“Jika aku harus lahir kembali dalam dunia yang bukan milikku… maka biarkan aku hidup sebagai seseorang yang pernah kau lihat hanya sekali, tapi tak pernah lupa.”
*** Musim semi di Caelum adalah musim yang membawa janji dan ketakutan. Janji akan keindahan yang mekar, dan ketakutan akan perubahan tak terelakkan. Kabar tentang pesta besar kerajaan, yang akan meresmikan pertunangan Pangeran Aerion Vaelhardt dan Lady Leona, menyebar seperti api membakar daun-daun kering. Bagi Elaria, undangan itu adalah sebuah panggilan. Sebuah suara yang memecah keheningan status figuran yang selama ini ia jalani. Undangan itu tiba di Istana Thorne dalam amplop sutra merah marun berstempel emas. Pembawa pesan itu seorang prajurit kerajaan dengan wajah kaku dan mata tak menunjukkan emosi. Prajurit itu membungkuk, menyorongkan amplop itu kepada Viscount Thorne. "Undangan dari Istana Kerajaan, Tuan Viscount," suaranya datar. Viscount Thorne menerimanya dengan sikap hati-hati, seolah memegang sebuah bom waktu. “Ini adalah kehormatan yang luar biasa,” gumam Viscount Thorne, lebih kepada dirinya sendiri. “Tapi juga sebuah risiko.” Elaria, yang berdiri di samping ayahnya, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, pesta ini adalah titik balik dalam novel Heart’s Companion. Di sinilah Kaelion akan menyaksikan tunangan kakaknya, dan di sinilah ia akan mulai merasakan sakit hati yang mendalam. "Aku harus ada di sana," pikir Elaria, bertekad. “Ayah, saya harus pergi,” ucap Elaria, suaranya mantap. Viscount Thorne menatap putrinya dengan pandangan sulit diartikan. “Elaria, kau tahu posisi kita. Kita bangsawan kaya, ya, tapi tidak memiliki kekuatan politik.” "Kita adalah penghias di pesta-pesta ini," lanjut sang Viscount. "Jika kau menarik perhatian yang salah, kita bisa kehilangan segalanya.” “Tapi bagaimana jika saya bisa mendapatkan sesuatu? Mungkin koneksi, atau setidaknya, pemahaman tentang dunia ini?” Elaria melangkah maju, mendekati ayahnya. "Saya tidak ingin hanya menjadi bayangan, Ayah. Saya ingin melihat dunia yang begitu luas ini dengan mata saya sendiri." Viscount Thorne menghela napas panjang. Ia melihat tekad yang tak pernah ia lihat pada putrinya sebelumnya. Ia melihat Laurenta di balik mata Elaria. “Kau telah berubah, Elaria. Sejak kau pingsan, kau tidak lagi sama. Tapi baiklah,” kata Viscount Thorne akhirnya, menyerah pada tatapan putrinya. "Clara akan menyiapkanmu," tambahnya. "Tapi ingat, jangan membuat masalah. Jangan berbicara dengan siapa pun yang tidak kau kenal. Dan jangan pernah, sekali pun, mendekati Pangeran atau Duke Kaelion." Elaria mengangguk. Ia tahu ia tidak bisa menuruti perintah terakhir itu. "Itu yang paling penting," pikirnya. Keputusan Viscount Thorne memicu kegilaan di Istana Thorne. Clara, dengan wajahnya yang sedingin es, menjadi instruktur etiket Elaria. Pelatihan itu adalah neraka. “Punggung lurus, Lady Elaria. Jangan membungkuk seperti pelayan,” bentak Clara saat Elaria mencoba berjalan dengan tumpukan buku di atas kepalanya. Elaria merasa seperti sedang menjalani hukuman. Korset yang ia kenakan terasa seperti penjara yang mengikat napasnya. Gaun sutra berlapis-lapis terasa berat, dan sepatu hak tinggi membuat kakinya sakit. “Kenapa harus sesulit ini?” gumam Elaria saat Clara memaksanya tersenyum di depan cermin. “Seorang Lady harus sempurna. Senyummu harus terlihat tulus, tapi matamu harus tetap dingin. Kau tidak boleh menunjukkan emosi yang sebenarnya,” jelas Clara. Elaria merasa jijik dengan kepalsuan ini. Di dunia lamanya, ia bisa tertawa lepas atau menangis tanpa peduli. Di sini, ia adalah boneka yang diprogram untuk menyenangkan orang lain. "Aku merasa seperti figuran yang dipaksa menjadi balerina," gumam Elaria frustrasi. Ia tahu, meskipun gaunnya indah, statusnya tetap tidak berubah. "Aku masih figuran," bisiknya pada diri sendiri. Ia adalah kupu-kupu yang sayapnya masih basah, belum siap terbang di antara