Share

Jawaban

Hani bangun dari tidurnya. Apa yang terjadi malam tadi cukup membuat badannya menjadi pegal. Apalagi, saat diturunkan secara sengaja oleh pria tak dikenal itu. Hani tersenyum sendiri mengingat kejadian konyol itu lagi. Akhirnya, Hani bergegas bersiap membersihkan diri lalu memakai seragam pelayan dan masuk segera ke kediaman mewah nyonya Greta.

Kini sarapan sudah siap dihidangkan di atas meja. Kedua majikannya turun dari lantai atas. Tuan dan nyonya majikan kini duduk menyantap sarapan pagi mereka.

"Sayang," panggil Bram dengan suara yang dibuat selembut mungkin, hingga membuat Hani jijik.

"Iya?"

"Boleh nggak ibu dan adikku berkunjung ke mari? Mereka sangat kangen sama aku."

Nyonya Greta memandang wajah suaminya beberapa saat. Membuat hati Bram berdetak lebih kencang, khawatir akan jawaban Greta yang akan mengecewakan.

Namun, perempuan itu tersenyum manis, membuat hati Bram sedikit lega.

Istrinya itu lalu menganggukkan kepala menyetujui permintaan suaminya.

"Boleh dong, sayang! Orang tua kamu juga orang tua aku, kan?"

"Terima kasih ya sayang! Kamu benar-benar sangat mengerti aku." Bram mengambil tangan istrinya lalu mengecupnya lembut. Nyonya Greta merasa senang diperlakukan istimewa oleh Bram.

Di sisi lain, Hani memutar bola matanya malas. Seketika, dia mengingat hubungannya dulu dengan Bram. Bahkan, mengucapkan kata sayang pun tak pernah keluar dari mulut buaya pria ini. 

"Hani, setelah ini tolong bersihkan kamar atas yah!" pinta nyonya Greta padanya, membuat Hani tersadar dari lamunannya. Segera, Hani mengangguk patuh.

Beberapa pelayan mulai membersihkan meja makan, setelah kedua majikannya selesai sarapan, sedang Hani naik ke lantai atas.

*****

Perlahan, Hani membereskan ranjang. Jejak- jejak kenikmatan semalam dari majikannya di atas ranjang ini masih terpampang nyata. Hani segera melepaskan kain sprei yang penuh noda itu dan membereskannya. Pahit, namun harus dijalani. Belajar ikhlas, lalu tersenyum. Semua akan baik-baik saja.

"Dek!" Suara Bram mengangetkan Hani. Tiba-tiba saja, pria itu sudah berada di dalam kamar.

"Maaf tuan, kamar anda masih saya bereskan. Silahkan tuan menunggu di luar," ucap Hani berpura-pura tidak mengenal. Jujur, dia masih kesal  mengingat kejadian semalam.

"Dek, mas mau bicara. Mas mau minta maaf. Mas terpaksa melakukan ini." Lagi, Bram berusaha memberi alasan. Pria itu bahkan berusaha untuk meraih tangan Hani, yang jelas ditepisnya cepat.

"Saya nggak peduli, tuan! Itu bukan urusan saya."

"Dek, kok kamu gitu jawabnya sama mas? Biasanya, kamu penurut dan lembut. Kamu juga selalu mendengarkan perkataanku."

Telinga Hani memanas. Dia berbalik ke arah Bram. Matanya sudah berkaca-kaca.

Sungguh, Hani tak ingin terlalu lama berurusan dengan pria itu. Dia tahu betul posisinya saat ini seperti apa, dan konsekuensi yang harus didapat jika dia ketahuan memiliki hubungan dengan suami majikannya ini.

"Tuan, Anda tak pantas untuk berbicara dengan pelayan seperti saya!" tegas Hani. Lalu keluar dari kamar majikannya sambil membawa semua pakaian kotor menuju ke lantai bawah.

Hani mencuci pakaian kotor kedua majikannya, termasuk kain sprei yang digunakan mereka semalam menghabiskan malam panas.

"Apa maksud Bram? Dia pikir aku mau percaya perkataannya?" gerutu Hani kesal.

