LOGIN"Di antara gemuruh musik dan tawa yang asing, Elaria mencari detak jantung yang dikenalnya. Namun, hanya bayangan yang menari di dinding, dan kesunyian yang paling sunyi justru ada di dalam dirinya."
*** Suara musik orkestra menyambut Elaria begitu ia melangkah keluar dari kereta kuda. Istana Nightborne bagai bernyanyi di bawah cahaya lilin dan lentera sihir yang gemerlap. Kilauan gaun sutra dan perhiasan membanjiri aula utama, menciptakan lautan kemewahan yang bergerak anggun. Elaria mencoba tersenyum, mengingat instruksi Clara: tulus, tapi mata dingin. Namun, senyumnya terasa kaku, dan matanya justru penuh dengan kecemasan. "Aku harus bisa," bisiknya dalam hati. Ia merasa begitu kecil, seperti setitik tinta pada kanvas raksasa. Aroma anggur Velrois yang familiar, berpadu dengan parfum mahal, terasa menyesakkan. Ini bukan pesta, ini adalah labirin yang siap menelannya. "Lady Elaria, ingat pelajaran Anda," bisik Clara di sampingnya, suaranya rendah dan tajam. "Jangan melakukan hal bodoh." Elaria mengangguk, memegang erat tas kecilnya. Langkahnya terasa canggung di atas lantai marmer yang licin. Seolah takdir menolaknya, seorang pelayan terburu-buru lewat. Elaria tersandung gaunnya sendiri, tubuhnya limbung. Tangannya refleks terulur, menabrak meja di dekatnya. Sebuah gelas berisi minuman merah tumpah, membasahi kain taplak putih dan sedikit mengenai ujung sepatu seorang bangsawan wanita tua. "Oh, maafkan saya! Saya sungguh tidak sengaja!" seru Elaria panik, wajahnya memerah padam. Bangsawan itu menatapnya dengan pandangan jijik, seolah Elaria adalah serangga pengganggu. "Sepertinya Anda perlu belajar lebih banyak etiket, Lady Thorne. Atau mungkin, Anda memang tidak pantas berada di sini." Bisikan-bisikan dan tawa kecil menusuk telinga Elaria. Ia merasakan darahnya berdesir malu, ingin menghilang menembus lantai marmer. "Ini memalukan," pikirnya. Clara segera menariknya menjauh, wajahnya campuran kemarahan dan rasa malu. "Sudah kubilang, jangan membuat masalah!" Elaria hanya bisa menunduk, hatinya mencelos. "Baru saja mulai, sudah merusaknya," gumamnya. "Aku benar-benar payah," desisnya dalam hati, frustrasi. Namun, di tengah rasa malunya, matanya tak sengaja menangkap sosok yang familiar. Di sisi aula yang lebih tenang, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman malam, ia melihatnya. "Tidak. Ini bukan ilusi," bisiknya pada diri sendiri, jantungnya berpacu. Kaelion Vaelhardt. Kaelion yang selama ini hanya ia bayangkan dari lembar-lembar novel, kini nyata. Ia berdiri beberapa meter darinya di bawah gemerlap cahaya. Setiap detail yang ia hafal mati-matian, kini terpampang di hadapannya. Rambut perak kelabu sedikit berantakan, membingkai wajahnya yang dipahat sempurna. Hidungnya mancung sempurna, melengkapi profil tegas. Sepasang mata obsidian sedingin es menusuk, namun memancarkan kedalaman tak tersentuh yang selalu mengusik hatinya. Bibir tipisnya jarang tersenyum, dan rahangnya tegas memahat ketampanan kelam yang memikat. Ia berdiri tegar, jubah hitamnya elegan di antara keramaian. "Dia... memang seburuk itu dalam kesunyian," bisiknya dalam hati. Aura penyendiri yang menusuk, yang selalu membuatnya bersimpati dalam cerita, kini terasa begitu kuat. Membuat bulu kuduknya meremang, namun bukan karena takut. Itu adalah getaran aneh yang menjalar di hatinya, campuran kekaguman, rasa sakit, dan keinginan untuk meraih. "Kaelion," bisiknya tanpa suara, napasnya tertahan. "Seperti bintang yang jatuh, kau terlalu jauh untuk digapai. Tapi cahayamu... tak pernah padam di hatiku." Lalu, tatapan Kaelion beralih. Ia menoleh sedikit, dan matanya bertemu dengan sosok yang baru saja memasuki pandangan Elaria, Leona. Leona berdiri di samping Pangeran Aerion Vaelhardt, kakaknya Kaelion. Gaun putihnya memantulkan cahaya, dan senyumnya cerah, mempesona, dan sempurna. Ia adalah definisi dari tokoh utama wanita. "Tentu saja," Elaria mendesah pahit dalam hati. "Pusat dunia ini memang miliknya." Kaelion menatap Leona. Bukan tatapan biasa, melainkan