Share

Kekasih Belia Suamiku
Kekasih Belia Suamiku
Penulis: Rose Callista

BAB 1: Mendatangi Berujung Shock

“Namanya Fenita, Vi. Dan sialnya, dia masih remaja. Masih kelas tiga SMA," tutur Shaina, setelah hampir setengah jam lamanya hanya terdiam dengan raut wajah kacau dan buliran bening yang sesekali menetes dari matanya.

Alvi yang sejak tadi hanya mengamati, tak urung terkaget juga. Sebenarnya, ia sudah lumayan khatam dengan keadaan Shaina, karena siklus sama yang selalu berulang. Shaina datang padanya, berkeluh kesah tentang sang suami, namun akhirnya berlalu begitu saja tanpa solusi.  

“Besok-besok, pasti dia mencari yang lebih muda dari itu," cibir Alvi.

“Dan ini rekor terlama perselingkuhan Andre, Vi. Mereka sudah setahun ini menjalin hubungan.” 

“Hah?”

Shaina meraih coklat yang tak lagi panas itu dan meneguknya hingga tandas. Ada kilat amarah, namun berselubung pasrah dari sorot matanya. Jangan tanyakan lagi seperti apa bentuk hatinya saat ini.

Dan itu bukanlah luka baru. Sudah sejak lama, Hati itu tak pernah lagi normal. Berkali, skandal terlarang Andre membuatnya tersayat, hancur untuk kemudian ’pulih’ dengan bentuk yang tak lagi sama. 

“Terus, ini akan bermuara ke mana? Kalau kamu cuma mau cerita numpahin beban, oke, aku dengerin. Biasanya kan juga gitu.” tanya Alvi, kalem. Shaina menatapnya nanar. 

“Jujur, Aku kagum banget sama kamu, Sha. Nggak ada masalah berat dalam kamus hidup kamu. Bahkan, kamu nggak perlu solusi apa pun. Cukup dengan curhat, semua masalah hilang."

“Vi …. “ 

Shaina tahu Alvi tengah memprovokasinya dengan cara menyindir. Shaina bahkan sudah merasa terlalu malu untuk tersinggung. Kenyataannya, apa yang diucapkan Alvi hampir seluruhnya benar.

Tapi demi apa pun, Shaina tetap saja manusia biasa. Mana mungkin hatinya sedungu itu untuk tak terpengaruh karena permasalahan yang selalu sama? Siapa wanita di dunia ini yang sanggup mengadapi perselingkuhan suami dengan hati yang masih baik-baik saja? 

“Menurutmu, aku harus apa, Vi?” gumam Shaina lemah.

Bukan pertanyaan yang sulit. Shaina sendiri tahu, apa yang akan dijawab sang sahabat. Karena sejatinya, itu pun adalah suara dari bagian terkecil hatinya yang masih waras.

“Tanya hatimu, Sha. Tanpa bertanya pun aku yakin kamu paham harus berbuat apa. Mau sampai kapan kamu harus rela diselingkuhi terus-terusan? Iya kalau cuma gitu -gitu doang, tapi kalau selingkuhnya sudah kejauhan, kamu nggak ngeri penyakit, Sha?”

“Bucin juga mestinya ada takaran wajarnya. Kalau gini, kamu tuh sama saja kayak ngobral harga diri,” lanjutnya lagi. Shaina hanya mampu melirik Alvi tanpa balas berkomentar. 

"Lho, iya dong. Di mana-mana harga diri itu dijunjung. Dengan sikapmu yang selembek agar-agar, itu malah mengundang Andre untuk terus-terusan menginjaknya. Wajar dia makin merajalela, wong kamunya aja takut banget kehilangan gitu.” 

“Hubungan pacaran dan pernikahan itu beda, Vi. Aku ngggak dalam satu hubungan di mana bisa angkuh mengucap ‘putus’ dengan mudahnya. Ini pernikahan, Vi, pernikahan. Bukan cuma antara aku dan Andre, tapi juga kedua belah pihak keluarga besar kami. Terlebih kamu ngerti kan dulu, gimana aku bisa nikah sama dia. Terus, apa kata mereka nanti bila sekarang aku memilih untuk bercerai?”

Alvi menghela napas beratnya. Yah, Shaina benar. Alvi adalah salah satu ‘saksi’ yang memahami bagaimana Shaina dan Andre akhirnya bisa bersama. Full drama, complicated juga.

