Share

III

Tak ada yang tahu apa yang ada didalam pikiran Putri Gerian. Semua orang takut padanya; pelayan, bangsawan, menteri, bahkan kedua orang tuanya. Gadis itu baru berusia enam belas tahun. Debutante yang dilakukannya setahun yang lalu membuat wajahnya yang rupawan menjadi standar kecantikan anak laki-laki dikalangan Brosnean—begitu para bangsawan menyebut diri mereka. Tapi, seperti kecantikannya yang membuat seluruh pria bertekuk lutut padanya, tak ada bandingannya dengan sisi misterius dirinya.

Dirinya yang begitu tidak bisa digapai dan dipahami oleh siapapun.

Ilvy sedang membaca buku di perpustakaan. Dia mencintai ketenangan didalam sini. Tidak ada dengungan yang memenuhi telinganya, tidak ada suara ibunya yang kekanak-kanakan, juga tidak ada suara ayahnya yang selalu merongrongnya untuk memilih salah satu pangeran dari Kerajaan yang beraliansi dengan Gerian.

Gaunnya yang berwarna marun bergerak begitu lembut ketika dia menggoyangkan tubuhnya saat mengubah posisi duduk. Warna itu terlihat begitu cocok untuk kulitnya yang seputih salju—seperti salju yang turun dengan lebatnya saat ini.

Dia membalik halaman demi halaman buku yang didapatnya dari seseorang—yang hingga mati dia bersumpah tak akan ia sebut namanya—tentang kejadian delapan belas tahun yang lalu. Baginya, buku tebal itu seperti kisah dongeng yang kelam, dibumbui dengan romansa menjijikkan kedua orang tuanya. Juga kisah yang sangat mendebarkan, dan penuh dengan kebodohan.

Ketenangan yang disukai Putri Gerian terganggu, saat pintu perpustakaan itu terbuka. Dengan cepat dia menutup buku itu, meletakkannya diantara tumpukan buku diatas meja dan meraup dengan cepat buku di dekatnya.

Arrington Blackburn berjalan dengan cepat kearahnya, suara sepatunya menggema diseluruh ruangan. "Putri." Ujarnya memberi salam hormat. Tak mendongak karena sapaan itu, Putri Gerian hanya membalasnya dengan membalik halaman buku yang beberapa detik yang lalu ia ambil dengan sedikit buru-buru. "Raja memanggil Anda,"

Dia mendengkus kecil, mendongak dan mendapati raut wajah Arrington yang terlihat serius, dan sedikit kesal. "Seharusnya Xavi yang mendatangiku." Ujarnya dengan tenang. Tapi baik dirinya dan Arrington tahu, bahwa suara itu penuh dengan nada bosan.  

"Ini tentang surat untuk para Camsart dan Effrayante. Raja pikir Anda yang mengirimkannya."

Ada kesunyian selama beberapa detik, kemudian tawa sang Putri Gerian terdengar dengan lembut dan menakutkan, sementara matanya menatap Arrington dengan sorot setengah meremehkan. Hatinya terhibur dengan kalimat Arrington Blackburn barusan, membuat dirinya bersemangat untuk mulai mengkonfrontir pria didepannya itu. "Ini menyenangkan, Menteri Arrington." Jawabnya. "Surat itu—membuat Raja menjadi panik, membuat Ratu merusak kebun bunga kesayangannya, dan membuatmu kesal."

"Yang Mulia,"

"Blackburn," selanya cepat dengan tangan yang mengibas ke depan—menyela dengan cepat apapun yang akan dikatakan pria itu. "Katakan pada Raja, aku akan menemuinya setelah pesta minum teh lusa." Ilvy kembali menatap wajah Menteri yang kini terlihat semakin panik. "Kita harus melihat rencana Raja, bukan? Akan menyenangkan jika kau bersabar sepertiku."

