Youmna menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahirannya, setelah melewati tujuh tahun menganyam pendidikan di Jerman. Terhitung masa SMA dan kuliahnya Ia habiskan di sana bersama dengan nenek dan kakeknya.
Udara yang ia rindukan, pemandangan yang telah banyak berubah sejak ia meninggalkan Jakarta, serta jalan yang punya banyak kenangan untuknya.
"Damn it!" Youmna mengumpat pengendara mobil yang melintasinya dengan kecepatan tinggi hingga air hujan yang ada di jalanan mengenai tubuh dan pakaian dengan kuyup. Dan ia sadari hal yang tidak pernah berubah dari kampung halaman adalah kebiasaan orang-orang yang berkendara seperti pembalap di jalan umum terlebih lagi anak muda. Pemuda yang mengendarai mobil tadi berhenti dan meminggirkan mobilnya, "Sorry!" suara pria itu dari kejauhan. "Sorry, sorry!" umpat Youmna sambil membersihkan pakaian dengan tangannya. "Terus mau lu apa, gua kan udah minta maaf!" "Ma ...." perkataan Youmna terhenti ketika Ia melihat siapa yang kini ada di hadapannya. Kai Kavindra Ataya, Pria yang hidup di masa lalunya, pria di balik jendela yang pernah ia jadikan pemain utama dalam tontonan jendelanya. "Youmna!" "Rupanya kamu masih mengenalku?" pikir Youmna dalam kepalanya. "Youmna Sasmita 'Kan?" Youmna masih tak bergeming menatap pria yang ada di hadapannya, nyata! "Cara minta maaf itu, nggak gitu!" "Tapi yaudahlah ya. Gua udah dijemput!" Youmna meninggalkan Kai yang masih berdiri menatapnya, berdiri tanpa berkedip sampai Youmna masuk ke dalam mobil pribadi yang telah menjemputnya. "Itu siapa, Dek?" tanya Yardan; kakak laki-laki Youmna. "Orang nggak jelas!" Dengan wajah yang kesal. "Kok kamu kotor gitu sih, kaya comberan." Dengan nada Yardan yang mengejek. "Ihss, kesel lah, ya Allah. aku baru sampe." "Kenapa kok bisa?" tanya Yardan dengan serius. "Udah jalan ajalah, Bang!" pinta Youmna tanpa tanya. Youmna menatap jalanan yang ia lewati di balik jendela mobil, dengan tatapan keluar dan kepala sedikit menyandar. Mengingat kisah waktu SMP, di mana rutinitas di sekolahnya dahulu adalah menatap dunia dari balik jendela sekolah. Youmna selalu datang pagi hari sebelum teman-temannya datang, bisa dibilang ia selalu menjadi orang pertama yang memasuki ruang kelasnya. Bila tidak ada jadwal piket maka hal yang akan ia lakukan adalah berdiri di kursinya yang bersampingan dengan jendela lalu melihat keluar. Dengan kelas yang berada di atap lantai dua itu, ia mampu melihat hal-hal yang menarik dan membuatnya tersenyum, seperti indahnya langit yang berwarna biru disertai matahari dan awan yang bergumpal, lapangan sekolah yang hijau, hilir mudik kendaraan serta aktifitas siswa-siswi yang tidak pernah bosan untuk dilihat. Pasangan-pasangan yang curi pandang ketika baru jadian, beberapa cowok yang familiar akan duduk di depan pos yang bersampingan dengan gerbang sekolah dan siap menggoda setiap siswi cantik yang datang, beberapa cewek ber-genk yang duduk di taman yang sedang asyik bergosip dan ada juga gerombolan cowok yang asyik main basket di lapangan sambil menunggu bel berdering. Kegiatan yang menyenangkan untuknya, seperti menonton film tanpa alur yang jelas, dia mampu menikmatinya tanpa harus berpikir keras. Selalu ada sosok yang ia nantikan masuk dari pintu gerbang sekolah, iya. Dia, Kai Kavindra Ataya, pria yang baru saja mengotori pakaiannya. Pria jangkung sedikit berisi dengan kulit putih bersih, dan rambut hitam lurus agak panjang seperti oppa-oppa Korea itu telah lama menjadi pemeran utama dalam televisi jendelanya. Menjadi objek yang selalu ia nanti-nantikan setiap pagi di sekolah, namun keadaan berubah saat