Share

II

Ini adalah musim dingin. Pertengahan musim dingin lebih tepatnya. Sulit untuk menemukan hewan buruan saat ini. Tapi bagi Effrayante, musim dingin adalah masa dimana makanan berlimpah.

Para Alfa akan memantrai daerah teritori untuk tetap hangat, agar hewan-hewan dari luar masuk kedalam daerah yang dimantrai. Memudahkan mereka untuk mendapatkan hewan buruan. Ini juga masa dimana para gadis muda berlatih untuk memanah.

Seperti Danina. Sejak pagi, dia sudah keluar dari rumah, berjalan ke utara, menuju kaki gunung. Bersemangat untuk belajar membidik sasaran. Dan sudah hampir setengah hari dia berdiri dibalik semak, bersembunyi. Mencari arah angin berhembus, mengambil anak panah, membidik, dan target yang di bidik meleset. Meleset sangat jauh.

Rusa itu berlari menuju selatan, hilang dibalik rimbunan pakis-pakisan. Sementara dibelakangnya, seseorang terkikik geli. Dia tak ingin berbalik dan mendapati Loretta yang berdiri dibelakangnya menatap penuh hina. Tapi tubuhnya tidak mau berkompromi dengan hati. Ditatapnya wajah yang semakin merah karena tawa keras. Terhibur akan kebodohan Danina.

"Serius?" geramnya kesal. Rasanya dia ingin melemparkan busur pada Loretta karena tawa mengejek dirinya. Tapi masalahnya, hanya Loretta satu-satunya orang yang tidak menyerah mengajarinya memanah.

Kembali diambilnya daun kering dibawah kakinya, menyebarnya ke udara dan mencari arah angin. "Ayo, kita harus kembali sebelum matahari tenggelam." Suara Loretta keras. Membuat hewan-hewan semakin waspada.

"Ssst." Cegahnya cepat sebelum suara Loretta semakin menakuti target. Meringankan tubuh, mencari celah diantara pohon besar yang berada di kirinya, Danina kembali siap untuk memanah buruannya. Dia menatap ke dahan pohon, menemukan seekor burung yang baru saja bertengger.

Dia siap untuk memanah.

"Tarik napasmu dan hembuskan dengan perlahan. Tangan dibawah dagu—sudut, sudut!"

"Diam, Lo!" bentaknya dalam bisikan, terganggu dengan ocehan Loretta. Tapi akhirnya Danina tetap melakukan apa yang dikatakannya. Loretta dengan cepat memperbaiki posisi tangannya hingga siku membentuk sudut sempurna.

"Kuharap kau berhasil, Dan." Bisik Loretta bersemangat—penuh ejekan.

Setelah yakin dengan posisi, Danina melesatkan anak panah.

Dia berharap bidikannya tak meleset. Namun, lagi-lagi harapannya mengambang di udara. Bidikannya hanya mengenai dahan pohon, menancap tepat dibawah kaki burung, membuatnya terkejut dan terbang.

Dibelakangnya, kembali terdengar tawa geli Loretta. "Ayo, Danina. Semua orang menunggu kita. Dan tak ada yang suka dengan itu." Ajaknya disela-sela tawa.

"Kupikir Sitaf pernah mengutukku."

"Jika Sitaf melakukannya, maka kau sudah berubah menjadi rusa. Dan aku sudah memanahmu sepuluh tahun yang lalu."

Dia meringis kesal. "Terimakasih banyak, Loretta." Sungutnya sambil mengekori Loretta.

••

Mereka bergabung kedalam rombongan setelah kayu bakar ditambahkan kedalam api unggun. Artinya, mereka terlambat hampir dua jam. Orang-orang sudah selesai makan malam, berkumpul, berbicara sesuatu secara serius. Namun setelah kedua gadis itu benar-benar berkumpul dengan kelompok itu, topik pembicaraan berubah. "Jadi," suara mengejek Xan terdengar diantara bunyi keretak kayu bakar. "pemburu sudah selesai berburu."

"Aku melihat Danina menyeret kepala beruang." Seseorang mengejek gadis itu, disusul tawa kecil dari semua orang. Ya, Danina menyeret sesuatu, tapi bukan kepala beruang. Dia hanya menyeret sarung panah yang telah kosong.

Danina tentu saja merasakan suasana canggung, namun tampaknya tidak dengan Loretta. Gadis itu menyantap makanannya dengan santai, sambil mendengkus lucu. "Dia menakuti singa karena kebodohannya dalam memanah."

"Singa?"

"Yap. Para singa takut Danina akan melukai dirinya sendiri."

"Trims, Lo." Ujarnya sarkas pada kalimat Loretta.

"Tidak mendapatkan apapun?" itu suara Ovena—ibu Danina. Wanita itu terdengar bingung. Dan itu membuat Danina terlihat lebih bodoh. Disampingnya, Loretta terbahak—membuat dirinya hampir tersedak. "Bagaimana bisa?"

