Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya?
Aku pun mendekat sambil membawa satu bungkus keripik singkong seharga lima ribuan. Sudah kubuka dan kumakan setengah tadi. Mas Reza tersenyum ketika melihatku datang.“Loh, Mas kira, Adek masih di dalem, lagi zikir.”Aku hanya tersenyum saja. Bingung mau komentar apa. Selama ini, aku lagi rajin zikir kalau ada maunya saja, biasanya. Tepatnya kalau lagi susah saja.“Lagi jajan, Mas. Hmmm … siapa yang tadi?” tanyaku sambil menunjukkan keripik singkong di tangan. Hanya menunjukkan, tapi tak menawarinya. Cuman dikit soalnya.“Oh itu, teman lama, Dek.” Dia bicara santai.Seketika aku kecewa, padahal tadi sudah berharap-harap kalau ternyata Mas Reza adalah orang kaya yang lagi menyamar, misalnya.Duh, kebanyakan baca novel di KBM jadi halunya kebawa ke dunia nyata. Bukannya sudah jelas, Mas Reza memang gak ada kerjaan tetap, katanya.Ya sudahlah, aku gak mau bahas lagi. Yang penting, Mas Reza tetap mau kerja keras menafkahi aku nantinya.Kini, dia masih berhutang penjelasan dari mana uang-uang yang dia belikan perabotan dan juga dibuat bayar utang ke Ibunya Mas Sandi. Pulang nanti, jelas akan ku interogasi.Kami tiba di depan rumah Mas Sandi. Rumahnya dua tingkat. Memang jauh lebih bagus dari rumahku. Keluarganya juga punya kontrakan, kalau tak salah sepuluh pintu. Katanya warisan dari kakeknya. Karena itu, Ibunya merasa jumawa. Anaknya bergaji, kontrakan juga ada, jauh dari pada keluargaku yang alakadarnya.Bu Ambar mempersilakan kami duduk. Aku bersisian dengan Mas Reza duduk pada sofa di ruang tamu. Mas Reza langsung mengeluarkan uang yang tadi diambil dari ATM dan diserahkan pada Bu Ambar.“Ini uang asli, ya, Bu! Kami ambil di ATM tadi. Jadi utang mertua saya sudah lunas ya.”Wajah Bu Ambar tampak ditekuk. Apa sebenarnya dia sama Mas Sandi ngira kalau Mas Reza itu bego, ya! Pura-pura gertak itu uang palsu, biar Mas Reza yang kampungan ini takut, terus bayar lagi dua kali. Ish, jahat sekali kalau begitu.Bu Ambar pun tak ada komentar apapun. Dia langsung menerima lembaran merah itu dan menghitungnya. Lalu setelah, dia selesai dan merapikan uang itu lagi. Mas Reza bertanya.“Gimana, Bu Ambar, pas uangnya?”“Iya, makasih.”“Pas nggak, ya, Bu?”“Iya, Pas. Makasih.”Bu Ambar bicara dengan ketus. Seperti tak suka kalau Mas Reza nanya-nanya.Namun, mendengar jawaban itu, Mas Reza malah menyodorkan tangan ke arah Bu Ambar.“Bu Ambar, coba saya bantu hitung lagi. Soalnya tadi saya kasih lebihan satu juta rupiah. Anggap saja uang terima kasih, soalnya Bu Ambar sudah pinjemin mertua saya dulu. Cuma kok jadi pas, ya?”Bukan hanya Bu Ambar yang terkejut, aku juga sama. Pantas saja uang itu terlihat ada 6 tumpuk tadi. Rupanya Mas Reza memberikan lebihan.“Oh, masa? Gak usah, biar saya hitung lagi nanti.” Dia terlihat sewot. Lalu menarik lembaran uang itu ke atas pangkuannya.Aku melirik ke arah Mas Reza. Diapun rupanya sedang menoleh padaku. Sorot mata kami bertemu, sepertinya kami satu hati, kami sama-sama mengangguk. Lalu kami berpamitan.“Adek ada yang mau dibeli nggak?” tanyanya. Sepeda motor sudah meninggalkan pemukiman Bu Ambar dan kini tengah melewati jalanan yang cukup ramai.“Nggak ada, Mas.” Suaraku berebutan dengan angin yang menyapu wajah.