MasukStudio itu masih diselimuti aroma kopi dan pancake yang samar. Tirai besar menutup sebagian jendela, menyisakan cahaya matahari yang merayap di dinding penuh foto hitam putih. Di antara semua bingkai itu, Ethan duduk diam di kursinya, memandang sesuatu yang sudah lama berusaha ia lupakan.Di meja kayu yang penuhi coretan tinta dan gulungan film lama, tergeletak sebuah foto tua. Kertasnya menguning di tepinya, tapi wajah-wajah di dalamnya masih jelas, dua pria muda tersenyum berdampingan.Yang pertama, pria berjas dengan senyum angkuh dan tatapan percaya diri, tak lain adalah Noah Ferdinand, jauh lebih muda, namun dengan aura yang sama. Ambisius dan menawan.Di sampingnya, seorang pria berusia tiga puluh-an, dengan mata hangat dan senyum lembut. Wajah itu tak asing. Mirip Ethan, hanya lebih ramah dan lebih terang.Itu adalah ayahnya. Elliot Knoxx.Ethan mengelus permukaan foto itu dengan ujung jarinya, suaranya pelan nyaris seperti gumaman doa.“Jadi begini akhirnya, Ayah…”Matanya men
Rose memejamkan mata saat bibir Ethan menyentuh bibirnya. Perlahan.Tidak memaksa. Tidak liar. Tapi lembut dan penuh rasa.Rose seharusnya mundur. Ia tahu ini salah. Bahkan sangat salah. Tapi tubuhnya tak patuh. Ia membeku, lalu tenggelam dalam sentuhan itu. Ada sesuatu dalam ciuman Ethan yang membuatnya merasa hidup, seolah seluruh peran, topeng, dan kepalsuan yang ia pakai selama lima tahun terakhir luluh begitu saja.Ciuman itu tidak berlangsung lama. Tapi cukup untuk menggetarkan dunia kecilnya.Dan saat Ethan melepaskan diri, matanya masih menatapnya dalam.“Sekarang… aku sudah menangkap ekspresi yang kucari,” katanya pelan.Rose menatapnya dengan bingung, pipinya memerah. “Ekspresi apa maksudmu?”“Yang tak bisa kau buat-buat.”Ia mengangkat kameranya kembali, menunjukkan layar kecil di belakang body kamera.Satu foto terpampang. Wajah Rose dengan mata sedikit terpejam, bibir sedikit terbuka, dan wajah yang seolah… terbangun dari tidur panjang.Hasilnya memukau. Ia tampak rapuh s
“Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.”Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.”“Berbeda bagaimana?”“Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.”Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’.“Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.”“Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.”Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu
Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur ya
"Terima kasih," ucap Rose sekilas."Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan."Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu." "Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya."Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.Rose ingin berbicar
Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.Ia melangkah menghampiri Rose, menyod







