk. "Setidaknya kami tidak menyia-nyiakan dana yang kami keluarkan untuk mendadani mu malam ini!" tambah Selly tertawa sinis. Saking frustasinya, kata-kata Adelia tertahan di tenggorokannya. Lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan suara isak tangis yang tertahan. Devina yang tidak sabar, langsung menarik lengan Adelia sambil berbisik dengan nada yang dingin dan menyakitkan. "Tenang saja, kamu akan tetap jadi bagian keluarga ini, setelah Samuel menikah lagi, kamu hanya kehilangan hak untuk menjadi istri Samuel. Dan itu adalah hak yang dari awal tidak layak kamu dapatkan," Devina berkata dengan sinisnya. Dengan suara terbata-bata, Adelia memohon, "Ma... saya mohon, saya tidak bisa melakukannya, saya tidak bisa menerima semua ini." Devina tersenyum dengan nada yang dingin. "Kamu tidak bisa memberikan keturunan, Adelia. Kamu tidak bisa memberikan apa yang Samuel inginkan. Dan itu adalah alasan mengapa Samuel harus menikah lagi!" Adelia terdiam, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Tentu saja, Samuel tidak bisa memiliki keturunan darinya, karena pria itu tidak pernah mau menyentuhnya, Bahkan duduk bersebelahan pun Samuel tidak sudi. Alasan yang diajukan oleh Devina terasa tidak masuk akal dan terlalu dipaksakan. Ayah mertua Adelia, Jusuf, yang sejak tadi menyaksikan kejadian tersebut, akhirnya membuka suaranya. "Maafkan saya, Adel," ucapnya dengan suara yang berat dan penuh penyesalan. "Saya terpaksa menikahkan Samuel dengan Arabella demi kepentingan kerjasama perusahaan. Kali ini, saya meminta kamu untuk menerima keputusan kami. Lakukan, demi mendiang ayahmu dan pendidikan adikmu." Mendengar pernyataan Jusuf, Adelia merasa sedih dan kecewa. Dia merasa bahwa ayah mertuanya juga telah meninggalkannya. Setelah pergulatan batin, akhirnya Adelia mengambil keputusan berat. Dengan langkah yang tegar, dia naik ke atas panggung dan mengumumkan pertunangan suaminya, Samuel, dengan Arabella. Diatas panggung, Adelia memperlihatkan senyum palsunya. "Saya Adelia Widyantara, mengijinkan suami saya, Samuel. Untuk menikah lagi dengan teman saya, Arabella Shevanka," ucap Adelia dihadapan semua tamu yang hadir. "Karena saya tidak bisa memberikan keturunan kepada Samuel, dan juga tidak ingin menjadi penghalang bagi kebahagiaan suamiku dan wanita yang dicintainya. Selamat untuk kalian berdua." Setiap kata yang ia ucapkannya dihadapan umum, seolah menjadi pisau tajam yang menorehkan luka di hati. Apa yang tidak diketahui oleh orang lain adalah, Samuel tidak pernah menunjukkan minat atau keinginan untuk memiliki hubungan intim dengannya. Dan sekarang, dia ingin menikah dengan wanita lain dengan alasan bahwa Adelia tidak bisa memberikan keturunan? Para tamu memberi tepuk tangan yang meriah, Adelia menurunkan pandangannya, menahan air mata yang ingin jatuh. Ia tahu bahwa wajahnya harus tetap menunjukkan ketegaran, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Disampingnya ia melihat Arabella berdiri di sisi Samuel, mengenakan gaun dusty pink yang memukau. Wanita itu tampak sangat bahagia, begitu pula Samuel. Adelia bisa melihat kilauan cinta yang selama ini dia dambakan dari Suaminya, kini tercurah untuk wanita