suatu insiden terjadi dan mematahkan hati Youmna. Youmna dikenal sebagai gadis yang culun di sekolah, gadis yang tak pernah jauh dari buku, kacamata, dan jendela. Hampir setiap hari Ia tak pernah keluar dari kelasnya, bahkan ke kantin pun bisa dihitung oleh jari dan teman yang ada di dekatnya pun tidak banyak, mungkin hanya dua atau tiga orang dan kesemuanya itu sama; sama-sama kutu buku. Youmna memiliki ibu yang sangat rajin sehingga Ia selalu dibawakan bekal oleh Yanti untuk makan siangnya di sekolah serta memiliki ayah dan kakak yang sangat mencintai dan menyayanginya. Ayahnya, Bagas selalu siap sedia untuk menjadi supir untuk putrinya tercinta. Kebahagiaan keluarga yang sempurna yang hanya bisa dimiliki oleh sebagian orang saja, rasa syukur yang luas yang harus selalu Youmna hadirkan setiap detiknya. "Ayah udah sembuh belum, Bang?" Youmna mengigat bahwa Bagas jatuh sakit dua hari kemarin sebelum kedatangannya pulang. "Alhamdulillah, udah mendingan kok." Syukur Yardan. Youmna kembali lagi dengan kegiatannya menatap jalanan dari balik jendela, kini Ia jumpai kemacetan. Klakson para pengendara yang berbunyi terus-menerus serta para pengendara motor yang menerobos tidak sabaran. Cuaca pun tak kalah panas dengan suasana kemacetan ini."Semua itu ada kurang dan lebihnya ya, Bang?" tanya Youmna sambil menatap diluar jendela. "Iya. maka kita dianjurkan untuk selalu bersyukur." Senyum Yardan. "Yang naik motor bisa cepat tapi resikonya kepanasan dan kehujanan, nah kalo naik mobil nggak kepanasan dan kehujanan tapi lama kejebak macetnya," lanjut Yardan. Terlahir dari keluarga yang religius membuat mereka dididik dengan nilai-nilai agama yang kuat, serta adab di atas ilmu. Namun, satu hal yang belum bisa Youmna lakukan untuk Bagas yaitu memakai jilbab. Entah kenapa itu belum bisa ia lakukan meskipun niat sudah ada. "Bang, ayah marah nggak ya kalo liat Youmna belum pake kerudung?" Yardan menatap Youmna dalam, mencoba merasakan kekecewaan Youmna dari balik mata indahnya, "Kenapa kamu nggak pake?" Youmna terdiam, Ia tidak bisa menjawab alasan yang konkret kenapa Ia belum bisa memakainya? "Kalo ayah nyuruh kamu, berarti itu yang terbaik buat kamu, Dek. Sebelum kamu menikah surga ada di kedua orang tua kita," tegas Yardan. Yardan tahu posisi menjadi Youmna, sebenarnya dalam hati yang paling dalam Yardan pun menginginkan Youmna menutup dirinya dengan sempurna tapi Yardan pun tidak bisa memaksa, Ia hanya berusaha menyakinkan Youmna dengan perlahan dan penuh kasih sayang, meski saat ini Youmna tidak pernah memakai baju yang sexy jika keluar rumah. Youmna memahami perkataan Yardan dengan sangat baik, ia sebenarnya sadar dengan semua yang dia lakukan itu sebenarnya telah mendurhakai Bagas sebagai kepala keluarga namun, Ia pun tidak bisa memaksa dirinya. "Udah. Jangan dipikirin, dijalanin aja ya." Kembali lagi mobil mereka berhenti kali ini bukan terjebak macet namun, karena lampu merah. Lamunan Youmna mengembang ketika seorang anak kecil berdiri di hadapan kaca tepat di depan matanya, dengan wajah memelas dan tampilan yang lusuh Ia berkata, "Mbak sedekahnya, Mbak!" Youmna menurunkan kaca jendelanya dan dengan sigapnya anak kecil menyodorkan sebuah kantong plastik bekas permen yang telah disulap sebagai tempat untuk menyimpan uang sedekah para dermawan. "Orang tuamu ke mana, Dek?" "Di rumah, Mbak." "Kamu sekolah nggak?" "Nggak!" "Jadi cari uang buat apa?" "Buat bantu orang tua, Mbak." Youmna memberikan uang pecahan dua puluh ribu ke dalam tempat yang adik itu sodorkan kepadanya dan tak lupa juga Ia memberikan dua buah roti yang ia bawa dari Jerman kepada adik