LOGINRose memejamkan mata saat bibir Ethan menyentuh bibirnya. Perlahan.
Tidak memaksa. Tidak liar. Tapi lembut dan penuh rasa. Rose seharusnya mundur. Ia tahu ini salah. Bahkan sangat salah. Tapi tubuhnya tak patuh. Ia membeku, lalu tenggelam dalam sentuhan itu. Ada sesuatu dalam ciuman Ethan yang membuatnya merasa hidup, seolah seluruh peran, topeng, dan kepalsuan yang ia pakai selama lima tahun terakhir luluh begitu saja. Ciuman itu tidak berlangsung lama. Tapi cukup untuk menggetarkan dunia kecilnya. Dan saat Ethan melepaskan diri, matanya masih menatapnya dalam. “Sekarang… aku sudah menangkap ekspresi yang kucari,” katanya pelan. Rose menatapnya dengan bingung, pipinya memerah. “Ekspresi apa maksudmu?” “Yang tak bisa kau buat-buat.” Ia mengangkat kameranya kembali, menunjukkan layar kecil di belakang body kamera. Satu foto terpampang. Wajah Rose dengan mata sedikit terpejam, bibir sedikit terbuka, dan wajah yang seolah… terbangun dari tidur panjang. Hasilnya memukau. Ia tampak rapuh sekaligus kuat. Seperti wanita yang baru saja menemukan sisi dirinya yang nyata. Rose terpaku. “Aku terlihat…” “Hidup,” Ethan menyelesaikan kalimatnya. "Kau tahu apa yang menarik darimu, Rose?" katanya perlahan, nada suaranya seolah sedang membaca pikirannya. Rose menahan napas. “Apa?” “Bukan kecantikanmu. Tapi kesedihan yang kau sembunyikan di balik senyum sempurna itu.” Rose terdiam. Kata-kata itu menghantam bagian hatinya yang paling rapuh. Tidak ada satu pun fotografer atau pewawancara yang pernah berkata sejujur itu. Bahkan Noah, suaminya sendiri, tidak pernah melihat dirinya seperti itu. Ethan melihat melewati kulit dan gaun mahalnya. Ia menatap langsung ke luka di dalam jiwanya. Hening melingkupi mereka beberapa detik sebelum Rose menghela napas panjang dan mundur setapak. “Aku tidak tahu harus bilang apa,” ujarnya pelan, hampir berbisik. “Kau tidak perlu bilang apa-apa,” jawab Ethan. “Cukup jujur pada dirimu sendiri. Itu sudah lebih dari cukup.” Ada kehangatan aneh yang tersisa di dadanya saat ia mengambil tas dan pamit. Ethan tidak menahannya, hanya mengangguk, dengan tatapan mata yang terlalu sulit untuk diartikan. Antara campuran profesionalisme dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Namun saat berada di dalam mobil, Rose menatap refleksinya di kaca jendela. Ia menyentuh bibirnya sendiri yang detik itu masih bisa merasakan jejak lembut Ethan di sana. Ciuman itu… bukan hanya tentang hasrat. Ada sesuatu yang membebaskannya. Ia ingin membencinya, tapi yang muncul justru rasa penasaran yang dalam. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tersenyum. Bukan senyum sosial yang kosong, tapi senyum kecil yang hangat dan muncul dari dada. *** Rumah Rose tampak sunyi ketika ia tiba. Lampu ruang tamu menyala redup, dan seorang pelayan menyambutnya. Rose membuka sepatu hak tinggi dan meletakkan tasnya, hendak menuju kamar ketika suara Noah terdengar dari arah ruang kerja. “Kau pulang terlambat.” Nada suaranya datar tapi menusuk. Rose menoleh. Noah duduk di sofa kulit dengan segelas bourbon di tangan, dasi longgar, dan ekspresi yang seperti biasa, tenang namun beracun. “Studio foto Ethan Knoxx, ingat?” jawab Rose tenang. Noah meneguk minumannya, menatapnya dari ujung rambut sampai kaki. “Aku lupa kau masih punya hobi menjadi pusat perhatian.” Rose tersenyum samar. “Seseorang harus menjaga reputasi keluarga ini di depan kamera, kan?” Sebuah balasan halus tapi tajam. Noah mendongak. Matanya menajam, tapi bibirnya melengkung sedikit. “Kau