lain. Adelia tersenyum tipis, namun dengan keberanian yang tak terduga, dia menggenggam tangan Samuel yang terasa dingin. "Selamat ulang tahun pernikahan pertama kita, Suamiku." Seketika Samuel merinding. Dia tidak menyangka bahwa Adelia masih bisa tersenyum dan mengucapkan kata-kata yang begitu manis, meskipun hatinya telah terluka oleh keputusannya untuk menikah dengan Arabella."Di mana suamiku?!" seru Devina lantang, membuat resepsionis yang bertugas hari itu di perusahaan suaminya, terkejut bukan main, hampir saja menumpahkan kopi diatas meja.Semua karyawan yang berada di lobby perusahaan Jusuf menoleh padanya. Bagaimana tidak, Devina masuk dengan wajah merah padam, rambut dan make up-nya berantakan, membuat para karyawan merasa takut, tak berani menegur. “P–Pak Jusuf sedang tidak di kantor, Nyonya. Hanya ada Pak Satrio di ruangannya.” Sang resepsionis menjawab dengan suara gemetaran."Hah! Bisa-bisanya dia pergi tanpa ijin dariku," gumam Devina kesal, ia melangkah tanpa peduli pada tatapan heran para karyawan yang sedang memperhatikannya. Devina berjalan menuju lift, lalu menekan tombol lift berulangkali, sampai pintu lift terbuka.Ting!Lift berhenti dilantai 4, tempat Satrio, Devina langsung melangkah keluar dari lift, berjalan cepat melewati lorong. Wajahnya tampak tegang, ada amarah yang ia pendam sejak kemarin, dan pagi ini nyaris meledak.Brak!P
“Sayang, ayo buka mulutnya, Aaa—”Satu sendok bubur berhasil masuk, tapi setengahnya malah menempel di pipi si kecil.Isabella menyandarkan kepala di lengan Adelia sambil memasang wajah manja, “Mama, aku mau disuapin juga…”Adelia menghela napas panjang, senyum lelah tapi hangat terukir di wajahnya. “Ica kan sudah besar, ayo makan sendiri, ya? Mama lagi repot sama adikmu.”Gadis kecil itu manyun, menatap Arya yang sedang disuapi dengan wajah cemberut.“Kalau gitu, suruh Arya makan sendiri juga, dong…” protesnya dengan nada kesal khas anak manja.“Arya kan belum bisa makan sendiri, pegang sendok saja masih sering jatuh,” jawab Adelia lembut sambil mengusap kepala putrinya.Isabella manyun, pipinya menggembung. “Pokoknya Ica mau makan kalau disuapin Mama!”Adelia berusaha tetap sabar, walau keningnya sudah berkerut.Arya, yang sejak tadi asyik memainkan piring plastik, tiba-tiba ikut celoteh, “Acik... Mamam nyuapin Ayaya…”Ica langsung menatap adiknya dengan wajah kesal. “Eh! Arya beran
“Mas… jangan dulu, ya. Arya masih kecil, aku belum siap kalau sampai hamil lagi…” protes Adelia saat Samuel hendak membuka pakaiannya.Samuel terdiam sejenak, menatap istrinya dengan mata penuh harap. Lalu ia tersenyum nakal, menunduk mendekati telinganya. “Tenang saja, sayang. Aku nggak minta anak sekarang. Aku cuma minta… jatah dari istriku.” bisiknya penuh goda.“Mas! Kamu ini ya… kalau ngomong bikin gemas.” Wajah Adelia kian memerah, bukannya menolak, ia hanya takut kebablasan.Samuel tertawa pelan, lalu kembali merengkuh istrinya lebih erat. “Aku janji, satu ronde. Aku cuma mau dekat sama kamu malam ini.”Adelia memutar malas bola matanya sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. “Mulutmu manis, Mas… katanya satu ronde. Nyatanya nanti malah sampai pagi. Mas ini nggak ada kapok-kapoknya, selalu begitu…” gumamnya pura-pura sebal.Samuel terkekeh, menarik selimut dari tubuh istrinya, “Kamu selalu jadi candu buat aku. Gimana mau kapok?”Samuel menunduk, menempelkan bibirnya ke leher
