Aditya menghembuskan napas kencang. Baru kali ini Jihan sangat keras. Walaupun sikapnya tetap lembut seperti biasa, tapi wanita itu tegas mengatakan keputusan yang akan dia ambil.
Mereka diam sepanjang sisa perjalanan. Jihan memilih menyibukkan diri memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali, wanita itu membenarkan hijab yang dia kenakan. “Kenapa berhijab?” Aditya mendadak teringat pertanyaannya setahun yang lalu. Mereka akan menghadiri acara gathering keluarga bersama karyawan hari itu. Aditya sedikit heran karena Jihan tampil dengan tunik selutut dan hijab kekinian. “Tidak apa-apa. Aku mulai rutin mengikuti kajian, Mas. Tahun depan usiaku menginjak pertengahan kepala tiga, aku ingin mulai memperbaiki diri.” Aditya hanya mengangguk mendengar jawaban istrinya saat itu. Sejujurnya, Jihan terlihat sangat manis dengan hijab bunga-bunga yang dia kenakan. Namun, lidahnya kelu untuk memuji. Bertahun-tahun kata rayuan sudah tak pernah lagi dia ucapkan. Lagipula, tanpa dia katakan, siapapun setuju kalau wajah Jihan tidak membosankan. “Mas, coba adakan acara kajian rutin setiap jum’at di kantor. Biar ruh karyawan terisi. Mereka tidak hanya fokus pada mencari rezeki dari pekerjaan yang bersifat duniawi, tapi kebutuhan hati mereka juga terisi.” Aditya tersenyum tipis mendengar ucapan Jihan kala itu. Dia tahu, Jihan melakukan segala cara agar dia bisa ikut memperbaiki diri. Mulai dari sering mengirim video-video kajian ke ponselnya, mengajak agar ikut serta ke kajian hingga tepat setengah tahun lalu, Jihan memberikan usul itu. “Kalau Mas berkenan, nanti biar aku yang atur waktu, tempat dan pengisi acaranya.” “Koordinasikan saja dengan Eva.” Aditya akhirnya setuju setelah hampir seminggu penuh istrinya itu terus membicarakan tentang kajian rutin setiap jum’at. Dia pusing mendengar Jihan yang sangat cerewet membicarakan manfaat kegiatan itu bagi karyawan dan kelangsungan usaha mereka setiap menjelang akan tidur. “Depan belok kanan, Mas.” Jihan menunjuk perempatan. Aditya mengangguk pelan. Tangannya sigap memutar kemudi. Ujung matanya bisa menangkap gerakan Jihan yang sedang bercermin untuk memastikan riasan wajahnya sudah rapi. Istrinya itu terlihat manis dengan blus merah muda. Hijab merah hati yang dikenakan Jihan senada dengan celana yang dipakainya. “Lihat? Entah dari mana mereka tahu aku ada pemotretan di sini hari ini. Mungkin saja ada crew yang membocorkan. Kalau sudah menyangkut uang, apapun akan orang lakukan.” Jihan menggelengkan kepala melihat awak media yang sudah berkerumun di gerbang tempat tujuan mereka. “Ayo.” Aditya keluar dari mobil dan bergegas membukakan pintu untuk Jihan. Lelaki itu langsung merangkul pinggang istrinya saat mulai berjalan. Dengan senyum lebar, Aditya semakin mengeratkan pegangan saat para wartawan mulai berlarian ke arah mereka. “Jihan! Jihan! Bagaimana tanggapannya tentang pernyataan Ralin hari ini?” “Aditya, apakah semua yang Ralin katakan benar? Kenapa tidak ada sangkalan?” Jihan hanya menanggapi dengan senyuman. Mereka memang sudah sepakat untuk bungkam. Kabar-kabar semacam ini, semakin ditanggapi akan semakin digoreng oleh media. Salah-salah ucapan mereka bisa dipelintir sehingga dapat memperkeruh berita. “Nanti ya? Saya ada pemotretan. Sudah telat ini.” Jihan menanggapi seperlunya. Beberapa crew segera membantu membukakan jalan. Jihan