elang-elang istana. Ia berlatih hingga larut malam, hingga kakinya lelah dan punggungnya sakit. Ia tidak hanya belajar etiket, ia belajar cara bertahan hidup di dunia penuh intrik ini. Ia harus menjadi sempurna, setidaknya di mata para bangsawan. Hari pesta tiba. Elaria mengenakan gaun sutra berwarna crème, sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul tinggi, dan ia mengenakan kalung mutiara yang berkilauan. Ia terlihat cantik, namun di matanya tersembunyi kegelisahan seorang penipu. "Ini adalah kesempatanku," pikirnya. Kereta kuda keluarga Thorne melaju membelah jalan menuju Istana Nightborne. Sepanjang perjalanan, Elaria menatap keluar jendela. Hutan-hutan yang hijau, sungai-sungai yang mengalir, semuanya terasa seperti latar belakang indah. Latar belakang untuk sebuah cerita yang akan segera dimulai. Ia memikirkan Kaelion. Pria yang ia cintai dalam kisah fiksi, pria yang kini berada di dunia yang sama dengannya. Ia tahu, di pesta ini, Kaelion akan melihat Leona dan tunangannya, dan ia akan merasakan sakit hati yang mendalam. "Aku tidak akan membiarkanmu sendirian, Kaelion," bisiknya, meletakkan tangan di dadanya. "Aku akan berada di sana. Aku akan menunjukkan padamu bahwa ada seseorang yang melihatmu, bukan sebagai karakter, tapi sebagai pria." Kereta mulai melambat. Gerbang Istana Nightborne yang megah mulai terlihat. Cahaya dari obor-obor sihir menerangi jalan, dan suara musik orkestra terdengar dari kejauhan. Elaria merasakan adrenalin mengalir di nadinya. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Ini adalah saatnya ia memasuki dunia yang ia cintai. Kereta berhenti. Langkah Elaria terasa berat, namun ia mengambil napas dalam-dalam. "Ini dia," gumamnya. Ia adalah Elaria Thorne, figuran yang datang dari pinggiran narasi. Tetapi ia membawa harapan dari dunia lain, harapan untuk mengubah takdir yang sudah tertulis. Ia turun dari kereta, siap menghadapi panggung yang telah menunggu."Nurani adalah cermin jiwa, memantulkan kebenaran yang tak kasat mata. Di tengah kekelaman tuduhan, sebuah hati yang berani bersinar, menerangi jalan bagi yang terpinggirkan." *** Keterasingan menjadi teman Elaria setelah insiden pesta dan kontes berburu. Undangan ke jamuan makan dan acara sosial berhenti total. Viscount Thorne masih murka, dan Clara terus mengawasinya seperti elang. Elaria menghabiskan hari-harinya di taman istana, membaca buku atau mencoba melukis. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, tak terlihat, tak penting. "Aku tak bisa terus begini," bisiknya pada bunga mawar. "Aku harus menemukan cara. Bukan untuk membuat mereka terkesan, tapi untuk diriku sendiri." Ia merindukan dunianya yang dulu, di mana tawa dan kejujuran adalah hal yang wajar, bukan sebuah keanehan. Di sini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata dan gerak-gerik. Suatu pagi yang dingin, Viscount Th
"Cinta adalah pisau bermata dua. Ia mengukir nama di hati, namun juga merobeknya saat takdir memilih jalan yang berbeda. Di tengah gemuruh sorak-sorai, dua hati hancur dalam diam." *** Berita pertunangan Pangeran Aerion Vaelhardt dan Lady Leona menyebar bagai api. Pengumuman resmi itu menggema di seluruh penjuru Caelum, menjadi topik utama di setiap meja makan bangsawan, di setiap kedai kopi, bahkan di telinga rakyat jelata. Elaria mendengarnya dari bisikan para pelayan di Estate Thorne. "Lady Leona dan Pangeran Aerion akan bertunangan!" Mereka berkata dengan riang, tak menyadari beban di hati Elaria. Hatinya mencelos. Ia tahu hari ini akan tiba, namun mendengarnya secara langsung tetap terasa seperti hantaman. "Ini sudah dimulai," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia ingat jelas adegan ini di novel. Sebuah upacara megah di plaza utama, disaksikan ribuan pasang mata. Kaelion, sang Duke yang pendiam
