"Ha ... Haa ... Haa ...!"
Tawa riuh para tamu yang hadir, membuat aku yang hampir kehilangan kesadaran langsung pulih. Mataku kembali terang. Aku harus menyelamatkan Syasya dari ejekan para tamu yang hadir. Apalagi ada petinggi di perusahaan ku. Pak Denis, selaku direksinya. Bisa malu tujuh turunan aku.
Segera aku menuju dimana Syasya berdiri. Ia terlihat heran dengan semua orang yang tertawa melihatnya. Tak sadarkah dia? Jika riasnya menyerupai Kuntil beranak atau badut ulang tahun?
"Sini, Sya!" Aku menarik tangannya dan membawanya masuk kekamar. Terlihat perias itu tengah tertawa terbahak sendiri di dalam kamar.
"Kamu!" Hardikku padanya yang langsung direspon dengan dia beranjak berdiri.
"Apa yang kamu lakukan pada istriku!" Aku mulai memarahinya, tak peduli lagi suaraku terdengar sampai kedepan.
"Aku hanya mendandaninya saja, Pak! Bukankah dia minta gratis," ucapnya tanpa rasa berdosa.
"Arrggghhh ...!" Tiba-tiba Syasya berteriak.
"Sya!" Aku langsung berusaha menenangkannya. Bahkan dia langsung memelukku erat, membuat seluruh make-upnya nempel pada baju putihku.
"Mas! Ada kuntilanak di kaca, Mas! Lihatlah, aku takut, sebesar ini baru melihat rupa Mbak Kunti jelas sekali!"
Astaghfirullah ... Aku menyebut dalam hati, apa Syasya masih tak sadar jika ia di dandani dengan riasan seperti itu?
"Sya ... Istighfar!" ucapku menenangkannya. Ia bangkit, kemudian dengan takut takut kembali kecermin. Kali ini dia tak ketakutan, walau make-upnya sudah acak-acakan lebih parah dari tadi, tapi sepertinya ia sadar jika yang di cermin adalah dirinya.
"Kamu, Mbak!" Kali ini Syasya terlihat marah, rahangnya mengeras dan tanganya mengepal. Dia berbalik badan, sorot matanya saja aku yang melihatnya bergidik ngeri.
Mbak perias ketakutan, ia melangkah mundur saat dengan langkah pasti Syasya mendekatinya.
"Ka-ka-kaburrr!" Perias itu langsung membuka pintu dan keluar dengan berlari. Aku mencegah Syasya agar tak mengejarnya sampai kedepan. Bisa jadi bahan lelucon lagi dia.
"Sudah, sudah, Sya! Lagian kenapa kamu ngga ngaca dulu sebelum keluar?" tanyaku sedikit menyalahkannya juga.
"Kata dia, pengantin itu saat di rias ngga boleh ngaca. Biar hasilnya mangklingi katanya!"
"Dan kamu percaya?"
"Ya iyalah, aku percaya. Karena baru kali ini aku kawin, eh salah ... Menikah."
Aku mengeleng kepala, memang aku mengira jika Syasya itu sedikit oon, seperti kurang satu ons otaknya. Aku menghembuskan nafas berat.
"Ya sudah, lebih baik kamu cuci muka. Kita keluar lagi. Kamu dandan sendiri saja juga bisa kan?" Ia mengangguk. Kemudian langsung masuk kekamar mandi. Aku menunggu di tepi ranjang.
Aku bermain HP saja saat menunggu Syasya selesai. Aku tak ingin meninggalkannya barang sedetik, takut Nisa mengerjainya lagi dan membuat malu semua yang ada di sini.
"Sedikit cepat ya, Sya!" ucapku tanpa menoleh padanya.
"Iya, sabar kenapa, Mas! Aku kan mau jadi permaisuri satu hari, jadi harus sempurna dan kalau mau sempurna ya ngga cukup satu jam!"
"Apa!" Aku membelalakkan mata, bagaimana bisa dia bilang ngga cukup satu jam, sedangkan aku melihat jam di pergelangan tangan saja sudah menunjukan setengah sepuluh. Kalau dia menghabiskan waktu dua jam, berarti tengah malam baru selesai dan hasilnya tamu sudah dulu pulang saat Syasya keluar dari kamar ini.