“Kalau Bapak, suka martabak?” tanya Mas Reza lagi.“Ahm, dia sih, apa saja suka, Mas.” Aku menjawab sejujurnya. Bapak bukan pemilih. Dulu, kalau Mas Sandi tengah main, dibawain apa saja, Bapak seneng.“Mending martabak telor atau manis, Dek?” tanyanya sambil menepikan sepeda motornya ke seorang penjual martabak. Lalu kami turun.“Hmmm … telur saja, Mas. Bapak kadang gulanya kambuh, Mas. Jangan yang manis-manis.” Aku mengingat-ingat.“Kayak Adek, ya?” tanyanya sambil berjalan bersisian denganku mendekati gerobak martabak.“Kayak aku, apa, Mas?” tanyaku sambil menatap heran.“Manis.” Dia bicara sambil menunduk. Wajahnya yang tampan, terlihat bersemu merah.Ya Allah, apa dia sedang berusaha gombal? Dia bilang aku manis, tapi dia yang ngegombal, kenapa dia yang mukanya merah, ya? Aku hanya mengulum senyum mengekorinya.“Makhluk apa sebetulnya dia? Kadang emosinya meluap-luap, kadang terlihat pemalu, tampangnya kampungan, tapi isi otaknya tak bisa kutebak.” Aku bergumam sendiri dalam hati sambil mendekat ke arahnya yang baru saja duduk pada kursi plastik. Dia menarik satu kursi dan menepuknya.“Duduk, Dek!”Aku pun menurut saja lalu duduk di sampingnya. Tak banyak obrolan terjadi selama memesan martabak ini. Aku sibuk dengan isi pikiranku. Banyak sekali hal yang tak kutahu tentang dirinya. Begitu sembarangnya aku milih suami hanya karena sudah pada titik lelah.***Sepulang dari rumah Bu Ambar. Bapak senang sekali dibelikan martabak oleh menantunya. Dia langsung memintaku membuatkan kopi untuk Mas Reza. Alhasil, kesempatanku untuk menanyai suamiku, kembali dipinjam Bapak.Aku duduk termenung di tepi tempat tidur. Kuusap dipan baru dengan kasur empuknya ini. Perabotan lamaku tadi siang dibereskan dan disimpan di ruangan kosong yang dijadikan tempat barang.Kantuk mulai datang. Aku berjalan mondar-mandir ke depan. Namun, Mas Reza sama Bapak malah lagi main catur. Asap mengepul, kopi-kopi mereka terlihat sudah hampir tandas. Martabak dalam kotaknya, sisa setengah. Aku gak mau tidur duluan, aku masih penasaran dengan Mas Reza dan menunggu penjelasannya.“Hadeuhhhh, Bapak! Mau sampai jam berapa, sih, pinjam dia.” Aku hanya menggerutu dalam dada. Kini aku berdiri di ambang pintu, sambil memberengut dan menatap Bapak dan Mas Reza yang asik duduk di teras berdua.“Ehmmmm, Bapak! Sudah malam! Reza mau istirahat lah, Pak! Ganggu pengantin baru saja, sih!” Suara Ibu bukan hanya membuat Bapak dan Mas Reza menoleh. Aku juga. Wajahku terasa panas. Rasanya malu. Ibu pasti mikirnya, aku sedang nungguin Mas Reza sampai-sampai berdiri mematung di ambang pintu seperti ini. Eh, iya, juga, sih …tapi pasti pikiran Ibu yang iya-iya, duh malunya.Bapak menoleh, aku buru-buru memutar tubuh dan meninggalkan Ibu yang berdiri di dekatku. Panas rasanya wajah ini, mungkin sudah merah seperti tomat. Lekas aku masuk ke dalam kamar.Tak berapa lama, kudengar derit pintu terbuka. Mas Reza muncul, sorot mata teduh itu menatapku.“Adek nungguin, Mas? Maaf, ya, tadi Bapak ngajak main catur,” tukasnya sambil mendekat.Aku kenapa mendadak gugup. Lalu, kugaruk kepala tak gatal. Aku baru hendak turun dari tepi ranjang ketika Mas Reza mengulangkan tangannya.