Tapi Alvi tentu tetap menginginkan sang sahabat untuk realistis. Kalau nilai pernikahan hanya dijunjung oleh salah satu pihak saja apakah tidak timpang? Apa wajar? 

“Justru karena itulah, Sha, please. Pikirkan saja dirimu. Sudah cukup kamu mengalah selama ini. Sudah cukup kebucinan kamu mentoleransi serial perselingkuhan Andre itu. Kalau kamu lelah, bilang lelah. Kamu bukan perempuan yang dikutuk untuk tetap bertahan dalam penderitaan, oke? Iya aku tahu perceraian dibenci oleh Allah. Tapi perzinahan dalam pernikahan jauh lebih keji dibanding perceraian itu sendiri. Mestinya sudah dirajam sampe mati tuh si Andre!” 

Kamu bukan perempuan yang dikutuk untuk tetap bertahan dalam penderitaan'

Ah, sial. Kalimat Alvi itu begitu mengena dihatinya. Namun, sesadar dan sewaras apa pun pikirannya, untuk dapat memutuskan apa yang bagi sebagian masyarakat dianggap tabu itu tetaplah berat.

Shaina paham betul, betapa status janda masih menjadi mimpi buruk bagi setiap wanita. Bahkan aib!

“Tolongin aku, Vi.” Shaina menggenggam erat jemari Alvi.

“Tolongin gimana? Anterin kamu ke Pengadilan Agama?” Alvi bertanya antusias, namun semangatnya perlahan mundur saat dilihatnya Shaina menggeleng lemah.

“Anterin aku ke rumah bocah itu.” 

“Hah?” Mata Alvi membola. 

Entah berapa kali Andre selingkuh, belum pernah sekali pun Shaina beraksi dengan melabrak semacam ini. Paling mereka hanya bertengkar, Shaina mengadu padanya dan perlahan keadaan akan menjadi normal kembali.

Alvi saja sampai bosan dan kebal. Karena Shaina itu tipe bucin yang jangankan dinasehati, dihasut sekalipun tidak akan ada gunanya. 

“Kok tumben? Kamu mau ngapain? Mau marah? Terus, kalau sudah marah, selesai lagi ?” 

“Setidaknya, orang tua anak itu harus tahu kelakuan anak mereka di luar seperti apa. Sebelum semua jadi terlanjur.” Shaina tampak setengah menerawang.

“Memang kamu yakin mereka belum terlanjur? Katanya tadi sudah setahun backstreet. Kira-kira, setahun itu mereka ngapain aja? Masa iya cuma jajan cilok sama piknik ke alun-alun doang?” Alvi mendengkus.

 “Setidaknya aku belum pernah lihat foto mesum mereka. Ah entahlah. Yang jelas, hubungan mereka itu harus berakhir. Dia bahkan belum ujian, belum tamat. Nggak apa-apa kalau Andre tulus. Tapi kita tahu gimana bangsatnya dia. Masa depan anak itu masih panjang, Vi.” 

Alvi pun seketika melongo. Ia betul-betul tak habis pikir, apa motif Shaina sebenarnya ingin mendatangi rumah selingkuhan Andre itu. Ingin menyelamatkan rumah tangganya, atau menyelamatkan masa depan bocah penyuka suami orang?

***

Inilah harinya. Akhirnya Shaina dan juga Alvi tengah dalam perjalanan mencari alamat rumah gadis bernama Fenita Febriani itu. Nama yang manis, namun kelakuan kelewat pahit!

“Ini mah komplek orang berduit, Sha. Kamu yakin nggak salah alamat?” 

“Memang kenapa? Apa hubungannya?” 

“Ya aneh. Kok mau-maunya anak orang kaya jadi selingkuhannya si Andre? Motifnya pasti bukan uang. Dibilang nyari kasih sayang, ntar aku malah ngakak.” 

Shaina memilih diam dengan angan yang terus mengembara. Ada semacam benang merah yang mengantarnya pada situasi déjà vu.

Entah kenapa, sejak tadi dadanya tak berhenti berdebar. Seolah mempertanyakan kesiapan mentalnya untuk menghadapi babak yang mungkin seru, beberapa saat ke depan.

Tak lama, mobil yang yang dikemudikan Shaina berhenti tepat di rumah bernomor 147. Sebuah rumah megah dengan arsitektur mewah yang menandakan penghuni rumah bukan orang sembarangan dari segi materi.

“Cek lagi bukti-buktimu sebelum kita masuk.” Alvi mengingatkan sebelum mereka turun.

“Beres. Sudah aku print out semua.” 

“Kita masuk?” Alvi menatap Shaina, memastikan kesiapan mental sang sahabat.

“Oke.”

Perlahan Shaina mendekati gerbang dan mencari letak bel. Ada pos satpam di depan, tapi tampak kosong. Mungkin karena ini hari minggu.

Di hitungan ke-tiga, seorang wanita paruh baya yang sepertinya adalah seorang ART, tampak keluar dari pintu samping. Sorot mata itu tampak tajam memperhatikan Shaina dan Alvi, penuh waspada.

 "Pagi, Mbak. Betul ini rumahnya Fenita Febriani?” 

“Iya betul. Mbak berdua siapa, ya?” 

“Bisa kami bertemu dengan Fenita? Atau dengan orang tuanya lebih bagus.” Alvi menjawab dengan gaya wibawa yang meyakinkan. 

“Mbak Feni sedang keluar, Mbak. Di dalam cuma ada bapak.” 

“Oh, Nggak apa-apa. Dengan bapak justru lebih bagus,” ucap Shaina tersenyum tipis. 

“Tapi, Mbak berdua ini siapa kalau boleh tahu?” 

“Kami guru sekolahnya. Kedatangan kami ke sini karena ada yang ingin dibicarakan dengan orang tua Fenita.” Alvi menjawab cepat. Toh memang benar ia seorang guru.

“Lagi?” Samar, wanita paruh baya itu berucap seraya membuka gerbang. Namun masih cukup jelas untuk terdengar. Shaina dan Alvi pun kompak berpandangan.

“Silahkan masuk, Bu. Mohon maaf, tunggu di sini dulu sementara saya panggil bapak. Biasanya bapak jarang mau terima tamu di hari Minggu, tapi berhubung ini gurunya mbak Feni, mungkin bapak bersedia,” tuturnya, menggambarkan betapa eksklusifnya sang majikan. 

Shaina dan Alvi dipersilahkan duduk menunggu di teras. Sementara wanita itu menghadap tuannya masuk.

“Sepertinya, anak ini memang hobby membuat masalah. Kamu nggak dengar pas ART-nya bilang ‘lagi’ tadi? “ bisik Alvi. Shaina hanya membenarkan dalam hati.

“Aku bisa tebak, kalau bukan produk broken home, pasti dia lumayan kurang kasih sayang. Hari libur begini saja malah cuma bapaknya yang ada di rumah,” cetus Alvi lagi.

 Shaina tak berkomentar. Ia lebih sibuk mengendalikan detak jantungnya yang mendadak tak beraturan sejak tadi.

“Coba tebak sekaget apa dia begitu tahu kita bukan guru anaknya. Kira-kira apa kita bakal diusir karena dianggap menipu?” Alvi nyengir dengan raut wajah penasaran. 

“Aku pastikan harus telah mengatakan semua sebelum kita diusir.” 

“Sebaiknya dia memang nggak banyak tingkah kalau tak mau kelakuan anaknya viral. Kita bisa aja hantam dengan mendatangi langsung sekolahnya. Pasti lebih seru.” 

“Kasihan dia,Vi. Karena sesungguhnya dia pun korban.” 

“Hey!” seru Alvi, jengkel. “Korban apaan? Dia nyosor suami orang kok dibilang korb….” 

“Selamat pagi.” 

Suara sapa dengan nada baritone menyapa ruang dengar Shaina dan Alvi. Membuat mereka reflek mengalihkan fokus pada sang pemilik rumah yang telah berdiri tak jauh dari sofa yang mereka duduki.

  

Ada beberapa detik yang terbuang setelah akhirnya Shaina tersadar. Kesadaran yang justru mengantarkannya pada keterkejutan yang tak diduganya sama sekali. Bahkan dalam mimpi sekalipun.

Wanita itu hanya bisa terpaku menatap pria yang juga menatapnya dengan sorot keterkejutan yang sama.

  

Tuhan … apakah ini alasan kenapa sejak tadi dadanya tak berhenti berdebar?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
bintang
apakah mantan?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status