itu."Kamu juga harus makan, jangan cari uang terus ya. Bilang sama emakmu, 'Mak aku mau sekolah!'" ucap Youmna sambil mengelus kepala gadis kecil tadi. "Kamu itu Dek. Nggak pernah berubah." Yardan tersenyum melihat tingkah Youmna yang masih sama. "Sejahat-jahatnya orang tua, pasti mau yang terbaik buat anaknya!" "Terus yang tadi baik?" Youmna menggelengkan kepala serta menaikkan kedua bahunya maybe yes maybe no!"Jeng, nanti malam jadi 'Kan?" Suara Sofia menjawab obrolan seseorang dari seberang telepon. "Oke-oke siap!" Sofia mematikan telepon selulernya, ketika Kai datang dan mengambil segelas air minum dan duduk di samping Sofia. "Nanti malam ikut mama sama papa ya, nemuin rekan bisnis." "Buat apa? Perjodohan lagi?" jawab Kai ketus kepada ibu tersebut. "Ngomong sama mama nggak boleh gitu dong, harus lembut," celetuk Brian yang tiba-tiba datang. "Pa ... Ma ... Kai kan udah bilang. Kai nggak mau dijodohin!" "Nah, kalo gitu dari semua cewek yang sering kamu bawa ke rumah. Ada dari mereka yang kepribadiannya bagus dan sesuai sama leluhurmu?" Kai merenung mengingat dari semua wanita yang ia kencani dan kesemuanya itu pasti Sofia dan Brian tidak setuju dengan alasan-alasan kongkret dan fakta. Dari Veronica yang jadi incaran banyak pria karena cantik d
"Hemm, Youmna kangen banget!" Youmna memeluk Bagas dan Yanti secara bersamaan. "Anak gadis ayah ini dari mana aja sih?" Bagas mengelus ubun-ubun Youmna dengan kasih sayang. "Dari menyelesaikan misi masa depan!" Tawa Youmna. "Hemm." Yanti mencium pipi Youmna dan dibalas oleh Youmna tiga kali lipat ciuman Yanti kepadanya. "Maksud ayah, kamu ke mana tadi kok dicariin di kamar nggak ada, Sayang?" Bagas melirik Yardan yang mencoba menjelaskan melalui isyarat gerak tubuh bahwa Youmna dari luar menemui Kasiyem. Kini semuanya sedang berkumpul di ruang keluarga dengan posisi Bagas dan Yanti duduk di sofa, Yardan duduk di samping Yanti namun di penahan sofa, sedangkan Youmna duduk di karpet bulu di hadapan Bagas dan Yanti. "Ceritain dong Dek gimana di Jerman?" "Abang ini kaya nggak pernah ke sana aja!" Tawa Youmna. Memiliki Kakek
"Ma ... ini mah rumahnya si Yardan," gerutu Kai saat mobil yang ia dan keluarganya memasuki halaman rumah Yardan. "Udah sih, berisik kamu itu!" Kai mengetuk-ngetuk kaca jendela dangan sendi jari-jarinya sedangakan Brian yang mengemudi sedang mencari posisi parkir dan Sofia terus menatap Kai yang seperti orang ogah-ogahan itu dari kaca depan mobil."Senyum dong ganteng!" seru Sofia sambil menatap kaca dan fokus melihat objek didalamnya. Kai sebagai objek yang dituju itu hanya menatap malas Sofia dan senyum yang dipaksakan. Kini kaki ketiganya telah sampai di depan pintu dan sudah disambut oleh Yanti dan Bagas yang telah menunggu di depan pintu sejak mobil mereka memasuki halaman rumah. Mereka pun saling menyambut dengan salam dan tak lupa berpelukan untuk Yanti dan Sofia, salaman anak gaul untuk Brian dan Bagas sedangakn yang dilakukan Kai salaman horman kepada yang lebih tua. "Mana Ya
Kai masih menimbang-nimbang apa keputusan yang harus ia buat, mengigat keduanya sangat penting untuk masa depannya; perjodohan dan bisnis baru. Yang mana keduanya masih satu lingkup keluarga yang sama, ia tidak ingin mengambil keputusan yang salah dan tidak ingin juga kedua belah pihak, keluarganya dan keluarga calon merasa kecewa di akhir. "Gimana?" tanya Sofia. Kai mengangkat kepalanya, tahu apa yang saat ini Sofia jadikan bahasan untuk sarapan pagi kali ini. "Not bad!" Kai melanjutkan kembali kunyahan tanpa mempedulikan ekspresi Sofia ketika mendengar jawabannya. Sofia dengan wajah sumringahnya. "Pa nanti kita lamar Youmna, segera!" ucap Sofia kepada Brian dengan nada bahagia yang tak terkontrol. "Ma, tunggu! Jangan terburu-buru," ucap Kai dengan santainya. "Nah, kan kamu udah setuju!" "Pa, kapan aku bilang setuju? Ma, tadi aku b