“Adek disitu saja, biar Mas duduk di sini!” Kukira dia mau duduk di tepi tempat tidur. Eh, rupanya di kursi meja rias. Dia seperti paham, aku masih canggung kalau harus berbagi tempat tidur dengannya.“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya.“Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.“Jadi, gini, Dek ….”Manusia hanya mampu merencanakan, sedangkan Tuhan yang menentukan. Seperti kabar kalau Sandi yang kini ditangkap polisi karena kasus kekerasan, Bi Icah yang terkena stroke dan Mia yang kini nasibnya terkatung-katung tak karuan. Ibunya Sandi yang dulu selalu membangga-banggakan putranya itu pun gaungnya mulai menghilang dan seperti aku, yang masih setia menunggu diberikan keturunan. Perlahan tapi pasti. Garisan nasib bergerak perlahan. Semua bergerak mengikuti ketentuan-Nya, bukan hanya berdasarkan keinginan dan rencana manusia. Kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Kondisi ekonomi kami pun melaju pesat. Toko sembakoku, kini sudah mulai membuka cabang. Tika kupercayakan sebagai pengelola di sana. Meskipun awalnya aku menawari Bapak, tetapi dia menolaknya. Katanya, tak ingin hidup bergantung pada menantu. Jadi, Bapak masih menekuni jaga parkiran. Baginya, hidup mewah itu bukan tujuan. Katanya melihat anaknya sudah hidup mapan pun, sudah menjadi kebahagiaan.Ah, bahagianya hidupku pun
Bab 50 – Pov Sandi“Mas tolong anterin pesenan ke meja nomor 57!” tutur Silvi, teman satu shiftku sambil menempelkan catatan pada tepi meja orderan. “Oke.” Aku mengangguk sambil memeriksa apa saja yang dipesannya. Lekas aku menghubungi bagian dapur dan meminta disiapkan menu-menu yang akan kuantar. Sementara itu, Silvi tampak sudah kembali ke depan dan menghampiri meja lainnya.Makanan yang dipesan untuk meja nomor 57 sudah berada di atas nampan. Aku lekas mengayun langkah cepat mengantarnya. Sepertinya hanya makan siang kecil, orderannya pun tak banyak. Bisa aku sekali antar. Dalam jarak beberapa meter, terlihat dua orang yang sedang duduk. Rasanya familiar, tetapi memang para tamu di sini sering datang berulang. Jadi, mungkin salah satu tamu yang datang ke sini. Hanya saja anggapanku langsung terbantah ketika suara yang tak asing itu memanggil namaku. “Sandi?” Pertanyaan spontan itu membuat aku seketika mendongak dan sepasang netra kami saling bertemu. Rasanya dunia berhenti b
“Mbak! Mbak Arin!” Baru saja kami tiba setelah makan siang ketika Aryo tergopoh menghampiri. Wajahnya terlihat pucat seperti orang ketakutan. “Kamu kenapa kayak orang ketakutan gitu, Yo?” “Anu, Mbak Arin! Tadi Pak RT mau pinjam mobil!” “Kenapa gak nelepon saja?” “Sudah, Mbak Arin! Tapi gak diangkat. Ke Mas Reza juga gak diangkat.” Lalu, serempak kami sama-sama mengecheck ponsel. Rupanya benar ada miscall dari Pak RT. “Oh, iya, Yo. Gak keangkat. Kami lagi di jalan kayaknya tadi. Pak RT ada apa, ya? Mas telepon balik, takut penting!” Aku menoleh pada Mas Reza. “Anu, Mbak, Mas! Pak RT mau bawa Mbak Mia ke rumah sakit. Percobaan bunuh diri, katanya!” tutur Aryo. “Astaghfirulloh!” Kompak aku dan Mas Reza beristighfar. Kutatap wajah Aryo lekat-lekat. “Yang bener, Yo?” tanyaku. Aryo mengangguk. Cuma Mas Reza kudengar mulai berbicara di telepon. “Hallo, Pak RT! Maaf, kami lagi diluar tadi!” “Oh, sudah dapat mobilnya … di rumah sakit mana, Pak RT? … Oh syukurlah … Wa’alaikumsalam!
