Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua
“Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka
“Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja
“Ke kebun? Lama, Mas? Aku boleh ikut?” tanyaku sambil menatap penuh harap. “Hmmm … Mas takut Adek gak nyaman. Kebunnya di lereng gunung rungkingnya, Dek. Jalannya masih jelek. Di sana banyaknya cowok-cowok semua, nggak apa?” tanyanya tampak ingin memastikan. “Gak apa, Mas.” Aku lekas bangun sebelum Ibu Mertua atau kakak iparku melarang. Bisa mati kutu aku di sini. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil bergegas menuju sepeda motor. Aku mengangguk, lekas berpamitan pada Mbak Rena dan Ibu. Setelah itu, lekas duduk diboncengan Mas Reza. Sepeda motor butut supra X jadul itu melaju pelan. Semilir angin pegunungan terasa menyapu wajah. Aku tak memakai helm. Mas Reza bilang tak ada polisi di sana. Iya lah, di gunung mana ada polisi. Berkendara sekitar dua puluh menitan dengan medan turun naik, akhirnya Mas Reza tiba di sebuah area datar. Sebuah kaki gunung di balik bukit. Akses mobil sudah bisa, hanya saja jalannya memang masih berbatu. Tadi hanya beraspal sampai area wisatanya saja. Tampak hamp
Sore harinya, Mas Reza dan Bapak Mertua pergi. Mereka cuma bilang ada urusan. Namun, aku yakin pasti mereka akan lihat tanah yang akan dijual itu. Karena mereka pergi boncengan, terpaksa … aku gak ikut. Rencananya malam ini, kami akan menginap. Jadinya, bakda ashar, aku sibuk membantu Ibu Mertua memasak. Gak banyak yang dimasak. Hanya menghangatkan semur daging dan masakan lainnya yang pagi tadi dimasak. Ibu Mertua masak banyak, jadi sorenya gak masak lagi. Mbak Rena juga duduk manis di dapur sambil membantu mengupas bawang. Kebetulan Ibu Mertua baru beli tadi pagi dari pasar, belum sempat dibuang kulit luarnya. Kami hanya mengobrol ringan saja. Rupanya, keluarga Mas Reza menyenangkan. Meskipun secara ekonomi, Mbak Rena lebih kaya, tapi dia gak sombong. Padahal aku sudah takut, dia seperti ipar-ipar jahat di novel-novel kbm. Julid, nyebelin dan suka ngihena, eh ternyata enggak. “Waktu nikahan itu, kami minta maaf, alakadarnya banget, Neng. Tiba-tiba saja, Bapak sibuk ngajak buru-b
Puk! Puk! Puk!“Dek sadar, Dek! Dek!”“Astaghfirulloh!” Aku tiba-tiba merasa benda dingin menempel di pipiku. "Astaghfirullah!" Rupanya tangan Mas Reza. Dia menepuk-nepuk pipiku dengan tangannya yang dingin. Eh, aku kenapa? Kesadaranku seperti baru kembali. Tadi aku kelewat kaget. Pikiranku lari entah ke mana dan rasanya mendadak aku tak mendengar apapun selain melihat bayangan uang yang beterbangan. Ya ampuun, sekatro ini aku. “Adek gak usah shock gitu, dipanggil sampe gak nyahut, Mas gak bakal suruh Adek jadi tukang kebun, kok.” Mas Reza malah terkekeh santai. Dia mengacak pucuk kepalaku sekilas. “Yang urus kebun Reza sudah banyak, kok, Rin. Kamu gak usah cemas,” timpal Bapak Mertua. Sepertinya dia pun berpikiran sama.Lalu, obrolan pun mengalir lagi di antara mereka. Hanya aku saja yang masih sibuk menghitung-hitung, seberapa kira-kira tabungan Mas Reza selama dua puluh tahun ini. Duh, payahnya aku?*** Kunjungan singkat dari rumah Ibu Mertua, cukup memberikan kesan mendalam
Aku tak habis pikir. Pak RT bisa-bisanya percaya pada aduan Mas Sandi dan Bibiku yang menyebalkan itu.“Pak RT kenapa harus nuduh suami saya?” tanyaku geram. “Karena kami menemukan ini di tempat kejadian!” Suara yang kukenal tederngar. Mas Sandi sudah berdiri sambil menenteng plastik warna hitam. “Apa itu, Mas?”tanyaku sambil menatap tentengan yang Mas Sandi bawa. “Ini bukti telak kalau Mas Reza memang pelakunya!” tutur Mas Sandi sambil membalikkan plastik keresek hitam yang dia bawa dan terjatuhlah isi di dalamnya. Lalu terjatuh sebuah sarung. Aku menatap pada sarung yang tergeletak itu. Lalu mendongak dan menatap suamiku.“Itu ‘kan sarung Mas Reza ….”Aku menautkan alis pada sarung dengan warna sudah pudar itu. “Iya, dan ini ditemukan di tempat babi itu menghilang.” Mas Sandi bicara sambil menyipitkan mata. “Gimana, Mas Reza? Apa ada penjelasan? Jujur, semalam ini warga pada meminta saya langsung menggrebek ke sini. Cuma, ya, kan malem-malem, gak enak ribut-ribut.” Pak RT menat
“Mas ngomong apa, si? Rumah siapa yang dua lantai?” tanyaku menatap lekat. “Nggak, Dek. Anu itu, kalau misal nanti Mas ada rejeki, terus beli rumahnya dua lantai. Adek mau ‘kan nempatinnya?” tanyanya lagi. “Aduh, Arin, Reza! Bibi pulang dulu, ya! Males banget dengerin halu kalian! Nanti Bibi undang pas acara syukuran rumahnya si Mia. Sembuhin dulu tuh, halunya suami kamu, Rin!” Bi Icah masih tertawa-tawa, seolah perkataan Mas Reza itu penuh kelucuan. Dia pun melenggang pergi dan membawa brosur-brosur gambar rumah yang tadi dia bawa ke sini. Aku baru hendak bicara lagi pada Mas Reza, ketika tiba-tiba Bi Icah menghentikkan langkahnya. Dia memutar tubuh, lalu berjalan mendekat dan menepuk bahu Mas Reza. “Eh, Reza. Kalau kuli bangunan di rumah bekas Pak Lurah itu sudah selesai, boleh nanti kerja bantu-bantu bangun renova rumah Si Mia. Bibi nanti bilangin Sandi, biar sisain satu jatah kuli buat kamu. Kasihan, si Arin. Senggaknya kamu bisa bantuin nyari nafkah juga. Masa iya istri kerja