"Udahlah, Sya! Yang sederhana saja! Ngga enak kan ninggalin tamu. Mereka itu kepengen ketemu sama kamu. Aku juga ingin selalu di samping istriku ini walau ...." Aku mengantung ucapanku.
"Walau apa, Mas?" Dengan cepat Syasya berbicara.
"Walau aku kecewa sama kamu, karena nyatanya kamu sudah di gilir beberapa laki-laki."
Syasya beranjak berdiri, dia sepertinya ngambek dan akan keluar. Namun, dengan sigap aku langsung menarik tangannya. Memeluknya erat.
"Maafkan kata-kata mas. Bukan maksud apa, tapi hanya sedikit rasa kecewa. Mengertilah. Mas bukan manusia sempurna tapi semua masih bisa di perbaiki. Jangan ulangi hal semacam itu. Apa kamu mau janji sama mas, Sya? Biarkan itu menjadi masalalu mu yang tak perlu kamu ulangi!"
Syasya mengangguk, matanya sudah seperti kepiting, hampir tumpah ruah ke wajah. Aku segera menghentikan agar tak sampai menangis. Kalau tidak, bakal lama lagi bermake-up. Apalagi itu maskara luntur.
Sebenarnya kecewaku pada Syasya teramat dalam, apalagi mendengar penjelasan para mantannya yang bilang jika Syasya itu wanita berjiwa sosialita. Apa mungkin? Bagaimana jika benar? Apalagi hajiku harus kubagi dua. Tentu Nisa lah yang harusnya lebih besar karena dia mempunyai kebutuhan untuk anak-anak. Namun, melepas Syasya begitu saja juga sudah tak mungkin. Yang ada nanti Nisa berkepala besar dan akan sombong juga bersikap semena-mena. Duh! Begini sekali nasibku ini.
"Ayuk, Mas!" Aku terbuyar dari lamunan saat Syasya mengandeng tanganku untuk segera keluar menemui para tamu. Pasti mereka setuju.
Kali ini aku keluar, mataku heran saat lampu rumah temarau. Musik mengalun dengan lembut dan ....
"Pesta topeng! Semua orang di wajibkan mengenakan topeng." Kubaca tulisan yang bertengger di papan. Nisa! Apa-apaan lagi? Kalau tahu pakai topeng, tak perlu aku menunggu Syasya dandan terlalu lama.
Kuambil sebuah topeng, terlihat Syasya membelalakan mata saat melihat semua orang juga mengenakan topeng berbagai wajah.
"Aku harus mencari Nisa!" gumamku, melangkah memecah kerumunan orang-orang yang tak tahu siapa.
Pandanganku tertuju pada dua insan yang tengah mengobrol mesra. Seorang lelaki menjawil dagu wanita yang kuyakini dia adalah Nisa. Apa-apaan dia!
"Nisa!" Aku geram sekali, bagaimana bisa dia mulai ganjen dengan laki-laki lain selain aku!
===???!!!!===
Apa-apaan! Dia pikir karena aku sudah punya Syasya, dia jadi bebas dengan lelaki lain? Enak saja! Murahan sekali dia, tak jauh beda kalau begini dengan Syasya.Kutarik tangan Nisa untuk segera menjauh dari laki-laki kegatelan itu. Tanpa permisi ataupun berbasa-basi. Kalau seperti ini keadaannya, lebih baik dia aku kurung saja!Laki-laki itu mengejar, dia membuka topengnya yang ternyata adalah Hari manager juga di perusahaan ku bekerja. Manager personal tepatnya."Apa kamu? Jangan mentang-mentang aku punya istri lagi kamu bebas gangguin istriku, RI!" Aku mendorong tubuhnya yang berusaha melepaskan tanganku dari Nisa.Hari tak mau kalah, dia tetap berusaha untuk melepaskan tanganku. Semua orang sudah berkumpul melihatku. Aku masa bodoh. Pokoknya tak ikhlas jika Nisa dengan laki-laki lain selama masih menjadi istriku."Lepaskan, Ar! Dia ...!" Hari terus saja ngeyel."Mas." Dari belakang ada yang mencoba menepuk pundakku. Aku tak peduli, aku harus jauhkan Nisa dulu. Kudorong kembali tubuh
