Share

Bab 2. Hadiah Ulang Tahun

Arka tidak pergi ke ATM seperti yang dia janjikan kepada kasir di toko yang tadi dia kunjungi. Melainkan pulang ke rumahnya hendak menemui sang ayah. Dia yakin betul bahwa, hanya ayahnya yang akan berani memblokir semua kartu kredit miliknya karena hanya beliau yang mampu melakukan hal itu.

"DADDY!" teriak Arka masuk ke dalam rumah.

"Ada apa kamu teriak-teriak kayak gitu? Kayak orang kesurupan saja si," jawab sang ayah, berjalan menghampiri putra semata wayangnya.

"Apa maksud Daddy memblokir semua kartu milikku? Apa Daddy tahu, saya benar-benar dipermalukan. Masa seorang Arka tidak bisa bayar uang sebesar 150.000.000,00? Saya benar-benar malu, Dad?'' teriak Arka penuh emosi.

"Hahahaha ... Itu belum seberapa, Arka. Mana dompet kamu, kunci mobil juga ponsel kamu. Berikan sama Daddy sekarang juga," sang ayah tertawa renyah menatap tajam wajah sang putra.

Arka tentu saja mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Belum cukup sang ayah memblokir semua kartun miliknya. Sekarang beliau pun meminta dompet, kunci mobil, serta ponsel canggih yang selama ini dia gunakan.

"Apa yang sebenarnya Daddy inginkan? Salah saya apa? Kenapa Daddy seperti ini?" teriak Arka tidak terima.

"Kamu bertanya salah kamu apa? Kamu itu bodoh atau pura-pura bodoh, hah? Sudah berapa kali Daddy meminta kamu untuk menikah? Kamu bahkan selalu menolak setiap kali Daddy dan Mommy-mu menjodohkan kamu dengan wanita manapun. Apa kamu punya kelainan? Apa sebenarnya kamu bukan laki-laki normal, jawab Arka?" sang ayah balas berteriak.

"Jadi gara-gara itu? Hanya karena saya menolak menikah, Daddy menyita semua barang-barang saya?"

"Hanya? Hanya katamu? Kamu tidak sadar, usia kamu sebentar lagi menginjak kepala 4, mau sampai kapan kamu melajang dan menjadi perjaka tua? Apa kamu mau garis keturunan keluarga kita terputus gara-gara kamu, hah?"

Arka bergeming. Dia pun mengusap wajahnya kasar seraya menarik napas berat. Bagaimana dia bisa menikah sementara dirinya merasa trauma menjalin hubungan dengan seorang wanita?

"Kenapa kamu diam? Kamu masih belum siap untuk menikah? Atau, apa yang Daddy katakan tadi itu benar, kalau kamu sebenarnya laki-laki yang tidak normal? jawab Arka."

Arka masih diam tidak bergeming. Dia pun hanya bisa menatap tajam wajah sang ayah dengan perasaan kesal. Hatinya benar-benar kacau balau sekarang. Arka Wijaya Kusuma Hadiningrat tetap tidak bisa menuruti keinginan sang ayah untuk menikah.

"Baik, kalau kamu masih tidak mau menjawab pertanyaan Daddy. Sekarang juga kamu keluar dari rumah ini. Daddy akan menganggap kalau Daddy tidak pernah punya seorang putra. Biarkan keturunan keluarga kita terputus sampai di sini dan semua harta yang Daddy punya akan Daddy sumbangkan ke yayasan yatim piatu." tegas Tuan Wijaya.

"Dad?"

"Tunggu apa lagi, pergi kamu dari sini."

"Daddy serius mengusir saya dari rumah ini?" tanya Arka dengan perasaan tidak percaya.

"Tentu saja, tapi sebelumnya kamu tinggalkan barang-barang yang Daddy minta tadi, tidak terkecuali. Ingat, kamu tidak boleh membawa sepeserpun harta dari rumah ini karena semuanya milik Daddy."

Dengan perasaan kesal, Arka pun meletakan semua barang yang tadi diminta oleh sang ayah di atas meja. Ponsel, kunci mobil mewah, juga dompet berisi beberapa juta uang tunai pun dia tinggalkan. Dengan hati yang benar-benar terluka, Arka Wijaya Kusuma Hadiningrat benar-benar meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempatnya bernaung.

