"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."
Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal. Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.” “Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh langsingnya. “Yap, sudah!" Sisi menjawab kikuk. "Yuk-yuk do’a dulu.” Sisi memanggil tim yang lain. Delapan orang yang tadi sibuk dengan urusan masing-masing langsung membentuk lingkaran. Mereka berdo’a seperti kebiasaan Jihan sepuluh tahun yang lalu setiap akan tampil. “Yuk, Bu, langsung mendekat ke stage saja." Nia langsung mempersilakan Jihan dan membantunya berdiri. Jihan mengangguk pada managernya sambil mengucapkan terima kasih. Dia berkaca sekali lagi, memastikan penampilannya sudah rapi. Sebelum melangkah, Jihan menatap Ralin yang masih berdiri di dekatnya. "Bu Jihan? Ayo!" Nia langsung menarik tangan Jihan pelan agar segera meninggalkan tempat itu. "Sebentar lagi Ibu tampil, pastikan semua terpukau seperti sepuluh tahun lalu." Jihan menarik napas panjang. Dia bergegas melangkah keluar dari ruangan. Sebelum berbelok di ujung lorong, dia melirik sekilas pada Ralin yang dihampiri oleh beberapa wartawan. Senyum tipis gadis itu tertangkap jelas di mata Jihan. "Fokus, Bu, biar aku yang urus wanita tidak jelas itu." Nia mengelus punggung Jihan pelan saat menyadari modalnya sesekali menoleh ke belakang. Jihan menarik napas panjang saat dentum musik mulai terdengar. Irama yang hanya diputar saat dia akan tampil. Instrumen miliknya. Hanya dia. Musik itu seakan melekat pada Jihan, menjadi ciri khas tersendiri yang selalu dinanti. "Setelah sepuluh tahun vakum dari dunia modeling yang melambungkan namanya, malam ini, sang supermodel kembali ke panggung kejayaannya." Jihan menarik napas panjang mendengar suara MC. Dia memejamkan mata, berusaha menyerap semua energi dan euforia yang ada disekitarnya. Saat buncah itu memenuhi dada, Jihan membuka mata sambil sedikit mengangkat dagu. Ya, wanita itu sudah mendapatkan kembali seluruh kepercayaan dirinya. "Sambutlah, bintang yang akan membuat trend baru di dunia fashion. Seseorang yang menjadi kiblat dunia model di negeri ini. Wanita yang diberi gelar Matahari Terbit Dari Timur oleh para perancang busana karena pesonanya. Jihan Qirani!" Suara tepukan tangan dan teriakan nama Jihan langsung memenuhi ruangan itu. Gegap gempita terasa seperti menggetarkan dinding mendengar keriuhan yang tercipta. Jihan tersenyum lebar menyambut panggung miliknya. "Jihan! Jihan! Jihan!" Lampu sorot dan blitz kamera langsung melahap rakus tubuh Jihan saat dia melangkah untuk pertama kali di atas panggung. Dengan anggun, Jihan melambaikan tangan beberapa kali. Sebelum memutar badan di ujung panggung, Jihan tersenyum lebar hingga giginya sedikit terlihat. "Gaun rancangan dari Latifah Wulandari yang dikenakan Jihan hari ini, cocok untuk dikenakan saat …." Jihan berhenti tepat di tengah panggung saat MC memperkenalkan gaun tosca yang dia kenakan. Dia meletakkan kedua tangan di pinggang seperti gaya para Puteri Indonesia di ajang bergengsi itu. Sesekali, Jihan membenarkan ujung jilbabnya yang jatuh ke dada. Dia menatap ke seluruh ruangan. Dadanya berdebar kencang merasakan kemewahan atmosfer panggung lagi. Sepuluh tahun dia istirahat dari dunia modeling yang melambungkan namanya. Hari ini, Jihan kembali. Bisnis fashion yang sempat redup belakangan langsung menggeliat saat wajah Jihan bertebaran di spanduk dan poster seluruh kota. Dulu, apapun yang dia kenakan selalu menjadi trendsetter hingga para perancang busana dan pemilik usaha fashion berlomba-lomba menjadikannya sebagai brand ambassador mereka. "Alhamdulillah." Nia, Sisi dan anggota tim langsung menyambut Jihan saat dia turun dari panggung. Malam itu, semarak tak hanya disana saja, tapi menyebar ke seluruh kota. Pesona Jihan tak luntur. Dia tampil memukau seperti sepuluh tahun lalu di masa-masa keemasannya. "Selamat, Sayang." Jihan menoleh saat mendengar