Setelah selesai membereskan pekerjaan, Hani bergegas keluar dari kediaman mewah majikannya. Hani melewati taman belakang, dan berjalan santai menuju ke arah kamarnya. Jarak menuju kamar pelayan memang sedikit memakan waktu kurang lebih tiga menit.
"Ehem." Suara deheman seorang pria mengagetkan Hani, dan dia menoleh."Ka--mu?" Hani melonjak kaget, dan mendekapkan tangan di dadanya."Kenapa? Kamu kangen sama aku?" tanya pria itu tanpa basa basi. Melangkah maju mendekati Hani yang kini terpaku berdiri, masih belum mengusai keadaan, akibat rasa kagetnya."Bukan begitu, aku hanya kaget dengan suara kamu," jawab Hani asal."Oh." Pria itu mendengus kesal, melihat reaksi kaget Hani, yang terlalu berlebihan baginya.Pria itu lalu berdiri sejajar dengan Hani, sambil bersiul pelan. Entah kenapa keduanya diliputi rasa canggung yang tiba-tiba. Tak tahu harus berbicara apa lagi.
Hani teringat dengan tujuannya jika bertemu dengan pria itu lagi. Perlahan dia mengambil sapu tangan dari balik saku bajunya dan menyodorkannya pada pria itu.
"Tadi siang, aku berniat mengembalikannya pada kamu di pos depan. Tapi, di sana penjaganya tak ada kamu. Akhirnya, aku bisa menemukan kamu. Mencari keberadaan kamu, seperti mencari jarum di tumpukan jerami," gerutu Hani."Apa? Kamu mencari aku di pos jaga?" Pria itu bertanya pada Hani sambil tertawa lebar."Kok kamu malah ketawa, apa ada yang salah? Terus, aku harus mencari kamu ke mana, dong?" tanya Hani polos. Tak mengerti ke arah mana letak kelucuan yang menyebabkan pria di hadapannya tertawa."Memangnya kenapa kamu begitu yakin kalau aku berada di depan pos jaga. Hum?""Terus biasanya, tempat peristirahatan tukang kebun di mana?" tanya Hani polos--lagi."Hahahhahahahhaa"Pria di hadapan Hani tertawa keras hingga memegang perutnya. Sambil tertawa, pria itu berpikir Hani memang benar-benar berbeda. Antara polos dan lugu memang beda tipis. Sekali pun pria itu menyadarinya, tapi entah kenapa lagi pikiran pria itu merasa nyaman berlama-lama berbincang dengan Hani.
Setelah tawanya berhenti, pria itu bertanya pada Hani, "Kenapa kamu bisa berpikir aku berada di sana?""Ya cuma itu saja tempat yang bisa aku tanyakan."
Pria itu menggelengkan kepalanya. Merasa lucu dengan jawaban Hani. Tapi, jawaban Hani selalu berhasil mengusik semua kecanggungan di antara mereka."Habisnya aku lupa menanyakan siapa nama kamu. Tadi siang pas aku ke pos jaga berniat mengembalikan sapu tangan kamu, mereka bertanya, "Mau cari siapa?" Aku bingung dong mau jawab apa.""Niko." Pria itu mengulurkan tangannya pada Hani.Hani menatap lama mata pria itu. Tak ada raut yang menunjukan penipuan dari sana. Namun, ada rasa sedikit ragu memang dalam hati Hani.Mungkinkah pria ini memiliki tujuan jahat dalam hatinya?
Dengan hati-hati, akhirnya Hani memutuskan menerima ajakan pertemanan pria itu. Hani menyambut tangan Niko dan bersalaman dengannya.
"Hani.""Mulai sekarang, kita adalah teman baik. Saling percaya dan terbuka berbicara masalah masing-masing. Dan, jangan cari aku lagi di depan pos jaga atau tempat peristirahatan tukang kebun yah," ungkap pria itu serius."Terus ke mana dong?""Nggak usah cari aku. Kita akan sering bertemu di sini setiap malam.""Kenapa harus malam? Kalau siang, kamu ke mana? Apa kamu hantu?" Hani bergidik ngeri membayangkan dia sedang berbicara dengan hantu.Melihat tingkah Hani, Niko tersenyum lucu melihat tingkah Hani. Sungguh, dia tak menyangka keluguan dan kepolosan Hani bisa menghiburnya.
"Aku sibuk bekerja kalau siang Hani," jelas Niko padanya.
"Oh, ternyata kamu bukan hantu. Hanya manusia seperti saya," gumam Hani pelan, sebelum kembali berkata, "oh, iya! Ini, sapu tangan kamu."Niko lalu menerimanya dengan cepat dan berkata, "Terima kasih."