Penjaga toko yang dicarikan Mas Reza sudah mulai bekerja. Aryo namanya. Karena sudah ada yang jaga toko, akhirnya, kami pun punya kesempatan melanjutkan kencan kami yang tertunda beberapa waktu lalu. Kuminta Mas Reza mengenakan lagi pakaian yang sudah kupilihkan. Waktu itu dia pakai dan terlihat keren.“Kenapa Adek beliin Mas baju-baju kayak gini, Dek? Mas nggak nyaman.” Mas Reza tampak celingukan menatap celana tiga perempat yang membuat betisnya yang berbulu lebat itu kelihatan. Baju kaos berkerah yang ukurannya pas badan membuatnya terlihat gagah. Sejak setengah jam lalu dia sudah memakai setelan itu, tapi terlihat tidak percaya diri. “Mas ganteng kalau pake itu.” Aku melirik ke arahnya sambil menyematkan peniti pada ujung kerudung yang kulipat ke dada. “Oh begitu? Cuma memang nggak nyaman loh, Dek.” Dia tersipu, tapi tetap terlihat kikuk dengan setelan yang sudah dia kenakan. “Waktu itu juga Mas pake, tapi makin lama, makin malu. Nggak nyaman pada dilihatin ibu-ibu.” Dia tersip
Getaran ponsel yang tergeletak membuatku terperanjat. Menarik pikiranku yang sedang jalan-jalan ke masa lalu kini kembali mendekat. Rupanya telepon dari sebuah nomor baru. Siapa, ya? Aku pun lekas mengangkatnya. “Hallo!”“Arin!” Suara itu.“Firman?” “Arin, aku mau bicara, tolong buka blokir nomorku!” Tut!Aku langsung menurunkan ponsel dari telinga dan kututup. Dalam hitungan menit, nomornya sudah kublokir lagi. Maaf, Firman. Kesalahanmu sudah terlalu fatal. Untuk kali ini, aku tak bisa lagi untuk mentolerir hal itu. Bahkan, aku tak sudi lagi memanggilmu dengan embel-embel Mas seperti dulu. Setelah itu, aku kembali melanjutkan aktivitas. Ini nomor ke sekian yang menelponku dan aku pun memblokirnya. Aku tak memberitahu Mas Reza. Aku tak ingin dia teringat kejadian memalukan itu lagi. Bayangan Firman yang melepas pakaiannya, seringainya yang menjatuhkan dan setiap kalimatnya yang membuatku seolah-olah perempuan murahan, aku benci. “Adek, sore nanti Mas mau ajak pergi.” Aku menol
“Pak Ustadz, acara syukuran mobilnya dimulai kalau Reza sudah datang, ya! Mobil ini hadiah dari Ibu buat menantu Ibu yang cantik ini. Semoga Arin suka, ya!” Aku masih terbengong-bengong, sesekali kucubit punggung tangan. Ini masih terasa mimpi. Tiba-tiba aku punya mobil? “Tuh Reza, Bu!” Mbak Resa, kakak pertama Mas Reza yang ternyata juga datang, membuka suara. Ini pertemuan pertama kami. Wajahnya sangat mirip Mbak Rena, sebelas dua belas. Bahkan tak terlihat kalau dia lebih tua, mereka seperti sepantaran. “Alhamdulilah, orangnya sudah sampai, Pak Ustadz! Kalau begitu, acaranya dimulai saja Pak Ustadz.” Ibu Mertua bicara sambil menoleh ke arah Mas Reza. Lalu setelah itu dia kembali duduk di sampingku. Pak Ustadz pun menoleh ke arah Mas Reza yang mendekat. Dia mengangguk saja dan tersenyum lalu memulai kajian. Yang diundang tak terlalu ramai. Hanya ada sekitar dua puluh orang, para tetangga yang dekat-sekat saja dan keluarga. Hidangannya nasi kotak, Mbak Resa yang pesan, jadi pagi