“Nanti ya, Kak? Aku persiapan tampil dulu. Sebentar lagi giliranku.” Ralin tersenyum lebar pada beberapa wartawan yang sejak tadi terus mengikutinya kemanapun. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan awak media yang terus menanyakan tentang ucapannya pada Jihan tadi.
Saat akan naik ke panggung, Ralin melihat Jihan sedang melakukan konferensi pers. Kembalinya Jihan ke dunia modeling yang sepuluh tahun ini ditinggalkannya memang menarik atensi publik cukup tinggi. Di sampingnya, lelaki bertubuh atletis dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter duduk mendampingi sambil sesekali bercanda dengan dua mereka. Ralin menarik napas panjang. Dia urung melanjutkan langkah saat Aditya menoleh. Hatinya bergemuruh ketika tatapan mereka bertemu. Walau jarak mereka cukup jauh, Ralin dapat merasakan sorot mata lelaki itu menatapnya tajam. Sekejap, pria berusia empat puluh satu tahun itu langsung mengalihkan pandangan lagi. Ralin tersenyum tipis. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan getar-getar rasa di dalam dadanya. Pesona Aditya tidak luntur oleh usia. Lelaki itu bahkan terlihat semakin matang dan menawan di usianya yang sudah kepala empat. “Ralin, ini nomor saya, nanti kalau perlu bantuan lain bisa langsung menghubungi saya agar lebih cepat ditanggapi. Saya sangat salut dengan mahasiswi muda yang sangat bersemangat seperti kamu.” Ucapan Aditya tiga tahun lalu terngiang di telinga Ralin. Saat itu, dia berpamitan sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah diperkenankan melakukan penelitian selama hampir lima bulan untuk tugas akhir di tempat usaha Aditya. “Terima kasih, Pak. Ibu Eva banyak membantu selama saya di sini.” Ralin mengangguk sopan sambil menerima kartu nama lelaki bermata sendu dengan wajah secerah bulan purnama itu. Dia menarik napas panjang saat tangan mereka tidak sengaja bersentuhan. Ralin semakin menunduk dalam-dalam saat melihat Aditya tersenyum lebar. Pasti saat itu wajahnya sudah seperti kepiting rebus karena menahan malu. Bisa-bisanya dia merasakan gelenyar aneh di dalam sana saat tangan mereka bersentuhan tadi. “Sekretaris saya itu memang selalu ramah pada setiap mahasiswi yang melakukan penelitian di sini.” Ralin mengangguk setuju. Dia membenarkan rambut panjangnya yang jatuh ke dada. Walau dia sudah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan banyak pengusaha dan orang-orang penting, tapi pesona lelaki yang usianya terpaut enam belas tahun di atasnya itu tidak bisa dia napikkan. Aditya Buana terlalu menawan untuk diabaikan. “Baik, saya permisi kalau begitu, Pak.” Ralin mengulurkan tangan setelah menyimpan kartu nama Aditya. “Kemana? Buru-buru sepertinya.” Aditya menyambut uluran tangan Ralin yang terlihat semakin salah tingkah. Lelaki yang selalu tampil cuek dan formal itu mendadak jadi banyak bicara. “Saya ada pemotretan salah satu majalah, Pak.” Ralin menggigit bibir saat Aditya meremas tangannya pelan. Hangat, lembut dan nyaman. “Dimana? Ayo saya antar sekalian. Kebetulan dua jam lagi saya ada janji meeting diluar.” Aditya melepaskan jabat tangan mereka dan mengambil ponsel di meja. Setelah memasukkan alat komunikasi itu ke dalam kantong jas, dia menyambar kunci mobil. “Ya?” Ralin menatap kebingungan. Lelaki dengan rahang tegas itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Sebagai model, dia sudah sering bertemu pengusaha dan orang penting lain. Namun, belum ada yang seperti Aditya Buana. Pengusaha yang saat itu berusia tiga puluh delapan tahun benar–benar membuat Ralin terbius pesonanya. Ralin menahan napas saat Aditya tersenyum lebar dan menarik tangannya pelan untuk keluar dari ruangan. Sejak saat itu, mereka menjadi dekat. Kedewasaan sikap Aditya membuat Ralin terlena. Dia belum pernah merasakan ledakan cinta sebesar saat bersama Aditya. Rentang usia yang cukup jauh membuat Ralin merasa sangat nyaman. Aditya bisa menjadi Bapak, Kakak, teman sekaligus pasangan. Lelaki itu benar-benar sempurna baginya. Tampan, mapan dan perhatian. “Lin? Saya sudah transfer ya, kirim buat Bapak dan Ibu di kampung. Kamu jangan terlalu banyak ambil job, jaga kesehatan.” Sejak mereka dekat, Aditya tidak pernah lupa memberikan transferan bulanan. Ralin merasa hidupnya terjamin saat bersama Aditya. Uang itu bahkan lebih besar dari honor sebagai model yang tidak menentu. Selama tahun akhir kuliah, dia memang nyambi menjadi model untuk membiayai kuliah. Kondisi kesehatan bapaknya yang mulai menurun membuat Ralin harus bekerja keras agar tidak putus kuliah. Bertemu dengan Aditya seumpama durian runtuh baginya. Lelaki itu mengayomi, menyayangi dan memberikan dukungan finansial penuh padanya hingga dapat hidup berkecukupan. Ralin menarik napas