Keduanya lalu duduk di sebuah bangku taman. Tempat di mana kini mereka sering duduk bersama tanpa sadar.
Hani terdiam dan hanya menundukkan kepalanya. Tak tahu harus berbicara apa lagi dengan pria yang baru saja menawarkan diri menjadi temannya.
Pikiran Hani melayang, memikirkan dirinya, dan kepedihan yang dialaminya. Tanpa terasa, air mata jatuh dengan sendiri mengalir di pipinya. Semua pembicaraan majikannya tadi siang menusuk hatinya. Betapa menyakitkan baginya. Sulit dipercaya, bagaimana suaminya begitu lihai menipu dia dan nyonya Greta secara bersamaan."Sudahlah! Kalau aku jadi kamu, aku akan membalaskan rasa sakitku, ketimbang hanya duduk dan menangis seperti ini.""Tapi, bagaimana caranya? Aku nggak tahu," gumam Hani lemas, "lagi pula, bagaimana caranya? Aku nggak tahu. Aku takut melukai orang lain."Niko menggelengkan kepalanya. Tak menyangka masih ada wanita yang begitu memiliki hati seputih Hani. Sepertinya, Hani memang benar-benar polos. Sifatnya sangat lembut, dan tak tega untuk menyakiti orang lain, meski orang lain telah menyakitinya dalam-dalam.Niko membisikkan sesuatu di telinga Hani, terlihat sangat serius. Lalu, Hani mendengarkan dengan seksama dan mengangguk tanda mengerti.Melihat senyum di bibir Hani, Niko juga ikut tersenyum.
Rasanya, Niko sudah mulai bisa mengerti dengan Hani. Hanya perlu kesabaran, dan memberi pengertian agar Hani bisa memahami, apa arti balas dendam yang dimaksud Niko.
Bukan apa-apa, Niko hanya ingin mengarahkan agar Hani bisa menjadi wanita tangguh dan bisa melindungi dirinya sendiri dari perlakuan tak adil orang lain. Mengingat, sifat Hani yang sepertinya mudah diperdaya.
"Sudah, kalau kamu mengerti sekarang aku akan pulang ke rumah."Hani mengangguk, dia juga berdiri tanpa bertanya apa pun lagi dan menuju ke kamarnya. "Ya, aku juga sudah mengantuk. Terima kasih kamu sudah mau menjadi temanku. Kamu adalah orang yang pertama yang mau berteman denganku. Terima kasih juga kemarin malam sudah menolong saya. Jika.tidak, mungkin saat ini saya sudah tak ada di dunia."
Entah mengapa, ada rasa hangat yang mengalir di dada Niko dengan pengakuan polos dari Hani."Terima kasih juga untuk ide yang sudah kamu ceritakan. Semoga, saya bisa melakukan pembalasan dengan cara yang tak terlihat, tapi bisa terasa menyakitkan bagi dia yang sudah melukai hati saya saat ini." Hani kembali berterima kasih. Memang, ide dari Niko buat dia tersadar sesuatu. Jika membalaskan dendam tidak dengan menyakiti secara fisik saja, tapi melakukannya dengan cara yang paling elegan. Bermain halus, sampai tak ada yang mengira kalau dia adalah pelakunya."Tunggu saja kamu, mas! Kamu dan keluarga kamu tak bisa berkutik lagi," ucap Hani. Dia cukup merasa lega sudah mendapatkan nasihat yang terbaik dari temannya.Sementara itu, Niko berjalan pelan menuju ke taman depan dan melewati pos jaga. Terlihat, beberapa orang satpam yang tak sengaja melihat kehadirannya dan menundukkan kepala ke arahnya. Memberi tanda hormat pada sang majikan yang jarang terlihat.Niko mengangkat tangannya dan menyuruh para satpam berhenti menunduk. Kemudian, dia berjalan santai sambil menujukan jari telunjuk di bibirnya. Tanda, dia tak mau diketahui oleh seseorang keberadaannya di tempat itu. Semua satpam dalam pos jaga rumah mewah milik nyonya Greta itu lalu mengangguk dan menuruti perintahnya.Niko kemudian mengarahkan sebuah kunci pada mobil sport berwarna biru terang yang terparkir agak jauh dari rumah mewah itu, dan masuk ke dalamya. Tanpa menoleh lagi, dia segera menancapkan gas, melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota. Mobilnya terus melaju kencang, dengan kecepatan tinggi. Hingga setengah jam kemudian, mobilnya berhenti di area parkir sebuah kawasan apartemen mewah dan terbesar di kota ini.Niko masuk ke sebuah unit apartemen miliknya. Setelah membersihkan diri di kamar mandi dia merebahkan dirinya di atas ranjang empuk miliknya. Mata Niko terpejam, namun yang muncul dalam bayangannya membuat dia tersentak kaget."Hani," gumamnya dalam hati.Kini