mulai pandai bicara, Rose. Biasanya kau hanya diam dan mengangguk.” Rose melangkah perlahan ke arah tangga. “Noah,” katanya tanpa menatap, “aku lelah hari ini. Aku ingin beristirahat.” Tapi Noah menaruh gelasnya dengan suara keras di meja. “Berhenti di situ.” Langkah Rose terhenti. Ia bisa merasakan tatapan tajam itu di punggungnya. “Duduk," perintah Noah tegas. Rose diam sejenak, lalu menurut. Ia duduk di seberang, dengan posturnya yang tetap anggun. Noah menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seolah sedang menilai barang antik. “Seharusnya kau bersyukur aku membiarkanmu melakukan hal-hal remeh itu,” katanya datar. “Kau tahu berapa banyak wanita yang ingin berada di posisimu?” Rose menatap balik, kali ini dengan mata yang tidak lagi kosong. “Ya. Tapi mereka tidak tahu rasanya berada di dalamnya.” Noah terdiam, jelas tak menyangka balasan secepat itu. Dulu, Rose akan menunduk, meminta maaf, mencoba menjelaskan. Tapi mengapa kali ini tidak. Ia tetap duduk tegak, tenang, seperti wanita yang tahu bahwa diamnya pun bisa jadi senjata. Noah mencondongkan tubuh, suaranya lebih rendah. “Kau berubah, Rose. Apa karena aku terlalu sibuk, atau karena seseorang membuatmu merasa hidup lagi?” Rose tersenyum. Tapi bukan senyum manis, melainkan senyum dingin yang menusuk. “Bukankah itu bagus kalau aku mulai hidup lagi?” Noah menatapnya dalam. “Hati-hati, Rose. Beberapa hal sebaiknya tetap mati.” Rose bangkit. “Mungkin. Tapi aku tidak mau menjadi salah satunya.” Ia berjalan menuju tangga, meninggalkan Noah yang diam di tempatnya. Rose merasa ada sesuatu dalam dirinya yang baru malam ini. Ia tahu Noah sedang menahan amarah, tapi anehnya… ia tidak takut. Ia tidak lagi merasa kecil di hadapan suaminya yang selama ini mendominasi dan manipulatif. Ia hanya merasa… berjarak. Dan di balik jarak itu, ada kebebasan yang mulai tumbuh. *** Di dalam kamar, Rose membuka blouse dan celananya, lalu berdiri di depan cermin besar di dekat tempat tidur. Ia memandang dirinya di pantulan cermin. Kulit pucat, rambut yang masih rapi, bibir yang sedikit membengkak. Untuk pertama kalinya, ia melihat sosok di pantulan itu bukan sekadar “Istri Noah Ferdinand.” Ia melihat Olivia Rose. Ia tersenyum tipis. “Wajah di balik topeng,” gumamnya pelan. Dan di saat itu juga, tanpa sadar, hatinya berdegup bukan karena rasa takut kehilangan Noah, tapi karena bayangan Ethan yang muncul di pikirannya. Malam itu, ketika Noah sudah tertidur, Rose memandangi langit dari jendela kamarnya. Hujan turun perlahan membasahi jendela. Rose melamun. Ia menempelkan jari ke bibirnya, masih bisa merasakan sentuhan lembut Ethan yang memulai semuanya. Ia tahu itu salah. Ia tahu dunia bisa runtuh jika rahasia itu terbongkar. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak peduli. Yang penting, untuk sesaat saja, ia merasa hidup. Bukan sebagai istri Noah Ferdinand. Bukan sebagai ikon fashion atau trofi publik. Tapi sebagai wanita bernama Rose, yang akhirnya menemukan cerminan dirinya di balik ciuman seorang pria asing. *** Keesokan paginya, Noah bersikap seperti biasa. Tenang, seolah tidak pernah terjadi apa pun. Ia membaca koran di meja makan, sementara Rose menyeduh teh. Tak ada yang terlihat aneh, namun sebenarnya ada ketegangan samar di udara. “Jadi... kamu akan memulai karir modelmu lagi? Bagaimana sesi fotomu kemarin?” tanya Noah tanpa menatap. “Bagus,” jawab Rose singkat. “Fotografernya tahu bagaimana membuatku tampak nyata.” Noah menatapnya sekilas. “Nyata? Kau selalu tampak