Danina mendengkus. Heran dengan ketidak tahuan ibunya akan dirinya yang bodoh dalam memanah. "Karena jika aku bisa memanah, aku akan menjadi gadis paling sempurna dihutan ini." Jelasnya cepat.

"Hutan, adalah tempat teraman di Gerian, anakku." Nareef terkekeh pelan dibelakang Danina. Tangannya menepuk-nepuk pundaknya dengan pelan.

Nareef mengambil tempat. Duduk disebelah Sitaf. Mereka saling mengangguk, memberikan hormat. Nareef menghembuskan napas keras, kaki kanannya mendorong kayu bakar yang menyeruak untuk masuk kedalam perapian.

"Jadi," suara berat dan formal Nareef membuat mereka langsung menyudahi obrolan yang dilakukan satu sama lain. Ini bukanlah hal yang akan mereka sukai jika Ketua Klan mengeluarkan nada seperti itu. Ovena dengan cepat memeluk bahu Danina, memberikan kedamaian pada gadis itu. "Gaia dan Murali menemukan beberapa orang berusaha masuk kedalam hutan Camsart. Dengan persiapan penuh."

Terdengar terkesiap dari seluruh orang yang berada disana. Loretta mendengkus kesal, sementara Danina menatap Ovena dengan ekspresi khawatir. "Beruntung Murali bersama Gaia saat itu. Dengan beberapa mantra, kita tetap aman."

"Tetapi," suara Sitaf mengambil alih. "Kita mendapatkan surat. Surat yang dengan sengaja ditinggalkan oleh mereka." Sitaf melihat anggota kumpul satu persatu. Meyakinkan dirinya sebelum dia membacakan surat itu. "Surat yang dikirim dari Kerajaan Gerian." Sitaf mengeluarkan gulungan dari dalam pakaiannya. Mengedarkan untuk dibaca oleh masing-masing orang.

Untuk seluruh Camsarian dan Elf yang bersembunyi. Pengkhianatan yang dilakukan delapan belas tahun yang lalu masih menimbulkan luka mendalam. Akan tetapi, selama delapan belas tahun ini, kita menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain. Anggota kerajaan dan Brosnean memutuskan, bahwa setiap anggota Camsart dan Effrayante yang tersisa, tidak ikut serta dalam pengkhianatan yang dilakukan delapan belas tahun yang lalu. Raja menyambut Camsarian dan Elf yang keluar dari hutan Camsart dan memutuskan untuk tinggal di Gerian.

-Raja-

Hening cukup lama. Orang pertama yang mengeluarkan suara adalah Dagan. Dia mendengkus kemudian melemparkan lembar surat itu ke Raquel yang duduk disebelahnya. "Kau yakin mendapatkan surat ini dari mereka, Murali? Bukan kau yang menulis ini?"

"Tidak lucu, Dagan!" sergah Loretta, membuat bulu kuduk Danina meremang. Gadis itu benar-benar bersembunyi didalam pelukan Ovena.

"Mustahil—mereka pasti sedang menunggu di tepi hutan. Menunggu kita untuk keluar." Bisik Raquel ditengah keheningan.

"Mereka memaafkan kita," sanggah Loretta cepat. Dia menatap seluruh orang di lingkaran api unggun. Tak ada yang menjawabnya, bahkan ekspresipun tidak, sehingga Loretta tak tahu apa yang sedang orang pikirkan. "Kita harus bergabung, untuk mendapatkan kehidupan yang layak."

Xanfrey menggeleng tak setuju. "Aku hidup dengan baik disini, Lo." Sebelah tangannya digenggam erat Sophia. Kecemasan wanita itu membuat genggaman itu mengetat erat. "Tidak ada kehidupan yang layak kecuali disini."

Dagan mengangkat bahu, "Aku masih ingat dengan jelas ketika mereka membunuh kedua orang tuaku, Loretta. Mereka memenggalnya!" Dagan menatap Loretta sengit. Wajahnya mengeras, telunjuknya mengarah pada Sophia yang duduk diseberangnya. "Tanya kepada Sophia apa yang terjadi. Dia dan suaminya sedang bermain dengan Xanfrey ketika mereka datang dan memanah Hon!"

"Itu masa lalu, dan kau harus terus melangkah maju." Danina menarik tangan Loretta, mencegah apapun yang ingin dikatakan gadis itu. Orang-orang tak setuju dengan ide gadis itu. Tapi Loretta tetap bersikeras, "Mereka menerima kita dengan baik sekarang. Jadi kenapa harus terus ketakutan dengan masa lalu?"