“Mama! Papa!” seru Isabella, berlarian mengenakkan piyama kelinci, langsung lompat memeluk Adelia erat-erat.Tak lama kemudian, Arya yang baru berusia satu tahun juga merangkak cepat, di temani baby sitter yang berjalan dibelakangnya."Pap... Ma..." celoteh Arya merengek minta digendong."Hei, jagoan ayah belum tidur." Samuel mengangkat putranya ke dalam pelukan. Begitu tubuh mungil itu merapat, senyum tipis merekah di wajah Samuel."Ma... Lihat ini, tadi aku gambar tokoh kartun kesukaanku," seru Isabella riang, menyodorkan kertas beraroma krayon. Tergambar sosok gadis memakai baju pink bersayap kupu-kupu."Gambar kamu bagus sekali, kami makin pintar sayang, hasil belajar sama Tante Amelia, ya." Adelia pun tersenyum, membelai rambut Isabella dengan lembut."Hehe, iya Ma…” Ica terkekeh kecil, senyumnya merekah menampakkan gigi depannya yang ompong.wajah ceria Arya dan Isabella, seakan mampu menghapus segala rasa lelah dan emosi batin, di hati Samuel dan Adelia.Malam sudah larut. Sete
"Devina!” seru Jusuf terperanjat, berdiri dari kursinya. Wajahnya pucat, matanya membelalak. “Bagaimana bisa… kamu….” Suaranya tercekat, tak sanggup merangkai kata.Devina melangkah masuk dengan senyum sumringah, seolah-olah kedatangannya adalah hal yang wajar.Adelia gemetar hebat, tubuhnya terasa dingin. Ia menggenggam tangan Samuel erat-erat di bawah meja, mencari pegangan. Samuel menoleh padanya, lalu mengangkat pandangannya pada sosok wanita ibunya—tatapannya sinis, penuh kebencian.Namun Satrio langsung berdiri dan menghampiri ibunya, “Ma… selamat datang kembali di rumah.”Devina melangkah, meraih Satrio ke dalam pelukannya. Ia mendekap putra sulungnya erat-erat, seakan tak ingin melepaskan lagi. “Akhirnya… Mama bisa pulang,” ucapnya lirih namun penuh emosi.Selly pun tampak berkaca-kaca, senyum lembut terukir di bibirnya.“Selly, Nak… Ibu sudah pulang….” ucap Devina, mengulurkan tangan, memanggil anak perempuannya.Air mata Selly pecah begitu saja, membasahi pipinya. Rasa rindu
"Sudah lama aku menantikan momen berharga seperti ini,” ucap Jusuf dengan suara lantang. Ia mengangkat gelasnya tinggi, senyum terukir di wajahnya.“Lengkap sudah, seluruh anak-anakku akhirnya berkumpul di satu meja hari ini.” ucapnya lantang. Pandangannya berkeliling ke seluruh anak-anaknya yang kini duduk rapi di meja makan keluarga.“Betul, Pa! Rasanya senang sekali bisa berkumpul lagi seperti ini. Apalagi aku… sekarang nggak cuma hadir berdua sama suamiku, tapi juga dengan calon bayi kami.” Selly yang duduk di samping suaminya ikut menimpali dengan senyum ceria. Tangannya sesekali bergerak mengelus perutnya yang tengah mengandung lima bulan.Samuel mendengus pelan, jelas terlihat ketidaksenangan si wajahnya, beberapa kali menatap kakaknya Satrio dengan pandangan sinis.Ia sungguh tak menyangka, Satrio berani pulang setelah diusir. Hatinya semakin memberontak ketika ayahnya dengan mudah menerima kembali kakaknya itu bekerja di perusahaan, seolah melupakan begitu saja perbuatan terc