nyata, Rose. Setidaknya di depan kamera.” Rose meletakkan cangkirnya. “Mungkin kau benar. Tapi di depanmu, aku hanya bayangan.” Sebuah keheningan panjang terjadi. Noah menatap istrinya lama, mencoba membaca sesuatu di matanya, tapi Rose kini pandai menyembunyikan rahasia. Dan entah mengapa, sikap pasif namun tenangnya membuat Noah merasa tidak nyaman. Ia bangkit dari kursinya, berdiri di belakang Rose, tangannya menyentuh bahu istrinya dengan gerakan posesif. “Jangan bermain api, sayang,” bisiknya ke telinga Rose. Rose menatap cangkir tehnya tanpa ekspresi. “Kalau aku terbakar,” katanya datar, “setidaknya aku tahu bagaimana rasanya hidup sebelum hangus.” Noah menarik napas panjang, menahan emosi. Ia tahu ada sesuatu yang berubah pada Rose. Sesuatu yang tidak bisa ia kontrol. Dan bagi pria seperti Noah Ferdinand, kehilangan kendali adalah bentuk penghinaan paling besar. Namun bagi Rose, kehilangan kendali justru terasa seperti… kebebasan pertama setelah lima tahun hidup dalam sangkar emas. ***Makan malam itu berlangsung dalam sunyi yang menyesakkan.Meja panjang dengan hidangan mewah terasa seperti panggung sandiwara yang gagal. Rose duduk di satu sisi, punggungnya tegak namun bahunya tegang. Noah duduk di seberang, memotong makanannya dengan gerakan mekanis, tatapannya sesekali melayang. Bukan pada Rose, melainkan ke layar ponsel yang sejak tadi tak lepas dari genggamannya.Rose mencoba fokus pada piringnya. Ia tahu, sejak kepulangan Noah, udara di rumah itu berubah. Lebih berat dan dingin.Lalu ponsel Noah bergetar.Sekali. Dan sekali lagi.Noah berhenti makan. Rahangnya mengeras. Ia membaca sesuatu di layar, dan dalam hitungan detik, wajahnya berubah. Bukan terkejut. Bukan sedih. Melainkan Marah.Noah berdiri mendadak, kursinya bergeser kasar hingga menimbulkan bunyi memekakkan. Rose terlonjak kecil.“Ada apa?” tanya Rose, refleks.Noah tidak menjawab. Ia melempar ponselnya ke atas meja dalam keadaan layarnya menyala, menampilkan sebuah artikel singkat dari akun anonim.
Pagi itu, saat Rose terbangun di studio Ethan, ia masih merasakan hangatnya kebahagiaan yang belum sempat benar-benar mengendap. Ia bernapas pelan, mengharapkan Ethan masih ada di dekatnya. Namun yang ia temui hanya ranjang kosong di sampingnya, walaupun jejak Ethan masih terasa hangat disana. Mungkin Ethan sedang merapikan peralatan kamera, atau mungkin sedang membuatkan kopi dan sarapan. Tapi ruangan itu terasa terlalu sunyi, nyaris hampa.Rose bangun perlahan, meraih bajunya yang berserakan di lantai dan mulai berpakaian. Saat hendak mengambil tasnya, matanya menangkap sesuatu di bawah meja.Sebuah foto.Ia berlutut, meraihnya dengan hati-hati. Satu detik kemudian, pandangannya membeku.Itu foto dua orang pria. Satu asing bagi Rose, tapi pria lainnya sangat ia kenal.Noah.Lebih muda, dengan senyum yang hanya ia lihat dalam foto-foto lama. Pose tegap, latar tempat yang asing, tapi tatapan itu tidak salah lagi. Rose menggenggam foto itu lebih erat, dadanya mengencang.Bagaimana mung
Ethan menggulingkan tubuhnya, hingga sepenuhnya berada di atas Rose. Bibirnya terus melumat bibir Rose tanpa henti, tangannya bergerak ke tangan Rose. Menggenggamnya erat sebelum mengangkatnya ke atas.Rose terlentang dalam posisi tangan terangkat. Ia mendesah sambil memejamkan mata saat bibir Ethan bergerak turun ke leher dan dadanya.Dalam pose itu, ia tampak semakin sensual dan menggairahkan. Dadanya membulat sempurna. Ethan menelangkupnya dengan kedua tangan, lalu menghisapnya bergantian."Ssshhh... Ethan..." Rose mendesahkan nama itu dengan segenap perasaannya. Ethan terus bergerak, menciumi setiap inchi tubuh Rose. Tangannya mengikuti gerakan bibirnya, hingga akhirnya ia menyentuh titik sensitif Rose di bawah sana.Ethan membelai lembah basah itu dengan lembut. Menyentuhnya seakan itu adalah barang yang sangat berharga. Rose menggelinjang. Ia menggeliat saat jari Ethan masuk dan menyentuhnya semakin dalam."Ethan... Aaaarrgghh..."Ethan tersenyum melihat Rose menyebut namanya un