"Maaf, Pak! Jangan campuri urusan keluargaku. Aku hanya mendidik istriku agar tak kur*Ng ajar!" Aku sudah betul-betul emosi, lelah! Padahal belum ada sehari aku membawa Syasya satu rumah dengan Nisa."Ini menjadi urusanku ketika kamu sudah mulai ringan tangan kepada perempuan! Kamu sudah keterlaluan memperlakukan dia, Man. Dia sudah berbesar hati menerima poligami tapi kamu justru makin semena-mena!" Lagi, Pak Denis seperti membela penuh pada Nisa. Aku makin curiga mereka memiliki hubungan."Tapi yang ia lakukan sudah salah! Dia membawa barang haram kerumah!" Aku tak mau disalahkan."Kamu yang harusnya mikir, tanyakan apa benar dia yang membawa minuman itu kesini dan memberikan pada Syasya?!""Tak perlu, aku sudah tahu semuanya, dia biang kerok dari semua masalah, bahkan Tek segan mempermalukan Syasya didepan semua orang." Aku kembali menarik tangan Nisa. Nisa tak melawan tapi tatapan matanya sudah menyiratkan kemarahan besar. Bodo amat!"Kamu!" Pak Denis maju, mencekal kerah bajuku d
PoV Nisa."Nis! Aku pulang ...." Suara Mas Arman dari arah pintu langsung membuat aku yang tengah sibuk mengasuh putra kembarmu bergegas menyambutnya.Kucium tangannya dengan takzim walau penuh perjuangan, karena kedua tanganku mengendong Al dan El."Anak papa udah mandi?" tanya Mas Arman mencoel pipi Al dan El. "Udah dong, Pah." Aku yang menjawab, kini El berusaha berontak meminta turun dari gendongan.Mas Arman tak membantu, dia malah memberikan tas yang ia bawa. Aku makin kesusahan."Anaknya udah mandi, ibunya masih kumel. Suami kerja disambut sama daster bolong. Emang ngga ada baju lain?" Mas Arman ngedumel sambil berlalu tanpa menatapku.Aku menghela nafas berat. Andai kamu tahu, Mas. Menjaga anak kembar yang sedang aktif-aktifnya itu menguras tenaga. Jangankan untuk mandi, boker aja mesti di tahan sampai mereka atau salah satunya tertidur. Hufh ... Tentu semua hanya aku ucapkan dalam hati."Nis! Buatkan aku kopi!" teriaknya dari depan TV. Aku yang tengah menyuapi Al dan El di d
PoV NisaAku bingung harus mulai mencari dari mana jati diri Syasya. Aku tak terlalu lihai dalam menggunakan medsos. Semua karena aku sibuk mengurus anakku. Tapi, setidaknya aku tahu dan faham.Aku berfikir sejenak. Aplikasi biru!Segera saja aku scroll aplikasi pemilik sejuta umat itu. Tak menunggu lama, aku dapat beberapa nama akun yang sama, tapi aku sudah sangat hafal wajah si Syasya itu.Ketemu! Aku mulai meng-Add ternyata cukup aktif, tak menunggu lama ia meng konfirmasi pertemanan. Mungkin karena aku menggunakan akun Laki-laki hingga responya sangat cepat.Kuscoll statusnya, yang isinya hanya tentang liburan, makan enak dan jalan-jalan. Lebih kebawah, aku menemukan foto dia berjalan dengan laki-laki gagah yang tentunya bukan suamiku. Beruntung dia juga men-tag akun lelakinya. Aku harus cari tau lewat dia. Dari laki-laki bernama Samsul itu, aku tahu banyak tentang Syasya. Ternyata dia adalah korban kesekian kalinya dan semua yang pernah dengan Syasya bukan orang sembarangan tap
Aku mencoba menyusul Nisa kekamar, mungkin aku masih bisa merayu. Tak susah menenangkan wanita yang marah. Cukup peluk dan kecup pucuk keningnya.Klek!Terkunci, Nisa tak ingin aku masuk. Ada rasa sesak didada sini. Biasanya Nisa marah tak pernah mengunci pintu. Apa aku telah membuat ia sangat kesakitan? Bukankah dia bilang sudah ikhlas menerima poligami ini.Aku duduk bersender pada pintu. Masih ada ganjalan hati. Aku menyakiti Nisa dengan menyetarakan derajatnya dengan Syasya yang ternyata hanya wanita bekas jamahan para buaya.Mataku panas tapi tak ingin menangis. Aku laki-laki, masa cengeng begini. Aku beranjak tapi rasanya sama sekali tak ingin pergi kekamar Syasya. Aku rindu Nisa bukan Syasya.Kujatuhkan bobot di sofa, tak peduli dengan keadaanya yang isinya sampah berserakan. Gelas dan piring kotor menumpuk pada sofa yang aku tiduri. Lelah! Bukan hanya raga tapi juga hati."Arman! Kamu baru satu minggu menikah dengan Syasya dan baru beberapa jam membawa Syasya kerumah ini. Sud