"Ini bukan tentang ketakutan, Loretta." Jawab Dagan dengan cepat. "Ini tentang mereka yang menuduh kaum kita membunuh Raja terdahulu. Fitnah yang dilakukan Raja saat ini pada kita. Dan dia berpura-pura mengampuni kita, yang tidak pernah melakukan apapun. Tidakkah kau berpikir apa yang akan dilakukannya saat kita muncul?"

"Membunuh Camsart dan Effrayante yang tersisa." Bisik seseorang.

Dagan mengangguk setuju. "Dan mengubur fakta bahwa Raja saat ini membunuh Raja terdahulu."

Loretta mendengkus. Semua orang bisa melihat wajah gadis itu memerah karena marah. "Loretta," suara Nareef memecah kecanggungan didalam lingkaran itu. Danina menepuk pelan kaki gadis itu, membuatnya sadar bahwa saat ini seluruh mata sedang menatapnya dan Nareef bergantian.

"Aku tahu keinginanmu itu—dan itu juga keinginan seluruh anggota Camsart dan Effrayante yang tersisa. Tapi jauh sebelum surat ini datang dan membuat gempar anggota kecil ini, aku dan Sitaf sudah membuat kesepakatan untuk tetap berada di hutan ini, melindungi satu-satunya tempat suci di Gerian."

"Nareef—" Loretta berhenti, menunggu orang-orang akan menyela dirinya. Namun setelah hampir satu menit berlalu dan suasana tetap sunyi, dia melanjutkan. "aku sendirian disini. Tidak ada orang tua, tidak ada saudara. Kalian menyelamatkanku dari pembantaian." Kembali jeda beberapa saat. "Tapi aku tidak ingin terus ketakutan. Aku ingin mencoba. Dan ini kesempatan kita."

Bunyi keretak api unggun terdengar nyaring diiringi bunyi binatang malam. Sedangkan seluruh manusia dan kaum Elf masih menatap Loretta dengan pandangan tak percaya, termasuk Danina. "Ini bunuh diri, Lo." Suara Dagan terdengar dalam, penuh penekanan dan marah. "Bahkan jika kau tak bisa mengingat perjuangan Nareef yang menyelamatkanmu, ingat bagaimana rasanya kehilangan orang tua."

"Dagan—"

"Jangan sela aku, Ovena!" matanya berlari kepada wanita itu, yang memeluk lengan Danina. "Loretta harus sadar. Tidak ada pilihan terbaik kecuali tetap disini."

Loretta mengangkat bahunya lemah. Diantara seluruh anggota yang berkumpul, gadis itu sadar tidak hanya dia seorang yang tidak memiliki orang tua. Hampir seluruh Camsart yang tersisa adalah orang yang kehilangan orang tua, beberapa kehilangan pasangan, dan anggota keluarga lainnya.

"Aku tidak tahu, Dagan." Lirih Loretta. Matanya sembab karena air mata yang ia sendiri tak tahu untuk apa. "Aku masih bayi saat Raja digulingkan. Tidak ada kenangan orang tua. Bukan berarti kalian tidak memiliki andil besar dalam hidupku. Tapi aku sudah dewasa, dan aku memiliki kebebasan untuk memilih."

"Lo," Danina lagi-lagi memegang lengan gadis itu, mencoba untuk mencegah apapun yang akan keluar dari mulutnya.

Surat itu membuat api dalam sekam. Membakar siapa saja yang merasa terkurung didalam hutan. Mungkin sebagian orang merasa begitu, atau mungkin hanya Loretta seorang.

"Loretta, anakku." Nareef menatap sekeliling. "Aku dan Sitaf akan mendiskusikan beberapa hal. Akan menyenangkan jika kau ingin bergabung dengan kami. Besok pagi, Sophia akan menjemputmu. Tapi sebelum itu, aku ingin kau tetap berada didalam rumah bersama si kembar Glapyra."

•••

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pagi itu. Semua orang, termasuk Danina yang sedang berlatih pedang dengan Ness sedang menunggu keputusan dari Sitaf dan Nareef. Danina melihat Loretta masuk kedalam rumah Nareef hampir tiga jam yang lalu, dan hingga sekarang tidak ada satu orangpun yang keluar dari rumah itu.

"Kau yakin tidak tahu apapun, Ness?" Danina mengulang pertanyaan untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya juga dia ditusuk pedang kayu yang Ness pegang.

Ness kembali berhasil memukul betis kiri gadis itu dengan cepat, sebelum kembali ke posisi semula. "Bahkan Hersiria dan Saga diusir sebelum matahari terbit, Dan." Ujarnya. "Dan berhentilah bertanya! Kau kehilangan fokusmu!" sergahnya.

Danina menaikkan sebelah alisnya. "Ini hari keberuntunganmu, kau tahu?" balasnya tak kalah sengit. Ness mendengkus kesal. Dia mengambil kuda-kuda, kemudian menyerang Danina dengan penuh semangat. "Aku takut Loretta akan diusir dari sini."

