LOGIN“Panggung ini megah, tapi naskahku tak tertulis. Aku hanya bayangan di antara gemerlap yang menanti giliranku untuk bersinar.”
*** Elaria menyadari satu hal tentang kehidupan bangsawan. Setiap gerakan adalah sebuah pertunjukan, dan setiap kata adalah topeng yang dirancang sempurna. Di balik kemewahan Istana Thorne, terdapat aturan tak terlihat yang mengikat jiwa. Ia kini adalah pemain yang baru saja tiba di panggung, tanpa naskah. Hanya dengan ingatan samar tentang akhir cerita. Ia menghabiskan beberapa hari pertama dengan mengamati. Ia belajar cara duduk anggun, cara memegang garpu perak tanpa membuat suara, dan cara tersenyum tanpa menunjukkan emosi yang sebenarnya. Tapi, semua itu terasa seperti menyalin sebuah lukisan sempurna di permukaan. Kosong di dalamnya. "Aku tidak bisa terus berpura-pura," bisiknya pada diri sendiri. Pelayan-pelayan di Istana Thorne mulai berbisik tentang perubahan aneh pada diri Lady Elaria. Ia tak lagi menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-buku etiket usang. Melainkan di taman, duduk di rumput, mengamati langit seolah mencari jawaban tak terucap. “Lady Elaria kemarin terlihat tertawa saat burung gagak lewat,” bisik seorang pelayan muda kepada Clara. Clara, yang kini semakin curiga, hanya menjawab dingin, “Lady Elaria tidak pernah tertawa seperti itu. Mungkin dia sedang demam.” Elaria tidak peduli dengan bisikan mereka. Ia sedang sibuk menyusun strategi. Ia tahu alur cerita Heart's Companion didasarkan pada interaksi Leona, Pangeran Aerion, dan Kaelion. Sebagai figuran, ia berada jauh dari pusat gravitasi itu. "Bagaimana aku bisa masuk ke jalur utama?" gumamnya saat berjalan di koridor Istana Thorne yang sunyi. "Aku bukan tokoh utama. Aku hanyalah hiasan dinding yang mahal." "Aku harus menemukan cara," ia berjanji pada diri sendiri. Pagi hari di ruang makan terasa dingin. Viscount Thorne, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam dan sikap bisnis kental, duduk di ujung meja panjang. Ia dikenal sebagai bangsawan yang lebih peduli pada kebun anggurnya daripada urusan politik atau sosial. “Elaria,” sapa Viscount Thorne tanpa mengangkat kepala dari tumpukan dokumen perkebunan. “Kau terlihat… lebih sehat. Aku dengar dari Clara, kau mulai bersikap aneh. Jangan membuang waktu dengan hal-hal yang tidak penting.” Elaria meneguk tehnya. "Aneh? Mungkin saya hanya ingin menikmati hidup, Ayah. Tidak semua tentang bisnis." Viscount Thorne menatapnya, ada sedikit kejutan di matanya. “Kehidupan seorang bangsawan adalah bisnis, Elaria. Kita hidup untuk menjaga status kita, dan status kita ada di dalam botol anggur Velrois kita. Kau harus mengerti itu.” "Saya mengerti, Ayah," balas Elaria. "Tapi saya ingin belajar lebih dari sekadar anggur. Saya ingin memahami bagaimana dunia bekerja di luar perkebunan kita." Ia mencoba melunakkan suaranya. “Saya ingin tahu bagaimana Istana bekerja, bagaimana politik di sana. Siapa yang berpengaruh, siapa yang tidak.” Viscount Thorne terdiam, meletakkan pena bulu angsa di atas meja. “Itu bukan urusanmu, Elaria. Urusan kita adalah memastikan bahwa anggur kita disajikan di setiap jamuan kerajaan. Tidak lebih, tidak kurang.” “Tapi bagaimana jika saya bisa membantu? Mungkin dengan… mengenal beberapa orang penting di sana?” Elaria bertanya hati-hati. Viscount Thorne mendengus. "Kau hanya seorang Lady dari keluarga viscount kecil, Elaria. Kita kaya, ya. Tapi kita tidak memiliki pengaruh." "Kita adalah bayangan yang tak pernah bersuara di tengah hiruk pikuk politik," lanjut sang Viscount. "Jangan coba-coba menarik perhatian, itu berbahaya." Elaria merasakan kekecewaan menusuk hatinya. Ayahnya benar. Dalam