“Jika seseorang terhapus dari kisah, apakah kenangan tentangnya juga ikut lenyap? Jika namanya dihapus dari buku takdir, lalu mengapa aku masih mengingatnya?”
*** Langit Luthadel tak berbintang malam ini. Angin yang biasanya membawa nyanyian malam, kini datang menggugurkan daun-daun tua. Ia menyapu menara Nightborne dengan lirih, seperti ratapan jiwa-jiwa tak sempat selesai bercerita. Di balik jendela tinggi menara, seorang pria berdiri dalam diam. Kaelion Vaelhardt, sang Duke of Nightborne, berdiri dengan tubuh tegap. Namun matanya… kosong. Di hadapannya, terbuka sebuah naskah kuno. Benda itu bukan buku biasa, melainkan naskah yang menuliskan seluruh alur kehidupannya sebagai karakter di dunia ini. Semua tokoh memilikinya, tapi tak semua tahu cara membaca. Namun kini, di halaman ke-312 sampai ke-349, tak ada satu pun kata tertulis. Hanya halaman kosong, putih, dingin… seperti liang digali tanpa batu nisan. "Hilang... semuanya hilang dan kosong," lirihnya. "Kau tak akan menemukannya," suara penasihat sihir bergema minggu lalu. "Karena wanita itu… tidak pernah ada.” "Omong kosong!" Kaelion mendesis, matanya tajam. "Aku mengingatnya. Aku sangat mengingatnya." Ia ingat tawa itu. Sentuhan hangat jemarinya. Tatapan lembut penuh pemberontakan dari wanita yang tidak ingin disebut ‘lady’, meski darah bangsawan mengalir di nadinya. Ia ingat Elaria Thorne. Ia memejamkan mata. Kenangan itu masih terasa nyata, mereka berdansa di lorong rahasia perpustakaan kerajaan. Bersembunyi dari prajurit pencari takdir. "Bagaimana mungkin aku bisa melupakan semua ini?" gumamnya, getir. Ia ingat suaranya, wangi tubuhnya, aroma rambutnya saat tertiup angin. Namun kini, semua orang melupakannya. "Bahkan buku takdir ini… ikut membohongiku," Kaelion berucap, suaranya dipenuhi frustrasi. “Mengapa hanya aku yang mengingatnya…?” Kaelion bertanya pada kehampaan. "Apa kau benar-benar ingin aku melupakanmu, Elaria?” Satu lembaran halaman kosong tiba-tiba beterbangan karena hembusan angin. Kaelion menangkapnya cepat, namun tidak menulis apa pun. Halaman ini milik seseorang yang seharusnya masih hidup, namun kini terbuang dari cerita. Ia duduk, menarik laci kecil di bawah meja batu. Di dalamnya tersimpan peta kuno, tak boleh disentuh siapa pun yang menginginkan keselamatan. Peta itu menunjuk satu tempat. Gerbang Veylun, ruang antara dunia fiksi dan nyata. Tempat legenda mengatakan karakter bisa melintasi batas narasi, jika kenangan mereka cukup kuat membelah dimensi. Kaelion berdiri. Sorot matanya, yang selama ini beku, kini berkobar. Bukan karena cinta. Tapi karena kehilangan yang terlalu dalam. "Ini bukan lagi tentang cinta," bisiknya. "Ini tentang kebenaran." “Kalau dunia ini telah membuangmu… maka biarlah aku yang keluar dan mencarimu.” Ia melangkah di lorong batu yang diterangi cahaya sihir biru. Prajurit bayangan menunduk diam. Semua makhluk tahu, malam ini sang Duke membawa misi lebih besar dari perang. Ia hendak menembus narasi itu sendiri. Saat ia tiba di hadapan Gerbang Veylun, simbol-simbol tua mulai menyala. Udara bergetar. Dunia mulai bereaksi. “Tunggu aku, Elaria.” Suara Kaelion terdengar tegas. "Aku datang untukmu." “Meski kau dihapus, aku tetap mencintaimu sebagai pria… bukan sebagai karakter.” "Dan jika dunia barumu tak mengizinkanku masuk," ancamnya, suaranya menggema, "maka akan kubakar setiap baris takdir ini, sampai kau kembali berdiri di sampingku.” Dengan langkah pasti, Kaelion memasuki pusaran cahaya. Angin meraung. Dimensi retak. Dunia pun mulai berubah. *** Langit kota itu menggantung berat, abu-abu gelap menekan dada. Sejak