Tanpa sadar, Hani melihat sapu tangan pria semalam. Dengan cepat, Hani memilih mencucinya menggunakan tangan. Lama Hani memandang sapu tangan berwarna biru dongker itu. Ada inisial NW di satu sudut sapu tangan itu. Kelihatan biasa, tapi sangat elegan dan terlihat ma--hal?

Namun, Hani segera mengeyahkan pikirannya. Dengan cepat, dia kembali bekerja. Hani harus segera mengembalikan sapu tangan itu pada pemiliknya, sekaligus berterima kasih sudah mengeluarkan dari percobaan bunuh diri.

Dan yang lebih penting, dia tertarik menggunakan cara balas dendam seperti yang dikatakan oleh pria itu padanya! 

***

Hani sudah selesai mengerjakan pekerjaan bagiannya. Jadi, dia keluar menuju ke depan di pos jaga para petugas keamanan menjaga keamanan di rumah mewah ini.

"Cari siapa mbak?" Seorang pria bertubuh tinggi besar bertanya pada Hani yang sibuk menoleh, mencari sosok yang semalam berjumpa dengannya. Namun, wajah pria itu tak ada di barisan petugas keamanan di sana.

Hani lupa menanyakan nama pria semalam, dia bingung.

"Maaf, Pak! Tidak jadi." Hani berbalik dan beranjak pergi.

Bodoh! Seharusnya, semalam dia bertanya siapa nama pria itu.

"Bodoh -- bodoh." Hani tak henti merutuki dirinya sepanjang jalan menuju ke rumah besar kembali sambil menepuk jidatnya berulang kali, "Kenapa semalam aku bisa lupa menanyakan siapa namanya? Dia tukang kebun atau petugas kemanan sih? Kok susah sekali mencari keberadaannya." 

Sungguh! Hani merasa kesal dengan dirinya sendiri. Dia menyalahkan sikap cerobohnya semalam. Setelah dibantu, dia malah tak menghiraukan pria yang sudah menolongnya. Bahkan, Hani tidak bertanya namanya?

'Sudahlah, nanti pasti akan berjumpa lagi,' hibur Hani pada dirinya sendiri.

Dia lalu melanjutkan perkerjaannya lagi.

Namun, suara Nyonya Greta terdengar dari ruang tengah. Sepertinya, sedang berbincang dengan mas Bram. Hani memilih acuh, mengambil alat pel dan mulai mengepel rumah majikannya itu.

"Sayang, makasih ya! Uang yang kamu transfer kemarin sudah dibelikan perhiasan oleh ibu di kampung. Dia sangat senang sekali katanya."

"Iya mas, sama-sama. Aku juga sangat senang jika ibu merasa bahagia. Jadi, kapan ibu dan Nita datang kemari mengunjungi kita?"

"Rencananya, mungkin minggu depan sayang."

"Baiklah mas. Sekarang aku ke kantor dulu. Mau meeting sama klien."

"Iya sayang, jangan khawatir. Mau aku antari?"

"Nggak usah sayang, kamu istirahat saja di rumah." Nyonya Greta mengambil tasnya lalu keluar dari rumah mewahnya, mengendarai mobilnya sendiri.

Hani yang tak sengaja mendengar perbincangan kedua majikannya, seketika teringat kembali pertemuannya dengan sang mertua.. Saat itu, dia sedang menerima panggilan telpon entah dari siapa.

Ada banyak perubahan dalam rumah ibu mertua. Pakaian baru dan perhiasan mas di leher dan tangan masing-masing pada keduanya. Kalung dan gelang yang pasti beratnya mencapai lebih dari 10 gram. Terlihat dari besar dan tebal ukurannya.

Ibu mertua dan mbak Nita tak bekerja, pastilah seseorang di balik telpon itu yang memberikan pada mereka. Tapi siapa penelpon itu. Apakah seorang pria atau wanita? Hani tak tahu.

Setahu Hani, Bram juga sudah tak memiliki saudara jauh. Kenapa saat mas Bram meninggal sepertinya kehidupan mereka mulai berubah drastis jadi lebih mewah?

Perabot rumah, seperti sofa tamu dan televisi berganti dengan yang lebih bagus dan mahal. Rumah juga dicat lagi. Bahkan, pagar bambu pun berganti menjadi gerbang besi.

Kini, terjawab sudah semuanya.

"Kalian semua adalah lintah dan benalu untuk Nyonya Greta," lirih Hani, geram. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status