"Ma-maksud kamu apa, Nis?" tanyaku dengan suara yang bergetar. Sungguh aku tak kuat lagi jika harus terkejut untuk kesekian kalinya.
"Loh! Kok kamu malah bingung. Ini sengaja acara untuk kamu loh. Kamu ngga suka aku buatkan pesta atas pernikahan keduamu. Harusnya kamu bangga, ngga ada istri seikhlas aku. Yang rela merogoh tabungan hanya untuk mengadakan pesta pernikahan suaminya yang kedua." Nisa berkata penuh penekanan. Tak dapat di sangkal apa yang ia katakan. Benar, baru kali ini mungkin, ada perempuan yang mau membuatkan pesta pernikahan untuk madunya.
"Ta-tapi?" Aku masih saja tergagap, namun sedetik kemudian Nisa sudah berhasil membuatku berdiri walau dengkulku terasa linu.
"Mbak, ini pesta pernikahanku, kenapa kamu yang dandan?" Kali ini Syasya terlihat protes. Benar juga? Aku malah jadi makin bingung.
"Oh, kamu mau dandan juga?" tanya Nisa dengan nada pelan.
"Iya!" Dia tersenyum sumringah.
"Baik, Mbak!" Panggil Nisa pada perias.
"Iya, Mbak."
"Berapa duit untuk merias dia?" tanya Nisa.
"Untuk Mbak ini aku kasih harga tujuh juta saja, Mbak. Ini diskon 30 persen."
Terlihat Syasya kegirangan. Mengira jika Nisa akan membayarkannya.
"Mana duitmu!" Nisa mendekat pada Syasya.
"Loh, kok tanya uang, Mbak? Kan aku mau di rias!"
"Iya! Kalau mau di rias ya bayar sendiri!" Nisa menyentak. Namun, kemudian dia seperti berubah pikiran.
"Kamu mau yang gratis?" tanya Nisa kembali.
Syasya mengangguk.
"Baik, Mbak, rias dia!" Nisa memerintah pada perias itu dengan memberi kode. Entah kode apa, aku sempat melihat mereka saling kedip. Mungkin Nisa memilih untuk berhutang. Ah! Bodo amat, yang penting aku senang melihat Nisa berbaik hati. Coba kalau tadi kekeh suruh bayar sendiri? Yang ada Syasya mendorongku untuk membayarnya.
Tak lama setelah Syasya dibawa kekamar, kini aku tengah menikmati wajah ayu Nisa. Sungguh dia anggun sekali, serasa sangat berkelas ketika dia bermake-up. Sayang dia tak melakukannya setiap hari. Andai ....
Dia selalu mengunakan baju daster yang sudah sobek ketiaknya. Kalau di suruh berdandan selalu alasan jika dia repot mengurus Al dan El. Padahal apa susahnya sih, lima menit saja siap. Bukan sampai situ, setiap pulang selalu saja keluh kesahnya. Tentang diapers habis, susu habis, minyak telon dan lain-lainnya. Membuat aku yang lelah bekerja bukan senang melihat bini cantik justru makin stres.
Ting ... Tong!
"Mas, ayo bersiap. Mereka sudah datang!" Nisa menarik tanganku, sungguh aku tak tahu siapa yang dia maksud. Kuharap semua tak membuat spot jantung ku makin cepat.
Nisa dengan sigap memegang handle pintu dan menariknya. Aku terpana pada semua orang yang sudah berkumpul di depan pintu.
Pak Rangga-- seorang direktur-- Bu Maria--Direktur utama dan satu lagi Pak Denis--direksi di perusahaanku. Aku sungguh tak menyangka jika Nisa berbuat negat menggundang mereka. Bisa langsung di pecat nanti.
"Silahkan masuk!" Perintah Nisa dengan senyum mengembang. Ternyata selain mereka juga ada beberapa temanku yang profesinya sederajat. Manager.
"Selamat ya, Man!" Mereka mengucapkannya.
"Pak! Se-semua tak seperti yang bapak kira!" Aku mengikuti Pak Denis dan Pak Rangga. Aku tak ingin jabatanku sebagai meneger di cabut. Aku harus memohon pada mereka jika semua ini kesalah pahaman.
"Kamu kenapa?" tanya Pak Rangga yang berjalan di depanku kemudian berhenti mendadak, membuat aku menabrak tubuh kekarnya.
"I-ini semua tak seperti yang Bapak pikir. Ibu Direktur, Maaf untuk masalah ini!" Aku menangkupkan kedua tanganku. Memohon ampunan atas pernikahanku yang mungkin akan mencoreng nama baik perusahaan.
"Saya mengerti, tenang saja. Istrimu sudah menjelaskan semua kenapa kamu memilih menikah lagi!" Pak Rangga menepuk pundakku, menenangkanku yang tengah panik atau kocar kacir.
