Share

III

Penulis: Ruby
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-16 16:55:43

Tak ada yang tahu apa yang ada didalam pikiran Putri Gerian. Semua orang takut padanya; pelayan, bangsawan, menteri, bahkan kedua orang tuanya. Gadis itu baru berusia enam belas tahun. Debutante yang dilakukannya setahun yang lalu membuat wajahnya yang rupawan menjadi standar kecantikan anak laki-laki dikalangan Brosnean—begitu para bangsawan menyebut diri mereka. Tapi, seperti kecantikannya yang membuat seluruh pria bertekuk lutut padanya, tak ada bandingannya dengan sisi misterius dirinya.

Dirinya yang begitu tidak bisa digapai dan dipahami oleh siapapun.

Ilvy sedang membaca buku di perpustakaan. Dia mencintai ketenangan didalam sini. Tidak ada dengungan yang memenuhi telinganya, tidak ada suara ibunya yang kekanak-kanakan, juga tidak ada suara ayahnya yang selalu merongrongnya untuk memilih salah satu pangeran dari Kerajaan yang beraliansi dengan Gerian.

Gaunnya yang berwarna marun bergerak begitu lembut ketika dia menggoyangkan tubuhnya saat mengubah posisi duduk. Warna itu terlihat begitu cocok untuk kulitnya yang seputih salju—seperti salju yang turun dengan lebatnya saat ini.

Dia membalik halaman demi halaman buku yang didapatnya dari seseorang—yang hingga mati dia bersumpah tak akan ia sebut namanya—tentang kejadian delapan belas tahun yang lalu. Baginya, buku tebal itu seperti kisah dongeng yang kelam, dibumbui dengan romansa menjijikkan kedua orang tuanya. Juga kisah yang sangat mendebarkan, dan penuh dengan kebodohan.

Ketenangan yang disukai Putri Gerian terganggu, saat pintu perpustakaan itu terbuka. Dengan cepat dia menutup buku itu, meletakkannya diantara tumpukan buku diatas meja dan meraup dengan cepat buku di dekatnya.

Arrington Blackburn berjalan dengan cepat kearahnya, suara sepatunya menggema diseluruh ruangan. "Putri." Ujarnya memberi salam hormat. Tak mendongak karena sapaan itu, Putri Gerian hanya membalasnya dengan membalik halaman buku yang beberapa detik yang lalu ia ambil dengan sedikit buru-buru. "Raja memanggil Anda,"

Dia mendengkus kecil, mendongak dan mendapati raut wajah Arrington yang terlihat serius, dan sedikit kesal. "Seharusnya Xavi yang mendatangiku." Ujarnya dengan tenang. Tapi baik dirinya dan Arrington tahu, bahwa suara itu penuh dengan nada bosan.  

"Ini tentang surat untuk para Camsart dan Effrayante. Raja pikir Anda yang mengirimkannya."

Ada kesunyian selama beberapa detik, kemudian tawa sang Putri Gerian terdengar dengan lembut dan menakutkan, sementara matanya menatap Arrington dengan sorot setengah meremehkan. Hatinya terhibur dengan kalimat Arrington Blackburn barusan, membuat dirinya bersemangat untuk mulai mengkonfrontir pria didepannya itu. "Ini menyenangkan, Menteri Arrington." Jawabnya. "Surat itu—membuat Raja menjadi panik, membuat Ratu merusak kebun bunga kesayangannya, dan membuatmu kesal."

"Yang Mulia,"

"Blackburn," selanya cepat dengan tangan yang mengibas ke depan—menyela dengan cepat apapun yang akan dikatakan pria itu. "Katakan pada Raja, aku akan menemuinya setelah pesta minum teh lusa." Ilvy kembali menatap wajah Menteri yang kini terlihat semakin panik. "Kita harus melihat rencana Raja, bukan? Akan menyenangkan jika kau bersabar sepertiku."

Ilvy menghela napas, kemudian dengan perlahan kembali melihat ke arah buku yang berada di depannya. Dan itu berarti keputusan final yang diambil Putri Gerian. Gadis muda itu memiliki pendirian sekeras baja. Dia tak akan mengubahnya, apapun yang terjadi.

Arrington Blackburn menghembuskan napas kesal, setengah mendengkus kasar—secara terang-terangan. Dia memejamkan mata, satu tangannya memegangi ujung meja untuk bersandar, sementara satu tangannya lagi memegangi keningnya yang tiba-tiba diserang nyeri.

Dia bukan Xavi, tangan kanan Raja. Tetapi kenapa dia yang harus mengurus ini semua?

"Anda tidak akan menemuinya sebelum pesta teh, bukan?" tanya Arrtington memastikan—dan hanya akan membuat kepalanya semakin sakit. "Apa Anda benar-benar menulis surat itu?"