suara Aditya Buana, suaminya. Senyumnya mengembang saat lelaki itu menyerahkan sebuket besar mawar merah dan mencium pipinya. "Aduuuuh, meleleh deh." Yang lain langsung berseru-seru melihat adegan romantis yang terjadi tepat di hadapan mereka. "Kapan pulang?" Jihan menerima buket bunga dan langsung menyelipkan tangan di lengan Aditya. Wangi maskulin langsung memenuhi hidungnya. Aroma yang selalu dia rindukan. "Baru saja tiba, dari bandara saya langsung kemari." Jihan tersenyum lebar menatap mata sendu suaminya. Aditya Buana, seorang pengusaha air minum dan pemilik tempat wisata yang cukup terkenal di kota mereka. "Mama, Mama." Jihan langsung menoleh pada suara yang sangat dia kenal. Rayna dan Damar, kedua anaknya itu berlari kecil menghampirinya. Jihan tertawa sambil merentangkan tangan. "Mama cantik sekali." Rayna mencium pipi Jihan. "Terima kasih, Anak manis." Jihan menoel hidung bangir putrinya yang bulan lalu genap berusia sepuluh tahun. "Damar bangga sekali sama Mama." Damar menyerahkan setangkai mawar merah lengkap dengan daunnya. "Mama juga bangga sama Kakak dan Adik." Jihan menerima bunga kesukaannya dan mencium kening Damar. Setelahnya, kedua anak itu langsung menempel pada Aditya. Seminggu di luar kota untuk mengontrol salah satu usahanya, membuat kerinduan kedua anak itu membuncah pada Papa mereka. Jihan tersenyum tipis menatap kehangatan anak dan ayah itu. Malam ini sempurna menjadi miliknya andai Ralin tidak menemuinya tadi. Dia sungguh tidak menyangka gadis yang usianya sepuluh tahun di bawahnya itu akan mengatakan sesuatu yang sangat memalukan sekaligus menyakitkan walau kebenarannya belum pasti. Jihan tidak habis pikir wanita itu bisa berkata dengan sangat lantangnya di depan semua orang. Bahkan, Ralin seolah sengaja benar menunggu momen ketika wartawan menyambangi ruangan tempatnya sedang dirias. "Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu." Ucapan Ralin terus memenuhi otak Jihan saat menatap wajah tampan suaminya yang penuh senyuman. "Saya bangga sekali bisa menjadikanmu sebagai seorang istri." Aditya melingkarkan tangan di pinggang Jihan saat blitz kamera wartawan dengan beringas mengabadikan kebersamaan mereka berempat. Jihan tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Aditya mau tampil hangat dan mesra dengannya di depan publik setelah dia melahirkan Rayna. Mereka tampil mesra hanya di tahun pertama pernikahan. Setelah kelahiran Rayna, Aditya seolah tenggelam dalam dunia dan kesibukannya sendiri hingga Jihan seringkali memeluk sepi. Seharusnya, malam ini menjadi malam terindah bagi Jihan. Setelah tidur panjangnya selama sepuluh tahun, Aditya yang dulu kembali. Lelaki yang membuat cinta Jihan begitu dalam karena kehangatan dan kelembutan sikapnya. Ya, seharusnya.“Kenapa tidak?” Wilda menjawab cepat. “Semua aset masih atas nama Rama Ranggajati. Itu menjadi warisan untukku dan akan langsung kuwariskan pada anak-anakku. Termasuk tabungan, deposito dan harta benda lainnya yang saat ini atas namaku dan tersimpan rapi di Bank. Bahkan, legalitas usaha semua atas namaku. Kuharap kau tidak lupa itu, Afrizal!” Wilda mengacungkan telunjuknya.“Posisimu bukan pemilik disini. Kau hanya pekerja yang mendapat bayaran bisa menikmati kemewahan dari pemilik perusahaan.” Wilda menandaskan hingga membuat Afrizal terdiam.“Aku akan mem-blow up kehamilanku ke media.” Ralin tersenyum lebar. Dia harus mendapatkan bayaran yang besar dari keluarga ini jika ingin mengenyahkannya dari hidup mereka. Mengancam adalah satu-satunya cara yang terpikir saat melihat Afrizal mati kutu.“Silahkan!” Fikar menjawab cepat. “Aku ingin melihat lagi kehebatanmu menghancurkan hidup orang lain seperti Aditya Buana setahun lalu. Memangnya bisa apa kau tanpa aliran uang dari lelaki tua ba