Benarkah demikian? Bagaimana mungkin Nisa mampu meyakinkan mereka jika alasan aku menikah hanya karena dia tak sempat bisa berdandan.
"Aku salut dengan keluargamu. Istrimu yang ikhlas di poligami dan juga madunya yang ikhlas mengabdi untuk membantu mengasuh kedua putra kembarmu. Hingga istrimu yang cantik itu bisa datang saat acara kantor." Kali ini mataku membulat, mendengar penuturan dari Pak Denis yang jelas-jelas tak aku mengerti.
Syasya akan menjadi pengasuh anakku? Dan Nisa akan datang pada acara kantor? Ah! Kok kepalaku rasanya makin tak karuan. Ya Tuhan! Sampai kapan semua permainan ini berakhir.
"Loh! Masih disini. Ayo ... Masuk kedalam!" Perintah Nisa pada para tamu yang hadir. Mereka yang profesinya sama denganku ikut mengucapkan selamat walau dengan nada mengejek. Sial sekali nasibku ini!
Aku berjalan gontai menuju meja makan. Para tamu tengah menikmati hidangan yang memang alakadarnya. Aku masih bingung dengan semua ini. Nisa benar-benar berbuat dengan kendali penuh, sedikit salut namun kesal karena membuat jantung ku seperti akan terkena stroke.
Mereka asik berbincang dan kali ini para mantan Syasya juga sudah bergabung dengan para tamu kantor. Duh! Malunya jika mereka tahu yang datang itu semua mantan istri mudaku. Mau kubanggakan didepan semua orang ternyata justru memalukan. Kalau bisa ingin aku umpetkan saja si Syasya kekantong.
"Mana pengantin wanitanya?" tanya Bu Maria, wanita berbobot lebih namun ketus saat berbicara.
"Eee, An-u, Bu. Sedang berias." Aku tergagap.
"Nah itu dia, Bu!" Nisa langsung menyahut dan kami semua fokus tertuju pada seorang wanita yang baru keluar dari kamar.
"Astaghfirullahaladzim!" Serasa duniaku gelap dan aku tak melihat apapun sekarang.
===??!!!===
5 Bulan kemudian.Acara resepsi pernikahanku di gelar di sebuah gedung bertingkat. Aku bangga, sekaligus bahagia dapat menambatkan hati kembali pada sosok keren dan setia seperti Mas Denis."Gimana pengantinnya? Apa sudah siap! Sebentar lagi akan nikah akan di lakukan." Seorang wanita yang kutahu karyawan kepercayaan Mas Denis memberitahu.Aku makin deg-degan di buatnya. Walau ini hal yang kedua kali aku lalui tapi nyatanya tak menyurutkan rasa nervous yang kualami."Sudah siap, Mbak?"Aku memandangi diri pada cermin. Riasan yang natural namun elegant, bahkan aku sampai tak mengenali diriku. Sungguh MUA yang profesional."Makasih ya, Mbak," ucapku tulus.Dua orang telah menungguku untuk menuju ruang akad nikah. Satu menggandengku dan satunya lagi memegangi bajuku yang terjuntai kelantai beberapa meter.Sungguh aku merasa bak Cinderella yang sedang menunggu singgasana. Derap langkah kaki berpacu dengan jantung yang makin tak menentu."Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan untuk tak s
PoV Nisa.Aku fokus pada tangan Pak Denis. Botol itu? Bukankah itu botol obatku. Ya Allah! Kali ini aku kecolongan. Aku lalai dan berakibat orang lain tahu bahwa aku mengkonsumsi obat penenang. Memang sekarang itu aku mudah sekali lupa, bahkan kadang juga linglung. Apa ini efek samping dari obat itu!Saat aku hentikan mereka yang akan berkelahi, kepalaku sudah mulai berdenyut. Sakit sekali. Jangan sampai aku kambuh, aku tak ingin semua ini terbongkar. Aku kuat, aku tegar!Kusupport diriku, namun tekanan batin makin menjadi. Terus menuju kepala, makin pusing. Rasa ingin berontak dan puncaknya benar. Aku berteriak bak orang gila. Pasti mereka kaget, karena tahu bahwa aku sebenarnya gila. Ya aku yakin setelah ini pasti aku di masukan ke RSJ.Kepala serasa di putar-putar. Makin pusing tak karuan. Melihat Pak Denis dan Mas Arman sudah tak jelas hingga semuanya gelap, pekat. Apakah aku meninggal?Tut ... Tut ... Tut ... Aku membuka mata, namun kepalaku terasa berat. Kulihat sekeliling tapi