tatapan yang mengandung seluruh kesedihan, kerinduan, dan cinta tak terbalas. "Hatimu kini hancur, Kaelion," Elaria bisa merasakan itu, bahkan dari jauh. Mata obsidiannya yang dingin kini terlihat… rapuh. Elaria bisa merasakannya, bahkan dari jauh. Itu adalah tatapan seorang pria yang melihat satu-satunya harapan dan kebahagiaannya berdiri di samping orang lain. Seketika, jantung Elaria seperti diremas. Rasa kagumnya pada Kaelion tadi langsung tergantikan oleh rasa sakit yang menusuk. Ia melihat cinta yang begitu dalam di mata pria itu, cinta yang bukan untuknya. Kaelion sama sekali tidak meliriknya. Baginya, Elaria Thorne hanyalah bagian dari latar belakang, figuran yang baru saja membuat ulah kecil. Di matanya, yang ada hanyalah Leona. "Dia bahkan tidak melihatku," Elaria berpikir pahit. "Hanya bayangan, begitukah aku bagimu?" Clara menarik lengan Elaria, menariknya lebih jauh dari pusat keramaian. "Lady Elaria, Anda harus tenang. Jangan membuat skandal lagi." Elaria menepis tangan Clara dengan lembut. "Aku tahu, Clara. Aku tahu." Suaranya bergetar. Ia berdiri di sana, di tengah keramaian pesta emas yang tidak mengundang hatinya. Ia adalah bayangan, sebuah kesalahan kecil yang tak diingat, sementara kisah cinta yang sesungguhnya sedang berlangsung di depannya. Ia baru saja tiba, namun hatinya sudah remuk sebelum pertarungan dimulai. "Ini tidak adil," bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. "Mengapa takdir sekejam ini?" Air mata mendesak keluar, tetapi ia menahannya mati-matian. Ia tidak boleh menangis di sini. Tidak di depan Kaelion yang bahkan tidak menyadari keberadaannya. Elaria memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Tekadnya perlahan bangkit dari abu kekecewaan. "Tidak. Aku tidak akan menyerah." "Aku datang jauh-jauh ke sini bukan untuk hancur," gumamnya, membuka mata dengan sorot baru. "Aku datang untuk mengubah takdir. Takdirnya, dan takdirku. Sebuah kisah baru, dari tangan figuran." Dengan langkah yang lebih mantap, Elaria memutuskan arah. Ia harus menjauh dari keramaian dan mencari cara untuk mendekati Kaelion, tanpa terlibat dengan Leona dan Pangeran Aerion secara langsung. Pesta ini baru permulaan. Dan Elaria Thorne, sang figuran yang tidak diinginkan, baru saja memutuskan untuk menulis ulang naskahnya sendiri."Di tengah dinding putih yang sunyi, Kaelion, Sang Raja, memilih untuk mengenakan kembali topengnya yang telah retak. Ia menjadi Elias, kekasih yang harus berpura-pura menjadi 'teman baik'. Gencatan senjata yang lahir dari ketakutan Eliana adalah jeda pahit yang dimanfaatkan Kaelion untuk merancang rencana terbesarnya: mengembalikan hati Ratu sebelum topengnya benar-benar luntur." *** Suasana di Ruang VIP Kaelion Vaelhardt terasa kontras dengan kemewahannya. Sebuah ketegangan yang dingin membekukan udara. Setelah Carlo pergi bersama Renier, yang berjanji akan menjemputnya besok pagi, hanya Eliana dan Kaelion yang tersisa. Eliana berbaring miring, punggungnya menghadap Kaelion. Ia tidak ingin melihat wajah yang baru saja mengaku sebagai suaminya. Kaelion, yang kini duduk di sofa kecil dekat jendela, mengambil secangkir teh chamomile, sebuah kebiasaan yang ia pelajari sebagai Elias. Ia menunggu. "Kenapa kau tidak pulang?" Eliana bertanya tanpa menoleh, suaranya pelan dan
"Kebenaran, bagi jiwa yang hilang, bisa terasa lebih kejam daripada ilusi yang paling pahit. Di koridor rumah sakit, Sang Raja mempertaruhkan segalanya untuk membuka mata Ratu yang amnesia. Namun, kisah cinta yang melintasi dua dunia itu terlalu fantastis untuk diterima oleh Eliana yang kini hanya mengenal realitas."***Eliana terhuyung mundur, matanya melebar dalam keterkejutan. Kaca mata yang dilepas Kaelion memperlihatkan intensitas mata obsidian yang kini bukan lagi Elias yang canggung, melainkan Kaelion Vaelhardt, CEO raksasa, dan pria yang mengaku sebagai suaminya."Aku... aku tidak mengerti," Eliana menggelengkan kepala, tangannya mencengkeram lengan Kaelion. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau melakukan semua ini? Apa hubunganmu dengan Vaelhardt? Dan apa maksudmu dengan suamiku?"Kaelion, yang kini berdiri tegak di hadapan istrinya, menarik napas panjang. Ia tahu, setiap kata selanjutnya akan menjadi pedang bermata dua: menghadirkan kebenaran yang ia damba, tetapi juga mena