naskah Heart’s Companion, Elaria Thorne tidak memiliki pengaruh. Ia hanya kaya. Tapi itu tidak berarti ia tak bisa mengubah takdirnya. "Aku tidak bisa menyerah," pikirnya. “Baik, Ayah,” katanya pelan, menyembunyikan rencana di balik sorot matanya yang tenang. Setelah sarapan, Elaria kembali ke kamarnya. Ia tahu ia tidak bisa mengandalkan statusnya untuk mendekati Kaelion. Ia harus menemukan cara lain. Ia mulai mempelajari siasat sosial para bangsawan. Ia mengintip interaksi pelayan, mendengarkan gosip, dan membaca surat-surat lama yang tersimpan di ruang arsip. Ia mencari celah, jalur yang bisa dimasuki oleh figuran. Namun setiap langkahnya terasa canggung. Elaria yang terbiasa dengan kebebasan di dunia nyata, sering kali melanggar etiket. Ia hampir menumpahkan teh pada gaun mahal, ia lupa cara membungkuk yang benar. Ia juga terlalu sering berbicara dengan pelayan seolah mereka setara. "Aku harus lebih hati-hati," pikirnya, merasa kaku. Hal ini hanya membuat para pelayan semakin heran, dan Viscount Thorne semakin khawatir. Laurenta, jiwa di balik mata Elaria merasa frustrasi. Ia terbiasa dengan dunia di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Kini, ia harus mengenakan topeng di setiap detiknya. "Ini sungguh sulit," keluhnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Ia berdiri di depan jendela, menatap langit. “Aku harus menemukan cara,” bisiknya penuh tekad. “Aku harus menemukan celah dalam naskah ini. Aku akan menuliskan namaku sendiri di sini, meski aku harus menghancurkan semua kebisuan ini.”"Di tengah dinding putih yang sunyi, Kaelion, Sang Raja, memilih untuk mengenakan kembali topengnya yang telah retak. Ia menjadi Elias, kekasih yang harus berpura-pura menjadi 'teman baik'. Gencatan senjata yang lahir dari ketakutan Eliana adalah jeda pahit yang dimanfaatkan Kaelion untuk merancang rencana terbesarnya: mengembalikan hati Ratu sebelum topengnya benar-benar luntur." *** Suasana di Ruang VIP Kaelion Vaelhardt terasa kontras dengan kemewahannya. Sebuah ketegangan yang dingin membekukan udara. Setelah Carlo pergi bersama Renier, yang berjanji akan menjemputnya besok pagi, hanya Eliana dan Kaelion yang tersisa. Eliana berbaring miring, punggungnya menghadap Kaelion. Ia tidak ingin melihat wajah yang baru saja mengaku sebagai suaminya. Kaelion, yang kini duduk di sofa kecil dekat jendela, mengambil secangkir teh chamomile, sebuah kebiasaan yang ia pelajari sebagai Elias. Ia menunggu. "Kenapa kau tidak pulang?" Eliana bertanya tanpa menoleh, suaranya pelan dan
"Kebenaran, bagi jiwa yang hilang, bisa terasa lebih kejam daripada ilusi yang paling pahit. Di koridor rumah sakit, Sang Raja mempertaruhkan segalanya untuk membuka mata Ratu yang amnesia. Namun, kisah cinta yang melintasi dua dunia itu terlalu fantastis untuk diterima oleh Eliana yang kini hanya mengenal realitas."***Eliana terhuyung mundur, matanya melebar dalam keterkejutan. Kaca mata yang dilepas Kaelion memperlihatkan intensitas mata obsidian yang kini bukan lagi Elias yang canggung, melainkan Kaelion Vaelhardt, CEO raksasa, dan pria yang mengaku sebagai suaminya."Aku... aku tidak mengerti," Eliana menggelengkan kepala, tangannya mencengkeram lengan Kaelion. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau melakukan semua ini? Apa hubunganmu dengan Vaelhardt? Dan apa maksudmu dengan suamiku?"Kaelion, yang kini berdiri tegak di hadapan istrinya, menarik napas panjang. Ia tahu, setiap kata selanjutnya akan menjadi pedang bermata dua: menghadirkan kebenaran yang ia damba, tetapi juga mena