Putri Gerian tersenyum pada halaman yang sedang ia tatap. Tapi Arrington tahu bahwa senyum itu ditujukan untuk dirinya, dan yang anehnya membuat Arrington Blackburn merasakan sensasi merinding di setiap inci kulitnya. Bukan karena senyum itu menyeramkan, tapi karena senyum itu terlampau ramah, yang membuat sudut-sudut mata Putri Gerian berkerut. Sebuah senyum kebahagiaan, dari pertanyaan menuding yang dilontarkan dengan tidak sopan.

"Apa aku yang menulisnya?" tanyanya kemudian. Ilvy menatap halaman buku yang terbuka, menyapukan pandangan dari atas hingga bawah dengan cepat, kemudian kembali menatap Arrington. Tepat di manik mata. "Apa yang membuat kalian sekhawatir ini?" Ilvy kembali tersenyum, namun kali ini senyum itu adalah senyuman sinis. "Aku belum dilahirkan, saat kejadian itu. Orang-orang Camsart yang kalian sebut pengkhianat itu, apakah pernah membela diri? Apa mereka mengaku bersalah?"

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepala Arrington semakin berdenyut. "Mereka yang tetangkap mengakui perbuatan mereka, Yang Mulia."

"Benarkah?" susul Ilvy cepat. "Apa kalian benar-benar yakin mereka adalah Camsarian, Menteri? Begitukah menurutmu?"

"Maafkan aku, Yang Mulia!"

Arrington buru-buru menunduk dalam, menolak semua jawaban yang diinginkan oleh Ilvy. Membuat dirinya tertawa dengan keras hingga seisi perpustakaan itu penuh dengan suara tawanya. "Aku berharap para Camsarian keluar dari hutan suci itu. Mereka kurang dari seratus orang. Apa yang kau khawatirkan?" pancingnya lagi. Suaranya setengah antusias, meskipun dia menahan dengan keras agar tak terlalu kentara.

Arrington mendesah, tubuhnya kembali berdiri dengan lurus, "Mereka terkenal kuat, Yang Mulia—"

"Itu delapan belas tahun yang lalu, Menteri. Tak ada yang tahu keadaan mereka saat ini."

"Jadi Anda ingin mengetahui keadaan mereka sehingga membuat surat itu?" tebaknya spontan, yang langsung membuat dirinya mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.

Ilvy menatap Arrtington beberapa saat. Menimbang pertanyaan pria paruh baya itu; menimbang jawaban apa yang akan dia berikan. Akan semakin menarik jika dia terus mengkonfrontasi pria itu. Kelancangan pria itu membuat Ilvy terhibur.

"Jika aku menulis surat itu—seperti yang kau pikirkan—aku ingin tahu apa yang akan kita lakukan jika mereka keluar." Jawabnya kemudian. "Karena semua orang tahu, kudeta itu berawal dari rasa iri." Lanjutnya dengan penuh senyuman, yang anehnya membuat Arrington Blackburn semakin pusat pasi.

••

Senyum itu masih tercetak jelas dibibir Putri Gerian selama beberapa saat. Bahkan hingga pintu perpustakaan tertutup, dan sunyi kembali menemaninya, senyum itu masih terukir di bibirnya. Lambat laun, senyum itu berganti menjadi seringaian senang. Tak lama kekeh terhibur yang dia tahan selama beberapa belas menit pertemuannya dengan Arrington Blackburn—salah satu Menteri kesayangan Raja Gerian—dapat dia keluarkan dengan penuh suka cita. Bahkan kini kekeh itu berubah menjadi tawa, yang semakin lama semakin terdengar keras. Dia bahkan harus mengatupkan kedua telapak tangannya agar tawa itu dapat teredam.

"Apa yang akan kita lakukan setelah ini, Sir?" tanyanya masih penuh dengan nada geli. "Aku bahkan tak tahu harus berpihak pada siapa, tapi ini sangat menghiburku." lanjutnya.

Dia melihat semua ekspresi yang dia inginkan dari Arrington Blackburn. Rasa takut pria itu padanya, bahkan kebencian yang ditujukan untuknya, dia melihat semuanya diwajah pria paruh baya itu. Ilvy tahu jelas, Arrington bukan orang yang setia pada Raja. Dia setia pada Gerian. Siapapun yang memegang kekuasaan tertinggi, akan ia layani. Tapi saat orang itu mulai merugikan Gerian, dia dengan liciknya akan mengganti pemimpin tertinggi Gerian.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Sir? Mencari jejak Lady yang hilang ditelan bumi? Atau melihat kelanjutan dari surat itu?" Ilvy kembali mengambil buku yang disembunyikan diantara tumpukan buku di atas meja itu, sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. Ada sedikit kepuasan dalam hatinya saat dia menyebut seseorang yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan Gerian dengan sebutan lady.