pagi, awan pekat membungkus kota tanpa beranjak, mengoyak harapan akan tetes hujan menyejukkan. Namun, langit hanya menangkap beban itu, menahannya enggan. Seperti jiwa-jiwa tersesat di antara riuhnya kehidupan yang tak pernah berhenti. Laurenta Wallace melangkah pelan, hampir tanpa tujuan. Ia menyusuri trotoar basah oleh gerimis sisa sore. Sepatunya yang lusuh tak lagi dipedulikan, menyentuh aspal dingin yang berkilau samar. Tubuhnya bungkuk, lelah bukan hanya karena perjalanan hari itu. Ia juga membawa beban tak terlihat dari perasaan yang sudah lama menumpuk. "Kapan ini semua berakhir?" keluhnya dalam hati. Seperti awan yang tak pernah membuka pintu hujan. Tas selempang kecil di dadanya terasa berat, bukan karena isi. Hanya dompet tipis, kartu identitas, dan beberapa koin receh. Tapi ia membawa seluruh kerinduan dan luka tak terucapkan. Setelah hari-hari di ruang penerbitan, di antara tumpukan manuskrip dan wajah-wajah tuntutan. Laurenta merasa dirinya hanya bayangan, hilang di antara halaman-halaman yang terus dibolak-balik. Ia dulu mencintai pekerjaannya, menghidupkan kata-kata, memahat cerita. "Tapi kini," ia menghela napas, "semuanya berubah." lirihnya. Rutinitas melelahkan yang menenggelamkan jiwa. Di sebuah halte bus yang remang, ia duduk tanpa semangat. Bangku logam dingin itu menusuk. "Dingin sekali," gumamnya, menarik jaket. Ia membiarkan punggungnya bersandar pada papan reklame berkilauan samar, menampilkan iklan minuman energi. "Kekuatan instan?" ia mencibir. Ironis sekali. Energi yang dulu diharapkan kini hanyalah fatamorgana. Laurenta merogoh tas kecilnya. Jari-jarinya sedikit gemetar meraba sesuatu yang akrab, selalu memberinya kedamaian. Sebuah buku. Heart’s Companion. Buku lusuh itu seperti sahabat lama yang setia menemani malam-malam gelapnya. Sampulnya pudar dan ujungnya sobek, membuktikan perjalanan panjangnya. "Sahabat setiaku," bisiknya lirih. Laurent membuka halaman tengah, bagian paling ia cintai. Kisah Kaelion dan Leona, si tokoh yang nyaris sama namanya, bercerita tentang cinta dan pengorbanan. Ia tidak perlu membaca lagi. Kata-kata itu sudah tercetak dalam ingatannya, terpatri dalam hati. Namun, dengan jari lembutnya, ia menyusuri baris demi baris, membiarkan setiap huruf menembus kalbu. Nafasnya berat, dan suara lirihnya pecah di antara desir angin. “Kenapa harus dia?” gumamnya, putus asa. “Kaelion, pria yang selalu benar, selalu dewasa, selalu mengerti... tapi kenapa dia selalu kalah? Kenapa cinta sejati harus pergi ke orang lain?” Ia menatap gambar pria berambut perak di sampul belakang, dengan mata kelam penuh luka. Kaelion, sang pahlawan yang selalu datang di saat tepat, tapi yang cintanya harus berakhir tanpa keadilan. “Kenapa second male lead selalu yang terluka?” ucap Laurent dengan nada getir. Amarah mulai membuncah. "Kenapa bukan dia yang bahagia?” Matanya mulai basah. Air mata yang tertahan mengalir pelan, membasahi halaman buku. “Aku tahu rasanya… ditinggalkan saat kau sudah memberikan segalanya,” ia berbisik dengan suara pecah, menggenggam buku itu seolah nyawanya. “Kalau aku bisa… kalau aku bisa hidup di dunia itu, aku akan pilih dia. Aku akan janjikan kebahagiaan yang dia pantas dapatkan.” Angin malam berhembus lebih kencang, seolah mengangkat doa dan harapan terpendam. Daun-daun bergesekan, membisikkan cerita tentang kehilangan dan cinta yang tertunda. Tiba-tiba, langit membelah oleh kilat yang menyambar tajam tepat di atas kepala Laurent. Cahaya putih menyilaukan menyelimuti halte itu, suara gemuruh menggelegar seperti dunia hendak runtuh. Seketika, angin berputar membentuk pusaran kecil. Dari tengah pusaran itu, asap hitam bergulung, menjulur ke atas seperti makhluk hidup yang lapar. Laurent menjerit, suaranya tertelan raungan alam dahsyat. Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran, matanya membelalak ketakutan, seolah menatap akhir dunia, sebuah jurang menganga. Buku lusuh itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, melayang pelan sebelum jatuh di bangku logam basah. Dalam sekejap, Laurenta Wallace lenyap. Suasana menjadi sunyi, hanya tersisa rintik hujan yang mulai turun perlahan, membasahi dunia yang seakan meratapi kepergiannya. Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki memecah kesunyian mencekam. Tap… tap… tap. Seseorang muncul dari bayang-bayang, sosok tinggi dengan jas hitam rapi. Topi fedora sedikit menutupi wajahnya. Langkahnya mantap tapi tenang, membawa aura misteri. Dia berhenti di depan bangku, menatap benda-benda yang tertinggal. Sorot matanya tak terbaca. "Jadi, ini tempatnya," gumamnya pelan. Sebuah buku. Sebuah tas selempang. Dengan jari-jari panjang dan rapi, pria itu mengambil buku. Matanya menyapu sampul usang dengan pandangan penuh arti, seolah menunggu momen ini sepanjang waktu. “Akhirnya,” suaranya rendah dan serak, “dia dipilih juga.” Lalu, tanpa tergesa, ia mengambil tas Laurenta, tersenyum, bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh rahasia yang terpendam lama. Sosok itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan halte yang kini basah oleh hujan. Di udara, rintik-rintik turun deras, mencuci debu dan luka, menandai awal dari kisah yang baru, sebuah takdir yang akan ditulis ulang."Cinta adalah puisi yang ditulis oleh hati, tetapi ketika tinta itu adalah darah dan setiap kata adalah duri, ia menjadi sebuah pertempuran. Perang antara takdir yang tertulis dan takdir yang diperjuangkan, di mana setiap napas adalah sebuah pilihan dan setiap sentuhan adalah pengorbanan." *** Suara Leona menghilang, seolah tertelan oleh keheningan. Cermin itu kembali normal, memantulkan wajah Elaria yang pucat, mata yang dipenuhi air mata, dan bahu yang bergetar. Ia berdiri sendirian di tengah ruangan, didera kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Ia adalah figuran, ia telah merusak takdir, dan kini ia harus pergi, atau menyaksikan dunia yang ia cintai hancur. Elaria memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya kesunyian setelah badai. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pilihan yang diberikan padanya terlalu berat. Pergi dan meninggalkan Kaelion, atau tetap di sini dan melihat dunia mereka hancur. Ia tidak bisa membiarkan Kaelion mengorb
"Sebuah cerita adalah panggung yang hidup, dan di atas panggung itu, ada jiwa-jiwa yang menari. Tetapi, apa jadinya jika salah satu penari itu adalah sang pengarangnya sendiri? Ketika sang pencipta berhadapan dengan ciptaannya yang hidup, takdir bukan lagi sebuah jalan, melainkan sebuah medan perang." *** Elaria merasakan suara Leona, gadis dari cermin. Elaria tidak takut lagi. Ia tidak akan membiarkan dirinya ditakuti oleh suara. Ia akan melawan, ia akan berjuang. Ia telah melihat Kaelion menderita, dan ia tidak akan membiarkannya menderita lagi. Kaelion tertidur pulas. Wajahnya terlihat damai, ia tidak menyadari bahwa di balik keheningan, terjadi perang. Perang antara takdir dan cinta. Perang antara dunia nyata dan dunia fiksi. Elaria bangkit kembali. Ia berjalan ke meja rias, ia duduk di depan cermin, lalu menatap pantulan dirinya, ia merasakan hatinya berdebar. Ia harus melakukannya dan menghadapi Leona, ia harus menghadapi takdir.