Ilvy menghela napas, kemudian dengan perlahan kembali melihat ke arah buku yang berada di depannya. Dan itu berarti keputusan final yang diambil Putri Gerian. Gadis muda itu memiliki pendirian sekeras baja. Dia tak akan mengubahnya, apapun yang terjadi.

Arrington Blackburn menghembuskan napas kesal, setengah mendengkus kasar—secara terang-terangan. Dia memejamkan mata, satu tangannya memegangi ujung meja untuk bersandar, sementara satu tangannya lagi memegangi keningnya yang tiba-tiba diserang nyeri.

Dia bukan Xavi, tangan kanan Raja. Tetapi kenapa dia yang harus mengurus ini semua?

"Anda tidak akan menemuinya sebelum pesta teh, bukan?" tanya Arrtington memastikan—dan hanya akan membuat kepalanya semakin sakit. "Apa Anda benar-benar menulis surat itu?"

Putri Gerian tersenyum pada halaman yang sedang ia tatap. Tapi Arrington tahu bahwa senyum itu ditujukan untuk dirinya, dan yang anehnya membuat Arrington Blackburn merasakan sensasi merinding di setiap inci kulitnya. Bukan karena senyum itu menyeramkan, tapi karena senyum itu terlampau ramah, yang membuat sudut-sudut mata Putri Gerian berkerut. Sebuah senyum kebahagiaan, dari pertanyaan menuding yang dilontarkan dengan tidak sopan.

"Apa aku yang menulisnya?" tanyanya kemudian. Ilvy menatap halaman buku yang terbuka, menyapukan pandangan dari atas hingga bawah dengan cepat, kemudian kembali menatap Arrington. Tepat di manik mata. "Apa yang membuat kalian sekhawatir ini?" Ilvy kembali tersenyum, namun kali ini senyum itu adalah senyuman sinis. "Aku belum dilahirkan, saat kejadian itu. Orang-orang Camsart yang kalian sebut pengkhianat itu, apakah pernah membela diri? Apa mereka mengaku bersalah?"

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepala Arrington semakin berdenyut. "Mereka yang tetangkap mengakui perbuatan mereka, Yang Mulia."

"Benarkah?" susul Ilvy cepat. "Apa kalian benar-benar yakin mereka adalah Camsarian, Menteri? Begitukah menurutmu?"

"Maafkan aku, Yang Mulia!"

Arrington buru-buru menunduk dalam, menolak semua jawaban yang diinginkan oleh Ilvy. Membuat dirinya tertawa dengan keras hingga seisi perpustakaan itu penuh dengan suara tawanya. "Aku berharap para Camsarian keluar dari hutan suci itu. Mereka kurang dari seratus orang. Apa yang kau khawatirkan?" pancingnya lagi. Suaranya setengah antusias, meskipun dia menahan dengan keras agar tak terlalu kentara.

Arrington mendesah, tubuhnya kembali berdiri dengan lurus, "Mereka terkenal kuat, Yang Mulia—"

"Itu delapan belas tahun yang lalu, Menteri. Tak ada yang tahu keadaan mereka saat ini."

"Jadi Anda ingin mengetahui keadaan mereka sehingga membuat surat itu?" tebaknya spontan, yang langsung membuat dirinya mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.

Ilvy menatap Arrtington beberapa saat. Menimbang pertanyaan pria paruh baya itu; menimbang jawaban apa yang akan dia berikan. Akan semakin menarik jika dia terus mengkonfrontasi pria itu. Kelancangan pria itu membuat Ilvy terhibur.

"Jika aku menulis surat itu—seperti yang kau pikirkan—aku ingin tahu apa yang akan kita lakukan jika mereka keluar." Jawabnya kemudian. "Karena semua orang tahu, kudeta itu berawal dari rasa iri." Lanjutnya dengan penuh senyuman, yang anehnya membuat Arrington Blackburn semakin pusat pasi.

