Share

BAB 2

"Dania!" 

seruhan itu refleks membuatku berbalik ke arah suara. Sial.

Kalau saja bukan karena bukuku yang tertinggal tadi, aku tidak  harus memutar arahku kembali ke kelas saat tiba di tempat parkir dan lagi, aku  tidak akan bertemu dengan pengganggu ini. Aku menatapnya malas, ingin sekali rasanya kuabaikan.

Seperti biasa dia selalu memasang wajah arrogannya. Dia melangkah pelan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lupa pula dua gadis  yang kurasa menggantungkan hidup mereka padanya berdiri mensejajarkan langkahnya. 

Yah, siapa lagi kalau bukan Ceri dan teman-temannya. Gadis yang selalu menggangguku. Hal yang masih membuatku bingung hingga sekarang adalah aku tidak tahu alasan mengapa dia membenciku padahal, dulu aku terbilang dekat dengannya.

Dia mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku meremehkan. Aku mengerutkan keningku dengan tatapan yang tak lepas dari gadis itu. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sembari berdiri dengan sedikit mencodongkan tubuhnya.

Hidungku langsung saja disambut oleh wangi parfum yang menyengat. Bau parfum yang dulu sangat kusukai, wangi jasmine. Namun telah dikalahkan oleh wangi parfum yang Raka pakai. Perpaduan whiskey, cinnamon dan spicy yang memikat hatiku.

Gadis ini mulai memperhatikan penampilanku. “Aduh, mata gue sakit,” ujarnya sambil memegang matanya. Aku mengernyitkan dahi kebingungan. “kampus kita nggak cocok sama orang dengan penampilan babu kayak lo!” lanjutnya sambil menunjuk ku.

Apa yang salah dari penampilanku? memakai baju polos dengan luaran kemeja. Yah, memang sangat sederhana jika dibandingkan dengan pakaian yang ia kenakan. Baju yang kutebak dari brand ternama, dengan rok mini selutut. 

“Kenapa memperhatikan penampilanku?” jawabku memberanikan diri. 

“Dih, pede banget lo!” 

“cuman nggak enak aja ada babu kayak lo lagi jalan. Merusak pemandangan saja,” lanjutnya sambil memberikan tatapan jijik.

“Ew, nggak level banget,” ujarnya sambil memperlihatkan ekspresi mual.

Aku mencoba setenang mungkin, meskipun sangat ingin membalaskannya dengan amarah yang tertahan. Aku masih tidak mengerti, mengapa Ceri membenciku begitu saja. Dia gadis yang periang saat pertama kali mengenalnya, sangat berbeda dengan Ceri yang tengah kutatap sekarang.

Aku menarik nafas dan mulai berbicara. “Ceri... mengapa kau menjadi seperti ini?” ucapku sambil menatap matanya intens.

Dia tampak sedikit terkejut. Kemudian berdecak. “Kenapa? Nggak suka?” jawabnya sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Apa alasanmu membenciku? Apa aku melakukan kesalahan padamu?” 

Ekspresinya mulai berubah, alisnya saling bertautan. Dia nampak kesal akan perkataanku itu sambil mengepal kedua tangannya.

“Karena lo pantas dibenci!” 

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. Aku tahu pasti ada alasan lain. Kulihat dia menarik nafas untuk meredahkan kekesalannya dibantu oleh teman-temannya. Dia kembali mengibaskan rambutnya dan mulai menatapku sinis.

“Kemana bodyguardmu?” 

“Raka maksudmu?” tanyaku pura-pura bodoh.

Dia memutar bola matanya malas. “Yes stupid. Lo tau benar siapa yang gue maksud,” ujarnya meremehkan.

Aku mengendikkan bahuku. “Mana kutahu, aku kan bukan ibunya,” jawabku datar.

Gadis itu berdecak, “Cih. Lo emang bukan ibunya tapi, lo itu benalu buat dia!” cibirnya.

Aku tersentak mendengar perkataannya barusan. Perkataannya membuat hatiku sakit, merasa seolah-olah yang dikatakannya itu suatu kebenaran.

“Kok diam? Benarkan yang gue bilang?” tanyanya lagi setelah melihatku diam tak membalas.

Dia tertawa picik. Merasa menang membuatku bungkam. Orang seperti dia harus dihadapi dengan tenang, pikirku. Aku terdiam untuk beberapa detik. Aku menarik nafas berat. “Kalau tidak tahu apa-apa, diam saja” jawabku santai.

Gadis itu tercekat dengan mulut yang sedikit terbuka. Tanpa menunggu responnya, aku segera berbalik. Meninggalkan tempat itu saat merasa atmosfer disekelilingku mulai berubah. Aku mempercepat langkahku. Mengeratkan genggamanku pada tas yang kupegang.