“Memalukan!” Fikar mendesis. Anak nomor dua Afrizal dan Wilda itu memang sedikit temperamental. Dia bahkan sempat mengusulkan menggarap Ralin bergantian tadi. Untuk memberi pelajaran pada wanita yang sudah meneror sang Mama dan menggoda papanya. Beruntung, Wilda bisa menenangkan keempat anaknya.“Jaga mulut kalian!” Afrizal menegakkan badan. “Hal seperti ini sudah bukan sesuatu yang aneh diantara kita. Bahkan, anak-anak muda seperti kalian pasti paham sekali bagaimana lingkaran pertemanan dalam dunia bisnis yang kita jalani.” Afrizal menggeram.“Tidak usah munafik kalian! Papa hafal mati bagaimana cara lobi melobi antar rekan bisnis. Wanita penghibur itu sudah bukan hal aneh lagi!” Afrizal menatap keempat anaknya bergantian. “Aku sudah lebih dulu terjun disini dari kalian. Kau bahkan belum ada dalam bayangan, Fandy, ketika Papa sudah melemparkan salah satu artis besar pada oknum pejabat agar memberikan izin salah satu proyek terbesar di negeri ini bahkan hingga hari ini.”Ruangan itu
Wilda memalingkan wajah melihat Afrizal dan Ralin berjalan beriringan keluar dari kamar. Mereka duduk bersebelahan di sofa yang masih kosong. Wilda dan keempat anaknya memang sengaja memberi kesempatan pada dua pasangan yang baru saja berbuat hina itu untuk berpakaian.“Apa Papa sering kemari, Mang?” Fandy menoleh pada penjaga Villa. Anak pertama Afrizal dan Wilda itu sengaja memanggil pekerja di villa untuk ikut berkumpul disana. Mereka butuh informasi sejelas mungkin mengenai perselingkuhan sang Papa. “Tidak mungkin Mang Rusdi tidak tahu, kunci Villa ini Mamang yang pegang.”“Saya hanya tahu beberapa kali saja Bapak kemari kalau kebetulan sedang ada di villa.” Rusdi menunduk menghindari tatapan Afrizal. “Sejak setahun lalu, Bapak pegang kunci sendiri. Jadi, saya tidak tahu dengan pasti sering atau tidak Bapak kemari.”“Waktu kebetulan bertemu, Papa datang dengan wanita j*lang itu?” Fandy menunjuk Ralin dengan dagu. Dia melihat jijik ke arah Afrizal dan selingkuhannya. Lelaki itu tid
“Aku sudah menyiapkan uang untukmu. Sepulang dari sini akan langsung kutransfer. Sebagai bentuk terima kasihku karena kau telah banyak membantu melenyapkan Aditya Buana dan juga, sebagai tanda kasih sayangku.” Afrizal memegang tangan Ralin. “Kau benar-benar penutupan yang indah untuk mengakhiri petualangan sebelum kembali pada keluargaku.”“Aku tidak mau kita selesai.” Ralin menarik tangannya. Dia menatap Afrizal dengan pandangan menggoda.“Kau akan mendapat bayaran yang fantastis dariku, Ralin. Namamu sebagai aktris juga semakin berkibar di industri hiburan tanah air. Kuharap kau tidak lupa, semua itu karena jasaku membayar media sehingga namamu bersih kembali.” Afrizal tersenyum lembut. “Kita nikmati hari-hari menjelang perpisahan ini. Aku akan selalu mengingat liukan tubuhmu yang selalu memabukkan untukku.”Ralin menarik napas panjang. Dia sudah menduga hari ini pasti terjadi. Saat dimana dia dibuang dan dicampakkan. Seperti dulu, saat Aditya memutuskan meninggalkannya, begitu juga
“Mas manly sekali. Dengan jambang dan rambut seperti itu, Aditya Buana terlihat sangat jantan dan berbeda. Seperti penampilan koboi-koboi berkuda di Texas sana.” Aditya tersenyum tipis mengingat pembicaraan mereka beberapa malam yang lalu. Rasanya, itu kali pertama mereka bercanda lagi setelah sekian lama.“Nanti kapan-kapan aku belikan topi koboi.” Mereka tertawa bersama sambil memandang bintang dari jendela rumah sakit. Ah, kalau saja Jihan melemparkan candaan itu dulu. Bisa dipastikan mereka sudah berada di Texas beberapa minggu kemudian.Roda berputar. Dulu dia memiliki kelebihan harta, sekarang Aditya harus berpikir keras untuk membiayai pengobatan kedua anaknya. Belum lagi dia dan Jihan juga punya keperluan sendiri mulai dari makan dan kebutuhan pribadi sebagai makhluk hidup.“Bismillah ….” Ranu menahan napas saat mengangkat brankar ke dalam ambulans. Dia memegang tangan Jihan yang berdiri di sampingnya. Tepat jam dua belas malam, dua ambulans membelah jalan.Jihan mengelus waja