"Ada dinding yang dibangun bukan dari batu, melainkan dari kesepian yang dalam. Dan Elaria, dengan segala kegilaannya, bertekad merobohkan dinding itu, batu demi batu." *** Malam-malam setelah jamuan makan yang memalukan itu, Elaria menghabiskan waktunya merenung. Kata-kata Kaelion di hutan, tatapannya yang kosong di balkon, dan cemoohan para Lady di pesta, semuanya berputar di benaknya. "Dia kesepian," bisiknya pada diri sendiri, menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku melihatnya. Di balik semua dinginnya." Tekadnya semakin menguat. Ia tidak akan menyerah hanya karena Kaelion menganggapnya aneh, atau karena para bangsawan menertawakannya. Ia pernah membaca, di dunia asalnya, ketekunan sering kali berbuah manis. "Jika dia tidak bisa melihatku, aku harus membuatnya melihatku," gumam Elaria, menyusun rencana baru. *** Pagi itu, Elaria meminta Lyssa untuk membantunya. "Lyssa, aku ingin mengirimkan bunga ini ke Istana Nightborne. Untuk Duke Kaelion." Ia memegang seikat bunga sil
"Bahkan tawa yang paling tulus pun bisa menjadi sumbang di telinga yang salah. Di dunia penuh topeng, kejujuran adalah pengkhianatan paling menyakitkan." *** Pergelangan kaki Elaria masih terasa nyeri, namun luka di hatinya jauh lebih sakit. Pertemuan di hutan dengan Kaelion meninggalkan bekas yang dalam. Kata-kata dingin pria itu, "Kau sebaiknya tidak mencoba berada di jalur kami," terus terngiang. "Jalur kami? Memangnya aku pengganggu?" gumam Elaria pahit, saat Clara membalut pergelangan kakinya. "Aku hanya ingin membantu!" Clara hanya menatapnya dengan tatapan "sudah kuduga". Elaria tahu, Clara pasti sudah melaporkan semuanya pada Viscount Thorne. Ia siap menerima omelan lagi. Namun, yang datang bukanlah omelan, melainkan undangan lain. Viscount Thorne, entah mengapa, memutuskan untuk membawa Elaria ke jamuan makan malam penting yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga bangsawan terkemuka. "Ini kesempatanmu untuk memperbaiki kesan buruk," kata Viscount Thorne, wajahnya d
"Di antara rerimbunan hutan, sebuah takdir mencoba mengukir jalannya sendiri. Ia tersesat, terjatuh, namun justru di sanalah ia menemukan pandangan mata yang telah lama ia dambakan." *** Musim gugur perlahan menyelimuti Caelum. Daun-daun berubah warna menjadi emas dan merah, jatuh satu per satu, seolah ikut menari dalam kesunyian. Udara pagi terasa renyah, membawa aroma tanah basah dan kebebasan. Elaria memandang daftar acara yang ditempel di papan pengumuman Istana Thorne. Sebuah kontes berburu tahunan untuk kaum bangsawan akan segera diadakan di hutan kekaisaran. Ini adalah acara yang biasanya diikuti oleh para pria, atau Lady yang memiliki keterampilan berkuda dan memanah yang mumpuni. "Kesempatan," gumamnya, matanya berbinar. "Pasti ada Kaelion di sana." Ia tahu, berdasarkan novel Heart's Companion, Kaelion Vaelhardt selalu ikut dalam kontes berburu. Ini adalah salah satu dari sedikit kesempatan di mana ia keluar dari bayang-bayang istana dan menunjukkan keterampilannya. "Ba
"Ketika takdir mengunci semua pintu, akal adalah kunci terakhir yang mampu membebaskan. Elaria tidak akan lagi menyerah pada naskah yang tak adil." *** Kereta kuda keluarga Thorne terasa dingin dan sunyi di perjalanan pulang. Elaria duduk bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Rintik hujan masih membasahi kaca, seperti air mata yang tak henti jatuh. Pesta emas itu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar sepatu basah atau gaun ternoda. Harga dirinya hancur berkeping-keping. "Bodoh sekali aku," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia telah melihat Kaelion, sedekat itu. Namun, jarak takdir antara mereka terasa tak terlampaui. Kaelion bahkan tak meliriknya, tak ada secuil pun pengakuan di mata obsidian itu. "Hanya figuran, persis seperti yang kubaca," desis Elaria, mengepalkan tangan. Amarah mulai membakar rasa malunya. "Tapi aku bukan figuran biasa! Aku adalah Laurenta Wallace!" Frustrasi menggerogoti setiap sel tubuhnya. Ia sudah mencoba. Ia sudah mengerahkan keberania