“Lo itu nggak bisa apa-apa tanpa Raka!” sahutnya lantang.

Aku membeku. Diam mematung karena perkataannya itu. Aku merasa ucapannya itu bagai pisau yang baru saja menikam punggungku. Apa aku harus berbalik untuk membalasnya? Atau lari dari kenyataan seperti biasa? Aku tidak tahu. 

Jika pun ingin, aku tidak dapat menemukan kosakata yang tepat untuk berbicara. Otakku terasa berhenti bekerja. Rasa pesimis tentang hal itu mulai menyergap perasaanku. Aku kembali mengambil langkah dengan sedikit tersandung. 

“Cewe pembawa sial!” dia kembali berteriak. Namun aku tetap melangkah tanpa niat untuk berhenti. Mencoba tak menghiraukannya.

“Gadis benalu!” teriaknya lagi dengan lantang.

Aku mempercepat langkahku dengan sedikit tertunduk. Tempo langkahku semakin cepat, seakan diburu sesuatu. Detak jantungku mulai terasa cepat.

“Gadis benalu! Gadis benalu!” kedua temannya ikut meneriakiku.

Mereka terus berteriak padaku. Membuat dadaku terasa panas. Menyebutku sebagai gadis benalu hingga melihatku menghilang dari koridor. Aku terus melangkah dengan tempo yang cepat meskipun tak lagi mendengarkan teriakan mereka. Hingga, aku merasa oleng karena menabrak sesuatu dengan cukup keras.  Aku merasakan genggaman kuat pada lenganku dengan cepat. Menahan tubuhku yang hampir saja tersungkur ke lantai. 

“Kau kenapa?”

Aku mengangkat kepalaku. Itu Raka dengan dahinya yang mengerut bingung. Aku segera memperbaiki posisiku. Melangkah sedikit mundur dan memperbaiki rambutku. Aku menggeleng cepat dan memperbaiki gestur tubuhku. “Hanya pusing,” jawabku singkat.

Aku kembali tertunduk, tak berani memperlihatkan wajahku yang memalukan. Mataku yang mulai panas. Air mata yang tertahan. Aku terus memegang dahiku sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga sebagai pengalihan. Raka terdiam. Tak ada percakapan untuk beberapa detik.

Aku tahu saat ini dia sedang memandangku. Maka dari itu aku tetap menunduk. “Kau seperti habis kabur dari sesuatu,” katanya tiba-tiba membuatku sedikit tercengang. Seakan dia dapat membaca pikiranku.

“Kau seperti ketakutan,” 

Aku menggeleng. “Tidak, aku... hanya ingin ke tempat parkir. Tidak ingin membuatmu menunggu lama,” jelasku sedikit terbata-bata.

“Apa ada yang mengganggumu?” 

Aku tertegun. Mulutku terasa membisu. “Tidak ada, ayo kita pergi,” jawabku cepat. Aku hendak melangkah pergi namun Raka lebih dulu memegang tanganku. “Lihat aku,” ujarnya lirih. Mataku membulat, tak berkedip sedikit pun masih dengan posisi kepala sedikit tertunduk. Aku mulai kebingungan.

“Ayo pergi, aku harus bekerja,” seruku mencoba santai.

Aku kembali mengambil langkah namun, Raka kembali mencegatku. “Lihat aku,” ucapnya sekali lagi kini dengan nada sedikit dingin.

“Dania?” panggilnya setelah melihatku tak melakukan apapun. Dengan ragu, ku angkat kepalaku. Membiarkan dia melihat wajahku. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, tak berani menatap matanya.

Dari ujung mataku, dapat kulihat Raka tengah menatapku. Sial, diberikan tatapan intens seperti itu membuatku ingin menatapnya balik. Raka menatapku dalam diam membuatku salah tingkah namun, dengan cepat aku membuat pengalihan.

“Raka, kau ada waktu hari ini tidak? Temani aku ke toko buku,” ucapku cepat sambil berpura-pura merogoh sesuatu di dalam tasku.

“Eh, perasaan ku taruh disini, kok tidak ada?” ucapku sambil menggaruk-garuk isi tasku. Seolah sedang mencari barang. Ku dengar Raka menghembuskan nafas. Aku refleks berhenti ketika dia memegang pucuk kepalaku. Kemudian memutarnya searah pandangannya. Membuat mata kami bertemu. 

Ekspresinya datar, itu yang dapat kusimpulkan saat melihatnya. “Pengalihan yang buruk, kau tidak ahli. Belajar lagi,” ucap Raka dengan datar.


“Sejak kapan kau suka membaca buku?” tanyanya kemudian. 