"Janji adalah hutang yang harus dibayar lunas, bahkan jika pembayaran itu berbalut kesedihan. Kaelion, Sang Raja, mengarahkan Ratu menuju perjumpaan yang mengharukan, perjumpaan yang dirancang untuk membebaskan Eliana dari janjinya. Di setiap langkahnya, Elias menjadi pelindung, tidak menyadari bahwa kehati-hatiannya justru menimbulkan pertanyaan di mata Eliana." *** Pagi di hari ketujuh Toko Bunga Eliana dibuka, terasa berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara. Eliana, meskipun merasa berenergi berkat susu hamil dan peralatan baru dari Elias, tidak bisa mengabaikan peringatan dari Tuan Dharma. "Pihak lain yang sangat profesional dan cepat," gumam Eliana, sambil merapikan display bunga. "Siapa pun mereka, mereka pasti memiliki hubungan mendalam dengan Maya. Aku harus berhati-hati." Carlo sudah berangkat sekolah. Eliana menatap kursi kerjanya yang kini dilengkapi bantal empuk. Bantal itu a
"Setiap kebohongan, betapapun mulianya niat, akan meninggalkan duri yang menyakitkan. Kaelion, Sang Raja, semakin dalam menyerap peran Elias, menikmati kebahagiaan yang dibangun di atas ilusi. Sementara Ratu Eliana, tulus dalam amnesia dan penuh syukur, menawarkan hadiah yang membuat hati Sang Raja teriris: bunga yang melambangkan kembalinya kebahagiaan." *** Hari keenam pembukaan Toko Bunga Eliana. Udara terasa dingin, tetapi hati Eliana terasa hangat. Ia bangun lebih pagi, memacu dirinya untuk merangkai sebuah buket spesial. Ia mengambil Lily of the Valley (Lili Lembah) putih yang kecil dan harum. Bunga itu jarang ia gunakan karena harganya yang mahal, tetapi ini adalah satu-satunya cara ia bisa membalas kebaikan Elias setelah semua hadiah yang diterimanya. "Elias sudah memberiku banyak hal, dari susu, teh, hingga janji bantal dan peralatan. Aku harus memberinya sesuatu yang tulus, sesuatu yang melambangkan harapan yang ia berikan padaku
"Cinta sejati tidak pernah meminta, ia memberi. Kaelion tidak lagi mengandalkan nama besar Vaelhardt. Ia memilih jalur kerendahan hati, menjadi pahlawan kecil yang mengisi setiap celah kekurangan Eliana. Di balik setiap bantuan, tersembunyi sebuah janji: untuk membangun kembali kerajaan kecil Eliana, satu demi satu kelopak kepercayaan." *** Pagi di Toko Bunga Eliana terasa lebih ringan, bukan hanya karena susu hamil yang memberinya energi, tetapi juga karena hilangnya tekanan dari pesanan harian Vaelhardt Legacy. Eliana telah memutuskan untuk melihat ini sebagai jeda yang diperlukan. "Hari ini kita harus fokus pada pelanggan biasa, Carlo," kata Eliana kepada Carlo, yang sedang menggambar bunga matahari di meja dapur, ia hari ini libur sekolah, jadi bisa duduk santai di apartemen kecilnya. Carlo menoleh. "Jadi, tidak ada pesanan rahasia lagi, Bu?" "Mungkin ada, Sayang. Tapi kita akan fokus pada bunga-bunga kecil yang membawa keba
"Perhatian tulus, betapapun kecilnya, adalah benang emas yang menjahit hati. Kaelion, dalam topengnya sebagai Elias, mengirimkan hadiah yang menyentuh naluri seorang ibu. Hadiah itu, tak hanya nutrisi, tetapi juga senjata lembut yang menembus pertahanan Eliana. Di saat yang sama, Eliana harus berhadapan dengan bayangan masa lalu yang semakin kuat, kini terpersonifikasi dalam dua nama: Vaelhardt dan Elias." *** Pagi keempat pembukaan Toko Bunga Eliana diwarnai oleh sedikit rasa lelah. Kehamilan empat bulan Eliana semakin menuntut perhatian, tetapi ia tidak punya waktu untuk beristirahat. Setelah menyiapkan sarapan untuk Carlo dan dirinya, ia segera merapikan toko. "Ibu, apakah Tuan Elias akan datang lagi hari ini?" tanya Carlo, matanya berbinar penuh harap. Eliana, yang sedang menyiram baby’s breath, tersenyum. "Kenapa, Sayang? Kau menyukainya?" "Ya! Tuan Elias sangat ramah. Dia tidak terlihat sibuk







