Hari-harinya Binar habiskan di kamar dengan ditemani beberapa perawat yang memperlakukan dia seperti bayi. Mengantar Binar ke sana kemari, mendandaninya, membantu makan, dan memastikan Binar memakan obatnya tepat waktu. "Sudah cukup, aku bisa sendiri!" keluh Binar menepis pakaian yang hendak dikenakan padanya. "Aku sudah sehat!" "Tapi ... ini sudah tugas kami, Nyonya. Kami akan dapat marah jika tidak melakukan tugas kami dengan baik." Sang perawat menunduk, merasa takut-takut. Binar mengembuskan napas kasar. Sebenarnya dia bukan kesal pada beberapa perawat itu. Dia kesal pada hidupnya sendiri. Ini sudah seminggu semenjak pulang dari rumah sakit itu, tetapi dia tak sekali pun bermesraan dengan sang putra sepuasnya. Aiman hanya membawa putra mereka sebentar di kamar Binar, lalu Ambar akan mengambil kembali anak tersebut untuk dibawa pergi. Entah difoto, didandani, diajak bicara, atau diajak keluar. Ambar yang berkuasa atas bayinya. Sementar
Aiman dan Binar kini duduk berhadapan di sebuah cafe dengan ditemani secangkir cappucino. Keduanya menjatuhkan pandangan pada cairan cokelat itu. Sudah hampir sepuluh menit, tetapi belum ada yang membuka suara di antara keduanya. Mereka sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. "Bagaimana keadaanmu?" Akhirnya, Syeira membuka obrolan. Aiman hanya mengangguk pelan, menjawab. "Selamat, ya." Senyum lebar ditampakkannya. "Aku dengar-dengar, putramu sudah lahir."Aiman menangkap jelas raut yang dipaksakan di dalam senyuman itu. Dia tahu, Syeira sesak saat mengucapkan hal tersebut. "Maaf atas segala kebohonganku kemarin." Syeira menunduk sambil mengepalkan tangan erat. "Aku memang sudah salah karena membohongimu dengan pura-pura hamil. Tapi, aku nggak pernah menyesal dengan hal itu. Bukankah kita harus melakukan segala cara demi orang yang kita cintai?" Tatapan Syeira mulai berkaca-kaca. Kini giliran Aiman yang mengepalkan tangan era
Pagi harinya Binar sudah diasyikan dengan memandikan Abimanyu. Gelembung-gelembung lembut membalut tubuh mungil putranya menciptakan licin di tangan Binar. Dengan segala kehati-hatian Binar memandikan bayinya itu. Terlebih, ada Ambar di ambang pintu kamar mandi yang mengawasi. Ya, setelah dimintai baik-baik dan diberikan pengertian oleh Aiman kemarin tentang kekesalan Binar yang ingin merawat bayinya juga, Ambar kini memberikan Abimanyu untuk dirawat oleh Binar. Tentu harus dalam pengawasannya, sebab Binar baru menjadi seorang ibu. Masih awam untuk hal-hal yang bersangkutan dengan bayi. "Hati-hati bungkus kepalanya, Binar!" peringat Ambar dengan tatapan waspada. Binar mengangguk, lalu membalut tubuh bayinya dengan handuk. Melilitnya dengan baik sesuai apa yang diajarkan wanita senja itu. "Cayang, kenapa? Dingin, ya?" Binar menggendong sang putra yang menangis usai dimandikan. Wajah, rambut, dan baju wanita itu juga tampak basah. Memang masih belum
Kepergian petugas medis itu dari ruang meja makan meninggalkan perasaan yang kacau pada hati Binar. Namun sebisa mungkin, dia ingin melenyapkan perasaan bodoh itu. Binar mengepalkan tangan erat, sembari menahan gejolak di pikirannya. Ada Syeira di sini, dan perkataan Tuan Adipati pasti didengar juga olehnya. Kata Aiman, dia sudah membereskan Syeira. Apa maksudnya? "Jadi, kamu sudah siap jadi menantu di rumah ini?" Ambar menimpali, memastikan jawaban Binar. Wanita yang tengah menunduk itu mengigit bibirnya sendiri, sesekali dia melirik kosong pada dinding yang melenyapkan punggung Affandi tadi. Ambar mengikuti arah pandang Binar. "Nyari apa?""Ah, tidak ada, Bu." Binar gelagapan. "Nyari Affandi?" tebak wanita tua itu. Binar melongo sesaat, lalu menggeleng cepat. "Jadi, sudah siap menantu di rumah ini?" Ambar mengulang pertanyaannya. Sekarang, pandangan Binar lari ke Syeira yang sedang sibuk meneguk ko
