Xavi menyukai pekerjaannya. Terlebih jika pekerjaan itu tentang pembersihan. Menyingkirkan seseorang, membuang mayat—dia menyukai semua pekerjaan kotor itu. Bukan karena dia menyukai anyir darah—baunya membuat kepalanya berdenyut nyeri—tapi karena Raja memberikannya alasan untuk semakin terikat padanya.
Juga, banyaknya rahasia Raja yang dia simpan—yang sewaktu-waktu bisa dia gunakan untuk menyelamatkan diri.
Hidup pasti tentang membunuh atau dibunuh. Apa salahnya memegang kendali?
Seperti beberapa waktu yang lalu, saat Raja menginginkan nyawa seseorang. Putri Gerian adalah miniatur dari sang Raja—penuh tipu muslihat dan licik. Tapi kelicikan Putri Gerian jauh dibawah sang Raja.
Saat gadis yang baru saja debutante itu berusaha untuk mencari pengasuh Blyana, Xavi sudah mengetahui keberadaan wanita itu. Bahkan saat bandit itu menangkap Issisia dan membawanya ke Rhauven—Raja sudah menduga hal itu.
Lalu saat Putri Ger
Danina melihat gadis itu yang tengah menatapnya dengan senyum yang terkulum. Matanya yang cemerlang tampak penuh dengan rasa penasaran. Juga penuh dendam kesumat. “Dia adalah Putri Gerian—Ilvy Channest.” Suara Sitaf membuatnya kaget. Buru-buru ia mengedipkan mata untuk menyadarkan dirinya.Ia kembali menatap gadis di depannya itu. Disebelah gadis itu, ayahnya menatap dirinya dengan ekspresi hampir menangis, sementara Nareef dan Qeen menatapnya dengan tanpa ekspresi.Danina ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya tercekat. Kedua tangannya berkeringat, dan kepalanya mendadak berdenyut sakit.Ia tak siap dengan ini semua.Dirinya bahkan belum berani untuk menanyai hal yang dicuri dengarnya beberapa hari yang lalu, dan ia sudah mendapatkan kejutan yang tak menyenangkan ini.“Nareef,” di ujung lapangan—ditepian hutan—suara Gaia menginterupsi mereka. Danina terkejut dengan suara pelan Gaia yang terdengar
Danina menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Ia kembali membuka mata dan melihat hutan di depannya. Pohon-pohon berdiri dengan pincang, tanah terasa bergoyang, ia melihat rumput pendek di bawah kakinya bergerak menggulung-gulung.Danina menatap sekeliling. Ia melihat Sitaf menjadi dua, dengan senyum menyeramkan dan tangan yang menggenggam tongkat dengan api diatasnya. Ia melihat Qeen bergerak dengan aneh—meliuk-liuk seperti ular. Dan gadis didepannya itu, menatapnya dengan empat mata yang berwarna merah.Danina merasakan lonjakan di perutnya tiba-tiba. Dengan cepat dia terhuyung ke samping, menjauhi orang-orang aneh yang membuatnya semakin mual.Kakinya terasa seperti tidak bertulang, langkahnya bergerak tidak lurus. Danina tersandung sesuatu dan terjatuh. Tak membuang waktu, ia merangkak ke tepian lapangan dan akhirnya mengeluarkan seluruh isi perutnya.Danina tidak bisa menghilangkan bayangan menyeramkan dan menyedihkan di kepalanya. Danina
Ia duduk diantara Sitaf dan Qeen, tetapi seluruh mata menatapnya dengan pandangan penasaran. Orang-orang berbisik, ada yang secara terang-terangan menunjuk dirinya dan Qeen. Tapi itu semua tidak begitu mengusik selain sepupunya yang mengobrol dengan seorang pria dan tidak menatapnya sama sekali. Tidak sejak pertama kali ia duduk di tepi api unggun, maupun saat piring-piring telah dibersihkan.Ilvy menarik pelan lengan kemeja Qeen, membuat perhatian makhluk itu yang awalnya mengobrol dengan salah seorang Camsarian menjadi berfokus padanya. Mata kelam itu menatapnya untuk beberapa saat, lalu sebelah alisnya naik—bertanya secara isyarat.Ilvy hanya menarik lengan makhluk itu lebih dekat dengannya, kemudian bersandar sambil sesekali menatap orang-orang yang masih mencuri pandang ke arahnya. “Mereka menatapku seperti aku seekor hewan langka.” Bisiknya pelan setengah menggerutu.Disebelahnya, Sitaf terkekeh mendengar gerutuannya. Membuatnya menegakka
Api unggun padam melewati tengah malam. Ilvy sempat bercakap-cakap dengan beberapa orang Camsart dan juga Effrayante—lebih tepatnya mereka yang berbicara dan Ilvy hanya sesekali menanggapi. Ilvy bisa melihat dengan jelas sorot benci dari Camsarian, tetapi wanita paruh baya yang bernama Gaia cukup bisa menjadi teman mengobrol yang baik. Bahkan Ilvy beberapa kali mendapati wanita itu menegur Camsarian yang secara terang-terangan menyumpahinya.Orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi Ilvy melihat Danina bersama seorang pria masih duduk di tepi api unggun. Sepupunya itu menyandarkan kepalanya ke bahu pria itu, dan kedua tangan mereka saling terkait.Di sebelahnya, Sitaf telah kembali ke tempatnya, begitu pula dengan Nareef yang sempat menyapanya tadi. Ia mengangguk, yang langsung dibalas Qeen dengan menggenggam tangannya dan membantunya berdiri. “Aku akan menyapa sepupuku terlebih dahulu.” Ujarnya. Makhluk itu tidak membalas apapun dan meng