"Nggak bisa bu. Apa ibu sudah membuat janji dengan nyonya Greta?" tanya pak Paijo pada ibu Siti."Heh, kamu tinggal buka pintu gerbangnya dan biarkan kami masuk!" perintah ibu Siti seakan dialah pemilik bangunan mewah di depan matanya.Seorang penjaga berinisiatif menelpon nyonya Greta, yang kebetulan sedang berada di kantor. Setelah mendapatkan izin dari nyonya Greta, ibu Siti dan Nita diperbolehkan masuk ke dalam rumah utama. Mbok Rumi lalu membuka pintu depan dan matanya membulat melihat ibu mertua dan ipar sang Nyonya yang sudah terpampang nyata di hadapannya."Apa kami boleh masuk, bi?" tanya Nita yang sudah tak memiliki kesabaran lagi. Namun, dia melengos masuk ke dalam rumah milik kakak iparnya itu dengan tak sopan. Dengan cepat, dia memilih duduk di sebuah sofa di ruangan tamu.Mbok Rumi sepertinya tak perlu repot mempersilahkan tamu spesial sang majikan untuk duduk. Dia memilih berbalik dan akan menuju ke dapur."Bibi!" panggil Nita.Mbok Rumi berbalik ke arah Nita dengan sop
Kisah pertemuanku dengan Greta sudah berlangsung selama tiga bulan. Awalnya, aku melihat mobilnya berhenti di tengah hutan pinus menuju ibu kota. Jalanan yang cukup sepi dan rawan begal. Setelah truk milikku mendekati, ternyata mobilnya memang sedang dipalak oleh beberapa orang begal.Tanpa berpikir panjang, aku menepikan truk yang aku kemudikan. Walau para begal berjumlah lima orang, aku bisa menghadapi mereka satu per satu. Berbekal dengan kemampuan bela diri yang sempat aku pelajari saat remaja dahulu, akhirnya tak membutuhkan waktu yang lama, aku dengan mudah bisa menumbangkan mereka satu per satu. Hingga mereka memilih melarikan diri meninggalkan kami berdua."Te--ri-ma kasih sudah menolong aku. Kalau nggak ada kamu aku tak bisa mengira hidupku akan menjadi apa," ucapnya dengan nada bergetar karena ketakutan. Dan air mata yang berlinang.Wanita di hadapanku sangat cantik dengan penampilannya yang pasti dia adalah orang kaya. Usianya mungkin berbeda jauh di atasku. Meski dia sedang
Hatiku lega. Ternyata, segala rencana yang dirancang oleh ibu dan Nita sangat memudahkan aku, sampai aku menemukan Hani mengirim pesan di aplikasi hijau millikku.[ Mas, uang belanjaku sudah habis. Malam ini sepertinya aku kehabisan beras. ]Begitu bunyi pesan singkat yang dia kirimkan padaku. Padahal, dia hanya hidup sendiri di rumahku. Aku pun jarang pulang. Masa jatah tiga ratus ribu setiap bulan untuknya, kurang? Aku rasa itu lebih dari cukup, kan? Jadi, kudiamkan pesan itu. Biarkan saja dia, siapa suruh tak bisa mengelola keuangan dengan baik?Aku lebih banyak memberi gajiku sebagai supir truk untuk ibu dan Nita. Meski aku menikahi Hani karena cinta, tapi bagiku prioritas utamaku adalah ibu dan Nita. Apa pun yang ibu dan Nita inginkan, aku ingin memenuhi semuanya.Ini adalah bentuk bakti ku pada ibu yang sudah membesarkan aku dan Nita dengan susah payah. Dan setelah dewasa, aku ingin membahagiakan mereka. Tak ada yang bisa aku andalkan dari Hani ternyata. Setelah perjumpaan aku