Pagi harinya dengan semangat yang menggebu, Affandi terjun dari ranjangnya dan melesat ke kamar mandi. Segera dia membersihkan diri dan berdandan semacho mungkin. Padahal apa, dia hanya ingin menemui Binar pagi hari ini. Hubungan mereka yang telah disetujui oleh keluarga semalam, membuat senyuman Affandi mengembang lebar dengan wajah berseri-seri. Padahal pria itu kurang tidur semalam, sebab terjaga dengan hati yang gembira mengingat sebentar lagi dirinya dan si Nona kesayangannya itu akan menikah. "Pagi, Nona." Affandi mengetuk pintu yang setengah terbuka itu. Binar yang sedang sibuk memakaikan baju pada Baby Abimanyu, hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada putranya. Segera Affandi mendekat, membantu Binar. "Pegang punggungnya dengan baik, Dokter!" peringat Binar saat melihat Affandi menggendong Abimanyu, agar lebih leluasa Binar mengenakan pakaian untuk bayi menggemaskan itu. Abimanyu menangis di gendongan Affandi, makin kencang
Setelah restu dari kedua belah pihak orang tua didapatkan. Sebuah pesta mewah di hotel bintang lima pun diadakan. Banyak orang-orang kelas atas berdatangan. Para pria dengan pakaian perlente, dan wanita sosialita yang tampak glamour memenuhi ruangan, dengan ditemani musik lirih yang syahdu. Semua tamu undangan duduk dengan tenang di bawah lampu-lampu gantung yang indah, menanti Affandi selesai mengucapkan ijab kabul di depan sana. "Saya nikahkan engkau Affandi Wijayakrama binti Rahardjo Adipati, dengan ananda Binar Widya binti Santo almarhum, dengan mas kawin seperangkat alat salat, emas murni seberat dua puluh gram, juga uang kes dua ratus juta rupiah dibayar tunai!""Sa-saya terima nikahnya Sinar--eh!"Para tamu langsung riuh mendengar kegugupan Affandi. Terlebih, Affandi salah menyebut nama pengantin. Adipati dan Ambarawati geleng-geleng kepala, malu juga terkekeh geli dengan kebodohan sang putra bungsu. "Siapa Sinar?" Aiman yang mengena
"Kenapa, Bang?" Affandi langsung tak enak hatinya. "Apa kami ada salah? Apa Abang sakit hati karena aku menikahi Binar, dan Abang mau perg---""Apaan!" Aiman langsung menonjok dada adiknya dengan kesal, sedangkan Affandi terkekeh kegelian sambil menatap kakak iparnya dan Binar bergantian. Kedua wanita itu sedikit mendelik pada si petugas medis tersebut. "Kami akan berbulan madu, sekaligus untuk berobat. Harap-harap saja, kami segera punya buah hati." Aiman menatap lekat sang istri. Syeira menempelkan kepalanya pada lengan Aiman. "Aamiin."Binar segera mengaminkan dengan tulus, begitu pula dengan Affandi dan Susan. "Bukannya kami yang menikah, lalu kenapa kalian yang berbulan madu?" protes Affandi usai mengucapkan amin tadi. Binar terkekeh kecil. "Memangnya kenapa? Anggap saja ini sebagai healing. Benar, 'kan, Sayang?" Aiman hendak menempelkan kening pada Syeira, tetapi tak jadi ketika melihat beberapa orang datang.
Kilau mentari menyinari paras ayu yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Affandi bangkit duluan dari ranjang, menutupi tirai jendela, menghalau sang mentari menggangu tidur wanitanya itu. Mata teduh Affandi menatap lekat wajah Binar yang tampak lelah, dibelainya lembut wajah wanita itu, bahkan sangat lembut. Tak ingin sang empu wajah terganggu tidurnya. Lantas, Affandi menyelimuti tubuh Binar dengan baik sesaat sebelum mendaratkan kecupan di kening wanita itu. Dia segera bersih-bersih, lalu keluar dari kamar hotel sebab harus menemui seseorang. [Temui aku sekarang!] Hanya karena pesan singkat juga beberapa foto yang dikirimkan oleh salah satu kontak di ponsel Affandi, pria tersebut meninggalkan Binar tanpa memberi tahu apa pun. **"Keluarlah, aku tidak mau masuk ke apartemenmu!" Affandi berujar dingin di sebuah lobi apartemen. Ponsel menempel pada telinga petugas medis itu. Terdengar kekehan manja dari ponsel Affandi. "Kenapa,