“Jika aku harus lahir kembali dalam dunia yang bukan milikku… maka biarkan aku hidup sebagai seseorang yang pernah kau lihat hanya sekali, tapi tak pernah lupa.”
*** Hening. Itu yang pertama menyentuh Laurenta. Bukan lagi kebisingan kota, melainkan keheningan mahal yang dilukis semilir angin. Angin membawa harum bunga anggur. Aroma itu membisikkan ketenangan, namun juga asing. Seperti pelukan yang sudah lama hilang dari ingatannya. Ia tersadar di atas ranjang berkanopi megah. Tirai sutra melambai lembut, menangkap bias cahaya pagi. Cahaya itu terasa seperti sentuhan sihir. Langit di luar jendela bukan lagi kanvas kelabu metropolis. Ia biru cemerlang yang memeluk awan putih. “Di mana aku…?” Bisikan Laurenta terdengar begitu lembut. Ia beraksen aristokratik yang anggun, jauh berbeda dari suaranya di dunia lama. Ia bangkit, kakinya menapak pada karpet tebal yang terasa seperti lumut. Ruangan itu begitu luas, dipenuhi perabotan emas dan permata. "Ini seperti istana," pikirnya. Sebuah sangkar emas yang terlalu indah untuk disebut penjara. Laurenta berjalan ke cermin oval besar di sudut ruangan. Ia menatap sosok di dalamnya. Bukan Laurenta Wallace yang biasa ia kenal. Bukan gadis dengan jaket usang dan mata memudar karena pekerjaan. Sosok di cermin memiliki rambut kastanye terurai indah. Matanya bersinar seperti permata, dan kulitnya bercahaya sempurna. Gaun malam lavender pucat membungkus tubuhnya anggun. Ia tampak seperti lukisan dewa. "Siapa ini?" gumamnya, menyentuh pipi pantulan itu. "Ini aku... tetapi versi cantik. Oh tidak...!?" Elaria Thorne. Nama itu mengalir ke benaknya seperti air dingin. Ia mengingat setiap halaman Heart’s Companion yang ia baca. Elaria Thorne adalah putri tunggal Viscount Thorne, bangsawan kaya namun tak berkuasa. Sebuah karakter pendukung yang namanya hanya muncul di dua bab cerita. “Aku hidup di dalam fiksi… sebagai figuran,” desisnya. Bibirnya membentuk senyum pahit yang terasa asing di wajah cantik itu. Ia membiarkan ujung jari menyentuh pantulan di cermin. “Kemewahan ini terasa seperti kulit yang kupinjam. Aku tak bisa menguasainya.” "Ini nyata?" gumamnya, masih tak percaya. "Aku benar-benar Elaria Thorne sekarang?" Pintu kamar terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan rapi, Clara, masuk dengan langkah terukur. Sorot matanya tajam dan kaku, lebih seperti pengawas daripada pelayan. “Lady Elaria, Anda sudah bangun. Syukurlah,” ucap Clara datar, namun sopan. “Sarapan telah siap. Tuan Viscount menanti Anda di ruang makan.” Laurenta mengerjap, mencoba menavigasi nama-nama yang kini menjadi realitanya. Ia memaksakan senyum yang terasa kaku. "Terima kasih, Clara. Tolong siapkan gaun yang paling... sederhana." Clara berhenti sejenak, alisnya terangkat perlahan. “Sederhana? Lady Elaria tidak pernah memakai gaun selain sutra Midnight Bloom untuk bertemu Tuan Viscount.” “Kalau begitu, hari ini adalah pengecualian,” jawab Laurenta, mencoba menanamkan otoritas dalam suaranya. Ia tidak terbiasa dengan etiket kaku ini. “Kurasa aku ingin mengubah kebiasaan. Dan, tolong, berikan sedikit cahaya pada ruangan ini.” Clara memandang Elaria dengan tatapan tidak percaya. Lady Thorne yang ia kenal selalu patuh, mudah ditebak, dan hampir tidak terlihat. "Ada yang berbeda," pikir Clara dalam hati. “Baik, Lady Elaria,” jawab Clara akhirnya. Suaranya mengandung keraguan yang tak tersamarkan. Ia membungkuk singkat sebelum berbalik pergi. Setelah ditinggalkan sendirian, Elaria berjalan ke balkon. Halaman Istana Thorne di sayap timur kerajaan membentang di bawahnya. Taman yang dirawat sempurna, air mancur yang megah, semuanya berkilauan di bawah matahari. Namun, ia tahu keindahan itu adalah ilusi. Statusnya sebagai figuran sangat jelas: ia memiliki kekayaan, tapi tidak memiliki pengaruh. Ia adalah