"Sebuah refleksi bukanlah sekadar bayangan; ia adalah cermin jiwa, tempat kebenaran tersembunyi. Namun, apa jadinya jika di balik cermin itu, sebuah suara berbicara, bukan dari alam sana, melainkan dari dunia yang telah lama dilupakan? Dan di antara dua realitas, hanya satu yang bisa bertahan." *** Malam itu, setelah Kaelion dan Elaria kembali dari Menara Ilmu, ketakutan Elaria tidak hilang. Buku "Cermin Dua Alam" telah memberikan validasi pada ketakutannya, tetapi ia juga memberikan pertanyaan baru yang menyakitkan: apa harganya? Kaelion, dengan cinta yang tulus, bersumpah untuk membayar harga itu, tetapi Elaria tidak akan membiarkannya. Ia tidak akan membiarkan Kaelion mengorbankan hal lain. Kaelion tertidur pulas, wajahnya terlihat damai. Elaria mengamati wajahnya, membelai rambutnya dengan lembut. Betapa bahagianya ia jika Kaelion tidak terlibat dalam semua ini, jika Kaelion tidak harus merasakan kehampaan dan retakan di langit. Betapa bahagianya
"Pengetahuan adalah cermin yang memantulkan takdir. Namun, terkadang, cermin itu retak, dan di antara serpihan-serpihannya, sebuah kebenaran yang tersembunyi terungkap. Di antara debu dan buku-buku tua, Kaelion dan Elaria mencari jawaban, hanya untuk menemukan bahwa takdir mereka telah ditulis di tempat yang tidak pernah mereka duga." *** Kaelion memeluk Elaria erat. Kata-katanya, "Aku akan mencintaimu, terlepas dari siapa dirimu," bergema di telinga Elaria. Itu adalah jawaban yang tulus, sebuah janji yang tak terucapkan. Meski begitu, janji itu tidak bisa menghentikan suara mesin ketik yang berdetak di kepalanya. Ia merasakan kehangatan pelukan Kaelion, tetapi hatinya terasa kosong, diliputi ketakutan. "Aku akan selalu ada di sini," Kaelion berbisik, ia mencium kening Elaria. "Kau tidak sendirian." Kaelion tertidur pulas. Elaria tidak. Ia tidak bisa. Ia membebaskan diri dari pelukannya, dan berjalan
"Sebuah panggung yang selama ini terasa nyata kini menunjukkan celah di antara tirainya. Ketika sebuah cerita mulai dipertanyakan, sang pemeran utama mendapati dirinya terperangkap di antara dua realitas. Dan di antara suara-suara mesin ketik yang tak terdengar, ia bertanya: apakah cinta ini… hanyalah tinta di atas kertas?" *** Kehidupan di istana telah menemukan ritmenya, namun bagi Elaria, melodi itu mulai terdengar sumbang. Di balik senyumnya yang terukir, ada ketakutan yang menggerogoti. Gejala-gejala aneh dari dunia yang retak kini tidak hanya terlihat di langit, melainkan langsung menyerang dirinya. Suatu pagi, saat ia hendak menunjuk ke arah cangkir teh, pelayan yang berada di sana berkedip. Bukan, bukan pelayan itu yang berkedip, melainkan wajahnya. Sejenak, wajah pelayan itu menghilang, digantikan oleh kekosongan abu-abu yang buram. Elaria menarik tangannya, jantungnya berdegup kencang. Ketika ia mengedipkan mata, wajah pelayan itu kembali,
"Sebuah tahta yang dibangun di atas cinta takkan pernah goyah oleh badai. Namun, apa jadinya jika badai itu bukanlah dari dunia yang sama? Ketika sebuah dunia, yang selama ini hanyalah panggung, mulai menunjukkan retakannya, bahkan seorang raja pun akan merasakan kekosongan yang tak terjelaskan." *** Hari-hari di istana berjalan seperti mimpi yang indah. Kaelion, sang Raja, memimpin dengan bijaksana, dan Elaria, sang Ratu, adalah cahaya di sisinya. Tetapi di balik kedamaian yang terasa sempurna itu, ada keretakan yang tak terlihat, sebuah melodi sumbang yang hanya bisa dirasakan oleh Kaelion. Pertama, ia menyadari waktu terasa aneh. Suatu hari, saat sedang rapat dewan, ia melihat seorang bangsawan mengusap hidungnya. Ia menoleh sebentar, lalu ketika ia menatap kembali, bangsawan itu mengulangi gerakan yang sama, persis seperti detik yang terulang. Kaelion mengabaikannya, berpikir ia hanya kelelahan. Tetapi hal itu terus berlanju