Allah!Beberapa kali aku menyebut asma Allah, sungguh hati ini perih melihat kenyataan ini. Apa aku sangat kejam? "Ya Allah! Hukumlah aku! Jangan hukum Nisa, semua masalah berawal dariku!" Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit. Tak peduli jika ada orang yang memperhatikanku dalam.Pak Denis mendekat. Ia memegang kerahku. Aku pasrah saja. Memang aku pantas jika harus di pukul sekalipun."Apa ini yang kamu mau dari Nisa? Apa ini yang kamu inginkan, hah! Lihatlah, dia itu ibu dari anak-anakmu! Tak sedikitlah kamu iba?!" Pak Denis melepaskanmu hingga aku terjengkang kebelakang.Dia seperti sangat geram, bahkan tak kalah frustasinya. Dari itu aku sadar jika Pak Denis mencintai Nisa.Aku masih merundungi nasib di depan ruang ICCU. Nisa belum sadarkan diri. Kata dokter ada pembekuan otak akibat terlalu sering mengkonsumsi obat penenang dengan dosis tinggi. "Nisa sadarlah, aku janji akan melakukan apapun asal kamu sembuh. Aku ingin melihat kamu kembali bersama anak-anak. Aku akan pergi m
PoV Denis."Denis, kapan kamu nikah?" tanya Om Beni saat tengah kumpul keluarga."Nanti, Om. Belum ada yang cocok!" jawabku jengah, karena selalu hal itu yang di tanyakan saat bertemu. Seperti ngga ada pertanyaan lain saja!"Sampai kapan, Den! Usia kamu sudah tak muda lagi loh!" sambung Om Beni. Malas sekali meladeninya, ini yang membuat aku malas saat berkumpul dengan keluarga. Papa hanya diam, hanya dia orang yang tak pernah menuntut ku tentang pernikahan. Sedangkan Mama! ia sebenarnya lebih cerewet dari Om Beni."Den, Mama kenalin sama anak temen mama ya, Mama kenalin sama si A, Mama kenalin sama si B!" Sampai pusing aku dengarnya. Sekali dua kali aku ikuti kemauan mama.Sesi perkenalan lancar, sesi pendekatan? Rata-rata gagal total karena mereka menganggap aku aneh, mencintai mahluk berbulu. Kucing!Kadang ada yang juga masih mau menerima tapi aku tahu dia hanya pura-pura. Aku yakin orang tuanya memaksa untuk tetap bersabar sampai menikah denganku. Aku dengar saat mereka tengah m
"I-itu hanya masalah kecil saja, Man. Tak perlu di ungkit lagi!" jawab Ibu makin membuat penasaran. Apa mereka punya hubungan atau mereka mantan kekasih."Bu, menceritakan masa lalu pada anaknya itu ngga salah. Anggap saja sejarah!" Aku masih coba membujuk.Ibu mengeleng kepala dan melanjutkan menyiram tanaman."Kamu itu! Udahlah, sana pergi makan!" Ibu mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tak peduli, aku harus tahu masa lalu mereka."Jangan-jangan Ibu dan Bapak Nisa pernah ...." Aku tak melanjutkan kata-kataku, tapi dua jariku kusatukan menandakan bahwa mereka pernah berdekatan."Apa maksud kamu? Kamu pikir Ibu sama Mertuamu itu pernah pacaran begitu?" Aku mengangguk.Ibu menonyol kepalaku, "kamu itu pikirannya negatif Mulu!"Aku terkekeh, "abis Ibu tak mau cerita!""Baik, biar ibu ceritakan. Tadinya ibu sudah berusaha memaafkan karena melihat besarnya cintamu pada Nisa. Tapi, karena kamu memaksa ....""Udah ayo cerita, Bu! Jangan kepanjangan ceramahnya!" Kupotong ucapan Ibu yang bel
PoV NisaAku harus mencari pengganti Ningsih, dia bilang kemarin sempat cek pakai testpack di kamar mandiku dan terlihat dua garis walau agak buram. Saat aku mencarinya, ketika dia menyuruhku untuk mamastikan. Nyatanya sudah tak ada.Beruntung dia, setelah lama mengidamkan anak dalam pernikahannya akhirnya ia dapatkan juga. Penuh syukur.Namun, tetap berimbas padaku, aku harus mencari baby sitter baru untuk anakku. Karena Ningsih ingin benar-benar bed rest.Kesal dengan semua ulah Mas Arman! Dia itu makin menyebalkan. Beruntung aku punya teman macam Pak Denis, kita itu satu alur. Sama-sama pecinta kucing."Kamu suka kucing dari dulu, kenapa tak memelihara?" tanya Pak Denis waktu kami tengah bermain dengan ratusan ekor kucing yang super gembul.Aku menggaruk kepala, seketika ada kutu hinggap."Anu, Pak! Suamiku tak suka, bahkan dia jijik katanya." Kukatakan saja sejujurnya. "Benarkah?" Pak Denis terlihat tak yakin, sesaat sepertinya ia tengah berfikir."Bagaimana kalau kamu bawa aja b