paham sekali, saat dia memutuskan terjun kembali ke dunia ini, semua kegiatan dan berita tentangnya mau tidak mau akan menjadi konsumsi publik. Era digital, berita apapun bisa menjadi viral. Namun, dia benar-benar tidak menyangka. Hari saat dia kembali setelah beristirahat selama sepuluh tahun, justru berita perselingkuhan suaminya yang menyambut. Ralin benar-benar memukulnya dengan telak. Berita tentang keretakan rumah tangganya menenggelamkan prestasinya selama ini dan juga capaian yang ingin dia tampilkan di masa kini. Ralin, model yang sedang naik daun itu sukses mengacak-acak citra diri yang ingin ditampilkan oleh manajemen saat Jihan kembali.Lima tahun bercerai, mereka seperti pasangan pengantin baru saat bersama lagi. Dirga bahkan memboyong Nia untuk menikmati bulan madu. Safiya yang saat itu sudah kuliah bisa mengerti dan memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk orangtuanya agar bisa menumbuhkan cinta itu kembali.“Lucu mereka itu.” Aditya terkekeh. “Kemana-mana selalu berdua. Lengkeeeeeet sekali. Kalau saja Dirga ke kantor boleh membawa istri, pasti dia sudah memboyong serta si Nia.”“Mereka pernah berpisah, Mas. Pasti Nia dan Dirga mengerti sekali bagaimana rasanya kehilangan hingga sekarang mereka menjadi lebih menghargai apa yang mereka miliki. Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari setiap kejadian.”Aditya mengangguk setuju. Dia menoleh pada Jihan. Wajah istrinya terlihat cantik di antara jingga senja yang membungkus desa. Perlahan, lelaki itu mengambil tangan Jihan. Sekejap, mereka bertatapan lama dan dalam. Mendadak, rasa haru memenuhi keduanya. Perasaan yang hanya bisa dirasakan oleh Jihan dan Aditya.“Terima
Jihan tersenyum lebar melihat Aditya yang baru saja kembali ke rumah. Lelaki itu tampak masih gagah walau usianya sudah melewati kepala lima. Topi koboi di kepala, baju kaos yang membentuk badan dan sepatu boots sebetis untuk menghindari licak tanah membuat suaminya terlihat sangat manly."Tehnya, Mas." Jihan meletakkan dua gelas teh hangat dan sepiring ubi goreng. Aroma bunga melati segar yang mengambang di gelas memenuhi penciuman. "Sudah selesai?" Jihan kembali bertanya sambil memperhatikan Aditya yang sedang melepaskan sepatu boots."Alhamdulillah, sudah." Aditya tersenyum lebar. Dia meletakkan topi koboinya di meja. Beberapa helai uban di rambut panjang Aditya yang diikat ekor kuda membuatnya terlihat semakin menawan. Dia memang tidak pernah memotong pendek lagi rambutnya. Aditya seolah ingin menghilangkan dirinya yang dulu. Dia yang selalu tampil rapi dan klimis dengan setelan jas kini tergantikan dengan Aditya yang tampil sedikit urakan.“Cuma dua truk yang berangkat tadi. Truk
“Kita kemana, Pak?” Pagi hari, lima belas tahun lalu. Afrizal memicingkan mata saat sinar matahari terlihat menyilaukan diantara ribuan rintik hujan yang membasahi bumi. Beruntung dia sudah menyelesaikan sarapan tadi. Kalau tidak, Afrizal akan kelaparan di perjalanan karena mereka menempuh jarak yang cukup jauh.“Ini?” Afrizal menautkan alis saat melihat gerbang pemakaman yang sangat dia kenal. Keluarganya dan keluarga istrinya dimakamkan disini. Mereka sudah membeli lahan untuk tempat pemakaman keluarga. “Siapa yang meninggal?” Afrizal terengah saat petugas yang mendampinginya tetap bungkam.“Fikar?” Afrizal berteriak melihat anaknya menunggu di depan gerbang pemakaman. Anak lelakinya yang nomor tiga itu hanya menatapnya dengan wajah muram. Dia hanya memayungi Afrizal dengan payung hitam. Lelaki yang mengenakan jaket jeans navy itu tetap bungkam walau Afrizal bertanya berkali-kali.“Mama meninggal seminggu yang lalu. Kami meminta izin agar Papa mendapat keringanan ikut pemakaman. Tap