"Kamu masih boleh kembali ke rumah ini, tapi dengan satu syarat. Kamu harus kembali dengan calon istri kamu.'' Ucapan terakhir yang dia dengar dari sang ayah sebelum dia benar-benar keluar dari dalam rumah tersebut.

"Apa yang kamu lakukan, Mas?" tanya Nyonya Maurina yang mendengar pertengkaran suaminya dengan sang putra.

"Apa lagi, Mas sudah usir putra kita yang tidak tahu diri itu. Apa gunanya punya putra kalau dia sama sekali tidak bisa memberi kita keturunan," jawab sang suami dengan wajah datar.

"Apa? Kamu gila, Mas? Kamu mengusir putra kita satu-satunya? Benar-benar kamu ya," jawab Nyonya Maurina berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa mencoba untuk menyusul putra kesayangannya.

"ARKA! TUNGGU MOMMY, NAK. KAMU MAU KEMANA?" teriak sang ibu berlari menghampiri Arka yang saat ini sedang berjalan dan hampir sampai di pintu pagar.

Sontak, Arka pun seketika menghentikan langkah kakinya lalu menoleh menatap wajah sang ibu dengan tatapan sayu seolah ingin sekali mengadu. Raut kesedihan terlihat begitu jelas dari wajah tampan seorang Arka. Hatinya semakin merasa hancur saat mengingat bahwa dia sama sekali tidak bisa memberikan hadiah apapun di hari ulang tahun sang ibu.

"Mom?" rengeknya, layaknya seorang anak kecil yang sedang mengadu kepada ibunya.

"Sayang, Arka putra Mommy. Kamu mau kemana, Nak? Jangan tinggalkan rumah ini, Mommy mohon," lirih sang ibu, meletakan kedua telapak tangannya di kedua sisi rahang Arka.

"Saya sudah di usir, Mom. Mana mungkin saya masih mau tinggal di sini."

"Daddy-mu lagi emosi, jangan terlalu di ambil hati. Nanti juga dia baik sendiri kita masuk ya, apa kamu lupa kalau hari ini Mommy ulang tahun? Kamu bilang sama Mommy kalau kamu akan memberikan kado spesial buat Mommy. Apa ini kado spesial yang kamu maksud? Pergi dari rumah seperti ini?''

"Maafkan saya, Mom. Saya tidak bisa memberikan hadiah yang saya janjikan. Daddy sudah mengambil semua harta yang saya miliki, saya miskin sekarang.''

"Apa? Jadi kamu pergi dari rumah ini tanpa bawa uang sepeser pun?"

Arka menganggukkan kepalanya seraya menatap sayu wajah sang ibu. Dia pun memeluk tubuh Nyonya Maurin sebelum dia benar-benar meninggalkan rumah kedua orangtuanya itu. Air mata seorang Arka pun seketika bergulir membasahi wajah tampannya kini.

"Kamu diam dulu di sini, Mommy bakalan bicara sama Daddy kamu," pinta Nyonya Maurin mengurai pelukan dan hendak masuk ke dalam rumah.

"Tidak, Mom. Jangan, saya akan pergi dari sini, saya akan tunjukan sama Daddy kalau saya masih bisa hidup meskipun tanpa harta dari dia.''

"Tapi, Nak. Kenapa kamu tidak mengikuti saja keinginan kami buat menikah? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Arka? Kenapa kamu jadi seperti ini?"

Arka hanya bisa diam tanpa bisa menjelaskan apapun. Dia memang sudah bertekad bahwa dirinya tidak akan pernah menikah dengan wanita manapun. Rasa sakit hatinya di masa lalu benar-benar telah membuat laki-laki berusia 37 tahun itu merasa trauma.

"Kenapa kamu diam, Nak?"

"Saya pergi dulu, Mom. Maaf karena sebagai seorang anak, saya telah membuat Mommy kecewa. Selamat ulang tahun, Mom. Semoga Mommy panjang umur dan bahagia selalu," jawab Arka dengan nada suara berat, setelah itu dia pun benar-benar meninggalkan kediamannya sendiri.

Nyonya Maurin hanya bisa menatap kepergian sang putra dengan perasaan terluka. Meskipun usia Arka sudah hampir menginjak kepala 4, tapi tetap saja, bagi seorang ibu Arka tetaplah anak kecil yang akan selalu dia sayangi dengan sepenuh hati. Kepergian putra kesayangannya itu benar-benar membuat jiwa seorang Nyonya Maurin merasa terguncang kini.

* * * * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status