LOGINSuara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.
Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam. Entah jam berapa akhirnya ia terlelap. Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur yang biasanya hangat oleh keberadaan Noah. Tapi ternyata kosong. Sama seperti semalam. Bantal di sebelahnya rapi. Seprainya masih licin. Dan jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Noah belum pulang. Rose memandangi sisi tempat tidur itu cukup lama, tanpa ekspresi. Hatinya seolah sudah terlalu lelah untuk marah. Ia menarik napas dalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Ia tahu alasan klasik yang akan Noah berikan nanti. Urusan bisnis, kolega penting, atau pertemuan mendadak. Tapi Rose tidak butuh penjelasan. Apa pun alasannya, tidak ada yang bisa menghapus bayangan semalam. Ia melangkah menuju jendela, menatap halaman rumah yang masih basah oleh sisa hujan. Embun pagi menempel di dedaunan, dan langit tampak bersih, seolah dunia baru saja mencuci dirinya sendiri. “Sayangnya, aku tidak bisa,” gumam Rose lirih. “Aku tidak bisa membersihkan diriku dari semua ini.” Setelah mandi, ia mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang krem, jauh dari gemerlap gaun semalam. Wajahnya tampak segar, tapi matanya masih menyimpan bekas lelah yang dalam. Ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar. Meja panjang sudah disiapkan oleh pelayan. Sarapan lengkap dengan roti panggang, telur, dan kopi hangat. Namun kursi di seberang tempat duduknya kosong. Tempat Noah biasa berada. Rose mengaduk kopinya pelan. Uap hangat naik perlahan, tapi tak cukup untuk menghangatkan hatinya. Ia menatap kursi kosong itu dan tersenyum miris. “Selamat pagi, Noah,” katanya pelan, menirukan nada manis yang biasa ia ucapkan setiap hari. Namun kali ini terdengar lebih seperti ejekan. Setelah meneguk kopi terakhir, Rose bangkit dan berjalan menuju ruang ganti. Ia mengambil tas tangan, mengenakan kacamata hitam, dan mengambil kunci mobil. Hari ini, ia berencana bertemu Ethan. Ada sesuatu dalam diri Rose yang ingin berbicara dengannya. Mungkin karena Ethan adalah satu-satunya orang semalam yang melihat dirinya tanpa topeng. Ia tak tahu pasti, tapi perasaan itu cukup kuat untuk mendorongnya pergi. Ketika Rose melangkah keluar rumah, sinar matahari pagi menyambut lembut. Udara masih menyisakan aroma hujan. William, sang sopir, menyambutnya dengan senyum ramah. "Hendak pergi hari ini, Nyonya?" "Ya. Tapi aku pergi sendiri," jawab Rose. William sontak menundukkan kepala dan mundur. Ia membukakan pintu mobil di balik kemudi untuk Rose, ketika suara mesin mobil lain terdengar mendekat. Mobil hitam Noah berhenti tepat di belakang mobil Rose. Rose menahan napas sesaat. Ia berdiri tegak, menatap mobil itu tanpa bergerak. Pintu depan terbuka. Sopir keluar dan membukakan pintu belakang. Noah keluar dengan rambut masih basah dan kemeja biru muda yang disetrika sempurna. Ia terlihat segar, seolah baru mandi dan tidur nyenyak semalaman. Tidak seperti seseorang yang baru pulang dari pesta panjang. Rose memandangi pria itu dalam diam. Matanya yang tajam membaca setiap detail. Kemeja yang tak kusut, aroma sabun dari kejauhan, dan ekspresi santai di wajah Noah. Hatinya berdesir getir. Dia tidak pulang karena apa, atau karena siapa, sudah bukan pertanyaan lagi baginya. Ia tahu jawabannya. Dan itu menyakitkan karena Noah tidak berusaha menyembunyikan betapa mudahnya ia berbohong. “Sayang?” Noah memanggil, nada suaranya seperti biasa. Tenang, lembut, dan penuh kendali. “Kau sudah bangun. Aku pikir kau masih tidur.” Rose menaruh tasnya di dalam mobil. “Tidur,” ujarnya pelan tanpa menoleh, “lebih mudah daripada berpura-pura lagi.” Noah berkerut bingung. “Apa maksudmu?” Rose menatapnya akhirnya, menyingkirkan kacamatanya. Tatapannya tenang, tapi ada bara kecil di sana. Bara dari luka yang tak lagi bisa ditutup. “Aku hanya bilang, tidur tidak menuntut senyum palsu atau janji yang tak