"Janji adalah hutang yang harus dibayar lunas, bahkan jika pembayaran itu berbalut kesedihan. Kaelion, Sang Raja, mengarahkan Ratu menuju perjumpaan yang mengharukan, perjumpaan yang dirancang untuk membebaskan Eliana dari janjinya. Di setiap langkahnya, Elias menjadi pelindung, tidak menyadari bahwa kehati-hatiannya justru menimbulkan pertanyaan di mata Eliana." *** Pagi di hari ketujuh Toko Bunga Eliana dibuka, terasa berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara. Eliana, meskipun merasa berenergi berkat susu hamil dan peralatan baru dari Elias, tidak bisa mengabaikan peringatan dari Tuan Dharma. "Pihak lain yang sangat profesional dan cepat," gumam Eliana, sambil merapikan display bunga. "Siapa pun mereka, mereka pasti memiliki hubungan mendalam dengan Maya. Aku harus berhati-hati." Carlo sudah berangkat sekolah. Eliana menatap kursi kerjanya yang kini dilengkapi bantal empuk. Bantal itu a
"Setiap kebohongan, betapapun mulianya niat, akan meninggalkan duri yang menyakitkan. Kaelion, Sang Raja, semakin dalam menyerap peran Elias, menikmati kebahagiaan yang dibangun di atas ilusi. Sementara Ratu Eliana, tulus dalam amnesia dan penuh syukur, menawarkan hadiah yang membuat hati Sang Raja teriris: bunga yang melambangkan kembalinya kebahagiaan." *** Hari keenam pembukaan Toko Bunga Eliana. Udara terasa dingin, tetapi hati Eliana terasa hangat. Ia bangun lebih pagi, memacu dirinya untuk merangkai sebuah buket spesial. Ia mengambil Lily of the Valley (Lili Lembah) putih yang kecil dan harum. Bunga itu jarang ia gunakan karena harganya yang mahal, tetapi ini adalah satu-satunya cara ia bisa membalas kebaikan Elias setelah semua hadiah yang diterimanya. "Elias sudah memberiku banyak hal, dari susu, teh, hingga janji bantal dan peralatan. Aku harus memberinya sesuatu yang tulus, sesuatu yang melambangkan harapan yang ia berikan padaku
"Cinta sejati tidak pernah meminta, ia memberi. Kaelion tidak lagi mengandalkan nama besar Vaelhardt. Ia memilih jalur kerendahan hati, menjadi pahlawan kecil yang mengisi setiap celah kekurangan Eliana. Di balik setiap bantuan, tersembunyi sebuah janji: untuk membangun kembali kerajaan kecil Eliana, satu demi satu kelopak kepercayaan." *** Pagi di Toko Bunga Eliana terasa lebih ringan, bukan hanya karena susu hamil yang memberinya energi, tetapi juga karena hilangnya tekanan dari pesanan harian Vaelhardt Legacy. Eliana telah memutuskan untuk melihat ini sebagai jeda yang diperlukan. "Hari ini kita harus fokus pada pelanggan biasa, Carlo," kata Eliana kepada Carlo, yang sedang menggambar bunga matahari di meja dapur, ia hari ini libur sekolah, jadi bisa duduk santai di apartemen kecilnya. Carlo menoleh. "Jadi, tidak ada pesanan rahasia lagi, Bu?" "Mungkin ada, Sayang. Tapi kita akan fokus pada bunga-bunga kecil yang membawa keba
"Perhatian tulus, betapapun kecilnya, adalah benang emas yang menjahit hati. Kaelion, dalam topengnya sebagai Elias, mengirimkan hadiah yang menyentuh naluri seorang ibu. Hadiah itu, tak hanya nutrisi, tetapi juga senjata lembut yang menembus pertahanan Eliana. Di saat yang sama, Eliana harus berhadapan dengan bayangan masa lalu yang semakin kuat, kini terpersonifikasi dalam dua nama: Vaelhardt dan Elias." *** Pagi keempat pembukaan Toko Bunga Eliana diwarnai oleh sedikit rasa lelah. Kehamilan empat bulan Eliana semakin menuntut perhatian, tetapi ia tidak punya waktu untuk beristirahat. Setelah menyiapkan sarapan untuk Carlo dan dirinya, ia segera merapikan toko. "Ibu, apakah Tuan Elias akan datang lagi hari ini?" tanya Carlo, matanya berbinar penuh harap. Eliana, yang sedang menyiram baby’s breath, tersenyum. "Kenapa, Sayang? Kau menyukainya?" "Ya! Tuan Elias sangat ramah. Dia tidak terlihat sibuk