bayangan yang tak pernah bersinar. "Aku tidak akan menjadi latar belakang lagi," tekadnya. "Aku akan bersinar." Tiba-tiba, suara tawa dan derap kuda memecah kesunyian. Di halaman utama, ia melihat sekelompok bangsawan muda tengah berkumpul. Sosok Leona, protagonis wanita yang memikat, bercahaya di antara mereka, mengenakan gaun biru safir. Di belakang Leona, berdiri seorang pria. Tinggi, rambut perak, dan sepasang mata obsidian kelam yang sedingin malam. Kaelion Vaelhardt. Jantung Elaria mencelos. Pria yang ia baca, yang ia tangisi nasibnya, kini ada di hadapannya. Pria yang hatinya ditakdirkan untuk hancur karena cinta tak terbalas pada Leona. "Tidak mungkin," gumam Elaria, tak percaya. Ia melihat Kaelion dari kejauhan, begitu dekat namun terasa sejauh jarak antara bintang dan bumi. Di dunia ini, Kaelion hanya memiliki mata untuk Leona. “Kau terlalu sempurna untuk terluka, Kaelion,” bisik Elaria, air mata menggenang di matanya. Ia merasakan gejolak emosi kuat. “Dan aku… aku hanyalah seseorang yang bahkan tak tertulis di baris takdirmu.” Ia menarik napas dalam-dalam. Namun, keputusasaan itu segera berganti dengan tekad. Ia telah diberikan kesempatan kedua, bukan untuk menjadi Leona. Melainkan untuk menjadi dirinya sendiri di dunia ini. "Aku akan mengubahnya," janjinya pada diri sendiri. "Aku akan membuatmu bahagia." Elaria memutar tubuhnya, meninggalkan balkon. Sinar matahari pagi yang cerah membanjiri kamarnya, tetapi bagi Elaria, ruangan itu masih terasa dingin. Ia mungkin seorang figuran yang tersembunyi dalam kemewahan, tapi ia tidak akan tinggal diam. Tidak kali ini. Ia akan menjadi lebih dari sekadar bayangan. Ia akan menjadi pahlawan bagi cintanya."Nurani adalah cermin jiwa, memantulkan kebenaran yang tak kasat mata. Di tengah kekelaman tuduhan, sebuah hati yang berani bersinar, menerangi jalan bagi yang terpinggirkan." *** Keterasingan menjadi teman Elaria setelah insiden pesta dan kontes berburu. Undangan ke jamuan makan dan acara sosial berhenti total. Viscount Thorne masih murka, dan Clara terus mengawasinya seperti elang. Elaria menghabiskan hari-harinya di taman istana, membaca buku atau mencoba melukis. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, tak terlihat, tak penting. "Aku tak bisa terus begini," bisiknya pada bunga mawar. "Aku harus menemukan cara. Bukan untuk membuat mereka terkesan, tapi untuk diriku sendiri." Ia merindukan dunianya yang dulu, di mana tawa dan kejujuran adalah hal yang wajar, bukan sebuah keanehan. Di sini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata dan gerak-gerik. Suatu pagi yang dingin, Viscount Th
"Cinta adalah pisau bermata dua. Ia mengukir nama di hati, namun juga merobeknya saat takdir memilih jalan yang berbeda. Di tengah gemuruh sorak-sorai, dua hati hancur dalam diam." *** Berita pertunangan Pangeran Aerion Vaelhardt dan Lady Leona menyebar bagai api. Pengumuman resmi itu menggema di seluruh penjuru Caelum, menjadi topik utama di setiap meja makan bangsawan, di setiap kedai kopi, bahkan di telinga rakyat jelata. Elaria mendengarnya dari bisikan para pelayan di Estate Thorne. "Lady Leona dan Pangeran Aerion akan bertunangan!" Mereka berkata dengan riang, tak menyadari beban di hati Elaria. Hatinya mencelos. Ia tahu hari ini akan tiba, namun mendengarnya secara langsung tetap terasa seperti hantaman. "Ini sudah dimulai," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia ingat jelas adegan ini di novel. Sebuah upacara megah di plaza utama, disaksikan ribuan pasang mata. Kaelion, sang Duke yang pendiam