panjang mengingat kisahnya dengan Aditya Buana tiga tahun terakhir. Dia akhirnya memutuskan tampil ke permukaan. Tepat seribu hari kebersamaan mereka, Ralin tak ingin lagi menjadi kekasih bayangan. Desas-desus yang mengatakan Jihan akan kembali berkiprah meramaikan industri modeling dalam negeri membuat Ralin merasa tersaingi. Dia merasa terancam karena karirnya mulai naik daun. Bahkan, beberapa brand yang tadinya mengajak bekerjasama mendadak menarik lagi penawaran mereka karena Jihan lebih menjanjikan. “Because I build my castle too. Ibaratnya, saya menikah dengan raja setelah saya menjadi ratu. Saya punya nilai tawar disitu. I have my own money.” Wawancara Jihan beberapa waktu lalu melintas di pikiran Ralin. Dia muak melihat wanita itu seolah merasa dirinya benar-benar hebat. Jihan memperlihatkan seolah dia dan Aditya adalah pasangan yang sempurna. Mereka setara dan serasi. Seolah tak ada cela di dalam rumah tangga mereka selama sebelas tahun ini. Padahal, dibalik itu, Aditya justru menggilainya. Mereka terlibat dalam affair terselubung yang tidak seorangpun tahu. Sikap penuh wibawa yang selalu ditampilkan Aditya sebagai pengusaha terhormat berbanding terbalik dengan kegiatan hina yang sering mereka reguk bersama. Hampir setiap malam mereka lalui berkubang dalam dosa yang melenakan. Kini, Ralin memutuskan muncul ke permukaan dengan semua bukti perselingkuhan yang dia punya. Dia ingin melihat bagaimana Jihan yang hebat itu menghadapi dunia saat mengetahui suami yang sangat dia banggakan itu ternyata pendusta. Masihkah Jihan yang namanya selalu di elu-elukan itu bisa berjalan dengan kepala tegak setelah mengetahui betapa suaminya menggilai wanita lain? Bisakah dia tetap menunjukkan sikap elegan dan terhormat saat bahtera rumah tangga yang sangat dia banggakan itu ternyata telah bocor dimana-mana? Karam. Hanya tinggal menunggu waktu bahtera megah itu tenggelam dan hancur dalam lautan nestapa karena dusta. Raline tersenyum lebar saat lampu sorot menyala terang. Dengan langkah mantap dia berlenggak-lenggok di atas panggung. Rambut panjangnya yang tergerai bergerak-gerak mengikuti hentakan kaki. Dengan penuh percaya diri, Ralin berjalan dengan kepala tegak. Tubuh tinggi dan langsingnya bergerak luwes di atas sana. “Jihan Qirani, inilah hadiah dariku di malam puncak kembalinya dirimu ke dunia modeling lagi setelah beristirahat selama sepuluh tahun.” Ralin berbisik dalam hati saat kilatan blitz kamera tak berhenti menyorot dirinya.“Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap
“Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda
“Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga
Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas
"Misteri pernikahan putra bungsu pejabat penting di negeri ini akhirnya terkuak. Kemarin, publik dihebohkan oleh unggahan foto salah satu pejabat yang menjadi tamu undangan. Setelah ditelusuri lebih jauh, beberapa influencer yang dikabarkan cukup dekat dengan Fadhli Hermawan juga mengunggah momen bahagia itu di akun kedua mereka.Yang lebih mengejutkan, Fadhli Hermawan ternyata menikah dengan Rayna Sasmaya Buana, putri dari Aditya Buana dan Jihan Qirani. Dua orang yang menghilang begitu saja dari layar kaca setelah kasus besar yang menghebohkan lima belas tahun lalu.Pernikahan dilaksanakan dengan konsep garden party dan terlihat sangat private. Menurut informasi yang berhasil kami dapat, tamu yang diundang hanya pihak keluarga, teman-teman dekat dan beberapa pejabat yang menjadi saksi pernikahan.”“Lagi?” Jihan menawarkan telur mata sapi pada Damar. Sesekali, dia melirik pada televisi yang sedang menampilkan gambar-gambar pernikahan yang didapat dari media sosial tamu undangan.“Suda
Sungguh, dia bisa melihat suaminya adalah sosok yang sangat bertanggung jawab pada keluarga.Setelah tujuh tahun berlalu, mereka mulai menata kehidupan lagi. Banyak ketinggalan yang harus Rayna dan Damar kejar. Banyak juga biaya yang mereka butuhkan agar kedua anaknya bisa mengejar ketinggalan itu.Jihan terjun langsung ke lapangan, dia tidak segan membantu mengikat sayur-sayuran sebelum diserahkan pada penadah. Model kelas atas yang dulu tangannya selalu rutin perawatan setiap bulan di salon ternama, tidak segan berkubang licak saat membantu Aditya mengangkat pupuk untuk tanaman mereka.Dia mendukung penuh saat Aditya mengatakan akan merintis usaha dibidang pertanian. Jihan mengaminkan saat Aditya ingin benar-benar meninggalkan semua hal tentang masa lalu mereka. Bahu membahu mereka menjalani semua dengan satu tujuan, kedua anaknya harus menjadi orang di masa depan. Kedua anaknya tidak boleh hidup dalam kekurangan.“Fadhli Hermawan, Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan