Share

4. Sindiran Tajam

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-10-11 18:04:20

Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.

Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.

Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.

Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur yang biasanya hangat oleh keberadaan Noah. Tapi ternyata kosong. Sama seperti semalam.

Bantal di sebelahnya rapi. Seprainya masih licin. Dan jam dinding menunjukkan pukul enam pagi.

Noah belum pulang.

Rose memandangi sisi tempat tidur itu cukup lama, tanpa ekspresi. Hatinya seolah sudah terlalu lelah untuk marah. Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dari tempat tidur.

Ia tahu alasan klasik yang akan Noah berikan nanti. Urusan bisnis, kolega penting, atau pertemuan mendadak. Tapi Rose tidak butuh penjelasan.

Apa pun alasannya, tidak ada yang bisa menghapus bayangan semalam.

Ia melangkah menuju jendela, menatap halaman rumah yang masih basah oleh sisa hujan. Embun pagi menempel di dedaunan, dan langit tampak bersih, seolah dunia baru saja mencuci dirinya sendiri.

“Sayangnya, aku tidak bisa,” gumam Rose lirih. “Aku tidak bisa membersihkan diriku dari semua ini.”

Setelah mandi, ia mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang krem, jauh dari gemerlap gaun semalam. Wajahnya tampak segar, tapi matanya masih menyimpan bekas lelah yang dalam.

Ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar. Meja panjang sudah disiapkan oleh pelayan. Sarapan lengkap dengan roti panggang, telur, dan kopi hangat.

Namun kursi di seberang tempat duduknya kosong. Tempat Noah biasa berada.

Rose mengaduk kopinya pelan. Uap hangat naik perlahan, tapi tak cukup untuk menghangatkan hatinya. Ia menatap kursi kosong itu dan tersenyum miris.

“Selamat pagi, Noah,” katanya pelan, menirukan nada manis yang biasa ia ucapkan setiap hari. Namun kali ini terdengar lebih seperti ejekan.

Setelah meneguk kopi terakhir, Rose bangkit dan berjalan menuju ruang ganti. Ia mengambil tas tangan, mengenakan kacamata hitam, dan mengambil kunci mobil.

Hari ini, ia berencana bertemu Ethan. Ada sesuatu dalam diri Rose yang ingin berbicara dengannya. Mungkin karena Ethan adalah satu-satunya orang semalam yang melihat dirinya tanpa topeng. Ia tak tahu pasti, tapi perasaan itu cukup kuat untuk mendorongnya pergi.

Ketika Rose melangkah keluar rumah, sinar matahari pagi menyambut lembut. Udara masih menyisakan aroma hujan. William, sang sopir, menyambutnya dengan senyum ramah.

"Hendak pergi hari ini, Nyonya?"

"Ya. Tapi aku pergi sendiri," jawab Rose. William sontak menundukkan kepala dan mundur. Ia membukakan pintu mobil di balik kemudi untuk Rose, ketika suara mesin mobil lain terdengar mendekat.

Mobil hitam Noah berhenti tepat di belakang mobil Rose.

Rose menahan napas sesaat. Ia berdiri tegak, menatap mobil itu tanpa bergerak.

Pintu depan terbuka. Sopir keluar dan membukakan pintu belakang. Noah keluar dengan rambut masih basah dan kemeja biru muda yang disetrika sempurna. Ia terlihat segar, seolah baru mandi dan tidur nyenyak semalaman. Tidak seperti seseorang yang baru pulang dari pesta panjang.

Rose memandangi pria itu dalam diam. Matanya yang tajam membaca setiap detail. Kemeja yang tak kusut, aroma sabun dari kejauhan, dan ekspresi santai di wajah Noah.

Hatinya berdesir getir. Dia tidak pulang karena apa, atau karena siapa, sudah bukan pertanyaan lagi baginya. Ia tahu jawabannya. Dan itu menyakitkan karena Noah tidak berusaha menyembunyikan betapa mudahnya ia berbohong.

“Sayang?” Noah memanggil, nada suaranya seperti biasa. Tenang, lembut, dan penuh kendali. “Kau sudah bangun. Aku pikir kau masih tidur.”

Rose menaruh tasnya di dalam mobil. “Tidur,” ujarnya pelan tanpa menoleh, “lebih mudah daripada berpura-pura lagi.”

Noah berkerut bingung. “Apa maksudmu?”

Rose menatapnya akhirnya, menyingkirkan kacamatanya. Tatapannya tenang, tapi ada bara kecil di sana. Bara dari luka yang tak lagi bisa ditutup.

“Aku hanya bilang, tidur tidak menuntut senyum palsu atau janji yang tak pernah ditepati. Jadi rasanya lebih jujur.”

Noah menatapnya lekat, mencoba membaca nada di balik kata-katanya. Tapi seperti biasa, ia memilih menyangkal. “Kau terdengar aneh pagi ini. Aku lelah baru pulang dari semalam, itu saja. Kita bisa bicara nanti malam, ya?”

Rose menahan tawa kecil. Dingin dan getir. “Tidak perlu. Aku tidak punya energi untuk percakapan yang waktunya sudah direncanakan.

Noah menatap jam tangannya, tampak ingin segera mengakhiri pembicaraan. “Baik, terserah. Tapi ke mana kau akan pergi?”

Rose menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Senyum yang sama sekali tidak hangat.

“Mungkin ke tempat yang tidak menuntutku memainkan peran, Noah.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencium pipi Noah sekilas dan berbisik. Suaranya pelan tapi cukup menusuk. “Kau tahu rasanya? Menjadi seseorang yang benar-benar jujur?”

Noah mengerutkan kening. “Rose...”

“Dan oh,” potong Rose cepat, “kau terlihat segar pagi ini. Rambut basah, kulit bersih… luar biasa, mengingat kau ‘tidak pulang karena berpesta’.”

Noah membuka mulut, tapi Rose sudah melangkah masuk ke mobil. Ia menutup pintu perlahan, menyalakan mesin, lalu menatap Noah dari balik kaca jendela.

“Selamat pagi, suamiku yang sibuk,” katanya datar, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin. “Cobalah untuk tidak terlalu bekerja keras… atau terlalu menikmati pekerjaanmu.”

Noah membeku di tempat. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar sindiran, melainkan peluru yang ditembakkan dengan presisi. Tapi seperti biasa, Rose tidak menunggu tanggapan.

Mobil melaju meninggalkan halaman rumah, meninggalkan Noah berdiri sendirian di bawah cahaya matahari pagi. Senyumnya perlahan memudar.

***

Setelah menempuh sejam perjalanan, akhirnya Rose sampai di alamat yang tertera di kartu nama itu.

Studio itu ternyata tersembunyi di salah satu sudut kota yang tak banyak dilalui orang. Dari luar, bangunannya tampak sederhana. Dinding bata ekspos, jendela besar, dan pintu kayu dengan tulisan kecil E. Knoxx Photography di atasnya. Namun, saat Rose melangkah masuk, dunia di dalam terasa berbeda. Suasana terasa hangat, lembut, dan beraroma kopi serta cahaya alami.

Langkah sepatu hak rendahnya bergema halus di lantai kayu. Ia mengenakan blouse sutra putih yang jatuh lembut di tubuhnya, rambutnya dibiarkan terurai natural, sedikit bergelombang karena udara pagi. Gerakannya anggun, tenang, seperti seseorang yang tahu caranya menjaga elegansi bahkan di tengah kekacauan batin.

“Olivia Rose.”

Suara itu datang dari arah dalam, rendah dan berat. Sedetik kemudian, Ethan muncul dari balik partisi kain putih, dengan kamera tergantung di leher dan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Mata cokelatnya menyala lembut di bawah cahaya siang.

Senyumnya hangat, bukan senyum formal seperti milik Noah, tapi senyum yang terasa… nyata.

Dada Rose pun berdesir seketika. Ia tak pernah melihat pria semenarik ini sebelumnya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   5. Rasa di Balik Lensa

    “Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.”Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.”“Berbeda bagaimana?”“Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.”Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’.“Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.”“Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.”Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   4. Sindiran Tajam

    Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur ya

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   3. Keinginan Untuk Tumbuh

    "Terima kasih," ucap Rose sekilas."Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan."Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu." "Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya."Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.Rose ingin berbicar

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   2. Tatapan yang Menusuk

    Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.Ia melangkah menghampiri Rose, menyod

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   1. Ulang Tahun Pernikahan

    Lampu kristal berkilauan bagaikan ribuan bintang yang jatuh ke bumi. Ballroom Hotel Imperial malam itu dipenuhi kilau gaun-gaun rancangan desainer internasional, setelan jas terbaik, dan senyum yang penuh kepura-puraan. Semua orang datang bukan hanya untuk merayakan ulang tahun pernikahan ke-5 Rose dan Noah, tetapi juga untuk menjadi bagian dari pesta paling bergengsi tahun ini.Rose berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun merah anggur dengan potongan leher berbentuk hati, membalut tubuhnya dengan elegan. Rambut panjangnya disanggul setengah ke atas, menyisakan beberapa helai bergelombang yang jatuh manis di bahu. Malam ini, ia tahu, semua mata tertuju padanya. Ia sudah terbiasa dengan sorot kamera, dengan bisikan iri sekaligus kagum dari kalangan sosialita. Ia adalah Olivia Rose, istri Noah Ferdinand. Pengusaha muda yang menjadi penerus satu-satunya tahta bisnis raksasa keluarga Ferdinand Group.Namun, di balik tatapan anggun dan senyuman yang ia pajang, jantung Rose berdegup lebi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status