“Betul, Pak Afrizal salah satu pasien paling tua disini.” Lestari, salah satu perawat di Rumah Sakit Jiwa menatap Afrizal yang duduk di kursi roda. “Kasihan sih, walau badannya masih sehat, tapi pikirannya sudah terganggu. Ya wajar, seusia beliau ini biasanya sudah pikun. Apalagi Pak Afrizal memang mengalami gangguan jiwa sejak beberapa tahun belakangan.”“Pak Afrizal ini yang dulu sempat membuat heboh itu bukan, Kak?” Rima berbisik pelan. Dia sedang magang disana. Mahasiswa semester akhir jurusan psikologi itu sekaligus sedang melakukan penelitian untuk mengerjakan tugas akhirnya.“Kok kamu tahu, Dek?” Lestari menoleh pada Rima. Dia berdiri sejenak untuk membetulkan selimut di pangkuan Afrizal. Mereka sedang tugas jaga. Pagi ini, mereka mengawasi Afrizal yang sedang berjemur sinar matahari pagi di taman rumah sakit.“Berita itu ‘kan sudah lima belas tahun yang lalu? Berarti kamu masih sekitar umur tujuh tahunan ‘kan?" Gadis berusia dua puluh empat tahun itu kembali bertanya. Dia suda
“Dua tahun kita bersama, kenapa Mas baru komplain sekarang?” Ralin balas berteriak. Dia tidak terima dituduh menularkan penyakit kelamin. Selama ini dia rutin memeriksakan diri sehingga organ reproduksinya selalu terjaga dan sehat.“Lalu, kamu pikir dari siapa aku tertular? Kamu sudah jelas wanita simpanan! Entah sudah berapa lelaki yang menidurimu.”“Mas pikir aku tidak tahu kalau Mas sering jajan, hah?! Tidak seperti Afrizal dan Aditya yang cukup memiliki satu simpanan, Mas masih sering mencari di luaran!”“Heh! Kamu kira kamu masih secantik apa, Ralin? Kamu masih muda dan kencang saat bersama mereka. Wajar kalau mereka puas dengan pelayananmu yang prima. Masih untung aku mau menampungmu. Jadi, jangan banyak omong sok-sokan berani menentangku.”Ralin terdiam. Dia muak melihat lelaki di hadapannya. Keluar dari penjara, dia sempat terlunta-lunta. Hingga akhirnya, dia bertemu dengan salah satu pejabat yang sedang melakukan aksi sosial turun ke lapang, membantu masyarakat yang kekuranga
Fadhli juga lah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Rayna kalau tidak semua pernikahan akan berakhir menakutkan. Lelaki itu dengan sabar menemani setiap sesi konsultasi dengan psikolog. Dia juga menjadi penengah pembicaraan hati ke hati antara Rayna dengan kedua orangtuanya.Satu yang menarik perhatian Fadhli, Damar dan Rayna terlihat sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tanggung jawabnya. Rayna sepenuh hati mempersembahkan kemampuan terbaik di perusahaan, Damar berjuang keras memajukan usahanya.Kerja keras, Jihan dan Aditya berhasil menanamkan hal itu pada kedua anaknya. Bukan hanya lewat ucapan, mereka mencontohkannya melalui tindakan.“Mencuatnya berita ini, mau tidak mau melemparkan ingatan kita pada kasus menghebohkan lima belas tahun yang lalu.”Aditya, Jihan dan Damar serentak menoleh pada televisi. Mereka sempat berpandangan sejenak saat kilas balik foto-foto masa lalu berseliweran memenuhi layar kaca. Tidak lama, wajah Iskandar, pengacara yang dulu membantu proses kas