••

Senyum itu masih tercetak jelas dibibir Putri Gerian selama beberapa saat. Bahkan hingga pintu perpustakaan tertutup, dan sunyi kembali menemaninya, senyum itu masih terukir di bibirnya. Lambat laun, senyum itu berganti menjadi seringaian senang. Tak lama kekeh terhibur yang dia tahan selama beberapa belas menit pertemuannya dengan Arrington Blackburn—salah satu Menteri kesayangan Raja Gerian—dapat dia keluarkan dengan penuh suka cita. Bahkan kini kekeh itu berubah menjadi tawa, yang semakin lama semakin terdengar keras. Dia bahkan harus mengatupkan kedua telapak tangannya agar tawa itu dapat teredam.

"Apa yang akan kita lakukan setelah ini, Sir?" tanyanya masih penuh dengan nada geli. "Aku bahkan tak tahu harus berpihak pada siapa, tapi ini sangat menghiburku." lanjutnya.

Dia melihat semua ekspresi yang dia inginkan dari Arrington Blackburn. Rasa takut pria itu padanya, bahkan kebencian yang ditujukan untuknya, dia melihat semuanya diwajah pria paruh baya itu. Ilvy tahu jelas, Arrington bukan orang yang setia pada Raja. Dia setia pada Gerian. Siapapun yang memegang kekuasaan tertinggi, akan ia layani. Tapi saat orang itu mulai merugikan Gerian, dia dengan liciknya akan mengganti pemimpin tertinggi Gerian.

"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Sir? Mencari jejak Lady yang hilang ditelan bumi? Atau melihat kelanjutan dari surat itu?" Ilvy kembali mengambil buku yang disembunyikan diantara tumpukan buku di atas meja itu, sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. Ada sedikit kepuasan dalam hatinya saat dia menyebut seseorang yang seharusnya memegang tampuk kepemimpinan Gerian dengan sebutan lady.

Ia membuka halaman yang dia tandai, lalu mengusap jarinya pada tulisan itu. "Haruskah aku membuat Raja Gerian bersumpah di pasir suci, seperti masa lalu? Atau haruskah aku berbalik menyerangmu dan duduk di singgasana itu, Sir?" tanyanya kembali, dengan senyum yang terbentuk diwajahnya.

Putri Gerian menghela napas, melepaskan tawa terakhirnya sebelum mengganti ekspresinya serius. Dia selalu bisa membuat apapun yang diinginkannya terwujud. Bahkan dengan skenario yang kini terbentuk didalam kepalanya. "Haruskah Anda tetap berdiam diri, Sir?" tanyanya lagi, yang dia tahu dengan pasti, pertanyaan itu tak akan mendapatkan jawaban. "Bukankah sudah saatnya Anda memperlihatkan pada dunia apa yang terjadi dengan Raja terdahulu?"

Ilvy menutup buku yang terbuka itu, membawanya kedalam pelukan. "Aku akan memberikan banyak informasi yang Anda butuhkan. Dan juga bala bantuan." Ilvy kembali tertawa. "Tapi aku tidak menjanjikan kesetiaan padamu, Sir."

"Apa yang kau lihat dari ini semua?" sebuah tanya itu membuat Putri Gerian terkejut selama beberapa saat sebelum senyumnya yang merekah penuh antusias.

Ilvy itu ingin berbalik, mencari sumber suara yang selama ini terus mengawasinya diam-diam. Tapi dia sadar, dia tidak berhak untuk melihat orang itu. Wajah pria itu.

Belum.

Belum saatnya.

Dia harus bersabar. Dia harus menunggu, untuk melihat apa yang akan mereka lakukan saat semua ini menjadi sangat menarik.

Ilvy mendesah palsu. "Kesenangan, Sir." Jawabnya kemudian, khas dirinya. Agar pria itu tidak menebak isi kepalanya. "Akan menyenangkan melihat kalian saling bertahan hidup."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status