"Tidak ada yang mengusir Loretta, kau tahu. Jumlah kita kurang dari lima puluh orang. Berhenti berpikir yang tidak-tidak." Danina memukul perut bagian kanan Ness, membuat gadis itu mundur dua langkah untuk menghindar serangan kedua. "Aku lebih khawatir gadis itu pergi dengan kehendaknya sendiri."

"Tidak mungkin!"

Ness mendengkus—lagi. Sebelah tangannya mencoba mencekal lengan Danina, sementara tangannya yang memegang tongkat pedang berusaha memukul mundur gadis itu. "Tidak ada yang tidak mungkin, Dan. Kepala Loretta sekeras baja. Apapun yang diinginkan gadis itu akan selalu dia capai. Aku lebih khawatir dia pergi dengan keinginannya sendiri daripada diusir oleh Sitaf dan ayahku."

Satu jam kemudian, Bran dan Dagan ikut bergabung dengan mereka berlatih pedang. Semua orang tahu, Danina adalah yang terbaik saat menggunakan pedang. Gadis itu begitu lincah. Tidak ada orang yang pernah mengalahkannya.

Kecuali saat ini, saat dia begitu cemas dengan keberadaan sahabat terbaiknya didalam rumah sang Alfa.

Lengan dan perutnya berkali-kali terkena pedang kayu dari tiga orang yang menyerang dirinya. Meskipun bukan pedang sungguhan, rasa terbakar karena antusiasme dari tiga orang yang menyerangnya membuat tiap pukulan dan tusukan terasa dengan kuat. Danina harus menyerah saat kedua lengannya terasa ngilu. Memberikan pedang kayunya pada Bran, gadis itu pergi untuk duduk ditepi lapangan latihan.

Ljudmila memberikan segelas air padanya, yang langsung dihabiskan dalam empat tegukan. "Apa yang terjadi?" tanya gadis itu saat Danina menghabiskan tegukan terakhir minumannya. "Ini pertama kalinya kau mengalah saat latihan."

Danina memutar matanya, ditaruhnya gelas itu didekat kakinya, "Tidak ada yang benar-benar serius. Aku hanya ingin melihat mereka senang." Ujarnya menyembunyikan rasa khawatirnya pada orang-orang yang masih berada didalam rumah sang Alfa. "Apa yang kau lakukan hari ini?" tanyanya mengalihkan perhatian.

"Aias dan Frey mengajakku ke sungai. Mereka akan mulai memantrai sungai."

"Sudah mulai?"

Ljudmila mengedikkan bahunya. "Mungkin. Air sungai semakin dingin. Kita tidak ingin membuat ikan kedinginan dan bermigrasi ke selatan selama musim dingin ini. Jadi mereka akan memulai memantrai sungai."

"Oh."

"Dan, apa kau ingin ikut dengan kami?" Ljudmila melirik gadis itu sekali sebelum kembali melihat tiga orang yang masih berlatih pedang di lapangan. "Kau terlihat sangat resah sejak tadi."

Danina mendengkus, ingin menyangkal Ljudmila yang duduk disebelahnya. "Dia adalah bagian dari kita." Jawabnya pelan.

"Ya, benar. Tapi hanya kau satu-satunya yang tahan dengan perilakunya." Ljudmila terkekeh pelan, lengannya yang bersentuhan dengan Danina berguncang pelan.

Danina memutar matanya, kemudian ikut tertawa pelan. "Dia sedang mencari jati dirinya. Aku sering melihatnya menangis."

"Dan aku sering melihat Raquel menangis karena dirinya."

Danina mendengkus. "Aku yakin sepenuhnya dengan itu." Diam sejenak, mereka mendengarkan suara-suara disekitar mereka. Danina kembali bersuara,  "Tapi percayalah, Loretta tidak sekeras itu. Meskipun aku berani bertaruh kepalanya benar-benar sekeras batu."

Ljudmila mengangguk setuju. Kemudian dia menarik Danina untuk berbaring di tanah. Merasakan angin semilir yang terasa hangat, meskipun diluar hutan, musim dingin sudah datang. Danina memejamkan mata, menajamkan telinga, mendengar semua yang berdengung disekitarnya.

Dia masih mendengar suara pedang kayu di lapangan latihan; suara anak-anak bermain—yang pasti itu hanya suara Hersiria dan Saga; suara para wanita yang sibuk memintal benang untuk membuat pakaian; dan suara beberapa Effrayante yang—mungkin sedang berlatih membaca mantra.

Tapi dia tidak bisa mendengar suara Loretta, atau Nareef, atau Sitaf, yang sedang berada didalam rumah sang Alfa, meskipun rumah itu hanya berjarak dua puluh langkah dari keberadaannya saat ini.

Dan itu membuatnya cemas setiap menitnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status