Benar saja, sampai sore belum ada tanda-tanda kepulangan Nisa, mana Al dan El rewel. Dikit-dikit minta minum dikit-dikit minta makan, sekarang ngga tahu minta apa karena semua nangis kejer."Mas, bagaimana si ini? Mereka nangis Mulu!" Protes Syasya sambil mendengus."Ngga tahu nih! Kamu perempuan kan harusnya lebih tahu," jawabku. Aku aja jarang melihat mereka begini, biasanya kalau libur aku lebih suka menghabiskan waktu bermain game."Coba telfon ibunya, Mas. Kita ini pengantin baru. Bukannya kelonan malah di suruh jaga anak. Padahal Mas sudah bolos kerja hari ini. Aku sudah senang kita bisa main kuda-kudaan lagi!"Benar yang di katakan Syasya. Harusnya kan begitu. Hari ini aku sebenarnya harus masuk kerja tapi membolos karena tadi bangun kesiangan juga masih tak enak dengan kejadian semalam."Hallo, Nis! Kamu di mana?" tanyaku saat telfon Nisa di angkat."Iya, Mas. Aku sedang belanja nih. Masih banyak yang harus kubeli." Dari sebrang sana Nisa menjawab."Tapi ini Al dan El nangis!"
"Bagaimana bisa? Coba kamu ingat-ingat, Mas. Sini dompetnya biar aku cari. Siapa tahu terselip saat kemarin kita membayar sesuatu." Syasya mengoceh, aku pusing dibuatnya. Pikiran stres. Bagaimana bisa? Seingatku aku kemarin menaruh ditempat biasa dan belum aku keluarkan kecuali ....Ya! Malam tadi aku mengeluarkan dompet dan menaruhnya di meja. Apa mungkin terjatuh?"Bagaimana, Mas? Mau selesaikan pembayarannya?" Kali ini kasir berkata, mungkin karena dibelakang sudah banyak yang mengantri.Bagaimana ini?"Gini aja, Mba. Saya ATM-nya ketinggalan, bisa tidak kalau sistem tranfer. Kebetulan saya ada M-banking-nya." Sedikit Mbak kasir berfikir."Kalau menurut prosedur si ngga bisa, Mas. Harus di gesek disini sebagai tanda bukti juga.""Pliss deh, Mba!" Aku memohon dan memasang wajah memelas."Bagaimana ya? Paling bisanya Mas tranfer ke saya lalu membayar dengan menggesek ATM saya. Tapi ....""Ya sudah gitu saja ngga papa, Mbak. Nanti aku lebihin." Aku sedikit senang karena punya harapan
PoV Nisa."Baik! Nanti kita ketemu di kantor ya, Bu!" Aku menutup sambungan telfon dari Bu Maria--Direktur utama-- di perusahaan Mas Arman.Setelah mendapat kata talak semalam dari Mas Arman. Itu artinya mulai hari ini aku mandiri, setelah apa yang di sampaikan Bu Maria waktu itu, membuat aku untuk menerima tawarannya, sekaligus biar Mas Arman tahu kalau aku bisa lebih hebat dari dia."Laki-laki hebat memang butuh seorang wanita tapi wanita hebat tak butuh laki-laki." Kata itu yang terngiang di pikiranku sejak aku dekat dengan Bu Maria. Dia juga lah yang membuat drama seolah Pak Denis memperjuangkan ku. Nyatanya semua hanya sandiwara. Mana mau seorang Direksi mau menikahi mantan istri bawahannya?Kali ini aku membawa anak-anak, Bu Maria, wanita berusia 45 tahun itu tak mempunyai anak, hingga sangat suka dengan Al dan El. Bahkan dia ingin Al dan El di titipkan dirumahnya saat aku bekerja. Dia menyiapkan baby sitter khusus untuk kedua anakku.Aku memasuki ruangan Bu Maria, dia telihat