pernah ditepati. Jadi rasanya lebih jujur.” Noah menatapnya lekat, mencoba membaca nada di balik kata-katanya. Tapi seperti biasa, ia memilih menyangkal. “Kau terdengar aneh pagi ini. Aku lelah baru pulang dari semalam, itu saja. Kita bisa bicara nanti malam, ya?” Rose menahan tawa kecil. Dingin dan getir. “Tidak perlu. Aku tidak punya energi untuk percakapan yang waktunya sudah direncanakan. Noah menatap jam tangannya, tampak ingin segera mengakhiri pembicaraan. “Baik, terserah. Tapi ke mana kau akan pergi?” Rose menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. Senyum yang sama sekali tidak hangat. “Mungkin ke tempat yang tidak menuntutku memainkan peran, Noah.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencium pipi Noah sekilas dan berbisik. Suaranya pelan tapi cukup menusuk. “Kau tahu rasanya? Menjadi seseorang yang benar-benar jujur?” Noah mengerutkan kening. “Rose...” “Dan oh,” potong Rose cepat, “kau terlihat segar pagi ini. Rambut basah, kulit bersih… luar biasa, mengingat kau ‘tidak pulang karena berpesta’.” Noah membuka mulut, tapi Rose sudah melangkah masuk ke mobil. Ia menutup pintu perlahan, menyalakan mesin, lalu menatap Noah dari balik kaca jendela. “Selamat pagi, suamiku yang sibuk,” katanya datar, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin. “Cobalah untuk tidak terlalu bekerja keras… atau terlalu menikmati pekerjaanmu.” Noah membeku di tempat. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar sindiran, melainkan peluru yang ditembakkan dengan presisi. Tapi seperti biasa, Rose tidak menunggu tanggapan. Mobil melaju meninggalkan halaman rumah, meninggalkan Noah berdiri sendirian di bawah cahaya matahari pagi. Senyumnya perlahan memudar. *** Setelah menempuh sejam perjalanan, akhirnya Rose sampai di alamat yang tertera di kartu nama itu. Studio itu ternyata tersembunyi di salah satu sudut kota yang tak banyak dilalui orang. Dari luar, bangunannya tampak sederhana. Dinding bata ekspos, jendela besar, dan pintu kayu dengan tulisan kecil E. Knoxx Photography di atasnya. Namun, saat Rose melangkah masuk, dunia di dalam terasa berbeda. Suasana terasa hangat, lembut, dan beraroma kopi serta cahaya alami. Langkah sepatu hak rendahnya bergema halus di lantai kayu. Ia mengenakan blouse sutra putih yang jatuh lembut di tubuhnya, rambutnya dibiarkan terurai natural, sedikit bergelombang karena udara pagi. Gerakannya anggun, tenang, seperti seseorang yang tahu caranya menjaga elegansi bahkan di tengah kekacauan batin. “Olivia Rose.” Suara itu datang dari arah dalam, rendah dan berat. Sedetik kemudian, Ethan muncul dari balik partisi kain putih, dengan kamera tergantung di leher dan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku. Mata cokelatnya menyala lembut di bawah cahaya siang. Senyumnya hangat, bukan senyum formal seperti milik Noah, tapi senyum yang terasa… nyata. Dada Rose pun berdesir seketika. Ia tak pernah melihat pria semenarik ini sebelumnya. ***Makan malam itu berlangsung dalam sunyi yang menyesakkan.Meja panjang dengan hidangan mewah terasa seperti panggung sandiwara yang gagal. Rose duduk di satu sisi, punggungnya tegak namun bahunya tegang. Noah duduk di seberang, memotong makanannya dengan gerakan mekanis, tatapannya sesekali melayang. Bukan pada Rose, melainkan ke layar ponsel yang sejak tadi tak lepas dari genggamannya.Rose mencoba fokus pada piringnya. Ia tahu, sejak kepulangan Noah, udara di rumah itu berubah. Lebih berat dan dingin.Lalu ponsel Noah bergetar.Sekali. Dan sekali lagi.Noah berhenti makan. Rahangnya mengeras. Ia membaca sesuatu di layar, dan dalam hitungan detik, wajahnya berubah. Bukan terkejut. Bukan sedih. Melainkan Marah.Noah berdiri mendadak, kursinya bergeser kasar hingga menimbulkan bunyi memekakkan. Rose terlonjak kecil.“Ada apa?” tanya Rose, refleks.Noah tidak menjawab. Ia melempar ponselnya ke atas meja dalam keadaan layarnya menyala, menampilkan sebuah artikel singkat dari akun anonim.