Ethan tersenyum. "Baiklah... Izinkan aku menyediakan makan malam istimewa untuk tamu spesialku..."Rose terkekeh. "Okay..." Rose duduk di sofa studio, sementara Ethan mengambil ponsel. Di studio itu tak tersedia dapur, dan hanya ada mesin kopi. Jadi Ethan harus memesan makanan untuk makan malam mereka."Ethan... Apa kau tinggal disini?" tanya Rose."Tidak. Aku tinggal di apartemen. Tapi aku lebih sering berada disini. Studio ini adalah rumah keduaku. Apa kamu mau kita kesana?" tanya Ethan.Jantung Rose berdegup kencang. Pergi ke apartemen Ethan, artinya mereka bisa lebih bebas melakukan apapun. Dan itu jauh lebih membahayakan."Tidak. Sepertinya kita disini saja," tolak Rose. Takut mereka tenggelam ke dalam hubungan yang lebih jauh dari ini.Ia mengalihkan pandangan, berusaha menutupi wajahnya yang memerah, karena sempat membayangkan akan b*cinta dengan liar di apartemen.Melihat reaksi Rose, Ethan tersenyum."Disini juga sama saja. Ada sofa. Ada kamar mandi. Dan ada ranjang..." ucap
Noah membalas ciuman itu dengan lebih liar dan ganas, seolah ia sanggup melahap bibir Giselle sampai habis. Sementara Giselle menggeliat dan menggerakkan tubuhnya, membuat batang Noah yang sudah mengeras menggesek miliknya di bawah sana."Masukkan!" perintah Noah sambil terus menciumi leher Giselle. Ia meremas dada Giselle yang basah dengan kasar, dan sesekali menghisapnya.Giselle patuh. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, sebelum menempatkan miliknya tepat di atas milik Noah untuk menyatukan mereka. Lalu..."Aaarrgghh..." Noah mengerang saat miliknya masuk ke dalam tubuh Giselle. Sensasi yang sangat luar biasa ia rasakan, campuran antara hangat, sempit, dan basah karena mereka dalam posisi berendam. Hal yang belum pernah dilakukan Noah bersama Rose."Ini asyik bukan... Uh... Kamu... Benar-benar perkasa... Uh..." Giselle melenguh ketika batang besar itu melesak keluar masuk di dalam tubuhnyaMendengar pujian itu, Noah semakin merasa gila. Bukan hanya pandai bermain cinta, Giselle juga se
Siang itu, kota tempat Noah menghadiri meeting tampak lebih hidup dari kemarin. Matahari menyorot lembut di antara gedung-gedung tinggi, memantul di kaca etalase butik-butik mahal. Noah dan Giselle berjalan berdampingan, jarak mereka terlalu dekat untuk hubungan “bos dan sekretaris”. Dari kejauhan, mereka tampak seperti pasangan kaya yang tengah menikmati liburan spontan.Giselle melangkah ringan, senyum terpasang di bibirnya. Sementara Noah seperti biasa, berwajah datar dan lelah, tapi terlihat jauh lebih rileks dibanding saat bekerja. Itu saja sudah memberi Giselle rasa kemenangan kecil yang memabukkan.“Noah, coba lihat ini,” ucap Giselle sambil menunjuk sebuah jam tangan mahal di etalase butik. Nada suaranya dibuat manja, dengan senyum terukur yang ia tahu selalu melemahkan pria.Noah hanya menghela napas pendek sebelum berkata, “Kalau kamu suka, ambil saja.”Ambil saja. Seolah harga jam itu bukan apa-apa. Seolah apa pun yang ia inginkan bisa ia dapatkan.Giselle masuk ke butik de