Ia membuka halaman yang dia tandai, lalu mengusap jarinya pada tulisan itu. "Haruskah aku membuat Raja Gerian bersumpah di pasir suci, seperti masa lalu? Atau haruskah aku berbalik menyerangmu dan duduk di singgasana itu, Sir?" tanyanya kembali, dengan senyum yang terbentuk diwajahnya.

Putri Gerian menghela napas, melepaskan tawa terakhirnya sebelum mengganti ekspresinya serius. Dia selalu bisa membuat apapun yang diinginkannya terwujud. Bahkan dengan skenario yang kini terbentuk didalam kepalanya. "Haruskah Anda tetap berdiam diri, Sir?" tanyanya lagi, yang dia tahu dengan pasti, pertanyaan itu tak akan mendapatkan jawaban. "Bukankah sudah saatnya Anda memperlihatkan pada dunia apa yang terjadi dengan Raja terdahulu?"

Ilvy menutup buku yang terbuka itu, membawanya kedalam pelukan. "Aku akan memberikan banyak informasi yang Anda butuhkan. Dan juga bala bantuan." Ilvy kembali tertawa. "Tapi aku tidak menjanjikan kesetiaan padamu, Sir."

"Apa yang kau lihat dari ini semua?" sebuah tanya itu membuat Putri Gerian terkejut selama beberapa saat sebelum senyumnya yang merekah penuh antusias.

Ilvy itu ingin berbalik, mencari sumber suara yang selama ini terus mengawasinya diam-diam. Tapi dia sadar, dia tidak berhak untuk melihat orang itu. Wajah pria itu.

Belum.

Belum saatnya.

Dia harus bersabar. Dia harus menunggu, untuk melihat apa yang akan mereka lakukan saat semua ini menjadi sangat menarik.

Ilvy mendesah palsu. "Kesenangan, Sir." Jawabnya kemudian, khas dirinya. Agar pria itu tidak menebak isi kepalanya. "Akan menyenangkan melihat kalian saling bertahan hidup."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kekuasaan (Ascendant)    EPILOG

    Ia menyibak selimutnya, turun dari ranjang dan membuka jendela yang berada tak jauh darinya. Langit masih gelap, udara masih terasa begitu dingin. Dengan cepat ia menarik jubahnya yang tersampir di kepala ranjang dan mengenakannya—menghalau dinginnya udara menjelang pagi yang masuk dengan mudah melewati jendela yang ia buka. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding di bawah jendela itu. Kedua tangannya menumpu di kusen jendela, dengan kepala yang terbaring di atas kedua tangan. Matanya menatap ke halaman samping rumahnya yang masih gelap gulita, ditemani bunyi kepak burung hantu yang terdengar jelas di dahan pohon yang berdiri tak jauh dari batas halamannya. Samar, ia mencium bau bunga lavender yang mekar di halaman. Bercampur dengan bau bunga mawar dan bunga-bunga lainnya yang ia tak ketahui namanya. Meskipun pelayannya menjelaskan hingga mulut berbusa tentang nama-nama bunga, ia tetap tidak bisa mengingat nama-nama itu. Satu kunang-kunang mendekat kearahnya. Tak l

  • Kekuasaan (Ascendant)    XLI

    Ilvy tak pernah merasa sesedih dan sebahagia ini. Baginya, ini pertama kalinya ia merasakan perasaan campur aduk seperti itu. Ia bisa tertawa dan menangis bersamaan. Disudut hatinya, batinnya merasa terkoyak sekaligus lega. Luka di tubuhnya terasa seperti sebuah kekalahan dan kemenangan. Singgasana yang ia duduki terasa begitu menakjubkan tetapi menakutkan. Sempat terbersit dihatinya untuk melepaskan segalanya. Hidup bahagia dengan makhluk yang mencintainya—tapi saat ini, pada momen seperti ini—iblis didalam hatinya membutuhkan sebuah kepuasan yang berbeda. Kepuasaan saat dirinya melenyapkan pemilik sah takhta terakhir. Ilvy melihat dua pedang yang dipegang kedua tangannya. Satu miliknya, satu lagi milik sepupunya. Ia melemparkan pedang itu hingga bunyi besi yang beradu dengan lantai terdengar nyaring di ruangan itu. Ruangan yang meskipun diisi banyak manusia tetapi terasa sunyi dan menyedihkan. Toh karena semua manusia disana telah menjadi mayat. Bahkan dia

  • Kekuasaan (Ascendant)    XL (Bagian 2)