"Ada dinding yang dibangun bukan dari batu, melainkan dari kesepian yang dalam. Dan Elaria, dengan segala kegilaannya, bertekad merobohkan dinding itu, batu demi batu." *** Malam-malam setelah jamuan makan yang memalukan itu, Elaria menghabiskan waktunya merenung. Kata-kata Kaelion di hutan, tatapannya yang kosong di balkon, dan cemoohan para Lady di pesta, semuanya berputar di benaknya. "Dia kesepian," bisiknya pada diri sendiri, menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku melihatnya. Di balik semua dinginnya." Tekadnya semakin menguat. Ia tidak akan menyerah hanya karena Kaelion menganggapnya aneh, atau karena para bangsawan menertawakannya. Ia pernah membaca, di dunia asalnya, ketekunan sering kali berbuah manis. "Jika dia tidak bisa melihatku, aku harus membuatnya melihatku," gumam Elaria, menyusun rencana baru. *** Pagi itu, Elaria meminta Lyssa untuk membantunya. "Lyssa, aku ingin mengirimkan bunga ini ke Istana Nightborne. Untuk Duke Kaelion." Ia memegang seikat bunga sil
"Bahkan tawa yang paling tulus pun bisa menjadi sumbang di telinga yang salah. Di dunia penuh topeng, kejujuran adalah pengkhianatan paling menyakitkan." *** Pergelangan kaki Elaria masih terasa nyeri, namun luka di hatinya jauh lebih sakit. Pertemuan di hutan dengan Kaelion meninggalkan bekas yang dalam. Kata-kata dingin pria itu, "Kau sebaiknya tidak mencoba berada di jalur kami," terus terngiang. "Jalur kami? Memangnya aku pengganggu?" gumam Elaria pahit, saat Clara membalut pergelangan kakinya. "Aku hanya ingin membantu!" Clara hanya menatapnya dengan tatapan "sudah kuduga". Elaria tahu, Clara pasti sudah melaporkan semuanya pada Viscount Thorne. Ia siap menerima omelan lagi. Namun, yang datang bukanlah omelan, melainkan undangan lain. Viscount Thorne, entah mengapa, memutuskan untuk membawa Elaria ke jamuan makan malam penting yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga bangsawan terkemuka. "Ini kesempatanmu untuk memperbaiki kesan buruk," kata Viscount Thorne, wajahnya d
"Di antara rerimbunan hutan, sebuah takdir mencoba mengukir jalannya sendiri. Ia tersesat, terjatuh, namun justru di sanalah ia menemukan pandangan mata yang telah lama ia dambakan." *** Musim gugur perlahan menyelimuti Caelum. Daun-daun berubah warna menjadi emas dan merah, jatuh satu per satu, seolah ikut menari dalam kesunyian. Udara pagi terasa renyah, membawa aroma tanah basah dan kebebasan. Elaria memandang daftar acara yang ditempel di papan pengumuman Istana Thorne. Sebuah kontes berburu tahunan untuk kaum bangsawan akan segera diadakan di hutan kekaisaran. Ini adalah acara yang biasanya diikuti oleh para pria, atau Lady yang memiliki keterampilan berkuda dan memanah yang mumpuni. "Kesempatan," gumamnya, matanya berbinar. "Pasti ada Kaelion di sana." Ia tahu, berdasarkan novel Heart's Companion, Kaelion Vaelhardt selalu ikut dalam kontes berburu. Ini adalah salah satu dari sedikit kesempatan di mana ia keluar dari bayang-bayang istana dan menunjukkan keterampilannya. "Ba
"Ketika takdir mengunci semua pintu, akal adalah kunci terakhir yang mampu membebaskan. Elaria tidak akan lagi menyerah pada naskah yang tak adil." *** Kereta kuda keluarga Thorne terasa dingin dan sunyi di perjalanan pulang. Elaria duduk bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Rintik hujan masih membasahi kaca, seperti air mata yang tak henti jatuh. Pesta emas itu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar sepatu basah atau gaun ternoda. Harga dirinya hancur berkeping-keping. "Bodoh sekali aku," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia telah melihat Kaelion, sedekat itu. Namun, jarak takdir antara mereka terasa tak terlampaui. Kaelion bahkan tak meliriknya, tak ada secuil pun pengakuan di mata obsidian itu. "Hanya figuran, persis seperti yang kubaca," desis Elaria, mengepalkan tangan. Amarah mulai membakar rasa malunya. "Tapi aku bukan figuran biasa! Aku adalah Laurenta Wallace!" Frustrasi menggerogoti setiap sel tubuhnya. Ia sudah mencoba. Ia sudah mengerahkan keberania