"Ma, Pa, saya pamit. Kami akan pergi untuk mengobati Rayna dan Damar. Cucu-cucu Mama dan Papa belum sembuh. Mereka masih butuh perawatan agar bisa seperti dulu lagi." Aditya menghela napas panjang. Dia menatap dua pusara di hadapannya. Kuburan Cakra dan Hida sudah bukan gundukan tanah merah lagi, rumput jepang menghiasi pinggiran dan atasnya sehingga sudah seragam dengan makan yang lebih dulu ada.“Dinihari nanti kami berangkat, jam empat. Sengaja mencari penerbangan subuh untuk menghindari pantauan media.” Aditya akhirnya duduk bersila beralaskan koran. Dia memang membawa koran dan sekeranjang bunga tabur saat akan kesini tadi.“Mama sama Papa tidak apa ya saya tinggal? Saya tidak tahu kapan bisa ziarah lagi. Entah tahun depan, sepuluh tahun lagi, atau malah tidak akan pernah bisa datang kesini lagi.” Aditya memegang rumput jepang di kuburan Hida. Dia tersenyum tipis di antara tangis saat ujung-ujung rumput mengenai tangannya. Tajam, hingga menimbulkan rasa perih seperti digigit semu
"Habis riwayatmu, Aditya. Nama besar Buana hanya tinggal kenangan yang akan terus terukir dalam ingatan setiap orang kalau pemiliknya ada seorang yang amoral dan tidak bertanggung jawab." Afrizal mematikan televisi. Cukup. Tampilnya Ralin ke publik hari ini sudah melengkapi semua skenarionya."Semoga kau beristirahat dengan tenang, Cakra Buana. Usaha yang kau banggakan dulu sudah mati dan terkubur bersama hilangnya nama besar dan jasadmu dari bumi ini."Ratusan kilometer dari gedung pencakar langit itu, Aditya memijat kening dengan wajah masam. Di sampingnya, Jihan hanya terdiam mendengarkan percakapan."Jual saja, Mas." Rafli kembali berbicara setelah keheningan cukup lama tercipta di antara mereka. "Sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Jual saja." Adik nomor tiga Jihan itu terus menatap Kakak iparnya yang menunduk sejak tadi.Aditya menoleh pada Jihan. Wanita itu mengangguk pelan. Aditya mengalihkan pandangan. Ditatapnya satu persatu ketiga lelaki di hadapannya. Adik iparnya i
“Seminggu berlalu begitu saja sejak pengakuan Ralin yang menuntut tanggung jawab dari Aditya Buana. Sampai berita ini kami turunkan, tidak ada tanda-tanda itikad baik dari pihak Aditya dan Jihan.Suami istri itu bahkan tetap bungkam dalam persembunyian. Pihak keluarga Jihan yang kami temui di desa memilih tutup mulut. Mereka mengatakan tidak mau ikut campur dalam masalah yang melibatkan anak dan menantu mereka.Sementara Ralin sendiri dikabarkan sedang dirawat di rumah sakit. Kondisi kesehatannya turun drastis karena beban pikiran. Mentalnya juga sedang terguncang karena sebelumnya sering menerima teror yang diduga berasal dari orang suruhan Aditya.Menurut informasi yang kami dapat, Ralin bahkan sempat pendarahan cukup banyak setelah melakukan konferensi pers minggu lalu. Beruntung, janin yang dikandungnya baik-baik saja. Menurut orang terdekatnya, Ralin hanya berharap agar Aditya bisa menunjukkan itikad baik pada janin yang sedang dikandungnya saat ini.”Afrizal tersenyum puas melih
“Jihan?” Aditya terpana saat Jihan menghempaskan tangannya saat mereka sudah di kamar rawat inap Rayna dan Damar. Lelaki itu menatap istrinya tidak mengerti. Dia berjalan pelan mendekati Jihan yang menangis di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangan.“Wanita itu mengandung anakmu, Mas!” Jihan mendesis kencang. Wanita itu menyandarkan punggung di sofa. Dia menatap Aditya yang sedang berjalan mendekatinya dengan wajah muram.Dengan ujung mata, Jihan bisa melihat kedua orangtuanya yang tadi sudah bersiap akan pulang duduk kembali. Burnian dan Namira saling berpandangan. Jihan mengembuskan napas kencang. Selama lima belas tahun pernikahan, ini pertama kalinya mereka bertengkar di depan Bapak dan Ibu. Baik Jihan maupun Aditya sepakat kalau ada masalah cukup mereka yang menyelesaikan sendiri, tidak perlu keluarga tahu dan ikut campur.Namun, Jihan tidak bisa menahan hati. Dia lelah dan tersakiti. Berbagai cobaan yang datang dan menghantam keluarga mereka membuat Jihan merasa bisa menj