LOGIN“Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”
Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.” Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.” “Berbeda bagaimana?” “Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.” Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’. “Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.” “Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.” Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu, hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka menegang. Rose cepat-cepat segera mengalihkan pandangan. “Jadi, kau ingin memotretku?” tanyanya, mencoba terdengar santai. Ethan mengangguk, tapi nada suaranya sedikit lebih dalam. “Hanya jika kau mengizinkan. Aku tidak memaksa.” Rose menatapnya, menimbang sesuatu. “Untuk apa kalau aku boleh tahu?" Ethan menurunkan kameranya dari leher, meletakkannya di meja kayu. “Untuk proyek kecilku. Pameran yang aku katakan semalam, kau ingat? Potret perempuan dalam versi paling jujur mereka. Artinya... tanpa topeng sosial atau tanpa kepura-puraan. Aku sedang mencarinya, dan entah kenapa… ketika melihatmu semalam, aku merasa kau langsung cocok.” Rose menatap lantai. “Itu terdengar seperti undangan untuk membuka luka.” “Kadang luka justru tempat cahaya masuk,” jawab Ethan lembut. Ucapan itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Rose terdiam cukup lama hingga Ethan menambahkan, “Kita bisa bicara dulu, kalau kau mau. Tidak harus langsung berpose.” Ia tersenyum sedikit, menatap Ethan yang kini tengah menyiapkan dua cangkir kopi. Ia bergerak luwes, natural, dengan cara yang membuat ruangan terasa lebih hangat. Rose memperhatikannya tanpa sadar. Ada sesuatu dalam dirinya. Dari caranya berbicara dan caranya diam, yang berbeda dari pria-pria yang biasa ia temui. Ketika Ethan menyerahkan secangkir kopi, jari mereka sempat bersentuhan. Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat dada Rose terasa aneh. Ia meneguk kopi pelan. “Kau selalu membuat kopi untuk tamu?” “Tidak,” jawab Ethan cepat, matanya menatap lurus padanya. “Hanya untuk orang yang membuatku penasaran.” Rose nyaris tersedak. “Kau suka berbicara seperti itu pada semua wanita? Menggoda mereka?” Ethan tersenyum kecil. “Tidak juga. Tapi aku tahu kau bukan wanita yang mudah digoda.” Ia menatapnya seperti sedang membaca buku terbuka. Rose memalingkan wajah, menatap foto-foto di dinding. “Mungkin aku hanya terlihat menarik karena luka yang tidak bisa kulihat sendiri,” gumamnya. “Itu sebabnya aku ingin memotretmu,” jawab Ethan, pelan tapi tegas. “Agar kau bisa melihat bagaimana dunia melihatmu. Bukan seperti yang Noah lihat, tapi seperti yang sebenarnya.” Nama itu membuat Rose menegang. “Kau tahu tentang Noah?” tanyanya hati-hati. Ethan mengangguk. “Sulit untuk tidak tahu. Ia pria berpengaruh di kota ini. Dan,” ia berhenti sejenak, menatapnya jujur, “aku tahu dia jarang di rumah karena kesibukannya.” Rose menegakkan tubuh. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyangkal, tapi apa gunanya? Semua orang sudah tahu. “Sepertinya semua orang tahu lebih banyak tentang pernikahanku dibanding aku sendiri.” Ethan tak menimpali. Ia hanya duduk di kursi tinggi di depan meja kayu, menatap Rose dengan tenang. Tatapannya bukan simpati, melainkan lebih seperti pemahaman yang diam. “Kadang kita tidak perlu tahu semuanya,” katanya akhirnya. “Cukup tahu bagian yang menyakitkan untuk berhenti.” Rose tersenyum miring. “Ngomong-ngomong, kau terdengar lebih santai dan ramah daripada semalam." “Ya,” jawab Ethan singkat. “Karena semalam aku sedang bekerja. Sekarang... Aku berada di duniaku sendiri." Hening sejenak. Musik lembut dari speaker kecil di pojok ruangan mengalun pelan, dan terdengar lagu jazz tua yang menenangkan. Rose menatap ke arah kamera di meja, lalu kembali ke mata Ethan. “Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Kau boleh memotretku. Tapi hanya satu sesi.” Ethan menegakkan tubuh, matanya sedikit membulat. “Kau yakin?” Rose mengangguk. “Aku ingin tahu… apa yang akan kau lihat.” Senyum Ethan muncul lagi, kali ini lebih lembut dan dalam. Ia bangkit perlahan, mengambil kameranya, lalu berjalan mendekat. Jarak di antara mereka kini hanya beberapa langkah. “Kalau begitu,” katanya dengan nada rendah, “lihatlah ke arahku, Rose. Bukan sebagai istri siapa pun. Tapi sebagai dirimu sendiri.” Rose menatap lensa kamera yang kini terarah padanya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak berusaha tersenyum. Cahaya jatuh lembut di wajahnya menyentuh garis matanya yang lelah, bibirnya yang tegar, dan tatapan kosong yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain. Sebuah kejujuran. Klik. Suara rana terdengar, membekukan momen itu selamanya. Ethan menurunkan kamera, tapi tidak berhenti menatap. Rose menghela napas, lalu tersenyum samar. “Apa kau mendapat apa yang kau cari?” Ethan menatap layar kameranya sebentar, lalu menatap Rose lagi. “Ya,” katanya pelan. “Tapi aku rasa ini baru permulaan.” "Maksudmu?" Ethan mendekat, kali ini jarak mereka hanya beberapa senti saja. Tubuh Rose membeku seketika. Dia merasakan nafas maskulin Ethan menyapu wajahnya, namun entah mengapa dia justru merasa nyaman dan tak terganggu sama sekali. Ethan mengulurkan tangan, merapikan anak rambut Rose yang ada di pipi. Saat jari Ethan menyentuh wajahnya, Rose menahan nafas sesaat. Mereka saling menatap. Ada sesuatu disana. Sesuatu yang lebih dalam dari sekedar penasaran atau profesionalisme kerja. Lalu, sebelum Rose merasa kehilangan akal, Ethan menjauhkan diri. Ia mundur beberapa langkah ke tempatnya semula dan mulai mengarahkan kamera lagi. "Kita ambil lagi beberapa gambar. Aku ingin melihat dirimu dari berbagai sisi." Klik. Klik. Beberapa foto diambil tanpa jeda. Ethan bergerak ke kanan dan ke kiri mengambil sisi paling jujur dari Rose. Dan Rose, hanya diam di tempatnya. Sesekali ia menatap ke arah jendela, memejamkan mata ketika menarik nafas panjang, lalu kembali menatap ke arah Ethan. Dan setelah beberapa foto berhasil ia dapatkan, Ethan akhirnya tersenyum dan menjauh dari kameranya. "Sempurna..." puji Ethan. "Apa hasilnya bagus?" "Untuk wanita secantik kamu, tak pernah ada kata jelek dalam setiap fotonya." "Ayolah. Aku tak butuh gombalan seperti itu..." Rose kali ini mendekati Ethan. Ia mencoba melihat hasil foto di kamera pria itu, dan membuat jarak mereka semakin dekat. Rambut panjang Rose menyentuh wajah Ethan dan kali ini berhasil membuat pria itu menegang. "Wow... Aku tak pernah difoto seperti ini sebelumnya," gumam Rose penuh kekaguman. Ethan tersenyum bangga mendengarnya, "Kau suka?" "Ya. Suka sekali. Ini sedikit berbeda, tapi bagus..." jawab Rose sambil menoleh ke arah Ethan. Gerakan tiba-tiba itu membuat hidung mereka bersentuhan. Rose baru sadar jika jarak mereka terlalu dekat sehingga membuatnya tersentak dan hampir terjatuh ke belakang. Dengan sigap lengan kanan Ethan menahan pinggang Rose. Tubuh mereka pun menempel. Mata mereka saling menatap. Dan nafas mereka bersahutan. Setelah saling tatap dalam beberapa detik, waktu di sekitar mereka pun berhenti seketika. Dan tanpa ada kata yang terucap, bibir mereka pun bertemu. Saling berpagutan dengan lembut. ***“Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.”Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.”“Berbeda bagaimana?”“Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.”Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’.“Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.”“Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.”Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu
Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur ya
"Terima kasih," ucap Rose sekilas."Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan."Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu." "Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya."Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.Rose ingin berbicar
Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.Ia melangkah menghampiri Rose, menyod
Lampu kristal berkilauan bagaikan ribuan bintang yang jatuh ke bumi. Ballroom Hotel Imperial malam itu dipenuhi kilau gaun-gaun rancangan desainer internasional, setelan jas terbaik, dan senyum yang penuh kepura-puraan. Semua orang datang bukan hanya untuk merayakan ulang tahun pernikahan ke-5 Rose dan Noah, tetapi juga untuk menjadi bagian dari pesta paling bergengsi tahun ini.Rose berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun merah anggur dengan potongan leher berbentuk hati, membalut tubuhnya dengan elegan. Rambut panjangnya disanggul setengah ke atas, menyisakan beberapa helai bergelombang yang jatuh manis di bahu. Malam ini, ia tahu, semua mata tertuju padanya. Ia sudah terbiasa dengan sorot kamera, dengan bisikan iri sekaligus kagum dari kalangan sosialita. Ia adalah Olivia Rose, istri Noah Ferdinand. Pengusaha muda yang menjadi penerus satu-satunya tahta bisnis raksasa keluarga Ferdinand Group.Namun, di balik tatapan anggun dan senyuman yang ia pajang, jantung Rose berdegup lebi