Ilvy benar-benar serius dengan perkataannya tadi malam. Gadis itu sudah berada di tengah lapangan dengan Effrayante kesayangannya. Sang Putri Gerian sedang memerintahkan Qeen menyusun sasaran panah yang berupa papan-papan lunak yang disatukan dan diletakkan di tepian lapangan.Sebagian orang-orang berkumpul karena penasaran, sebagiannya lagi hanya berdiri di tepi lapangan sejenak sebelum kembali melakukan tugasnya hari itu.Danina muncul saat Qeen menancapkan sasaran panah yang ke tiga di tanah. Ia mendekati Qeen dengan tangan tersilang karena hawa dingin masih terasa. Matahari sudah muncul, dan kabut masih belum hilang, membuat dirinya meremang. “Kau bisa melakukan banyak hal,” pujinya.Qeen tersenyum simpul. Tangannya terus melubangi tanah hingga cukup dalam, lalu menancapkan sasaran panah dalam satu kali hentakan. “Terima kasih pujiannya,” ujarnya sambil tersenyum. Qeen menatap ke arah Ilvy yang juga sedang menatapnya dengan sorot pena
Pagi sekali Danina melihat Ilvy sudah berada di lapangan untuk berlatih memanah. Gadis itu terlihat begitu anggun, dengan baju berburu khas Camsart di balik jubah bersulam emas dan permata di kancing jubah. Danina menyadari bahwa gadis itu terlihat cocok memakai pakaian apapun, bahkan dengan pakaian yang terlihat begitu kontras dengan jubah mewah itu, Ilvy masih tetap terlihat cantik.Danina sempat membayangkan dirinya memakai pakaian seperti itu, kemeja sutra dan jubah kerajaan yang terlihat sangat mewah. Apakah ia akan terlihat cocok? Atau memang dirinya jauh lebih cocok memakai pakaian berburu khas Camsart?Ia mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, tidak menemukan siapapun kecuali Ilvy. Hanya Ilvy, tanpa adanya sang Effrayante yang biasanya selalu berjarak tiga langkah di belakang gadis itu. Qeen masih belum menampakkan diri selama beberapa hari belakangan ini, dan Ilvy jelas tidak memberikan jawaban apapun pada setiap orang yang menanyakan absennya Qeen pada ma
Ilvy masih duduk di tepi lapangan ditemani seorang gadis yang bernama Shilba saat ia melihat Qeen datang dengan seorang wanita paruh baya yang pernah ia lihat sebelumnya. Kedatangan dua orang yang membuat suasana hatinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Makhluk itu memberi salam padanya, lalu berdiri di belakangnya dengan tenang. Disebelahnya, Shilba menatap Qeen dengan bingung sebelum gadis itu memilih angkat kaki dari sana. Ilvy melihat kepergian gadis itu sesaat, sebelum kembali menatap wanita yang dibawa Qeen yang kini berdiri di hadapannya. “Mengapa lama sekali?” “Ratu Linaba mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan Ississia.” Jawab Qeen di belakangnya. “Rhauven sedang bersiap untuk mengirimkan separuh prajurit ke Gerian. Sepertinya Raja bersiap-siap untuk berperang.” Ilvy menghela napas kesal. Keadaan saat ini masih terlalu dini untuk berperang, tetapi ayahnya sudah mendahului langkahnya dengan antisipasi yang matang. “Aku membutuhkanmu untuk sesuatu.” Ilvy mengel
Xenon berusaha menarik tangannya, tapi tubuh yang kesetanan itu memiliki kekuatan yang tak pernah pria itu lihat sebelumnya. Danina mendorong kuat tubuh orang-orang yang berusaha menghalanginya. Menendang siapapun, meninju siapapun. Ia tak pantas mengalami hal ini. Keluarga Camsartnya tak boleh mengalami hal mengerikan hanya karena seorang gadis bodoh yang terbujuk surat sialan itu! Danina menyeruduk kepala Dagan yang berusaha menghalanginya—ia sedang tak ingin dihalangi. Dibelakangnya, Ovena menangis histeris, Gaia menangis tanpa suara. Ketiga anak Nareef menangisi kepala tanpa tubuh milik ayahnya. Ness dan Hersiria menangis di dekat kepala Nareef. Tangisan Saga meraung didalam pelukan Raquel. Danina mendorong siapapun yang menghalangi pandangannya. Ia ingin melihat wajah gadis yang dulu pernah membuatnya khawatir. Gadis yang dulu menjadi sahabat terbaiknya, kini membawa kematian pada ayahnya dan Nareef. Siapa yang akan memimpin Camsart jika Nareef m