Pagi itu, saat Rose terbangun di studio Ethan, ia masih merasakan hangatnya kebahagiaan yang belum sempat benar-benar mengendap. Ia bernapas pelan, mengharapkan Ethan masih ada di dekatnya. Namun yang ia temui hanya ranjang kosong di sampingnya, walaupun jejak Ethan masih terasa hangat disana. Mungkin Ethan sedang merapikan peralatan kamera, atau mungkin sedang membuatkan kopi dan sarapan. Tapi ruangan itu terasa terlalu sunyi, nyaris hampa.Rose bangun perlahan, meraih bajunya yang berserakan di lantai dan mulai berpakaian. Saat hendak mengambil tasnya, matanya menangkap sesuatu di bawah meja.Sebuah foto.Ia berlutut, meraihnya dengan hati-hati. Satu detik kemudian, pandangannya membeku.Itu foto dua orang pria. Satu asing bagi Rose, tapi pria lainnya sangat ia kenal.Noah.Lebih muda, dengan senyum yang hanya ia lihat dalam foto-foto lama. Pose tegap, latar tempat yang asing, tapi tatapan itu tidak salah lagi. Rose menggenggam foto itu lebih erat, dadanya mengencang.Bagaimana mung
Ethan menggulingkan tubuhnya, hingga sepenuhnya berada di atas Rose. Bibirnya terus melumat bibir Rose tanpa henti, tangannya bergerak ke tangan Rose. Menggenggamnya erat sebelum mengangkatnya ke atas.Rose terlentang dalam posisi tangan terangkat. Ia mendesah sambil memejamkan mata saat bibir Ethan bergerak turun ke leher dan dadanya.Dalam pose itu, ia tampak semakin sensual dan menggairahkan. Dadanya membulat sempurna. Ethan menelangkupnya dengan kedua tangan, lalu menghisapnya bergantian."Ssshhh... Ethan..." Rose mendesahkan nama itu dengan segenap perasaannya. Ethan terus bergerak, menciumi setiap inchi tubuh Rose. Tangannya mengikuti gerakan bibirnya, hingga akhirnya ia menyentuh titik sensitif Rose di bawah sana.Ethan membelai lembah basah itu dengan lembut. Menyentuhnya seakan itu adalah barang yang sangat berharga. Rose menggelinjang. Ia menggeliat saat jari Ethan masuk dan menyentuhnya semakin dalam."Ethan... Aaaarrgghh..."Ethan tersenyum melihat Rose menyebut namanya un
Ethan tersenyum. "Baiklah... Izinkan aku menyediakan makan malam istimewa untuk tamu spesialku..."Rose terkekeh. "Okay..." Rose duduk di sofa studio, sementara Ethan mengambil ponsel. Di studio itu tak tersedia dapur, dan hanya ada mesin kopi. Jadi Ethan harus memesan makanan untuk makan malam mereka."Ethan... Apa kau tinggal disini?" tanya Rose."Tidak. Aku tinggal di apartemen. Tapi aku lebih sering berada disini. Studio ini adalah rumah keduaku. Apa kamu mau kita kesana?" tanya Ethan.Jantung Rose berdegup kencang. Pergi ke apartemen Ethan, artinya mereka bisa lebih bebas melakukan apapun. Dan itu jauh lebih membahayakan."Tidak. Sepertinya kita disini saja," tolak Rose. Takut mereka tenggelam ke dalam hubungan yang lebih jauh dari ini.Ia mengalihkan pandangan, berusaha menutupi wajahnya yang memerah, karena sempat membayangkan akan b*cinta dengan liar di apartemen.Melihat reaksi Rose, Ethan tersenyum."Disini juga sama saja. Ada sofa. Ada kamar mandi. Dan ada ranjang..." ucap
Noah membalas ciuman itu dengan lebih liar dan ganas, seolah ia sanggup melahap bibir Giselle sampai habis. Sementara Giselle menggeliat dan menggerakkan tubuhnya, membuat batang Noah yang sudah mengeras menggesek miliknya di bawah sana."Masukkan!" perintah Noah sambil terus menciumi leher Giselle. Ia meremas dada Giselle yang basah dengan kasar, dan sesekali menghisapnya.Giselle patuh. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, sebelum menempatkan miliknya tepat di atas milik Noah untuk menyatukan mereka. Lalu..."Aaarrgghh..." Noah mengerang saat miliknya masuk ke dalam tubuh Giselle. Sensasi yang sangat luar biasa ia rasakan, campuran antara hangat, sempit, dan basah karena mereka dalam posisi berendam. Hal yang belum pernah dilakukan Noah bersama Rose."Ini asyik bukan... Uh... Kamu... Benar-benar perkasa... Uh..." Giselle melenguh ketika batang besar itu melesak keluar masuk di dalam tubuhnyaMendengar pujian itu, Noah semakin merasa gila. Bukan hanya pandai bermain cinta, Giselle juga se
Siang itu, kota tempat Noah menghadiri meeting tampak lebih hidup dari kemarin. Matahari menyorot lembut di antara gedung-gedung tinggi, memantul di kaca etalase butik-butik mahal. Noah dan Giselle berjalan berdampingan, jarak mereka terlalu dekat untuk hubungan “bos dan sekretaris”. Dari kejauhan, mereka tampak seperti pasangan kaya yang tengah menikmati liburan spontan.Giselle melangkah ringan, senyum terpasang di bibirnya. Sementara Noah seperti biasa, berwajah datar dan lelah, tapi terlihat jauh lebih rileks dibanding saat bekerja. Itu saja sudah memberi Giselle rasa kemenangan kecil yang memabukkan.“Noah, coba lihat ini,” ucap Giselle sambil menunjuk sebuah jam tangan mahal di etalase butik. Nada suaranya dibuat manja, dengan senyum terukur yang ia tahu selalu melemahkan pria.Noah hanya menghela napas pendek sebelum berkata, “Kalau kamu suka, ambil saja.”Ambil saja. Seolah harga jam itu bukan apa-apa. Seolah apa pun yang ia inginkan bisa ia dapatkan.Giselle masuk ke butik de