Seperti malam-malam sebelumnya, Hani keluar dari rumah utama menuju ke kamarnya. Rasa lelah dan mengantuk bercampur menjadi satu. Hari ini, tamu nyonya Greta benar-benar berhasil membuat kekacauan. Sungguh Hani tak bisa mengira, semua kecerobohan mantan ibu mertua dan mantan iparnya lakukan.Perlahan, Hani berjalan menyusuri jalan kecil. Sebenarnya, hatinya sangat terasa tersiksa. Ibu mertua dan ipar yang pernah sangat dia hormati, ternyata tunduk di bawah uang dan kekuasaan. Jika nyonya Greta bisa memberikan segalanya untuk mereka, pantaslah Hani disingkirkan."Berhati-hatilah kamu di rumah ini Hani. Bersiaplah untuk menderita!" Bahkan, Nita terang-terangan mengancamnya saat berbisik.Hari ini, mata Hani benar-benar terbuka mengenai kebusukan ibu mertua dan Nita di belakangnya selama ini.Jika dipikirkan, apa kekurangan Hani? Hasil pekerjaan mas Bram selalu menjadi hak mereka. Hani hanya mendapat jatah sisa dari itu.Hani adalah menantu yang penurut, dan tak banyak menuntut. Dengan
Sebuah brownies coklat matang dengan sempurna. Nyonya Greta mengeluarkannya dari oven listrik miliknya. Lalu menghirup aroma brownis yang masih mengeluarkan uap panasnya. Sambil tersenyum puas dan bergumam,"Sempurna.""Mbok Rumi, tolong bangunkan ibu mertua dan ipar ku di kamarnya."Pinta nyonya Greta sambil menata kue di atas piring saji dan menuangkan teh pada empat cangkir gelas.Nyonya Greta berniat intuk meminum teh di taman belakang."Baik nyonya. " Jawab mbok Rumi.Segera dia menuju ke kamar tamu. Saat mbok Rumi hendak mengetuk pintu kamar tamu majikannya, pintu dibuka dari arah dalam. Ibu Siti dan Nita sepertinya baru selesai mandi."Selamat sore, ibu Siti dan mbak Nita diminta nyonya Greta menuju taman belakang.Dengan sopan mbok Rumi mengatakan apa yang diminta nyonya Greta padanya.Wajah ibu Siti terlihat kecut, tak menampakkan keramahan di sana.Diikuti juga oleh Nita, yang dengan sombongnya melewati mbok Rumi tanpa permisi. Mbok Rumi hanya menghela napas, dengan tingkah me
A--duh, kok perut ibu mendadak sakit yah?"Ibu Siti mengeluhkan perutnya terasa melilit sakit, diikuti oleh Nita yang juga merasakan hal yang sama.Gegas Nita berdiri berniat menuju ke belakang."Tu--nggu Nit, biar ibu dahulu yang ke belakang." Ibu Siti menghentikan langkah putrinya, namun Nita tak menjawab memilih berlari menuju ke belakang."A--duh Nita! Perut ibu sakit, pengen ke belakang." Teriak ibu Siti, namun tak diindahkan oleh Nita yang sudah masuk terlebih dahulu ke toilet.Mau tak mau ibu Siti berlari menuju ke kamarnya, dia berlari kecil sambil memegang perutnya yang terasa sakit.Greta dan Bram hanya saling berpandangan melihat tingkah ibu Siti dan Nita. Ada apa dengan keduanya. Sambil terus melanjutkan makan malam mereka, ibu Siti dan Nita terlihat beberapa kali berlari bergantian menuju ke toilet. Hingga ke lima kalinya, ibu Siti sudah tak memiliki tenaga lagi."Bram, kenapa perut ibu sakit sekali ya. Kok berbarengan sama Nita. Apa kue buatan istri kamu dari bahan yan
"Nyonya sudah ditunggu nyonya Greta di meja makan."Ucap Winda dengan sopan sesuai permintaan Ibu Siti pada para pelayan.Wajah ibu Siti tersenyum senang, ada rasa bangga tersendiri saat seorang pelayan menyebutnya dengan sebutan nyonya. Dengan angkuh dia berjalan mendahului Winda. Diikuti oleh putri kesayangannya, menuju meja makan. Dimana putra dan menantunya sedang menunggu kedatangan mereka. Setelah duduk, nyonya Greta mempersilahkan ibu mertuanya mulai makan."Silahkan dimakan bu, ini sup daging pilihan yang Greta buat. Enak sekali, Bram sering dibuatkan sup ini setiap hari. Tau nggak bu, sup ini juga baik untuk kesehatan," ucap Bram panjang lebar.Bagaimana olahan daging pilihan dan sayuran yang harganya sangat mahal dihidangkan spesial untuk ibunya, membuat Bram sangat bersyukur. Memiliki istri yang sangat kaya raya, dan juga sangat menyayangi keluarganya. Bram sangat menghargai usaha istrinya, dengan memuji masakan istrinya.Ibu Siti membuka mangkuknya, uap sup itu masih menge