    “Bantu Jenderal Otto di pintu masuk timur. Aku akan masuk bersama Danina!” Qeen menggeleng cepat. Mata kelam itu menatapnya dengan skeptis. “Aku tidak akan terluka.” Ujarnya tanpa menunggu. Ilvy tidak membutuhkan persetujuan Qeen. Itu perintah untuk sang Effrayante dan harus dituruti. Dia membawa sepertiga pasukan ke gerbang depan istana, menyerang secara terbuka. Menyongsong jebakan yang mungkin saja telah dipasang oleh ayahnya. “Masih ada waktu untuk mundur, Dan.” Teriaknya di atas kuda kepada sepupunya. Danina tidak menatapnya. Gadis itu menatap lurus ke depan dengan mata yang berkilat penuh dengan tekad. Ilvy tahu gadis itu sedang menjangkau penyebab dirinya yatim piatu. Dan gadis itu tidak akan mundur meskipun pasukan Gerian jauh lebih banyak dari pasukan yang mereka bawa saat ini. “Kau bisa mundur jika terlalu sedih melihat kematian kedua orang tuamu.” Ilvy memutar matanya, dia kembali menatap ke depan. “Tidak.” Ilvy tidak akan pernah mundur. Mere

  • Kekuasaan (Ascendant)    XL (Bagian 1)

    Istana jauh lebih megah dari bayangannya. Awalnya dia hanya membayangkan bahwa istana Gerian hanya sebesar lapangan kumpul dikalikan sepuluh. Tapi dia salah. Istana itu jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada banyak bangunan yang terpisah di istana dibawah sana, dengan kubah-kubah kecil di setiap bangunan itu. Tetapi kubah-kubah itu tidak sebesar bangunan yang berdiri di bagian tengah lingkungan Istana Gerian. Kubah besar terlihat berkilau dari tempatnya berdiri di dalam hutan—membuatnya bertanya-tanya mengapa Ilvy ingin menghancurkan posisi ayahnya yang tinggal di tempat yang pantas disebut surga itu, membuat posisi gadis itu juga ikut terancam.Tembok tinggi yang menjulang membuat batasan dengan jalanan yang melingkari istana Gerian dan juga tempat-tempat mewah lainnya di luar tembok. Danina mengasumsikan jika tempat-tempat cantik itu adalah rumah-rumah bangsawan yang menyebut dirinya sebagai Brosnean.Kuda di belakangnya meringkik, bersahut-sahutan. Kuda

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXIX

    Ilvy membuka kamar Danina dengan perlahan, mendapati gadis itu sedang memeluk ibunya yang menangis tersedu. Dia tahu, wanita itu tengah melepaskan putrinya untuk pergi ke medan perang, dengan kemungkinan tidak pulang untuk selamanya. Tapi baik Ilvy maupun dua orang yang sedang berpelukan itu menyadari, bahwa apapun konsekuensinya, kudeta ini tetap harus dilaksanakan.Pulang dengan nyawa, atau pulang tanpa nyawa—tak ada jalan untuk kembali.Melihat Danina yang memeluk ibunya dengan erat membuat hatinya terasa nyeri. Dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari ibu kandungnya sendiri—penuh kasih sayang dan cinta. Kegilaan ibunya membuat dirinya hanya mendapat perhatian dari pengasuhnya—yang hanya memeluknya karena takut kepala terpisah dari badan.Ilvy mengetuk pintu kamar itu perlahan, membuat dua orang yang sedang menangis itu terdiam untuk beberapa saat, lalu menoleh menatapnya. “Sudah saatnya.” Bisik Ilvy kemudian. Dani

  • Kekuasaan (Ascendant)    XXXVIII

    Cinta hanya akan menyakiti. Sekuat apapun dia memuja gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia akan terluka. Awalnya hanya luka memar, berganti menjadi luka gores. Luka itu terus disentuh dengan tangan-tangan halus tetapi menyakitkan, menjadikan luka gores itu berganti menjadi luka sayatan yang menganga. Lama luka itu dibiarkan saja, tidak dipedulikan dan hanya dianggap angin lalu. Luka itu mulai membusuk dan bernanah. Tak lama, area luka itu mulai membesar, menjangkau seluruh tempat hingga tak ada yang tersisa.Luka itu berada di hatinya. Membuat hatinya membusuk dan berbau bangkai. Kini hatinya telah hilang karena luka itu. Menjadikannya manusia yang penuh dengan kebencian, dendam, dan kemarahan. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hatinya hingga membuatnya menjadi monster.Di kepalanya, ada beribu bisikan yang terus terdengar hingga membuat telinganya berdenging sepanjang hari. Dia kadang-kadang tidak bisa membedakan suara bisikan di kepalanya dengan suara orang yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status