"Sampai kapanpun lu nggak akan pernah bisa berubah!" "Youm! lu bukanTuhan, lu nggak bisa nentuin masa depan seseorang!" Mereka masih memperdebatkan segala yang menjadi bahasan di restoran tadi, meski dalam keadaaan mobil yang berjalan keduanya tidak henti mengungkapkan semua argumen yang ada di kepala masing-masing dan ego masing-masing. "Tapi orang tipe kaya lu nggak akan bisa berubah!" "Selalu ngerendahin orang lain! lu pikir. Lu sempurna!" lanjut Youmna dengan amarahnya. "Youm!" panggil Kai seakan ingin membela dirinya. "Orang lain bisa aja stres gara-gara omongan lu!" lagi Youmna melontarkan umpatan untuk Kai. "Tolong jangan ungkit masa lalu. Gua udah berubah, Youm!" "Bicara tanpa tindakan itu namanya penipuan!" tegas Youmna. "Gua nggak nipu lu! basing lu lah!" Kai menyerah dengan usahanya membe
Masa yang tidak akan pernah terulang dan jika ada mesin untuk mengulang waktu, Youmna akan menghindari masa-masa itu dan bahkan Ia tidak pernah ingin mengenal Kai kembali meski dalam raga yang berbeda. Perasaan benci yang tidak pernah bisa terobati ini apakah akan selamanya seperti ini? "Youm, sebelum ambil keputusan coba pikirin matang-matang." ucap Kai dengan tenang. "Apa yang harus gua pikirin berulang-ulang. Lu itu...." kalimat Youmna terhenti Ia tidak tega mengucapkan perkataan yang bisa lebih-lebih menyakiti Kai. "Kenapa? Playboy. Tukang bully. Sok ganteng. Sok kaya! apa lagi kejelekan yang ada di dunia ini semua ada di seorang Kai!" Kai mencaci dirinya sendiri. Youmna menatap Kai yang sedang menyetir itu dengan tatapan nanar, Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan kejelekan diri Kai di masa lalu yang telah menyakiti hatinya, namun pria itu malah menggalinya sendiri.
Youmna terduduk dari berdirinya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menatap tubuh Yardan yang terbaring di kasur. "Selama ini kan ayah udah banyak bantu Abang dan kamu juga. Abang pengen mandiri, pengen ngerasain susah biar sewaktu-waktu Abang nggak di tampar oleh keadaan yang buat Abang nggak bisa ngelakuin apa-apa." "Waktu kita nggak selamanya. Kamu sadar kan dek?" lanjut Yardan dengan tanya. Youmna hanya mengangguk meng-iya-kan apa yang dikatakan oleh Yardan. "Hidup juga berputar dek, Abang nggak mau disaat roda Abang dibawah malah buat Abang sombong." "Bang, kita buat kedai pinggir jalan aja yuk dengan modal seadanya. Youmna bantu ya?" "Kayanya dari pada cari investor, lebih baik dirintis dari awal banget bang. Kerja kerasnya lebih kerasa." Youmna berusaha menyakinkan Yardan dengan usulnya. Youmna mengerti impian Yardan
"Dia baik dek, kamu nggak akan nyesel. Ayah yakin sama dia begitu juga Abang," jelas Yardan dengan senyuman. "Tapi..." "Tapi kok dia batalkan investasi dan hancurkan impian Abang?" lanjut Youmna. "Mau ya dek, nikah sama Kai. please!" Yardan memohon. "Youngie nggak mau nikah sama orang yang udah hancurkan impian Abang!" Mendengar perkataan tersebut terucap dari lidah Youmna, Yardan tertawa terbahak-bahak membuat Youmna tak mengerti akan tingkah Yardan saat ini. "Kok malah ketawa?" tanya Youmna datar. "Kenapa? ada apa sama Kai, Abang yakin alasan kamu bukan itu!" kini Yardan berbicara lebih serius. Youmna terdiam karena Ia tahu menjawab hal yang sebenarnya hanya akan mengingat kan kejadian dimasa lalu dan menjawab dengan dusta pasti akan tercium oleh Yardan. "Hemm, yaudahlah Abang juga bukan dukun. Ta