Aku tercekat mendengarnya. “Kau kenapa?” tanyanya dengan tatapan intimidasi.

Aku menarik langkah mundur dengan cepat, membuat tangannya tak lagi memegang pucuk kepalaku. “Kenapa apa? Aku baik-baik saja,” jawabku dengan susah payah menstabilkan suaraku. Dengan pipiku yang mulai memanas.

Raka berdecak pelan. “Topengmu rusak, kau tidak lihat ya?” ujarnya sambil mendongkak sedikit. Aku mengernyitkan dahi. Lagi-lagi membuatku tidak dapat berkutik. “Topeng apa? Topengku sangat bagus,” jawabku dengan lagak menyombongkan diri.

“Lalu, kenapa ada air mata dipipimu?” tanyanya kemudian. Aku merasa shock. Raka yang terlalu peka atau aku yang tidak pandai terlihat baik-baik saja? membuat jantungku kembali berpacuh cepat. Aku melirik ke arahnya dengan sedikit salah tingkah. “Ah.. itu, kakiku kejedot tadi. Asli sakitnya,” ucapku sambil memajuhkan sedikit kakiku sebagai alasan bukti. 

Raka terlihat menarik nafas berat. “Apa susahnya jujur?” tanyanya sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. 

Aku kembali tertunduk. Berusaha mencari kosataka yang tepat untuk kuucapkan. Mencari sesuatu yang membiarkan Raka berhenti bertanya tentang kebenaran yang kualami. 

“Aku baik-baik saja Raka,” ujarku lirih dengan suara yang sedikit gemetaran.

“Mau beritahu aku atau kucari tahu sendiri?” tanyanya dingin. 

Aku terkejut dan segera mengangkat kepalaku dengan spontan. Aku terkejut hingga membulatkan kedua mataku. “Tidak ada seorang pun. Ayo pergi!” sahutku cepat. Aku langsung menarik tangannya tanpa menunggu responnya. Membiarkanku menuntun jalannya dengan nafas memburu. Bahkan tanpa kusadari aku mencengkram tangannya saat merasakan mataku mulai berkaca-kaca. Aku tahu saat ini Raka ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di ujung mulutnya, namun tak ia lakukan.

Lagi pula aku ingin belajar menyelesaikan masalahku sendiri tanpa melibatkan Raka. Meskipun aku tidak tahu dimana letak kesalahanku pada orang yang bersangkutan, membiarkan orang-orang membenciku begitu saja. Aku juga mulai merasa orang-orang di kampus mulai memandangku dengan sebelah mata. Aku tak punya teman perempuan untuk sekedar bercerita setelah Ceri, namun dia telah menjauh lebih dulu. Memberikan sugesti kepada orang-orang agar ikut membenciku. Aku tidak bermaksud untuk menuduhnya, namun, setelah mendengar perkataannya tadi kurasa aku menemukan jawaban dari mana dan mengapa orang-orang secara tiba-tiba menyebutku demikian.

Diberi cap sebagai cewe benalu, seakan-akan aku adalah pengganggu bagi Raka. Merasa bahwa diriku adalah perempuan pembawa sial bagi sahabatku sendiri.  Sangat sakit rasanya. Aku merasa sangat memalukan. Namun aku merasa sedikit tenang karena, Raka tidak mengetahui hal itu. 

Aku pernah berfikir untuk menjauh perlahan darinya. Mencoba menjaga jarak darinya. Namun, Raka menyadari itu. Aku merasa terlalu menggantungkan hidupku padanya. Dia satu-satunya orang yang tahu masalah yang sedang kualami. Aku hanya tidak bisa. Aku merasa tenang saat Raka berada di sisiku. Berasa aman dari orang yang ingin menggangguku. 

Pandanganku mulai buram karena air mata yang mendesak untuk keluar. Namun aku mencoba menahannya dengan menggertakkan gigi. Aku masih berlajan dengan Raka yang hanya diam tak bersuara saat aku menariknya. Membiarkan aku melakukan yang kumau. Kata-kata itu terus menenuhi pikiranku. Seperti pisau yang dilemparkan padaku. Seperti sedang dilempari kertas di dalam ruangan yang hampa dengan suara-suara yang terus memenuhi telingaku.

Untuk pertama kali aku merasa sesakit ini hanya karena cemohan orang lain. Aku terus menjadi pusat perhatian setiap kali melewati mahasiswa yang belum pulang. Ada yang menatapku heran, bingung, bahkan dengan tatapan jijik. Aku tidak peduli, yang aku ingin hanyalah pergi dari sini. Berlari dari sini secepat mungkin dan menjatuhkan tubuhku dipelukan ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status